Kaji Ulang Pertahanan Negara -Andi Widjajanto * -



dokumen-dokumen yang mirip
Naskah Akademik Struktur Organisasi TNI Masa Depan Tim Penyusun:

GELAR PERTAHANAN INDONESIA. Andi Widjajanto FISIP-UI

2 Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Neg

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN

Lingkungan Strategis XXI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

dalam membangun kekuatan pertahanan mengedepankan konsep pertahanan berbasis kemampuan anggaran (capability-based defence) dengan tetap

KEBIJAKAN PENGINTEGRASIAN KOMPONEN PERTAHANAN NEGARA

KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP Kesimpulan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2010 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2010 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEAMANAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA

2016, No Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439); 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementeria

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

MENILIK URGENSI PEMBENTUKAN BADAN SIBER NASIONAL: TINJAUAN DARI SATU SUDUT PERSPEKTIF AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEAMANAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP. 1. Konsep keamanan nasional dalam RUU Keamanan Nasional pada. dasarnya telah menerapkan konsep keamanan non tradisional.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menteri Pertahanan. Komunikasi dan Elektronika. Negara.

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM OPERASIONAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

WAWASAN MASA DEPAN TENTANG SISTEM PERTAHANAN KEAMANAN NEGARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN SISTEM INFORMASI PERTAHANAN NEGARA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERTAHANAN. Teknologi. Industri. Pengguna. Pembinaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTRIAN PERTAHANAN. Pokok. Pokok. Materiil. Pembinaan. Pemeliharaan. Pencabutan.

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BAB XI PEMBANGUNAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010

MARKAS BESAR TENTARA NASIONAL INDONESIA Tim Teknis PWP dalam KLH

OEPARTEMEN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA BUKU PUTIH PERTAHANAN INDONESIA

Bab 4 Doktrin Pertahanan

2016, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang P

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tamb

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MI STRATEGI

ETIKA PERANG. Oleh Dewi Triwahyuni

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PUSANEV_BPHN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA KEMENKUMHAM RI BABINKUMNAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Amanat Presiden RI pada Peringatan HUT TNI Ke-64, Senin, 05 Oktober 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DOKTRIN TNI ANGKATAN DARAT KARTIKA EKA PAKSI BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar belakang.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2014 TENTANG

Bab II Perawatan Kendaraan Tempur di Lingkungan TNI AD

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERINGATAN DINI DAN PENANGANAN DARURAT BENCANA TSUNAMI ACEH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

ACUAN KONSTITUSIONAL SISTEM PERTAHANAN NEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV PENUTUP. Strategi keamanan..., Fitria Purnihastuti, FISIP UI, 2008

2 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara

No. 1411, 2014 BNPB. Logistik. Peralatan. Penanggulangan Bencana. Manajemen. Pedoman.

TATA KELOLA KEAMANAN LAUT INDONESIA DALAM MENDUKUNG PROGRAM PENGEMBANGAN POROS MARITIM DUNIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN WILAYAH PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1.1 Latar belakang masalah

BAB I PENGANTAR. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi

2011, No Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 t

Sambutan Presiden RI pd Farewell Presiden dg Perwira dan Prajurit TNI,di Magelang, tgl. 17 Okt 2014 Jumat, 17 Oktober 2014

STRATEGI MODERNISASI MILITER INDONESIA DALAM PENYEIMBANGAN KEKUATAN MILITER DENGAN NEGARA-NEGARA DI ASIA TENGGARA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut.

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA PUSANEV_BPHN. ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si

Transkripsi:

1 Kaji Ulang Pertahanan Negara -Andi Widjajanto * - Tulisan ini bertujuan untuk menawarkan suatu model kaji ulang pertahanan negara yang diperlukan untuk membangun suatu angkatan bersenjata yang profesional, tangguh, serta mampu menggelar operasioperasi militer yang mengoptimalkan perkembangan terkini teknologi pertahanan berdasarkan strategi pertahanan yang telah dirumuskan. Model kaji ulang pertahanan yang ditawarkan di tulisan ini terdiri dari empat kelompok kajian, yaitu normatif, substantif, struktural, serta operasional. I Kelompok pertama adalah kaji ulang pertahanan normatif. Kaji ulang normatif ini dilakukan untuk membentuk TNI profesional yang lepas sepenuhnya dari karakter tentara politik dan tentara niaga. Untuk itu, Menteri Pertahanan perlu segera merumuskan kerangka kerja yang akan menopang perwujudan empat variasi kontrol sipil: normatif, substantif, efektif, serta obyektif. Variasi pertama adalah kontrol sipil normatif. Gagasan kontrol sipil normatif mengharuskan pemerintah untuk membentuk suatu cetak biru regulasi-regulasi politik di bidang pertahanan negara. Cetak biru tersebut dibentuk agar ada kerangka legal-formal yang lengkap yang mengatur (a) tataran kewenangan di bidang pertahanan negara; (b) jenis-jenis kebijakan dan strategi pertahanan negara; (c) organisasi pertahanan negara; (d) mekanisme pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI; (e) prinsip pengelolaan dan penggunaan sumber daya pertahanan; serta (f) keprajuritan. Aturan perundang-undangan yang harus diprioritaskan adalah (1) RUU tentang Perubahan UU No.31/1997 tentang Peradilan Militer; (2) RUU Tugas Perbantuan; (3) RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara; (4) RUU Penetapan dan Penanggulangan Keadaan Bahaya; (5) RUU Bela Negara; (6) RUU Mobilisasi dan Demobilisasi; (7) RUU Hukum Pidana Militer; (8) RUU Sumber Daya Pertahanan Negara; dan (9) RUU Tata Ruang Wilayah Pertahanan Negara. Variasi kedua adalah kontrol sipil substantif yang dapat diimplementasikan dengan menetapkan rangkaian kebijakan pertahanan negara sesuai dengan mandat Pasal 16 UU 3/2002. Perumusan seluruh rangkaian kebijakan pertahanan negara ini telah dimulai oleh Departemen Pertahanan dengan melakukan proses Kaji Ulang Pertahanan Negara (Strategic Defense Review). Kaji Ulang Pertahanan ini menjadi dasar perumusan Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Kebijakan Umum * Andi Widjajanto, Staf Pengajar FISIP Universitas Indonesia untuk mata kuliah Pengkajian Strategi serta Perang dan Damai. Gelar MSc diraih dari London School of Economics and Political Science, University of London (1998) di bidang Teori dan Sejarah Hubungan Internasional; gelar MS dari National Defense University, Washington D.C., Amerika Serikat (2003).

2 Pertahanan Negara ini akan berfungsi sebagai Strategi Raya (Grand Strategy) Pertahanan Indonesia. Untuk merumuskan Strategi Raya Pertahanan Indonesia, pemerintah perlu segera membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN). Pembentukan DPN merupakan mandat pasal 15 UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Struktur dan anggota DPN sudah ditentukan oleh UU 3/2002 dan DPN diarahkan untuk memiliki fungsi terbatas pada pemberian nasehat kepada Presiden tentang perumusan Kebijakan Umum Pertahanan Negara serta tentang pengerahan kekuatan TNI. Variasi ketiga adalah kontrol sipil efektif. Pelaksanaan kontrol sipil efektif ini akan sepenuhnya tergantung dari kapasitas pemerintah dan DPR untuk mengawasi penggunaan anggaran pertahanan. PR pemerintahan SBY untuk menegakkan kontrol sipil efektif ini adalah (1) menyusun mekanisme penganggaran baru sesuai dengan prinsip APBN Kinerja terutama untuk menjamin bahwa seluruh kebutuhan TNI dapat dipenuhi seluruhnya oleh APBN; (2) bersama DPR, menetapkan mekanisme pertanggung-jawaban pengelolaan anggaran pertahanan dalam rangka penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi; serta (3) sesuai mandat UU TNI, menyusun alternatif-alternatif model pengambil-alihan aktivitas bisnis militer oleh negara. Variasi terakhir adalah kontrol sipil obyektif. Gagasan kontrol sipil obyektif pada dasarnya menempatkan TNI sebagai evaluator diri (selfevaluator) bagi terbentuknya TNI yang profesional. Untuk menegakkan kontrol sipil obyektif, Departemen Pertahanan diharapkan dapat meminta Mabes TNI untuk menyusun kerangka program militerisasi militer yang terdiri atas (1) pembentukan gugus tugas serta penetapan kerangka waktu redefinisi Doktrin TNI serta tiga Doktrin Angkatan; (2) penyusunan rancangan kode etik militer; (3) penetapan kerangka waktu proses revisi kurikulum pendidikan militer; serta (4) rancangan penataan ulang gelar kekuatan TNI. II Kaji ulang substantif merupakan tahap kedua proses transformasi pertahanan yang dilakukan untuk menilai relevansi strategi pertahanan nasional dengan dinamika lingkungan strategis suatu negara. Kajian Strategis Pertahanan menganalisa perkembangan lingkungan politik dan keamanan regional dan global, serta tuntutan untuk pengembangan kemampuan utama pertahanan untuk mengatasinya. Hasil yang diharapkan muncul di tahap ini adalah Strategi Raya Pertahanan Nasional (Grand Strategy). Strategi pertahanan negara yang harus dikembangkan pada dasarnya terdiri dari tiga tipe strategi. Ketiga tipe strategi ini dibentuk berdasarkan tujuan pengembangan kekuatan militer, yaitu defensif, penangkalan (deterrent), dan penindakan (compellent). Strategi defensif merupakan bentuk gelar kekuatan pertahanan untuk menahan serangan militer serta mengurangi tingkat kerusakan yang terjadi saat serangan militer dilakukan. Operasi militer yang dilakukan beradarkan

3 strategi defensif ini dapat berupa operasi serangan balasan (second strike) atau strategi ofensif (first strike). Operasi serangan balasan dilakukan terutama untuk memukul mundur pasukan lawan yang telah melancarkan agresi militer ke wilayah negara. Operasi ofensif digelar dalam bentuk serangan preemptif atau serangan preventif. Serangan preemptif dilakukan saat suatu negara mendapatkan informasi intelijen strategis tentang adanya kemampuan dan intensi nyata dari negara lain untuk segera melakukan agresi militer. Serangan preventif dilakukan saat negara A melakukan serangan ofensif ke negara B untuk mencegah kemungkinan timbulnya pergeseran perimbangan kekuatan militer yang lebih menguntungkan negara B. Strategi penangkalan merupakan pergelaran kekuatan militer untuk mencegah lawan melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Strategi penangkalan dilakukan dengan cara memberikan ancaman militer nyata yang didukung oleh kemampuan militer yang signifikan melakukan ancaman tersebut. Dengan demikian, strategi penangkalan merupakan pergelaran kekuatan militer masa damai yang tingkat keberhasilannya akan sangat tergantung dari dua faktor: (1) perimbangan kekuatan (balance of power) kuantitatif antar dua negara yang berhadap-hadapan; serta (2) kualitas perimbangan kekuatan yang dilihat apakah teknologi militer yang digelar lebih bersifat ofensif atau defensif. Strategi penindakan pertama kali diperkenalkan oleh Thomas C. Schelling (1966) dalam Arms and Influence yang mendefinisikan penindakan sebagai the deployment of military force so as to be able either to stop adversaries from doing something that they have already undertaken or to get them to do something that they have not yet undertaken. Jika keberhasilan strategi penangkalan ditentukan oleh tidak digunakannya kekuatan militer yang digelar (passive use of force), maka keberhasilan strategi penindakan sangat ditentukan dengan penggunaan kekuatan militer untuk menghancurkan lawan (active use of force). Untuk melakukan ketiga strategi dasar tersebut, Departemen Pertahanan harus mengembangkan postur pertahanan yang dapat menjalankan empat fungsi dasar militer, yaitu fungsi tempur, fungsi dukungan tempur, fungsi dukungan fasilitas tempur, serta fungsi nontempur. Keempat fungsi ini dijabarkan lebih lanjut dalam doktrin-doktrin militer. Doktrin militer ini menghadirkan prinsip-prinsip dasar yang dijadikan panduan otoritatif untuk menggelar dan menggunakan kekuatan TNI. Doktrin militer tersebut dioperasionalkan minimal untuk empat jenis doktrin: doktrin operasi gabungan, doktrin angkatan darat, doktrin angkatan laut, serta doktrin angkatan udara. III Kelompok ketiga adalah kaji ulang pertahanan struktural. Kaji ulang struktural dilakukan setelah tugas-tugas militer selesai dirumuskan. Di tahap ini, departemen pertahanan melakukan kajian komprehensif untuk menilai apakah postur kekuatan pertahanan yang ada dapat sepenuhnya diandalkan untuk melakukan tugas-tugas militer.

4 Tugas-tugas militer yang akan dilaksanakan oleh angkatan bersenjata dapat dijabarkan berdasarkan model spektrum konflik. Model ini dibentuk dengan menetapkan suatu kurva linear yang dibentuk dari dua sumbu antara sunbu tingkat eskalasi konflik dengan sumbu peluang kejadian konflik. Tingkat eskalasi konflik berbanding terbalik dengan peluang kejadian konflik. Kemungkinan terjadinya konflik dengan tingkat eskalasi tinggi jauh lebih rendah dengan peluang merebaknya konflik dengan tingkat eskalasi rendah. Tingkat eskalasi konflik terdiri dari dari tiga kategori yang berkaitan dengan strategi militer yang harus digelar dan tingkat kehancuran yang menyertainya, Tiga kategori tersebut adalah gelar pasukan masa damai, strategi tanggapan krisis, dan perang. Kategori gelar pasukan masa damai, terdiri dari penempatan pasukan di pos-pos militer, latihan militer, pengintaian dan penginderaan, patroli perbatasan, serta strategi penangkalan. Kategori strategi tanggapan krisis terdiri dari tugas-tugas perbantuan dan operasi perdamaian. Kategori perang terdiri dari lima jenis perang, yaitu perang nuklir, perang yang melibatkan senjata biologi dan kimia, perang global konvensional, perang terbatas, serta strategi kontra terorisme dan kontra insurgensi. Rincian tiga kategori tersebut menunjukkan bahwa gelar pasukan masa damai cenderung disertai dengan tingkatan kehancuran rendah namun dengan peluang kejadian yang tinggi. Sementara, perang memiliki tingkat kehancuran tinggi dengan peluang kejadian rendah. Korelasi antara strategi militer, peluang kejadian, eskalasi konflik, serta tingkat kehancuran memberikan dua alternatif strategi pertahanan. Alternatif pertama adalah Departemen Pertahanan menggunakan skenario terburuk dan mengembangkan angkatan bersenjata untuk mengantisipasi tingkat eskalasi dengan tingkat kehancuran tertinggi. Jika alternatif ini yang digunakan, maka Departemen Pertahana akan mengembangkan kekuatan militer untuk menghadapi perang terutama yang akan melibatkan tingkat kehancuran massal seperti perang global konvensional maupun perang yang melibatkan senjata pemusnah massal. Alternatif ini akan mengarahkan Departemen Pertahanan untuk memberikan prioritas lebih rendah kepada tugas-tugas non militer seperti tugas perbantuan dan operasi perdamaian. Kapabilitas militer untuk melakukan tugas-tugas non militer dan/atau melakukan gelar pasukan masa damai dipandang sebagai efek samping (byproduct) dari penyiapan pasukan untuk mengantisipasi perang. Alternatif pertama ini hanya dapat dilakukan terutama jika negara dapat secara maksimal mengucurkan anggaran pertahanan untuk memenuhi seluruh kebutuhan pertahanan. Alternatif kedua adalah Departemen Pertahanan mengembangkan kapabilitas militer untuk mengantisipasi kemungkinan digelarnya angkatan bersenjata untuk tingkat eskalasi konflik rendah yang memiliki peluang kejadian tinggi. Alternatif ini mengharuskan Departemen Pertahanan untuk lebih memperhatikan kesiapan gelar kekuatan militer dengan frekuensi tinggi. Dengan demikian, sebagian besar pasukan akan digelar dalam tugastugas rutin masa damai dengan sistim rotasi yang memungkinkan satu

5 satuan tempur menjalankan tugas-tugas militer yang cenderung beragam. Alternatif kedua ini cenderung dilakukan oleh negara yang (1) memiliki keterbatasan anggaran pertahanan; (2) memiliki angkatan bersenjata yang menjalankan fungsi militer dan non-militer; serta (3) memiliki ancaman nyata berupa konflik-konflik berskala rendah yang terus-menerus terjadi. Berdasarkan model spektrum konflik, salah satu tujuan dari kaji ulang pertahanan struktural menilai apakah postur pertahanan yang ada dapat digelar untuk melakukan tugas-tugas militer, baik yang mengutamakan gelar operasi militer maupun kesiagaan strataegik. Seperti yang dijabarkan di Tabel 1, tugas-tugas militer dapat dibedakan dalam 27 tugas yang dapat dipadatkan dalam empat fungsi militer yaitu fungsi tempur, fungsi dukungan tempur, fungsi dukungan fasilitas tempur, dan fungsi non-tempur. Tabel 1. Tugas dan Fungi Militer Fungsi Militer Tugas Militer TEMPUR DUKUNGAN TEMPUR DUKUNGAN FASILITAS TEMPUR NON-TEMPUR 1. Offensive Combat 2. Air Defense 3. Missile Defense 4. Airborne Defense 5. Amphibious Defense 6. Antisubmarine Warfare 7. Unconventional Warfare 8. Counter Insurgency 9. Counter Terrorism 10. Coastal Security 11. Internal Security 12. Intelligence 13. Command and Control 14. Communications 15. Pcychological Operations 16. Electronic Warfare 17. Search and Rescue 18. Airlift 19. Sealift 20. Logistic 21. Civil and Legal Affairs 22. Metereological 23. Navigation 24. Humanitarian Assistance 25. Disaster Relief 26. Civic Work 27. Peace Support Operations Berdasarkan penetapan tugas dan fungsi militer tersebut, Departemen Pertahanan merancang pengembangan postur pertahanan nasional, akusisi persenjataan yang diperlukan, dan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Jika Departemen Pertahanan menetapkan bahwa gelar pasukan dan gelar operasi

6 militer jauh lebih diperlukan untuk menghadapi konflik-konflik internal dan transnasional, maka kebutuhan pertahanan minimal (mininal defense requirement) yang dibutuhkan adalah kesiagaan operasional angkatan bersenjata untuk melakukan fungsi tempur untuk tugas-tugas militer spesifik seperti kontra insurgensi, kontra terorisme, pengamanan pantai serta laut teritorial, serta keamanan internal. Fungsi tempur ini didukung oleh fungsifungsi lain yang relevan seperti dukungan komando, kendali, komunikasi dan intelijen (K3I), logistik, dan bantuan hukum. Jika anggaran pertahanan sangat terbatas, maka kebutuhan pertahanan minimal ini menjadi prioritas program arms maintanence. Jika kebutuhan pertahanan minimal tersebut sudah dapat dipenuhi, Departemen Pertahanan dapat mulai memikirkan untuk melakukan program military build-up dengan cara mengembangkan postur pertahanan untuk menjalankan tugas-tugas militer lainnya. Hasil dari kaji ulang pertahanan struktural ini adalah transformasi postur pertahanan (transformation of force structure). Pengembangan postur pertahanan baru dapat dilakukan jika ada (1) audit komprehensif tentang kapasitas militer yang ada saat ini; (2) proyeksi dan kriteria kapabilitas militer yang ingin dikembangkan; dan (3) kerangka revisi gelar kekuatan militer yang dapat mewadahi postur pertahanan baru. IV Kelompok keempat adalah kaji ulang pertahanan operasional. Tujuan utama dari kajian operasional ini adalah untuk menjamin bahwa ada sinkronisasi antara postur pertahanan yang dikembangkan, teknologi militer yang diadopsi, dengan kinerja pertempuran. Sinkronisasi tersebut didapat dengan menilai apakah satuan-satuan tempur yang dikembangkan dapat secara efektif digelar dalam berbagai operasi militer. Operas-operasi militer tersebut pada dasarnya terbagi dalam dua kategori, yaitu operasi militer perang serta operasi militer selain perang. Operasi militer perang merupakan bentuk operasionalisasi tugas-tugas militer yang masuk dalam kategori fungsi tempur, dukugan tempur, serta dukungan fasilitas tempur. Operasi militer selain perang merupakan muara dari pelaksanaan tugas-tugas militer yang menjadi bagian dari fungsi nontempur, seperti bantuan kemanusian, civic mission, serta operasi perdamaian. Hasil dari kaji ulang pertahanan operasional adalah transformasi operasi militer. Transformasi operasi militer ini akan ditentukan oleh dua faktor: (1) pengembangan metode bertempur baru; dan (2) kemampuan untuk mengadopsi perkembangan teknologi dan persenjataan ke dalam platform pertempuran. Kombinasi dari kedua faktor tersebut dikenal sebagai kinerja pertempuran (battlefield performance). Transformasi kinerja pertempuran diukur dari kapasitas angkatan bersenjata untuk melakukan: (a) gelar pasukan secara cepat di berbagai wilayah dan berbagai spektrum konflik; (b) manuver pertempuran secara berkesinambungan dengan dukungan tempur dan fasilitas tempur yang memadai; (c) operasi militer yang efektif; (d) adaptasi medan pertempuran secara lentur.

7 Kebutuhan untuk melakukan proses transformasi kinerja pertempuran tersebut akan membutuhan operasionalisasi konsep untuk mengembangkan kekuatan pertahanan baru (building tansformed forces). Kekuatan pertahanan baru ini harus dapat menjelma secara operasional dalam bentuk pengerahan dan dan penggunaan kekuatan pertahanan baru (employing transformed forces). Pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan baru terkait erat dengan dua pertimbangan strategik, yaitu kesiagaan operasional serta prinsip humaniter. Kesiagaan operasional dikembangkan agar kesiapan dan persiapan pasukan untuk mengantisipasi datangnya ancaman harus tinggi. Untuk itu, Departemen Pertahanan harus mempersiapkan strategi pertahanan yang memungkinkan (a) mobilitas pasukan yang tinggi yang memungkinkan pasukan dapat digelar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia dalam tempo yang singkat. Ini berarti harus ada integrasi sistim pendukung angkutan darat, udara, dan laut; (b) jalur logistik yang dapat mencakup seluruh wilayah kepulauan Indonesia; serta (c) Komunikasi, Komando, Kontrol dan Intelijen (K3I) harus terintegrasi dan mencakup seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Pertimbangan kedua adalah prinsip-prinsip humaniter. Prinsip ini terdiri dari enam komponen, yaitu: (1) penggunaan kekuatan bersenjata sebagai alternatif terakhir (last resort); (2) pilihan penggunaan kekuatan bersenjata dilakukan oleh otoritas sipil yang demokratis (authority); (3) penggunaan kekuatan bersenjata dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan pertahanan negara (causta iusta); (4) penggunaan kekuatan bersenjata ditujukan untuk memulihkan kembali kondisi damai (intetio recta); (5) implementasi prinsip diskriminasi dalam penggunaan kekuatan bersenjata (discriminate); dan (6) implementasi prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan bersenjata (proportionality). Untuk itu perlu dikembangkan organisasi yang memiliki code of conduct yang jelas yang di dalamnya mencakup antara lain prinsip command responsibility, rules of engagement, akuntabilitas hukum peradilan militer (military tribunal). V Tulisan ini telah menawarkan suatu model kaji ulang pertahanan negara yang terdiri dari empat kelompok kajian, yaitu kaji ulang normatif, substantif, struktural, dan operasional. Keempat kelompok kaji ulang harus dipandang sebagai suatu rangkaian proses yang berkesinambungan yang membutuhkan perencanaan yang sistematis serta konsistensi implementasi jangka panjang. Jika keseluruhan proses ini dapat dilakukan oleh Departemen Pertahanan, maka diharapkan dalam jangka waktu 25-30 tahun ke depan Indonesia akan memiliki angkatan bersenjata yang profesional, tangguh, dan menjelma sebagai kekuatan maritim yang tangguh di Asia Tenggara. -awidjajanto-