Evaluasi Kinerja Penerapan Koordinasi Interferensi pada Sistem Komunikasi LTE- Advanced dengan Relay

dokumen-dokumen yang mirip
Evaluasi Kinerja Penerapan Koordinasi Interferensi pada Sistem Komunikasi LTE- Advanced dengan Relay

Analisis Kinerja Metode Power Control untuk Manajemen Interferensi Sistem Komunikasi Uplink LTE-Advanced dengan Femtocell

Evaluasi Kinerja Sistem Komunikasi LTE- Advanced dengan Relay Berbasis Orthogonal Resource Allocation Algorithm

Evaluasi Kinerja Sistem Komunikasi LTE- Advanced dengan Relay Berbasis Orthogonal Resource Allocation Algorithm

Manajemen Interferensi Femtocell pada LTE- Advanced dengan Menggunakan Metode Autonomous Component Carrier Selection (ACCS)

Radio Resource Management dalam Multihop Cellular Network dengan menerapkan Resource Reuse Partition menuju teknologi LTE Advanced

Desain dan Analisa Kinerja Femtocell LTE- Advanced Menggunakan Metode Inter Cell Interference Coordination

ANALISA IMPLEMENTASI GREEN COMMUNICATIONS PADA JARINGAN LTE UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI ENERGI JARINGAN

Analisa Sistem DVB-T2 di Lingkungan Hujan Tropis

BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi telekomunikasi yang semakin pesat dan kebutuhan akses data melahirkan salah satu jenis

Kajian Implementasi Standar Long-Term Evolution (LTE) pada Sistem Komunikasi Taktis Militer

SIMULASI DAN ANALISIS MANAJEMEN INTERFERENSI PADA LTE FEMTOCELL BERBASIS SOFT FREQUENCY REUSE

Pengaruh Penggunaan Skema Pengalokasian Daya Waterfilling Berbasis Algoritma Greedy Terhadap Perubahan Efisiensi Spektral Sistem pada jaringan LTE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Bab 7. Penutup Kesimpulan

Analisis Pengaruh Penggunaan Physical Cell Identity (PCI) Pada Perancangan Jaringan 4G LTE

1. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Wireless Communication Systems Modul 9 Manajemen Interferensi Seluler Faculty of Electrical Engineering Bandung 2015

ANALISIS MANAJEMEN INTERFERENSI JARINGAN UPLINK 4G-LTE DENGAN METODE INNERLOOP POWER CONTROL DI PT TELKOMSEL

PERENCANAAN ANALISIS UNJUK KERJA WIDEBAND CODE DIVISION MULTIPLE ACCESS (WCDMA)PADA KANAL MULTIPATH FADING

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Konsep global information village [2]

ALGORITMA PENGALOKASIAN RESOURCE BLOCK BERBASIS QOS GUARANTEED MENGGUNAKAN ANTENA MIMO 2X2 PADA SISTEM LTE UNTUK MENINGKATKAN SPECTRAL EFFICIENCY

BAB I PENDAHULUAN I-1

Presentasi Seminar Tugas Akhir

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Kinerja Sistem Komunikasi Satelit Ka-Band Menggunakan Site Diversity di Daerah Tropis

OPTIMASI LINTAS LAPISAN PADA SISTEM KOMUNIKASI KOOPERATIF DI DALAM GEDUNG

EVALUASI PENGGUNAAN ALGORITMA GENETIKA UNTUK MENYELESAIKAN PERSOALAN PENGALOKASIAN RESOURCE BLOCK PADA SISTEM LTE ARAH DOWNLINK

ANALISIS KINERJA PACKET SCHEDULING MAX THROUGHPUT DAN PROPORTIONAL FAIR PADA JARINGAN LTE ARAH DOWNLINK DENGAN SKENARIO MULTICELL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dengan mencari spectrum holes. Spectrum holes dapat dicari dengan

OPTIMASI LINTAS LAPISAN PADA KOOPERATIF DI DALAM GEDUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Implementasi dan Evaluasi Kinerja Kode Konvolusi pada Modulasi Quadrature Phase Shift Keying (QPSK) Menggunakan WARP

PENGARUH FREQUENCY SELECTIVITY PADA ORTHOGONAL FREQUENCY DIVISION MULTIPLEXING (OFDM)

ANALISIS PENERAPAN MODEL PROPAGASI ECC 33 PADA JARINGAN MOBILE WORLDWIDE INTEROPERABILITY FOR MICROWAVE ACCESS (WIMAX)

ISSN : e-proceeding of Engineering : Vol.4, No.2 Agustus 2017 Page 2100

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

Simulasi Dan Analisis Pengaruh Kecepatan Pengguna Terhadap Kualitas Layanan Data Dengan Menggunakan Encoder Turbo Code Pada Sistem CDMA EV-DO Rev A

MANAJEMEN INTERFERENSI DENGAN MENGGUNAKAN POWER CONTROL UNTUK KOMUNIKASI DEVICE-TO-DEVICE (D2D) DALAM JARINGAN KOMUNIKASI SELULER.

EVALUASI KINERJA ALGORITMA PENJADWALAN LINTAS LAPISAN PADA JARINGAN CELULAR OFDM GELOMBANG MILIMETER DENGAN KANAL HUJAN

ANALISIS PENGARUH HANDOVER PADA MOBILE WIMAX UNTUK LAYANAN LIVE STREAMING

PENGGUNAAN ADAPTIVE CODED MODULATION DAN SELECTION COMBINING UNTUK MITIGASI PENGARUH REDAMAN HUJAN DAN INTERFERENSI PADA SISTEM LMDS

UNJUK KERJA NOISE RISE BASED CALL ADMISSION CONTROL (NB-CAC) PADA SISTEM WCDMA. Devi Oktaviana

ANALISIS UNJUK KERJA TEKNIK MIMO STBC PADA SISTEM ORTHOGONAL FREQUENCY DIVISION MULTIPLEXING

PERHITUNGAN BIT ERROR RATE PADA SISTEM MC-CDMA MENGGUNAKAN GABUNGAN METODE MONTE CARLO DAN MOMENT GENERATING FUNCTION.

ANALISIS NILAI LEVEL DAYA TERIMA MENGGUNAKAN MODEL WALFISCH-IKEGAMI PADA TEKNOLOGI LONG TERM EVOLUTION (LTE) FREKUENSI 1800 MHz

BAB 1 I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Visualisasi dan Analisa Kinerja Kode Konvolusi Pada Sistem MC-CDMA Dengan Modulasi QAM Berbasis Perangkat Lunak

LTE LOAD BALANCING DENGAN SKENARIO GAME THEORY

SIMULASI DAN ANALISIS ALGORITMA PENGALOKASIAN RESOURCE BLOCK BERBASIS QOS GUARANTEED PADA SISTEM LONG TERM EVOLUTION

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Penggunaan Spektrum Frekuensi [1]

LTE LOAD BALANCING DENGAN SKENARIO GAME THEORY

MANAJEMEN INTERFERENSI PADA TRANSMISI DOWNLINK JARINGAN SELULER TWO-TIER BERBASIS 4G LTE-ADVANCED DENGAN MENGGUNAKAN METODE POWER CONTROL

PENGARUH FREQUENCY SELECTIVITY PADA SINGLE CARRIER FREQUENCY DIVISION MULTIPLE ACCESS (SC-FDMA) Endah Budi Purnomowati, Rudy Yuwono, Muthia Rahma 1

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

PENJADWALAN PAKET MULTIMEDIA UNTUK JARINGAN OFDM UPLINK BERBASIS PENDEKATAN CROSS-LAYER DI BAWAH REDAMAN HUJAN

BAB IV HASIL SIMULASI DAN ANALISIS

STUDI PERANCANGAN SISTEM RoF-OFDM POLARISASI TIDAK SEIMBANG MENGGUNAKAN MODULASI QPSK DAN QAM

ANALISIS KINERJA TEKNIK DIFFERENTIAL SPACE-TIME BLOCK CODED PADA SISTEM KOMUNIKASI KOOPERATIF

Degradasi Jaringan TD-LTE MHz Akibat Interferens Alur-Waktu Silang

BAB III PEMODELAN DAN SIMULASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

REDUKSI EFEK INTERFERENSI COCHANNEL PADA DOWNLINK MIMO-OFDM UNTUK SISTEM MOBILE WIMAX

I. Pembahasan. reuse. Inti dari konsep selular adalah konsep frekuensi reuse.

BAB I PENDAHULUAN. Akhir yang berjudul Discrete Fourier Transform-Spread Orthogonal Frequency Division

MITIGASI INTERFERENSI INTER-CELL MENGGUNAKAN VERTICAL BEAMFORMING UNTUK TEKNIK FRACTIONAL FREQUENCY REUSE PADA JARINGAN LTE

BAB II TEORI DASAR. Public Switched Telephone Network (PSTN). Untuk menambah kapasitas daerah

Implementasi dan Evaluasi Kinerja Multi Input Single Output Orthogonal Frequency Division Multiplexing (MISO OFDM) Menggunakan WARP

BAB III DISCRETE FOURIER TRANSFORM SPREAD OFDM

BAB 2 PERENCANAAN CAKUPAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bab II Landasan teori

BAB I PENDAHULUAN. menuntut agar teknologi komunikasi terus berkembang. Dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan informasi dan komunikasi terus

BAB IV PEMODELAN SIMULASI

LAPORAN SKRIPSI ANALISIS DAN OPTIMASI KUALITAS JARINGAN TELKOMSEL 4G LONG TERM EVOLUTION (LTE) DI AREA PURWOKERTO

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

Analisis Perencanaan Jaringan Long Term Evolution (LTE) Frekuensi 900 MHz Pada Perairan Selat Sunda

PERENCANAAN AWAL JARINGAN MULTI PEMANCAR TV DIGITAL BERBASIS PENGUKURAN PROPAGASI RADIO DARI PEMANCAR TUNGGAL

BAB III PEMODELAN MIMO OFDM DENGAN AMC

INTERFERENSI BLUETOOTH TERHADAP THROUGHPUT WLAN IEEE B

III. METODE PENELITIAN. Teknik Elektro, Jurusan Teknik Elektro, Universitas Lampung. Tabel 3.1. Jadwal kegiatan Penelitian

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.2. Arsitektur Jaringan LTE a. User Equipment (UE) merupakan terminal di sisi penerima

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

1.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan tugas akhir ini adalah: 1. Melakukan upgrading jaringan 2G/3G menuju jaringan Long Term Evolution (LTE) dengan terlebih

Teknologi Seluler. Pertemuan XIV

BAB III PERANCANGAN DAN SIMULASI LEVEL DAYATERIMA DAN SIGNAL INTERFERENSI RATIO (SIR) UE MENGGUNAKAN RPS 5.3

BAB III METODE PENELITIAN

Jurnal JARTEL (ISSN (print): ISSN (online): ) Vol: 3, Nomor: 2, November 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 1.1 Pertumbuhan global pelanggan mobile dan wireline [1].

Analisis Penanggulangan Inter Carrier Interference di OFDM Menggunakan Zero Forcing Equalizer

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Kinerja Sistem Komunikasi Satelit Non-Linier BPSK Dengan Adanya Interferensi Cochannel.

Transkripsi:

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-246 Evaluasi Kinerja Penerapan Koordinasi Interferensi pada Sistem Komunikasi LTE- Advanced dengan Relay Rosita Elvina, Gamantyo Hendrantoro, dan Devy Kuswidiastuti. Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 e-mail: gamantyo@ee.its.ac.id Abstrak Perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia akan memasuki era LTE advanced (4G) yang memiliki beberapa kemampuan yang semakin menguntungkan pengguna. Salah satu kemampuan yang dimiliki adalah meningkatkan performansi user yang berada pada daerah tepi sel dengan meletakkan relay pada daerah tersebut. Teknologi ini memiliki permasalahan mengenai inter cell interference (ICI) dan nilai throughput pada daerah tepi sel. Pada penelitian ini dilakukan analisis tentang dampak dari penambahan koordinasi interferensi pada sistem komunikasi LTE advanced dengan relay, yang dapat mengurangi interferensi antar relay dan meningkatkan kinerja sistem. Koordinasi interferensi yang digunakan adalah teknik penjadwalan penggunaan resource pada access link di setiap relay. Teknik penjadwalan dilakukan dengan beberapa tahap yaitu, penghitungan alokasi resource setiap relay, dan perhitungan jumlah subframe komunikasi semua user pada masing masing relay. Dengan menggunakan teknik penjadwalan pada access link, maka pelayanan yang diberikan kepada pengguna yang berada di ujung cakupan (daerah tepi sel) akan memiliki performansi yang lebih baik. Parameter performansi yang diukur pada penelitian ini adalah SINR (Signal to Interference plus Noise Ratio), throughput, spectral efficiency, dan BER (Bit Error Rate). Kata Kunci: LTE advanced; relay; koordinasi interferensi; SINR; throughput. I. PENDAHULUAN AAT ini teknologi komunikasi berkembang dengan pesat. SHal ini terlihat dari semakin meningkatnya kecepatan pengiriman data serta pelayanan yang diberikan pada pengguna. Di Indonesia, perkembangan teknologi komunikasi akan memasuki era Long Term Evolution-Advanced (LTE A) yang memiliki beberapa kemampuan yang semakin menguntungkan pengguna. Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh teknologi ini adalah relaying [1]. Kemampuan relaying dapat meningkatkan cakupan area serta kapasitas dari jaringan. Namun, kelebihan tersebut menimbulkan permasalahan mengenai inter-cell interference (ICI) dan nilai throughput pada daerah tepi sel [2]. Daerah cakupan relay dibatasi oleh rendahnya daya transmisi, kemampuan antena yang terbatas, dan adanya bottleneck pada backhaul link. Penyabaran relay menunjukkan adanya peningkatan level interferensi pada suatu jaringan yang menyebabkan penurunan throughput pengguna [2]. Konsep komunikasi dengan relay di Indonesia memiliki peluang yang besar karena perkembangan LTE sudah dimulai. Untuk memberikan pelayanan yang baik kepada setiap pengguna, maka perlu adanya sebuah konsep yang memberikan cara untuk dapat meningkatkan kemampuan pelayanan pada user yang berada di daerah tepi sel dengan mengkoordinasikan interferensi yang terjadi karena adanya penyebaran relay pada daerah tepi sel. Untuk mengetahui apakah sistem tersebut dapat bekerja dengan baik, maka diperlukan sebuah evaluasi kinerja. II. KOORDINASI INTERFERENSI Terdapat tiga macam interferensi yang disebabkan adanya penyebaran relay node (RN). Sebagaimana terlihat pada Gambar 1, garis putus putus berwarna biru merupakan sinyal yang diinginkan dan titik titik berwarna merah merupakan interferensi yang terjadi [2]. (c) UE1 Lintasan (a) menunjukkan interferensi yang terjadi pada user equipment (UE) yang dilayani oleh Donor enb (DeNB) yang disebabkan oleh access link RN1. Lintasan (b) menunjukkan interferensi yang terjadi pada UE yang dilayani oleh RN2 yang disebabkan oleh access link RN1. Sedangkan lintasan (c) menunjukkan interferensi yang terjadi pada UE yang dilayani RN2 yang disebabkan oleh direct link DeNB [2]. Pada penelitian ini, skema koordinasi interferensi dilakukan dengan cara penjadwalan pada access link. Penjadwalan dilakukan berdasarkan kebutuhan jumlah subframe user yang berada pada daerah tepi sel. Sistem LTE-A dengan relay yang menggunakan bandwidth 10 MHz memiliki 50 PRB (Physical Resource Block) pada sistemnya. Masing masing PRB terdiri dari 10 subframe. (a) Gambar. 1. Ilustrasi Skenario Interferensi [2] UE 2 RN1 (b) RN 2

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-247 Setiap subframe memiliki TTI (Transmission Time Interval) selama 1 ms [1]. Pada proses penjadwalan terdapat dua keadaan pada setiap RN yaitu firstly schedule dan lastly schedule [2]. Firstly schedule merupakan keadaan selama RN memenuhi kebutuhan subframe semua user yang berada di daerah cakupan RN tersebut dan pada keadaan ini RN akan menginterferensi daya terima user yang berada di sel lain. Sedangkan lastly schedule adalah keadaan saat kebutuhan subframe semua user yang dilayani oleh RN tersebut telah terpenuhi, pada keadaan ini daya yang dipancarkan RN akan dimatikan sehingga RN tersebut tidak menginterferensi daya terima user yang berada di sel lain [2]. III. METODE A. Rancangan Sistem Pada penelitian ini, hal pertama yang dilakukan adalah membuat model sistem LTE A dengan relay yang terdiri atas 21 sel heksagonal, dimana setiap 3 sel heksagonal dilayani oleh 1 enb dan terdapat 4 relay yang diletakkan pada daerah tepi sel pada setiap sel. Setelah itu dilakukan pembangkitan user secara acak, kemudian sistem akan menghitung daya terima terbaik yang didapat oleh user, dari nilai daya terima tersebut akan ditentukan apakah proses komunikasi akan melalui relay atau melalui enb. Selanjutnya sistem akan menghitung nilai SINR, throughput, spectral efficiency, dan BER. Untuk sistem kedua, pada komunikasi sistem LTE A dengan relay diterapkan skenario koordinasi interferensi pada access link. Setelah itu, sistem akan menghitung SINR, throughput, spectral efficiency, dan BER. Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis perbandingan nilai SINR dan throughput dari kedua sistem. Sehingga dapat diketahui sistem mana yang memiliki kinerja yang lebih baik. Pada penelitian ini, penilaian kinerja sistem ditentukan oleh nilai SINR, throughput, spectral efficiency, dan BER. B. Arsitektur Sistem Pada penelitian ini, hal pertama yang dilakukan adalah pembuatan model sistem LTE A dengan relay. Pada tahap ini dilakukan pembuatan arsitektur sistem yang terdiri dari 21 sel heksagonal, tujuh enb, dan empat relay pada setiap sel. Pada sistem ini, satu enb akan melayani tiga sel heksagonal, dengan ISD (inter site distance) 500 meter, dan enb tersebut diletakkan diantara tiga sel heksagonal yang dilayani. Pada masing masing sel terdapat empat relay yang diletakkan pada daerah tepi sel. Sehingga kita dapat menentukan jika tepi sel merupakan wilayah cakupan dari relay dan seluruh mobile station yang berada di tepi sel akan dilayani oleh relay. Arsitektur sistem yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Setelah pembangkitan sel, enb, dan relay, tahap selanjutnya adalah pembangkitan user. Pada setiap sel dibangkitkan 25 user secara acak dan terdistribusi uniform. Pembangkitan user hanya dilakukan pada sel yang berada ditengah dan sel yang berada didekat sel yang diamati merupakan sel penyebab interferensi. Kemudian dilakukan perhitungan daya yang diterima oleh setiap user untuk menetukan apakah enb atau relay yang akan melayani user tersebut. Gambar. 2. Arsitektur Sistem C. Koordinasi Interferensi Pada proses ini dilakukan beberapa tahap, tahap pertama adalah perhitungan jumlah PRB yang dialokasikan untuk setiap RN. Tahap kedua adalah perhitungan jumlah subframe yang digunakan oleh setiap user pada access link. Selanjutnya dilakukan tahap penjadwalan pemakaian PRB sesuai dengan hasil perhitungan jumlah alokasi PRB untuk setiap RN dan jumlah subframe yang dibutuhkan user. START Menghitung alokasi PRB setiap Menghitung subframe untuk setiap user Menghitung jumlah subframe yang dibutuhkan RN untuk melayani semua usernya Menempatkan user sesuai jumlah subframe yang dibutuhkan pada alokasi PRB RN yang melayani user tersebut END Gambar. 3. Blok Diagram Penjadwalan Keterangan gambar: = enb ISD =500m = RN 1 = RN 2 = RN 3 = RN 4

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-248 1) Perhitungan Alokasi PRB untuk Setiap RN Alokasi PRB digunakan untuk menentukan pembagian resource untuk masing masing relay, sehingga setiap RN pada satu sel menggunakan subcarrier yang berbeda dan tidak menginterferensi satu sama lain. Jumlah alokasi PRB untuk setiap RN didapatkan dengan persamaan [3]: seperti keadaan awal dimana semua relay berada pada keadaan firstly schedule dengan alokasi PRB dan kebutuhan subframe user yang berbeda dari TTI yang sebelumnya. (1) dimana m i menyatakan jumlah PRB pada RN ke i, u i menyatakan jumlah user pada RN ke i, u RN menyatakan jumlah user pada semua RN, dan Ma menyatakan jumlah PRB pada access link. 2) Perhitungan Subframe untuk User pada Access Link Perhitungan ini digunakan untuk proses penjadwalan atau penetapan masa aktif setiap relay. Selama relay tersebut masih memenuhi kebutuhan subframe semua user yang dilayani (firstly schedule) maka relay tersebut akan memberikan interferensi pada relay lain yang berada di sel tetangganya. Sedangkan saat semua kebutuhan subframe user yang dilayaninya sudah terpenuhi maka relay tersebut akan dimatikan dayanya sehingga tidak menginterferensi relay lain (yang masih aktif memenuhi kebutuhan subframe user nya) yang berada di sel tetangga (lastly schedule). Jumlah subframe yang dibutuhkan setiap user yang berada di access link didapatkan dengan persamaan [4]: (2) dimana m UE menyatakan subframe setiap user, S RF menyatakan jumlah subframe pada radio frame, TP PRB_UE menyatakan throughput per PRB yang dicapai user (bps), dan S a menyatakan jumlah subframe pada access link. 3) Proses Penjadwalan Salah satu contoh penjadwalan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Jika didapatkan alokasi PRB untuk RN 1 dan RN 2 sebanyak 13 PRB dan jumlah subframe yang dibutuhkan untuk proses komunikasi semua usernya sebanyak 35 subframe. Alokasi PRB untuk RN 3 sebanyak 14 PRB dan jumlah subframe yang dibutuhkan semua usernya sebanyak 27 subframe, alokasi PRB untuk RN 4 sebanyak 10 PRB dan jumlah subframe yang dibutuhkan semua user nya sebanyak 14 subframe, maka penjadwalan yang akan terjadi adalah seperti yang terlihat pada Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat bahwa saat relay telah memenuhi kebutuhan subframe semua user yang dilayaninya maka relay tersebut akan memasuki keadaan lastly schedule dan pada keadaan ini daya pancar relay akan dimatikan sehingga relay tersebut tidak akan menginterferensi relay yang berada di sel lain disekitarnya. Setelah semua relay telah memenuhi kebutuhan subframe usernya masing masing, maka keadaan penggunaan subframe pada TTI selanjutnya akan kembali Gambar. 4. Contoh Penjadwalan D. Perhitungan Performansi Evaluasi kinerja dari sistem ini ditentukan dengan nilai SINR, throughput, spectral efficiency, dan bit error rate (BER). Nilai SINR untuk user yang dilayani oleh enb didapatkan dari persamaan [2]:,,,, 1,, (3) Sedangkan SINR untuk user yang dilayani oleh relay didapatkan dari persamaan [2]:,,,,,, 1,, (4)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-249 dimana SINR merupakan Signal to Interference plus Noise Ratio, Pr enb,i menyatakan daya terima user i dari enb (Watt), Pr RN,i,j menyatakan daya terima user i dari relay j (Watt), I i menyatakan daya interferensi pada user i (Watt), dan N menyatakan thermal noise (Watt). Nilai throughput didapatkan dari SINR dengan persamaan : 1 (5) dimana T menyatakan throughput (bps), dan B menyatakan bandwidth user (Hz). Nilai spectral efficiency didapatkan dari persamaan : Secara umum dapat dilihat jika performa sistem LTE A dengan relay yang menggunakan skenario koordinasi interferensi lebih baik dalam hal SINR jika dibandingkan dengan sistem LTE advanced dengan relay yang tidak Pada saat SINR bernilai -7 db (nilai threshold jika menggunakan modulasi 64 QAM dengan code rate 9/10, digambarkan dengan garis hijau pada Gambar 5) sistem yang menggunakan skenario koordinasi interferensi memiliki probabilitas sebesar 0.0064 sedangkan sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi memiliki probabilitas sebesar 0.0304. (6) dimana S menyatakan spectral efficiency (bps/hz). Nilai BER didapatkan dari persamaan [5]: (7) dimana Pe menyatakan probabilitas eror, M menyatakan M ary QAM. IV. ANALISIS HASIL SIMULASI Pada bagian ini akan dibahas tentang analisis hasil simulasi sistem LTE A dengan relay tanpa menggunakan skenario koordinasi interferensi dan sistem LTE A dengan relay Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui nilai SINR, throughput, spectral efficiency, dan BER dari masing masing sistem komunikasi dan kemudian akan membandingkan keduanya. Analisis nilai SINR, throughput, dan spectral efficiency dilakukan dengan bantuan grafik CDF (Cumulative Distribution Function) dari masing masing parameter performansi tersebut. Bentuk ekspresi matematis dari CDF adalah : dimana X merupakan variabel acak yang diamati (SINR, throughput, dan spectral efficiency). Sedangkan analisis nilai BER dilakukan dengan bantuan grafik CCDF (Complementary Cumulative Distribution Function). Bentuk ekspresi matematis dari CDF adalah : A. Analisis Perbandingan Nilai Signal to Interference plus Noise Ratio (SINR) Dari hasil simulasi sistem LTE A dengan relay, didapatkan dua grafik SINR dalam Gambar 5, dimana grafik menjelaskan SINR dari sistem yang menggunakan skenario koordinasi interferensi dan sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi. Gambar. 5. Grafik SINR Downlink Pada sistem yang menggunakan skenario koordinasi interferensi, nilai tersebut menunjukkan bahwa pada saat user memiliki SINR kurang dari -7 db, maka kemungkinan user dengan SINR bernilai -7 db adalah 0.0064 atau lebih kecil jika dibandingkan dengan sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi. Selain itu, pada Gambar 5 juga terlihat bahwa 50% user pada sistem yang tidak menggunakan koordinasi interferensi memiliki nilai SINR sebesar 10 db dan setelah digunakan skenario koordinasi interferensi nilai SINR mengalami pertambahan hingga mencapai 30 db. Dari data tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai SINR sebesar 20 db pada sistem LTE A dengan relay yang disimulasikan pada penelitian ini. B. Analisis Perbandingan Nilai Throughput Nilai throughput yang terdapat pada Gambar 6 merupakan nilai indikator throughput yang didapat dari persamaan Shannon. Pada simulasi penelitian ini didapatkan dua grafik throughput yang menunjukkan tentang perbandingan throughput setiap user pada sistem yang menggunakan skenario koordinasi interferensi dengan sistem yang tidak Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa secara umum nilai throughput user pada sistem LTE A dengan relay yang menggunakan skenario koordinasi interferensi lebih baik jika dibandingkan dengan sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi.

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-250 Gambar. 6. Throughput Sistem Pada grafik throughput sistem terlihat bahwa 50% user pada sistem yang menggunakan skenario koordinasi interferensi memiliki nilai throughput diatas 1900 Kbps, sedangkan pada sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi hanya 750 Kbps. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem LTE A dengan relay yang menggunakan skenario koordinasi interferensi memiliki kualitas throughput yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem LTE A dengan relay yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi. C. Analisis Perbandingan Nilai Spectral Efficiency Nilai spectral efficiency yang ada pada Gambar 7 merupakan nilai spectral efficiency pada setiap user pada sistem LTE A dengan relay yang menggunakan skenario koordinasi interferensi maupun sistem yang tidak Dari Gambar 7 terlihat bahwa nilai spectral efficiency pada sistem yang menggunakan skenario koordinasi interferensi lebih baik jika dibandingkan dengan sistem yang tidak menggunakan koordinasi interferensi. Probabilitas user yang memiliki nilai spectral efficiency kurang dari 1 bps/hz (threshold spectral efficiency untuk komunikasi yang digambarkan dengan garis hijau pada Gambar 7) pada sistem LTE-A dengan relay yang tidak menggunakan koordinasi interferensi lebih besar jika dibandingkan dengan sistem LTE- A dengan relay yang menggunakan koordinasi interferensi. Pada sistem yang menggunakan skenario koordinasi interferensi, 50% user memiliki nilai spectral efficiency sebesar 9.8495 bps/hz, sedangkan pada sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi 50% user nya memiliki nilai spectral efficiency sebesar 3.6662 bps/hz. Dari data tersebut didapatkan bahwa sistem LTE A dengan relay yang menggunakan skenario koordinasi interferensi lebih efisien dalam penggunaan spektrum frekuensi jika dibandingkan dengan sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi. Gambar. 7. Spectral Efficiency Sistem D. Analisis Perbandingan Nilai Bit Error Rate (BER) Gambar. 8. Grafik CCDF Bit Error Rate Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada nilai BER 10-3, sistem LTE A dengan relay yang menggunakan skenario koordinasi interferensi memiliki CCDF sebesar 20,56%. Sedangkan sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi memiliki CCDF sebesar 72,96%. Terjadi penurunan CCDF sebesar 52,4%. Sehingga dapat dikatakan bahwa probabilitas terjadinya eror saat transmisi pada sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi lebih besar jika dibandingkan dengan sistem yang V. KESIMPULAN Setelah melakukan pemodelan sistem dan analisis data, didapatkan kesimpulan bahwa kualitas SINR dan throughput pada sistem LTE A dengan relay yang menggunakan skenario koordinasi interferensi lebih baik jika dibandingkan dengan sistem LTE A dengan relay yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi. Setelah penggunaan skenario koordinasi interferensi terjadi peningkatan nilai SINR sebesar 20 db pada 50% user dan throughput user mengalami

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-251 peningkatan sebesar 1150 Kbps jika dibandingkan dengan sistem yang tidak menggunakan skenario koordinasi interferensi. Selain itu, setelah penerapan skenario koordinasi interferensi spectral efficiency pada 50% user mengalami peningkatan dari sebesar 3.6662 bps/hz menjadi 9.8495 bps/hz. Dan probabilitas terjadinya eror saat transmisi setelah penerapan skenario koordinasi interferensi mengelami penurunan sebesar 52,4%. DAFTAR PUSTAKA [1]. Dahlman, E., Stevan Parkvall, dan Johan Skold. 2011. 4G LTE/LTE- Advanced for Mobile Broadband, Elseiver Ltd, USA. [2]. Ren, Z., Abdallah Bou Saleh, Ömer Bulakci, Simone Redana, Bernhard Raaf, Jyri Hämäläinen. 2012. Joint Interference Coordination and Relay Cell Expansion in LTE-Advanced Networks, IEEE Wireless Communications and Networking Conference: Mobile and Wireless Networks. [3]. Ren, Z., Abdallah Bou Saleh, Ömer Bulakci, Simone Redana, Bernhard Raaf, Jyri Hämäläinen. 2011. Resource Sharing in Relay Enhanced 4G Networks: Downlink Performance Evaluation, European Wireless, Vienna, Austria. [4]. Vitiello, Federica., Simone Redana, Jyri Hämäläinen. 2012. Backhaul Link Impact on the Admission Control in LTE-A Relay Deployment, Paper of Nokia Siemens Networks. [5]. Goldsmith, Andrea. 2005. Wireless Communication, Cambridge University Press, USA.