BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

HASIL DAN PEMBAHASAN

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity) karena reaksi

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

Respon imun adaptif : Respon humoral

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

PENGARUH VAKSINASI BCG TERHADAP RASIO IL-4/IFN-γ DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK RINITIS ALERGI

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung nikel digunakan seharihari

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

Gambar: Struktur Antibodi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

KONSEP DASAR IMUNOLOGI

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS. Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB V PEMBAHASAN. Dari hasil uji statistik diperlihatkan bahwa pemaparan asap rokok, tanpa

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. selain kelainan vaskular ( Junaidi, 2011). Terdapat dua macam stroke,

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANTIGEN, ANTIBODI, KOMPLEMEN. Eryati Darwin Fakultas Kedokteran Universitas andalas

BAB 3. METODA PENELITIAN. Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. Waktu penelitian : tahun

Transkripsi:

6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang ditandai oleh hidung gatal, hidung beringus, bersin-bersin dan hidung tersumbat. 1.,2,3 Awal terjadinya reaksi alergi tersebut sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan oleh sel makrofag dan atau sel dendritik 5,11 Sel-sel penyaji antigen (antigen presenting cell;apc) seperti sel dendrit, makrofag dan limfosit B yang berada di epitel saluran nafas berperan sebagai sel penyaji allergen yang menempel ke mukosa hidung. 11,17,18 Dalam sel APC tersebut, terbentuk fragmen peptide imunogenik pendek yang bergabung dengan MHC kelas II di permukaan sel APC dan dipresentasikan kepada sel T spesifik. Ikatan antara MHC kelas II di permukaan APC dengan reseptor di permukaan sel T akan meng aktivasi sel T sehingga mengeluarkan IL-4 yang akan mempengaruhi sel Th0 berdifferensiasi menjadi sel Th2. Sitokin sel Th2 terutama IL-4 memiliki efek langsung terhadap sel B untuk memproduksi IgE. 11 IL-13 dapat memacu sel B memproduksi Ig-E dalam keadaan kadar IL-4 rendah. 19 Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 membuat sel B akan memproduksi Ig E yang terus bertambah yang akan berada bebas dalam sirkulasi, berikatan dengan reseptornya di sel basofil yang kemudian keluar dari sirkulasi berada dalam jaringan

7 termasuk mukosa hidung. Dalam fase ini maka seseorang sudah dalam keadaan sensitif/tersensitisasi. 11 Paparan ulang alergen serupa pada mukosa yang sudah sensitif menyebabkan ikatan antara dua molekul Ig E pada permukaan sel mast dengan alergen memacu terjadinya degranulasi sel mast yaitu penglepasan granula yang mengandung mediator-mediator histamin, triptase, PGD2, LTS dan sitokin-sitokin. Mediator yang dilepas tersebut menyebabkan terjadinya reaksi alergi fase segera (RAFS) yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Efek yang terjadi mukosa hidung berupa vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan gejala buntu hidung dan hipersekresi. Sedangkan bersin disebabkan oleh rangsangan aferen saraf melalui reseptor nosiseptif yang dimulai dengan rasa gatal. Selain itu histamin yang dibebaskan mempunyai kemampuan merangsang akson refleks dan melepaskan neuropeptida (substansi P dan tachykinin) yang mempunyai potensi memacu degranulasi sel mast.reaksi alergi akan berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian 20 Tanda khas RAFL adalah terlihatnya akumulasi sel-sel inflamasi di jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konsisten bertambah banyak adalah eosinofil. 6 Disamping itu yang bertambah adalah limfosit, basofil, neutrofil monosit dan makrofag tetapi jumlahnya tidak konsisten. 6 Sepanjang RAFL terdapat beberapa fenomena penting 11 yaitu pertama; sitokin IL5 bersama IL3 mempengaruhi eosinofil menjadi aktif dan melepas berbagai protein yaitu Mayor Basic Protein (MBP) yang memiliki daya destruksi terhadap

8 epitel mukosa dan Eosinofil Cationic Protein (ECP) yang menstimulasi kelenjarkelenjar mukosa, submukosa, dan sel goblet sehingga terjadilah hipersekresi. Kedua; eosinofil teraktifkan berinteraksi dengan epitel mukosa hidung menghasilkan IL8, RANTES (regulated upon activation normal T cell expressed dan secreted) dan GM- CSF (Granulocyte macrophage colony stimulating factor). Ketiga; IL-3 bersama IL-4 akan mengaktivasi basofil melepas histamin, leukotrien dan sitokin-sitokin. Keempat; telah lama diketahui juga sel-sel monosit, limfosit yang berakumulasi akan melepas histamine releasing factor (HRFs) yang mampu memacu mastosit, juga basofil melepas histamin lebih banyak lagi 20 2.2. PERAN SITOKIN PADA RINITIS ALERGI Sejak ditemukan oleh Mosmann dkk (1986) sitokin mendapat perhatian para ahli. Sel TH (CD4) cenderung memproduksi 2 jenis sitokin yang berbeda. Sel Th1 menghasilkan IFN- dan IL-2. Sel Th2 menghasilkan IL-3, IL-4,IL-5,IL-10,IL-13. 21 Profil sitokin tergantung tipe antigen, dosis, tipe APC, lingkungan sitokin, sinyal kostimulator yang diterima sel T dan faktor genetik. 22 Sitokin Th1 menghambat produksi sitokin Th2 dan sebaliknya. Sekali sel T CD4 + secara penuh berdiferensiasi menjadi efektor Th1 dan Th2 maka profil sitokin menjadi tetap. 22,23 IFN- dianggap sebagai prototip sitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan prototip sitokin Th2 karena disamping berpengaruh penting pada sel-sel lain, kedua sitokin tersebut dapat meningkatkan diferensiasi sel Th0 menjadi efektor Th1 dan Th2. 21,22,23

9 2.2.1. INTERLEUKIN - 4 (IL-4) IL-4 adalah glikoprotein 18-20 kd terdiri dari 153 asam amino yang diproduksi oleh sel T, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transient, dapat dideteksi dalam 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam. 21 Efek IL-4 yang paling penting adalah perkembangan sel Th2 dan memerintahkan sel B untuk memproduksi Ig E dan Ig G 4,sedangkan pada endotel IL-4 meningkatkan ekspresi VCAM-1. 24 2.2.2. INTERLEUKIN -13 (IL-13) IL-13 adalah suatu sitokin dengan ukuran 12 kd yang dihasilkan oleh sel T yang teraktivasi. Gen pengkode terletak pada kromosom 5q3l, bersama dengan kelompok sitokin IL-4, IL-5. Reseptor IL-13 adalah heterodimer terdiri dari rantai IL-4R dan protein dengan berat 65-70 kd yang disebut IL-13R 1, dan memerlukan protein binding IL-13R 2. IL-13R diekspresikan pada sel makrofag, sel B, eosinofil, sel mast, sel endotel, fibroblast, epitel saluran nafas. 23 Efek biologik IL-13 memiliki sejumlah kemiripan dengan IL-4, oleh karena berbagi reseptor yang sama pada IL-4R. Kedua sitokin diketahui berperan pada kejadian alergi dengan mengatur isotype class switcing pada sel B untuk menghasilkan Ig E, menginduksi ekspresi MHC kelas II dan CD 23, menginduksi VCAM 1, eotaksin, mengaktivasi sel mast dan eosinofil. 23 2.2.3. INTERLEUKIN-5 (IL-5) IL-5 adalah sitokin dengan ukuran sekitar 20 kd yang diproduksi oleh sel T CD4+ dan sel mast yang teraktivasi. IL-5 berinteraksi dengan reseptor spesifik IL- 5Rs suatu heterodimer yang mengandung IL-5R dan rantai (CD 131) yang berbagi dengan GM-CSFR dan IL-3R. 23

10 Fungsi IL-5 yang paling penting adalah kemampuan untuk menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil dan aktivasi sel eosinofil matur. 22 IL-5 juga bersifat kemotaktik terhadap eosinofil, menyebabkan sekresi eosinofil dan meningkatkan antibody dependent cytotoxicity. Mekanisme lain menyebabkan akumulasi eosinofil pada kelainan alergi dengan kemampuannya meningkatkan respon kemokin dan d 2 integrin pada eosinofil, yang mengakibatkan pengikatan terhadap VCAM -1 yang diekspresikan sel endotel dan selanjutnya terjadi migrasi eosinofil melewati celah endotel (diapedesis). 23 2.2.4. INTERFERON GAMMA (IFN- ) IFN- adalah suatu glikoprotein dengan ukuran 21-24 kd merupakan aktifator bagi mononuklear fagosit dikenal mempunyai efek antivirus dan diproduksi oleh sel NK, sel Th1 yang teraktifasi dan sel T sitotoksik jika terdapat pemicu. 21,25 Sebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T dengan IL-12, sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh makrofag berupa TNF- dan IL-12 serta IFN- sendiri. Dalam respon primernya terhadap rangsang antigen aktifasi sel Th ditentukan oleh pengaruh lingkungan mikro sitokin yang ada. IFN- dan IL-12 terlibat dalam keputusan untuk menjadi fenotipe Th1 sedangkan IL-4 mengarah menjadi fenotipe Th2 26 2.2.5. INTERLEUKIN- 12 (IL-12) IL-12 strukturnya suatu kovalen dimer dari peptida 35 dan 40 kd merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel dendrit, neutrofil dan makrofag yang dipicu secara langsung oleh lipopolisakarida atau produk mikroorganisme patogen.. Sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral imunitas seluler yang mengaktifkan

11 sel NK, merupakan mediator esensial utama untuk diferensiasi sel Th0 ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN- oleh sel Th1 dan sel NK. 22,23,26 Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam makrofag dan monosit oleh sekresi IFNsehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu jalur feed back positif. Gangguan kerja IL-12 mengakibatkan tidak ada respon Th1 yang persisten, sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4, IL-10 yang merupakan produk sel Th2. 22,23,26 Sel Th0 yang sudah mengalami differensiasi penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin yang relatif tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Sementara itu sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya dapat dirubah sesuai lingkungan mikrositokin yang ada, dengan demikian sel memori Th2 dapat menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL-12 yang merupakan pemicu IFN- yang poten. Suatu penemuan yang menunjukkan bahwa profil sitokin dari populasi sel memori relatif fleksibel dan dapat dirubah merupakan konsep penting dan mempunyai arti yang bermakna untuk pengobatan penyakit alergi. 22,23,26 2.3. IMUNOTERAPI SPESIFIK Imunoterapi spesifik (ITS) adalah pemberian penyuntikan alergen spesifik kepada subjek alergi dengan dosis meningkat bertahap dan interval waktu penyuntikan bertahap dengan tujuan menghilangkan gejala yang selalu timbul apabila berkontak dengan alergen spesifik tertentu. 27 ITS pertama kali dilaporkan oleh Curtis (1900) yaitu dengan penyuntikan ekstrak tepung sari rumput untuk mengurangi gejala RA pada musim tepung sari

12 yang berhasil baik. 12,27 Selama 80 tahun ITS digunakan untuk mengobati penderita penyakit alergi yang disebabkan alergen hirup dan gigitan serangga. 12,14,27 Oleh Freeman (1914) dilaporkan bahwa perbaikan gejala klinis RA masih bermakna sampai 1 th setelah ITS dihentikan. Keberhasilan ITS sangat dipengaruhi oleh lama dan dosis total alergen yang diberikan dan kurang dipengaruhi oleh banyaknya jenis alergen yang disuntikkan. 27. Keberhasilan imunoterapi spesifik tidak selalu terjadi. Dilaporkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan ITS, yaitu: dosis alergen yang tidak adekuat terdapat alergen yang tidak diketahui pada saat tes alergi kontrol lingkungan yang tidak adekuat significant exposure to non-allergic triggers (contoh: asap rokok). 28 Cara pemberian ITS subkutan merupakan cara yang lazim dibandingkan cara yang lain seperti ITS sublingual. ITS suntikan ada beberapa cara yaitu cara lambat (klasik), cara cepat (rush), cara cluster (mirip rush) dan modifikasinya. 29 Jadwal penyuntikan terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial (eskalasi) dimana dosis vaksin alergen diberikan secara bertahap sampai mencapai dosis maksimal dengan interval waktu dua kali seminggu, dan fase pemeliharaan yaitu dosis maksimal dilanjutkan sampai jangka waktu 6 bulan sekali sampai kurang lebih tiga tahun. 27 Selain dengan pemberian dosis yang meningkat secara bertahap, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping sistemik maka ITS tidak dianjurkan pada penderita yang mempunyai resiko tinggi seperti umur lebih dari 50 tahun, fungsi paru kurang dari 70% dan riwayat asma berat. 11 Selain itu terdapat

13 kontraindikasi untuk imunoterapi yaitu menderita penyakit kardiovaskular seperti gagal jantung, angina pektoris, infark miokard akut; gagal ginjal serta penyakit paru kronik. 11,14,29 Pasien yang mendapat terapi beta blocker juga tidak diperkenankan mendapat imunoterapi karena efek paradoksalnya terhadap epinefrin dapat meningkatkan refleks vagal, meningkatkan bronkokonstriksi, meningkatkan pelepasan mediator serta menyebabkan AV Blok dan bradikardi. 11,14,29 Saat ITS diberikan, pasien diharuskan datang secara berkala untuk dimonitor dan mendapatkan suntikan. Pengobatan simtomatis boleh diberikan jika gejala klinis masih mengganggu penderita. Jika sudah tercapai perbaikan klinis maka menurut kesepakatan para ahli alergi, ITS harus dilanjutkan dengan dosis terapi selama 3-5 th untuk mendapatkan efek yang bertahan lama. 14,30 Efek imunologis ITS terlihat dengan ditemukannya peningkatan Ig G bloking antibodi, penurunan Ig E, berkurangnya sel eosinofil mukosa dan berkurangnya penglepasan mediator. 27,31,32 Pada ITS dapat terjadi penurunan produksi IL-4 dan IL-5 oleh sel Th2 juga terjadi pergeseran ke arah produksi IFN-. 14 Pada dosis eskalasi ITS terjadi kenaikan rasio IL-4/IFN- yang kemudian turun setelah mendapat dosis terapi. 11,16. Imunoterapi spesifik selain merubah respon sel T pembuluh darah tepi, juga mengakibatkan hal yang sama di mukosa hidung. Peningkatan ekspresi IL-12 mrna, IFN- -10 mrna, peningkatan konsentrasi IFNpenurunan konsentrasi IL-5 di mukosa hidung terjadi setelah pemberian ITS. 33. Diduga pengaturan keseimbangan respon sel T mukosa hidung memainkan peranan penting dalam keberhasilan imunoterapi spesifik. 34

14 2.4. SKEMA MEKANISME IMUNOTERAPI PADA RA Alergen ITS APC APC Sel Tho Sel Tho Sel Th2 ( - ) Sel Th1 IL4 IL 5, IL 13 ( - ) IFN Sel B VCAM 1 Sel B Alergen kontak kedua IgE Ig G Blocking AB degranulasi Sel mast basofil Eosinofil mukosa degranulasi Degranulasi mastosit Histamin Prostaglandin Leukotrien PAF Rx. cepat Gejala dan tanda klinik RA Rx. lambat MBP ECP EDN EPO Histamin Gejala klinis Frek. Serangan Memicu Menghambat

15 2.5. Kerangka teori ITS RA IL- 4 (Th2) IFN - (Th1) Faktor Pengganggu - alergi lain - lama sakit - beratnya serangan - usia - sosial ekonomi - genetik - T regulator Gejala klinis 2.6. Kerangka konsep ITS RA IL- 4 IFN - Faktor Pengganggu - alergi lain - lama sakit - beratnya serangan - usia - genetik Gejala klinis

16 2.7. HIPOTESIS Berdasarkan latar belakang permasalahan, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: 1. Pemberian imunoterapi dosis eskalasi menurunkan rasio IL-4/IFN- pada penderita Rinitis Alergi. 2. Penurunan rasio IL-4/IFNdengan perbaikan gejala klinik pada penderita Rinitis Alergi.