BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Dalam

TUGAS FARMAKOKINETIKA

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

FARMAKOKINETIKA. Oleh Isnaini

Nasib Obat dalam Tubuh (Farmakokinetika)

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA PERCOBAAN 1 SIMULASI INVITRO MODEL FARMAKOKINETIK PEMBERIAN INTRAVASKULAR (INTRAVENA) Disusun oleh : Kelompok 2

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

PENGANTAR FARMAKOLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

PENGARUH SEDUHAN TEH HIJAU ( Camellia sinensis ) TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI

II. KERJA BAHAN TOKSIK DALAM TUBUH ORGANISMS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisikokimia Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :

SISTEMATIKA STUDI FARMAKOKINETIK Y E N I F A R I D A S. F A R M., M. S C., A P T

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Keperawatan

Toksikokinetik racun

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt

Pengantar Farmakologi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI/TERAPI KEDOKTERAN I ABSORBSI DAN EKSKRESI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II PERCOBAAN II

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

PROFIL FARMAKOKINETIK TEOFILIN YANG DIBERIKAN SECARA BERSAMAAN DENGAN JUS JAMBU BIJI (Psidium Guajava L.) PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

Tujuan Instruksional:

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran kortikosteroid mulai dikenal sekitar tahun 1950, dan preparat

Tujuan Instruksional:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENGANTAR FARMAKOKINETIKA. meliputi ruang lingkup ilmu farmakokinetik dan dasar-dasar yang menunjang ilmu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

BAB I PENDAHULUAN. Deksametason merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid sintetik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai

BAB I PENDAHULUAN. kembali pada awal tahun 1920-an. Pada tahun 1995-an, metode kromatografi

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masih terdapat dalam produk ruahan (Siregar,2010).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FARMAKOKINETIKA. Farmakologi. Oleh: Isnaini

BAB I PENDAHULUAN. derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme. ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan

PENGARUH PEMBERIAN JUS PISANG AMBON (Musa paradisiaca L.) TERHADAP PROFIL FARMAKOKINETIK TEOFILIN PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI

Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS. goreng terbagi menjadi Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids)

Para-aminofenol Asetanilida Parasetamol Gambar 1.1 Para-aminofenol, Asetanilida dan Parasetamol (ChemDraw Ultra, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2/20/2012. Oleh: Joharman

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

PENGARUH PERASAN BUAH MANGGA TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menunjukkan hanya 5-10% saja yang dinyatakan positif. Masyrakat di negara

bioavailabilitasnya meningkat hingga mencapai F relsl = 63 ± 22 %

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING...

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

Interpolasi Polinom pada Farmakokinetik dengan Model Kompartemen Ganda

BAB I PENDAHULUAN. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

SKRIPSI. oleh : MARLIA NURITA K

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1

Prinsip-prinsip Farmakologi. Copyright 2002, 1998, Elsevier Science (USA). All rights reserved.

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa

LAPORAN FARMAKOLOGI KELOMPOK

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN YENI FARIDA M.SC., APT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deksametason 2.1.1 Rumus Bangun 2.1.2 Sifat Fisikokimia Gambar 1. Struktur kimia Deksametason Rumus molekul : C 22 H 29 FO 5 Berat molekul : 392,47 Nama kimia : 9-Fluoro-11β,17,21-trihidroksi-16αmetilpregna-1,4-diena-3,20-dion Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai praktis putih, tidak berbau, stabil diudara. Melebur pada suhu lebih kurang 250º disertai peruraian Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam aseton, dalam etanol, dalam dioksan dan dalam methanol; sukar larut dalam kloroform ; sangat sukar larut dalam eter (Ditjen POM, 1995).

Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamine (Anonim 1,2009). Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone (Katzung, 1998). Penggunaan deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi arthritis rheumatoid, systemik lupus erithematosus, rhinitis alergika, asma, leukemia, lymphoma, anemia hemolitik atau auto immune, selain itu deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma cushing. Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain ( Suherman, 2007). Kegunaan kortikosteroid pada gangguan fungsi adrenal merupakan suatu fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons inflamasi dan imun. Pada kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam mengontrol proses patologis, terapi dengan kortikosteroid dapat berbahaya, tetapi dipertimbangkan untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari suatu respons inflamasi jika digunakan dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk proses penyakit tersebut (Katzung, 2002). Deksametason adalah kortikosteroid kuat dengan khasiat immunosupresan dan antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi peradangan ( Samtani, 2005). Menurut Mutschler (1991), makna terapeutik kortikosteroid terletak pada kerja antiflogistiknya (antireumatik), antialergi, dan imunsupresiv, bila terapi substitusi pada insufiensi korteks adrenal diabaikan.

Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologik steroid ( Suherman, 2007). Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Setelah penyuntikan IV, sebagian besar dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar ( Suherman, 2007). Efek terapeutik glukokortikoid seperti deksametason yang paling penting adalah kemampuannya untuk mengurangi respons peradangan secara dramatis dan untuk menekan imunitas. Telah diketahui bahwa penurunan dan penghambatan limfosit dan makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan fosfolipase A 2 secara tidak langsung yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran (Mycek, 2001). Glukokortikoid memiliki efek antiinflamasi dan ketika pertama kali diperkenalkan dianggap sebagai jawaban terakhir untuk pengobatan artritis yang

beradang (Daniel dan Tino, 2002). Deksametason (dexamethasone) merupakan glukokortikoid sintetis yang memiliki efek antiinflamasi, antialergi, antirematik, dan antishock yang sangat kuat (Anonim 2, 2010). Menurut Suherman (2007), penggunaan klinik kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit tetap ada hanya gejalanya yang dihambat. Hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan disebut sering disebut life saving drugs, tetapi juga mungkin menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. 2.2 Nasib Obat Dalam Badan Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi sistemik, obat akan didistribusikan, sebagian mengalami pengikatan dengan protein plasma dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai ditempat kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh melalui organ-organ ekskresi, terutama ginjal. Seluruh proses yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses ini berjalan serentak (Zunilda,.dkk, 1995).

2.3 Farmakokinetika Farmakokinetika dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit farmakokinetika khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja, 2002). Profil keberadaan bahan obat dalam darah sebagai fungsi dari waktu menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil tersebut juga mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh. Oleh karena fenomena penyerapan zat aktif dari darah menuju jaringan dapat terjadi secara bolak-balik (reversible), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah (Aiache, 1993). Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskular yang lain bergantung pada bentuk sediaan, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi. Faktor-faktor seperti luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya mempengaruhi laju dan jumlah absorpsi obat (Shargel, 2005). Absorpsi merupakan suatu fenomena yang memungkinkan zat aktif melewati jalur pemberian obat menuju sistem peredaran darah, dan penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan membran. Tanpa mengabaikan masalah ketersediaan hayati, maka harus dibahas pentingnya bentuk sediaan, perlunya zat aktif berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus

membran dan pentingnya kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat (Aiache, 1993). Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat, dan mengalami metabolisme dihati menjadi bentuk inaktif (Anonim 2, 2010). Menurut Widodo (1993), ikatan protein plasma deksametason yaitu 70% (pada dosis yang lebih tinggi lebih kecil), terikat pada transcortin (afinitas tinggi, kapasitas kecil) dan pada albumin (afinitas rendah, kapasitas besar). Informasi tentang kecepatan dan tingkat absorpsi obat jarang mempunyai kepentingan klinis. Namun, absorpsi biasanya terjadi selama dua jam pertama setelah dosis obat dan bervariasi menurut asupan makanan, posisi tubuh dan aktivitas. Oleh karena itu tidak boleh mengambil darah sebelum absorpsi lengkap (kira-kira 2 jam setelah dosis oral) (Holford, 1998). Proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi (metabolisme dan ekskresi) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti kinetika orde pertama (first order), artinya kecepatan proses-proses tersebut sebanmding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi jumlah obat yang diabsorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan waktu makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses tersebut (Setiawati, 2005). Absorpsi obat adalah perpindahan obat dari tempat pemberian menuju ke daerah target aksinya. Untuk memasuki aliran sistemik (darah), obat harus dapat melintasi membran (barier) yang merupakan faktor terpenting bagi obat untuk mencapai tempat aksinya (misalnya otak, jantung, dan anggota badan yang lain).

Obat harus dapat melewati berbagai membran sel (misalnya sel usus halus, pembuluh darah, dan sel saraf ) (Shargel, 2005). Penyebaran zat aktif tergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisiko-kimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat. Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses penyerapan zat aktif, baik dalam jumlah yang diserap maupun laju penyerapannya (Aiache, 1993). Pada distribusinya khususnya melalui peredaran darah, obat yang telah melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke seluruh jaringan tubuh. Melalui kapiler dan cairan ekstrasel (yang mengelilingi jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya didalam sel (cairan intrasel), yaitu organ atau otot yang sakit. Tempat kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik karena obat hanya dapat melakukan aktivitasnya bila konsentrasi setempatnya cukup tinggi selama waktu yang cukup lama ( Tjay dan Rahardja, 2002). Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia serta keadaaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini merupakan fenomena dinamik yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat aktif (Aiache, 1993). Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung,

paru-paru, dan jaringan lainnnya). Di dalam lever terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang dihasilkan juga berkurang (Hinz, 2005). Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan dengan farmakokinetikanya. Efek obat terhadap tubuh dasarnya merupakan akibat interaksi obat dengan reseptornya, maka secara teoretis intensitas efek obat baik efek terapi maupun efek toksik tergantung dari kadar obat di tempat reseptor atau tempat kerjanya. Oleh karena kadar obat di tempat kerja belum dapat diukur, maka sebagai gantinya diambil kadar obat dalam plasma/serum yang umum dalam keseimbangan dengan kadarnya di tempat kerja (Setiawati, 2005). Pada umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek farmakologik pada titik tangkap jaringan bila bahan tersebut telah mencapai tempat tersebut dengan perantaraan darah. Peredaran darah bagaikan lempeng berputar dari perjalanan obat. Fenomena penyerapan sebagai tahap awal farmakokinetika, ditentukan oleh penembusan zat aktif ke dalam darah yang selanjutnya oleh darah dihantarkan menuju sasaran kerja farmakologik, mengalami perubahan hayati dan selanjutnya ditiadakan (Aiache, 1993). Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reactions (Reaksi Fase II). Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa

lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase II berupa konjugasi (glukoronidasi dan sulfatasi) yaitu penggabungan suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolit umumnya lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan (Hinz, 2005). Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau obat lain yang dimetabolisme oleh enzim yang sama yang dapat menyebabkan toleransi. Selain itu, inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi obat diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem enzim yang sama. Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama (Hinz, 2005). Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh, terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat di ekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh. Tapi adapula beberapa cara lain, yaitu melalui kulit bersama keringat, paru-paru melalui pernapasan, melalui hati dengan empedu (Tjay dan Rahardja, 2002). Untuk dapat menilai suatu obat secara klinis, menetapkan dosis dan skema penakarannya yang tepat, perlu adanya sejumlah keterangan farmakokinetki. Khususnya mengenai kadar obat di tempat tujuan kerja (target site) dan dalam darah, serta perubahan kadar ini dalam waktu tertentu. Pada umumnya besarnya

efek obat tergantung pada konsentrasinya di target site dan ini berhubungan erat dengan konsentrasi plasma (Waldon, 2008). Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half life eliminasi (waktu paruh = t 1/2 ) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuihnya. Kecepatan eliminasi obat dan plasma t 1/2 -nya tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat half life-nya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami boitransformasi atau yang diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya t 1/2 -nya panjang (Waldon, 2008). Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika Hal-hal yang penting dalam rangka penelitian farmakokinetika untuk parameterparameter tertentu adalah : a. Bioavailability (BA, Ketersediaan Hayati) Bioavailability dari suatu sediaan obat adalah persentase obat yang secara utuh mencapai sirkulasi umum untuk melakukan kerjanya. Selama proses absorpsi dapat terjadi kehilangan zat aktif akibat misalnya tidak dibebaskannya dari sediaan pemberiannya. Atau karena penguraian didalam usus atau dindingnya dan dalam hati selama peredaran pertama di system porta, sebelum tiba di peredaran umum. Karena firs pass effect (FPE) ini, maka BA obat menjadi rendah dari pada persentase yang sebenarnya di absorpsi (Tjay dan Rahardja, 2002).

b. Volume distribusi (Vd) Volume distribusi (Vd) menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Vd tidak perlu menunjukkan volume penyebaran obat yang sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi hanya volume imajinasi dimana tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang terdiri dari plasma atau serum, dan Vd menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan kadarnya dalam plasma atau serum (Setiawati, 2005). V d = jumlah obat didalam tubuh C Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan antara ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai distribusi lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan konsentrasi plasma dan membuat volume distribusi menjadi lebih kecil. Perubahan-perubahan dalam ikatan dengan jaringan ataupun dengan plasma dapat mengubah volume distribusi yang ditentukan dari pengukuran-pengukuran konsentrasi plasma (Holford, 1998). c. Tetapan laju eliminasi dan waktu paruh dalam plasma Waktu paruh dalam plasma adalah waktu dimana konsentrasi obat dalam darah (plasma) menurun hingga separuh nilai seharusnya. Pengukuran t½ memungkinkan perhitungan konstanta laju eliminasi dengan rumus : K el = 0,693 t½ Waktu paruh eliminasi sering digunakan sinonim dengan waktu paruh dalam

plasma. Waktu paruh merupakan besaran farmakkokinetika yang sangat penting. Waktu paruh memberi dasar untuk perhitungan dosis pada pemakaian ulang bahan obat, pada setiap terapi jangka panjang (Mutschler, 1991). d. Konsentrasi maksimum (C maks ) Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma. Konsentrasi plasma puncak memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi suatu respons terapetik. Selain itu konsentrasi plasma puncak juga memberi petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat (Shargel, 2005). e. Area Under Curve (AUC) Area Under Curve (AUC) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Tjay dan Rahardja, 2002). f. Waktu konsentrasi plasma puncak (t maks ) Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada t maks absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah t maks tercapai, tetapi pada laju

yang lebih lambat. Harga t maks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat (Shargel, 2005). g. Klirens Klirens suatu obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya jaringan tubuh atau organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume distribusi) dimana obat terlarut didalamnya (Shargel, 2005). 2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Kromatografi didefenisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam), yang lainnya bergerak (fase gerak). Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, sehingga zat tersebut terpisah dari zat terlarut lain, yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen (Depkes RI, 1995). Penggunaan kromatografi cair secara sukses terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi

operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007). Metode KCKT merupakan metode yang sangat populer untuk menetapkan kadar senyawa obat baik dalam beuntuk sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini disebabkan KCKT merupakan metode yang memberikan sensitifitas dan spesifitas yang tinggi (Rohman, 2007). Banyak senyawa yang dapat dianalisis dengan KCKT mulai dari senyawa ion anorganik sampai senyawa organik makromolekul. Untuk analisis dan pemisahan obat/bahan obat campuran rasemis optis aktif dikembangkan suatu fase pemisahan kiral (Chirale Trennphasen) yang mampu menentukan rasemis dan isomer aktif (Putra, 2007).