BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang. dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

BAB I. PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah. kesehatan utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas

I. PENDAHULUAN. vektor penyakit infeksi antar manusia dan hewan (WHO, 2014). Menurut CDC

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. dengue (DEN) dari kelompok Arbovirus B, yaitu termasuk arthtropod-borne virus

BAB I PENDAHULUAN. dan ditularkan oleh gigitan nyamuk Ae. aegypti ini menjadi penyakit tular virus

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

I. PENDAHULUAN. Salah satu penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebagai vektornya adalah Demam

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti dan Aedes

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, ditularkan

Skripsi ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: DIAH NIA HERASWATI J

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. beberapa negara-negara tropis, terutama Yogyakarta. Tingginya prevalensi DBD

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN.. HALAMAN PERNYATAAN. KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp.

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

Al Ulum Vol.54 No.4 Oktober 2012 halaman

BAB I PENDAHULUAN. yang sering ditemukan di daerah tropis dan. subtropics. Di Asia Tenggara, Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB I PENDAHULUAN. yaitu dengue shock syndrome (DSS). Kewaspadaan dini terhadap. tanda-tanda syok pada penderita demam berdarah dengue (DBD)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih me rupakan salah satu masalah

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. hampir di seluruh belahan dunia terutama negara tropik dan subtropik sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue. DBD merupakan penyakit dengan jumlah kasus yang tinggi di

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue dengan gambaran klinis demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan dari

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. serotype virus dengue adalah penyebab dari penyakit dengue. Penyakit ini

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sampai saat ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Haemorraghic Fever

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic

BAB l PENDAHULUAN. manusia. Nyamuk yang memiliki kemampuan menularkan penyakit ini

Promotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal 09-16

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit menular cukup tinggi dan prevalensinya meningkat karena

PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) bertujuan untuk mewujudkan

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di

1. PENDAHULUAN Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi di daerah tropis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes spp. betina yang membawa virus dengue yang termasuk dalam golongan Flavivirus. Di dunia telah ditemukan 5 serotipe virus dengue, yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization= WHO) mengatakan wabah DBD sekarang telah menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat global. Lebih dari 2,5 miliar penduduk dunia berisiko terkena penyakit demam berdarah, dengan mayoritas atau 70% populasi hidup di kawasan Asia Pasifik. Dibandingkan wilayah lain, negara-negara Asia Tenggara paling serius terkena dampak DBD, potensi penyebaran DBD di negara Asia Tenggara disebabkan banyak wisatawan keluar masuk dari satu negara ke negara lain (Depkes, 2007). Penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Menurut Kemenkes RI (2014), Indonesia menempati peringkat pertama dalam jumlah kasus DBD di Asia Tenggara dengan lebih dari 90.000 kasus pada tahun 2013. Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968 dan sejak saat itu penyakit ini menyebar luas di seluruh Indonesia. Selama 45 tahun terakhir, sejak tahun 1968 sampai 2013, DBD telah menyebar di 33 provinsi dan 436 kabupaten/ kota dari 1

497 kabupaten/ kota (88%). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk (Kemenkes RI, 2014). Peningkatan kasus DBD terjadi setiap tahun dan seringkali berulang di wilayah yang sama serta secara nasional berulang setiap 5 tahun (Suroso, 2004). Pada tahun 2013, DIY masuk dalam urutan ketiga, provinsi dengan IR DBD tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 95, 99 per 100.000 penduduk, di bawah Bali dan DKI Jakarta (Kemenkes RI, 2014). Menurut Dinkes DIY (2014), Incident Rate (IR) DBD di DIY sempat mengalami peningkatan tajam pada tahun 2010 (148,5/ 100.000 penduduk). Angka ini menurun drastis pada tahun 2011 (28,8/ 100.000 penduduk), tetapi pada tahun 2012 angka IR kembali meningkat 27,5/ 100.000. Tahun 2013, DIY kembali mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB), nilai IR DBD meningkat tajam menjadi 90,70/ 100.000 penduduk, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan IR nasional (18/ 100.000 penduduk). Tingkat kematian penyakit atau Case Fatality Rate (CFR) DBD pada tahun 2013 adalah 0,51%, angka ini belum sesuai dengan Renstra DIY (0,22%), namun masih lebih rendah dibandingkan CFR tingkat nasional (0,89%) (Dinkes DIY, 2014). Jumlah kasus DBD DIY pada tahun 2011 dilaporkan sebanyak 985 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 5 kasus. Tahun 2012 dilaporkan sebanyak 971 kasus dengan CFR sebesar 0,21. Adapun tahun 2013, dilaporkan sebanyak 3.298 kasus dengan kematian sebanyak 18 kasus. 2

Tabel 1. Distribusi IR dan CFR DIY tahun 2013 No Kabupaten/ Kota IR (per 100.000) CFR (%) 1. Yogyakarta 235,44 0,55 2. Bantul 116,95 0,75 3. Kulon Progo 34,97 0,00 4. Gunung Kidul 47,68 0,31 5. Sleman 63,76 0,29 Jumlah DIY 90,70 0,51 (Dinkes DIY, 2014) Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah kasus DBD paling banyak terdapat di Kota Yogyakarta dan paling sedikit ditemukan di Kabupaten Kulon Progo. Meskipun begitu, CFR DBD paling tinggi ditemukan di Kabupaten Bantul dan paling rendah di Kabupaten Kulon Progo. Tingginya prevalensi penyakit DBD tidak terlepas dari masih tingginya faktor resiko penularan di masyarakat seperti ABJ yang masih di bawah 95% yaitu sebesar 91,81 pada tahun 2012 (Dinkes DIY, 2014). Berdasar data Dinas Kesehatan Kota Yogya, tahun 2013 jumlah penderita DBD di Kota Yogyakarta mencapai 915 kasus, 5 orang diantaranya meninggal dunia. Dibandingkan tahun lalu, jumlah ini mengalami peningkatan (Pemkot Yogyakarta, 2013). Sampai akhir Desember 2014, Kecamatan Umbulharjo masih menjadi wilayah endemik DBD. Pada tahun 2013, jumlah kasusnya mencapai 195 kasus, 1 diantaranya meninggal, dengan IR sebesar 25,7, dengan kasus DBD tertinggi terdapat di Kelurahan Sorosutan dengan 67 penderita. Kelurahan Sorosutan terdiri atas 17 RW dengan nilai rata-rata ABJ sebesar 89,94% (Dinkes Kota Yogyakarta, 2013). Pada tahun 2014, jumlah kasus DBD di Sorosutan 3

menurun dengan hanya terdapat 17 kasus, sedangkan untuk tahun 2015, sampai dengan bulan April ini tercatat sebanyak 14 kasus DBD dengan nilai ABJ sebesar 92,31% (Puskesmas Umbulharjo, 2015). Di Kabupaten Kulon Progo, tahun 2012 terdapat 50 kasus DBD tanpa kematian dengan nilai IR sebesar 10,24 dan CFR 0%. Puskesmas yang paling banyak kasusnya adalah di wilayah puskesmas Sentolo 1 sebanyak 9 kasus. Sampai dengan tahun 2012 terdapat daerah endemis sebanyak 19 desa, daerah sporadis sebanyak 64 desa, daerah potensial atau bebas sebanyak 5 desa. Ada penurunan desa endemis dan kenaikan desa sporadis serta desa bebas dari tahun sebelumnya (Dinkes Kab.Kulon Progo, 2013). Pada tahun 2013, kasus DBD di Kabupaten Kulon Progo mengalami peningkatan yaitu 144 kasus dan 1 kasus kematian, dengan nilai IR sebesar 29,50 dan CFR sebesar 0,69%. Puskesmas Wates memiliki jumlah kasus penderita DBD paling tinggi yaitu 36 orang. Dari bulan Januari-Agustus 2014, jumlah kasus DBD di Kulon Progo mencapai 84 kasus dengan 2 kasus meninggal dunia dengan nilai ABJ sebesar 83%. Kecamatan Wates dan Pengasih masih merupakan daerah endemis DBD di Kabupaten Kulon Progo. Kecamatan Temon memiliki 3 kelurahan atau daerah potensial atau bebas (non endemis) DBD. Sejak tahun 2009-2013, Kelurahan Janten di wilayah Kecamatan Temon merupakan daerah potensial atau bebas DBD di Kabupaten Kulon Progo (Sie P2M Dinkes Kab.Kulon Progo, 2014). Usaha untuk menanggulangi DBD telah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan penyemprotan atau pengasapan menggunakan insektisida berbahan aktif 4

organofosfat (malation) untuk membasmi nyamuk Aedes spp. serta dengan serbuk abate yang berbahan aktif temefos untuk membunuh jentik atau larva nyamuk di tempat perkembangbiakannya. Apabila nyamuk vektor masih terus ada, meskipun sudah dilakukan pengasapan dan penyebaran bubuk insektisida, tentunya resiko penyebaran DBD masih tinggi dan semakin menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Ketidakberhasilan pengendalian terhadap vektor DBD dapat dilihat dari kemungkinan perkembangan sifat keresistenan atau resistensi pada populasi nyamuk Aedes spp. terhadap jenis insektisida yang dianjurkan (Untung, 2005). Di Indonesia, insektisida golongan organofosfat telah digunakan sejak tahun 1970-an, sedangkan di Kota Yogyakarta baru mulai digunakan pada tahun 1980-an. Tahun 2011-2014 di Kecamatan Umbulharjo khususnya Kelurahan Sorosutan, digunakan insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Cynoff. Insektisida organofosfat (malation) digunakan sebagai bahan aktif untuk fogging mulai tahun 2015 (Dinkes Kota Yogyakarta, 2015). Di Kulon Progo, organofosfat digunakan sejak tahun 1990-an, tetapi tahun 2001-2009 digunakan insektisida golongan piretroid sintetik. Malation digunakan kembali pada tahun 2010-2012, sedangkan untuk tahun 2013-2014 digunakan insektisida golongan piretroid dengan bahan aktif lamda-sihalotrin (Dinkes Kab.Kulon Progo, 2014). Insektisida kimia masih banyak digunakan di dunia, tak ketinggalan pula di Indonesia seperti pada sektor kesehatan dan pertanian. Peningkatan jumlah dan keragaman jenis serangga yang tidak peka dapat menunjukkan fenomena resistensi terhadap satu atau beberapa jenis insektisida. Pada setiap jenis 5

organisme termasuk serangga seperti Aedes spp. memiliki kemampuan untuk mengembangkan populasi yang resisten terhadap insektisida. Proses resistensi ini tidak terjadi dalam waktu singkat tetapi berlangsung selama beberapa generasi yang diakibatkan adanya paparan insektisida yang berlebihan dan terus-menerus (Untung, 2005). Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah peningkatan dan penyebaran penyakit DBD, tetapi usaha tersebut belum memperoleh hasil yang memuaskan. Kasus masih terjadi setiap tahunnya dan bahkan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian vektor penyakit DBD belum berhasil dengan baik (Wuryadi, 1992). Ada beberapa mekanisme resistensi serangga, salah satunya yaitu adanya peningkatan aktivitas enzim esterase non-spesifik. Isoenzim esterase non-spesifik telah banyak dipelajari dan dapat digunakan sebagai indikator perbedaan geografis dan pada beberapa spesies serangga berkaitan dengan mekanisme terjadinya resistensi terhadap suatu insektisida (Marvdashti, 1985). Penelitian menggunakan metode elektroforesis telah banyak digunakan guna mengetahui pola enzim esterase non-spesifik pada suatu serangga terutama nyamuk. Menurut Lee et al. (1992), tingkat resistensi suatu serangga terhadap insektisida berkaitan dengan intensitas atau ketebalan pita esterase non-spesifik yang diperoleh dengan elektroforesis. Hasil elektroforesis menunjukkan adanya pola pita elektroforetik yang berbeda-beda. Dengan adanya latar belakang seperti dikemukakan di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui profil isoenzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes 6

spp. sebagai vektor dengue yang berasal dari daerah endemis dan non endemis di DIY, dalam hubungannya dengan mekanisme dan tingkat resistensi nyamuk tersebut terhadap insektisida yang biasa digunakan untuk pengendaliannya. I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana status resistensi nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis (Kelurahan Sorosutan) dan non endemis DBD (Kelurahan Janten) terhadap insektisida organofosfat? 2. Bagaimana aktivitas enzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis dan non endemis DBD? 3. Bagaimana profil pita isoenzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis dan non endemis DBD? I.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status resistensi nyamuk Aedes spp. yang berasal dari daerah endemis dan non endemis DBD terhadap insektisida golongan organofosfat. 2. Tujuan khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 7

a. Mengetahui status resistensi nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis (Kelurahan Sorosutan) dan daerah non endemis DBD (Kelurahan Janten) terhadap insektisida organofosfat b. Mengetahui aktivitas enzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis dan non endemis DBD c. Mengetahui profil pita isoenzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis dan non endemis DBD I.4. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya adalah: 1. Status Entomologis Vektor Dengue di Kelurahan Sorosutan sebagai Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta (Damayanti, 2013). Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan adalah pada penelitian ini membahas tentang status entomologis dan infeksi transovarial virus dengue pada nyamuk Ae. aegypti, serta tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku responden. 2. Uji Resistensi Sipermetrin pada Ae. aegypti dari Daerah Endemis dan Non Endemis Deman Berdarah Dengue (Suryati, 2009). Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan adalah subyek pada penelitian ini adalah nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari daerah endemis DBD Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta dan non endemis DBD Dusun Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon, Progo, serta insektisida yang digunakan adalah sipermetrin. 8

3. Profil isoenzim esterase non-spesifik Ae. aegypti dari beberapa daerah endemis DBD di Yogyakarta dengan metode elektroforesis (Nahyani, 2006). Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan adalah subyek pada penelitian ini adalah nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari Terban, Pogung, Klitren dan Ngampilan. 4. Keanekaragaman genetik Ae. albopictus Skuse (Diptera: Culicidae), Vektor Dengue dan Responnya terhadap Malation dan Temefos (Mulyaningsih, 2004). Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan adalah subyek pada penelitian ini adalah nyamuk Ae. albopictus yang berasal dari Yogyakarta, Padang, Banjar, dan Papua. Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan subyek nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis DBD yaitu Kelurahan Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta serta daerah non endemis DBD yaitu Kelurahan Janten, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Metode yang digunakan yaitu uji resistensi terhadap insektisida organofosfat dengan metode hayati (bioassay) serta biokemis (microplate assay) dan untuk mengetahui profil isoenzim esterase non-spesifik dengan metode elektroforesis. I.5. Manfaat Penelitian 1. Dinas Kesehatan a. Sebagai bahan masukan yang dapat dipergunakan untuk pengusulan perencanaan dan evaluasi program pengendalian vektor DBD di Kelurahan 9

Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta dan Kelurahan Janten, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. b. Pemantauan dan perencanaan penanggulangan DBD di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2015, khususnya seleksi dalam penggunaan insektisida golongan organofosfat. 2. Bagi peneliti, merupakan tambahan wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang berarti terutama dalam bidang Entomologi. 10