IKHTISAR EKSEKUTIF. Untuk mewujudkan kinerja yang diharapkan, sasaran yang ingin dicapai pada tahun 2011 sebagai berikut :

dokumen-dokumen yang mirip
KATA PENGANTAR. Pekanbaru, Mei 2009 KEPALA BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI RIAU. Drs. H. SYAHRIL HERYANTO Pembina Utama Muda NIP.

IKHTISAR EKSEKUTIF. Untuk mewujudkan kinerja yang diharapkan, sasaran yang ingin dicapai pada tahun 2014 sebagai berikut :

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Plan), Rencana Kinerja (Performace Plan) serta Laporan Pertanggungjawaban

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi

KATA PENGANTAR. Bontang, Desember 2015 Kepala, Ir. Hj. Yuli Hartati, MM NIP LAKIP 2015, Kantor Ketahanan Pangan Kota Bontang

BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI RIAU TAHUN 2013 JL. Kuantan Raya No. 27 Pekanbaru Telp/Fax. (0761)20820

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2015

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGIS DAN KEBIJAKAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Muara Beliti, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Musi Rawas,

BAB II BADAN KETAHANAN PANGAN MEDAN. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara yang awal mulanya

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BADAN KETAHANAN PANGAN KABUPATEN MUSI RAWAS

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KATA PENGNTAR RKT INSPEKTORAT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 101 TAHUN 2016 T E N T A N G

LKj IP Pemerintah Kabupaten Cilacap Tahun 2015 KATA PENGANTAR

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Ateh (2016) dalam artikelnya mengungkapkan, pernah menyampaikan bahwa ada yang salah dengan sistem perencanaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

KATA PENGANTAR. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua. Samarinda, April 2016 Kepala, Ir. Fuad Asaddin, M.Si. Nip

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

5. LAPORAN KINERJA TAHUN 2014 (RINGKASAN)

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

REVITALISASI PERTANIAN

BUPATI BARITO UTARA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret 2014 Bupati Bogor, RACHMAT YASIN

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2017

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

RENCANA KERJA BAGIAN ADM. PEMERINTAHAN SETDAKAB. JOMBANG. Tahun 2015 B A G I A N A D M I N I S T R A S I P E M E R I N T A H A N

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2010 NOMOR 5 SERI E

LAPORAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG TAHUN 2014

PEMERINTAH KOTA BANDUNG DINAS KOPERASI UKM DAN PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

Pasal 3 (1) Susunan Organisasi Dinas Pangan dan Perkebunan terdiri dari : a. Kepala; b. Sekretariat, terdiri dari : 1. Sub Bagian Perencanaan; 2.

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI NTB

PENDAHULUAN Latar Belakang

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

PEMERINTAH KOTA TEGAL DINAS KELAUTAN DAN PERTANIAN Jalan Lele Nomor 6 (0283) Tegal BAB I

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB II PERENCANAAN KINERJA

13. URUSAN KETAHANAN PANGAN

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

Transkripsi:

IKHTISAR EKSEKUTIF Dalam rangka pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Keputusan Kepala LAN RI Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah serta mengacu pada Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau Tahun 2011-2013, Badan Ketahanan Pangan Pangan Provinsi Riau melaksanakan penerapan sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah melalui penyusunan Rencana Strategis tahun 2011-2013, Penyusunan Rencana Kerja 2011 serta Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah tahun 2011. Untuk mewujudkan kinerja yang diharapkan, sasaran yang ingin dicapai pada tahun 2011 sebagai berikut : 1. Tersedianya bahan pangan dan cadangan pangan di Provinsi, Kabupaten/Kota dan Rumah Tangga; 2. Terfasilitasinya bahan pangan untuk rumah tangga di daerah rawan pangan; 3. Perbaikan menu makanan rakyat yang bermutu, beragam, bergizi seimbang, aman, halal, dan meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan sesuai potensi sumberdaya local; 4. Meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap produk bahan pangan yang berbahaya bagi kesehatan; 5. Mengembangkan dan perbaikan sistem distribusi pangan yang efektif dan efisien dalam rangka stabilitas pangan yang lebih merata; i

6. Terfasilitasinya stabilitas harga pangan, lintas waktu, lintas wilayah yang terjangkau oleh daya beli masyarakat; 7. Menumbuhkembangkan kelembagaan ketahanan pangan masyarakat yang dinamis, mandiri, dan sejahtera; 8. Mendorong dan memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya infrastruktur pedesaan dalam mendukung ketahanan pangan masyarakat. Berdasarkan hasil evaluasi dan analisis terhadap pencapaian kinerja sasaran diperoleh capaian kinerja sasaran sebesar 87,27 %, dengan dan dapat dikategorikan Baik. Sasaran tersebut dicapai melalui pelaksanaan Program dan Kegiatan yang dianggap relevan. Hasil evaluasi dan analisis pencapaian kinerja kegiatan yang bersumber dari APBD didapat angka capaian sebesar 98,57 % dengan kategori Baik, kategori tersebut disebabkan oleh adanya salah satu kegiatan yang tidak dilaksanakan atau digunakan, yaitu kegiatan Peningkatan Pendampingan Badan Ketahanan Pangan (ABT) Tahun 2011. Mengingat kegiatan dimaksud adalah dalam rangka menunjang pelaksanaan sub kegiatan pengembangan ekonomi produktif pada Kegiatan Fasilitasi Pengembangan Cadangan Pangan Pemda Provinsi Riau yang realisasi pelaksanaannya pada bulan Desember 2011, maka pelaksanaan kegiatan tersebut di atas akan efektif pada Tahun Anggaran 2011. Sedangkan pencapaian kinerja kegiatan yang bersumber dari APBN Dekonsentrasi didapat angka capaian sebesar 97,15 % dengan kategori Baik sedangkan dari Tugas Pembantuan didapat angka capaian sebesar 94,77 % dengan kategori Baik. ii

Dalam pelaksanaan program dan kegiatan Tahun 2011, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau memperoleh dana anggaran yang bersumber dari APBD Provinsi Riau sebagai berikut : JUMLAH ANGGARAN BELANJA KEGIATAN APBD BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI RIAU TAHUN ANGGARAN 2011 NO. JENIS BELANJA JUMLAH ANGGARAN 1. BELANJA LANGSUNG Rp 5.020.601.350,- 2. BELANJA TIDAK LANGSUNG Rp. 8.019.025.694,- JUMLAH Rp. 13.039.627.044,- dan berhasil direalisasikan sampai tgl, 31 bulan Desember Tahun 2011, untuk Belanja Langsung dan Belanja Tidak langsung realisasi keuangan sebesar Rp. 4.742.898.704,- atau 94,47 % dengan realisasi fisik sebesar 99,18 %, dan. Sedangkan dana Program dan Kegiatan yang bersumber dari APBN sebagai berikut : JUMLAH ANGGARAN BELANJA KEGIATAN APBN SATKER BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI RIAU TAHUN ANGGARAN 2011 NO. JENIS ALOKASI DANA JUMLAH ANGGARAN 1. DEKONSENTRASI Rp. 3.989.462.000,- 2. TUGAS PEMBANTUAN Rp. 3.055.600.000,- JUMLAH Rp. 7.045.062.000,- Untuk Alokasi dana Dekonsentrasi dengan rincian yaitu : Program Peningkatan Diversifikasi Dan Ketahanan Pangan Masyarakat sebesar Rp. 3.989.462.000,- dengan realisasi keuangan sampai dengan tgl, 31 Desember iii

2011 sebesar Rp. 3.823.087.500,- (95,83 %) dengan realisasi fisik sebesar 95,84 %. Sedangkan Alokasi dana Tugas Pembantuan dengan rincian yaitu : Program Peningkatan Diversifikasi Dan Ketahanan Pangan Masyarakat sebesar Rp. 3.055.600.000,- dengan realisasi keuangan sampai dengan tgl, 31 Desember Bulan Desember 2011 sebesar Rp. 2.751.419.600,- (90,05 %) dengan realisasi fisik sebesar 90,11 %. Kendala dan hambatan yang dihadapi Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau adalah sebagai berikut : 1. Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK) di Lingkungan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Provinsi Riau berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4741). 2. Adanya perubahan-perubahan nomenklatur di tingkat Kabupaten/Kota Riau mengenai Dinas/Unit/Lembaga yang menangani Ketahanan Pangan. 3. Pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Tahun Anggaran 2011 baru disyahkan pada tanggal, 30 Januari 2011. 4. Pada beberapa kegiatan mengalami keterlambatan realisasi pelaksanaan keuangan maupun fisiknya, karena terdapatnya keterkaitan dengan Bantuan Sosial dan Bantuan Keuangan yang diarakan ke Kabupaten/Kota di Riau yang harus melalui Peraturan Gubernur. 5. Pada Kegiatan Fasilitasi Konsumsi dan Keamanan Pangan terdapat Pekerjaan melalui Pihak Ketiga (Konsultan) yang mengalami proses pelelangan ulang. 6. Adanya Anggaran Biaya Tambahan (ABT) untuk kegiatan baru dan kegiatan lanjutan. iv

7. Adanya tradisi pengantian/mutasi pejabat baik Es II, Es III maupun Es IV dilingkungan pemerintah baik diprovinsi/kab/kota. Untuk mengatasi masalah tersebut, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau telah menetapkan strategi pemecahan masalah sebagai berikut : 1. Diterbitkannya Peraturan Gubernur Riau Nomor 17 Tahun 2011 tanggal, 9 Juni 2011 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas dan Tata Kerja, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau. 2. Sebaiknya Pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Tahun Anggaran 2011 baru disyahkan pada setiap awal bulan Januari tahun anggaran bersangkutan. 3. Untuk kegiatan yang memiliki Bantuan Sosial dan Bantuan Keuangan yang diarakan ke Kabupaten/Kota di Riau untuk Surat Keputusan Peraturan Gubernur dirancang pada awal kegiatan dilaksanakan. 4. Untuk Pekerjaan melalui Pihak Ketiga (Konsultan) direncanakan lebih awal sesuai dengan kebutuhan. 5. Untuk Anggaran Biaya Tambahan (ABT) sebaiknya direncanakan lebih matang sesuai dengan prioritas kegiatan. 6. Untuk Kegiatan Peningkatan Kompentensi Pendampingan Badan Ketahanan Pangan pada Tahun Anggaran 2011, akan direalisasikan pada Tahun Anggaran 2011. 7. Agar pengantian pejabat dilakukan pd awal tahun anggaran. Dalam pelaksanaan program dan kegiatan, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau telah melakukan berbagai langkah strategis baik berupa koordinasi horisontal dan vertikal maupun konsolidasi dengan berbagai stakeholder yang v

ada, sehingga berbagai kendala dan hambatan yang muncul, dapat dieliminir dan diantisipasi sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, dalam penyusunan LAKIP ini, dirasakan masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami mengharapkan adanya masukan dan kritik bagi perbaikan di masa yang akan datang. Pekanbaru, Maret 2012 KEPALA BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI RIAU, MULKAN SYARIF, SE Pembina Utama Muda NIP. 19630513 198311 1 001 vi

KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rakhmat dan hidayah-nya Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2011 sebagaimana diamanatkan Inpres No 7 tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah telah selesai disusun. Dengan tersusunnya laporan ini, yang secara umum berpedoman pada sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) diharapkan berbagai kebijaksanaan dan kegiatan dapat diketahui secara luas, sehingga dapat dijadikan media dalam pengambilan keputusan dan perbaikan guna tercapainya efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas pokok & fungsi (tupoksi) masing-masing bagian. Dan sebagai pedoman penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah berdasarkan Keputusan Kepala Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 Tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sebagai pengganti dari Keputusan Kepala LAN Nomor 589/IX/6/Y/99. Oleh karenanya laporan ini juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengevaluasi diri khususnya terhadap pelaksanaan tugas dan fungsinya yang berguna bagi perencanaan dan peningkatan kinerja masing-masing bagian. Pada kesempatan ini pula kami sampaikan ucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Tim Penyusun yang telah memberikan sumbang pikiran dan tenaga sehingga laporan ini dapat terselesaikan. vii

Kritik dan Saran senantiasa kami harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan dan semoga Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau dapat memberikan manfaat bagi yang berkepentingan. Pekanbaru, Maret 2012 KEPALA BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI RIAU, MULKAN SYARIF, SE Pembina Utama Muda NIP. 19630513 198311 1 001 viii

DAFTAR ISI IKHTISAR EKSEKUTIF...i KATA PENGANTAR...vii DAFTAR ISI... viii I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan LAKIP SKPD... 3 1.3. Aspek Stratejik yang Berpengaruh... 7 1.4. Tupoksi dan Core Business... 24 1.5. Sistematika Penyajian... 27 II. RENCANA STRATEJIK... 29 2.1. Rencana Stratejik 2011-2013... 29 2.2. Rencana Kinerja Tahun 2011... 32 2.3. Anggaran Tahun 2011... 35 III. AKUNTABILITAS KINERJA... 43 3.1. Kerangka Pengukuran Kinerja... 43 3.2. Pengukuran Capaian Kinerja Tahun 2011... 45 3.3. Analisis Capaian Kinerja... 49 3.4. Akuntabilitas Keuangan... 53 3.5. Analisis Efesiensi dan Efektivitas Kegiatan... 62 3.5.1. Efesiensi... 62 3.5.2. Efektivitas... 66 IV. PENUTUP... 69 4.1. Keberhasilan dan Kegagalan Kinerja... 69 4.2. Kendala dan Hambatan dalam Pencapaian Sasaran... 71 4.3. Strategi Pemecahan Masalah... 73 LAMPIRAN LAMPIRAN - Lampiran 1 : Formulir Rencana Stratejik (RS) Tahun 2011-2013 - Lampiran 2 : Formulir Rencana Kinerja Tahun (RKT) Tahun 2011 - Lampiran 3 : Formulir Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS) Tahun 2011 - Lampiran 4 : Formulir Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) Tahun 2011 ix

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam era globalisasi ini tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan tidak dapat dielakkan lagi. Istilah good governance sendiri dapat diartikan terlaksananya tata ekonomi, politik dan sosial yang baik. Jika kondisi good governance dapat dicapai maka terwujudnya negara yang bersih dan responsif (clean and responsive state), semaraknya masyarakat sipil (vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab (good corporate governance) bukan merupakan impian lagi. Untuk dapat mencapai good governance maka salah satu hal yang harus dipenuhi adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktivitas baik aktivitas sosial, politik dan ekonomi. Dalam konteks pelaksanaan good governance dan menriaukan visi Pemerintah Provinsi Riau untuk mengakselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat guna mendukung pencapaian visi Riau untuk tahun 2011-2013 yaitu Terwujudnya Ketahanan Pangan yang mantap dalam menciptakan masyarakat yang berkwalitas tahun 2020 khususnya yang menyangkut mengembangkan struktur perekonomian daerah yang tangguh, maka pelaksanaan program dan kegiatan diharapkan akan berkontribusi terhadap pencapaian indikator makro ekonomi Riau. 1

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) sebagaimana diamanatkan Inpres No 7 tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah disusun berdasarkan atas tugas pokok dan fungsi Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau, Renstra Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau, Renstra Provinsi Riau, kewenangan desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketahanan pangan yang diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4816), serta kebijakan Pemerintah Pusat di bidang ketahanan pangan dari Departemen Pertanian maupun Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian yang menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737). Penyusunan laporan ini secara umum berpedoman pada sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) diharapkan berbagai kebijaksanaan dan kegiatan dapat diketahui secara luas, sehingga dapat dijadikan media dalam pengambilan keputusan dan perbaikan guna tercapainya efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas pokok & fungsi (tupoksi) masing-masing bagian. Oleh karenanya laporan ini juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengevaluasi diri khususnya Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau terhadap pelaksanaan tugas dan fungsinya yang berguna bagi perencanaan dan peningkatan kinerja masing-masing bagian. 2

1.2. Dasar Hukum Penyusunan LAKIP SKPD Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4741), serta konsekuensi sebagai penggerak Ketahanan Pangan daerah mendorong ditatanya struktur organisasi yang melahirkan Badan Ketahanan Pangan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Riau, diserahi wewenang, tugas dan tangung jawab menunjang penyelenggaraan urusan otonomi daerah, desentralisasi, dekonsentrasi serta tugas pembantuan dibidang ketahanan pangan di daerah. Badan Ketahanan Pangan dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Gubernur Riau melalui Sekretaris Daerah Provinsi Riau. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Gubernur Riau Nomor 17 Tahun 2011 tentang Uraian Tugas Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau yang mempunyai tugas pokok dan fungsi : Tugas Pokok Fungsi Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah bidang ketahanan pangan dan dapat ditugaskan untuk melaksanakan penyelenggraan wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada Gubernur. 1. Merumuskan kebijaksanaan 2. Pengambilan keputusan 3. Perencanaan 4. Pengorganisasian 5. Pelayanan umum dan 3

teknis 6. Pengendalian/pengarah an/pembinaan dan bimbingan 7. Pengawasan 8. Pemantauan dan evaluasi 9. Pelaksanaan 10. Pembiayaan Dalam kaitan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) berikut adalah peraturan perundang-undangan yang melatarbelakangi penyusunan LAKIP Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau : 1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara; 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara; 3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; 4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421); 5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 4

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844); 6. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438); 7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4700); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4741); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4815); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4816); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4817); 13. Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Pendayagunaan Aparatur Negara; 5

14. Instruksi Presiden RI No. 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; 15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 16. Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Riau Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 8 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 45); 17. Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2011 tentang Urusan Pemerintah Provinsi (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 9 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 46); 18. Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 11 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 47); 19. Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 21 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Riau (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 20 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 55); 20. Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 22 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis dan Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Riau (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 21 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 56); 21. Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 01 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Provinsi Riau. 6

22. Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 Tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sebagai pengganti dari Keputusan Kepala LAN Nomor 589/IX/6/Y/99 23. Peraturan Gubernur Riau Nomor 17 Tahun 2011 tentang Uraian Tugas. 1.3. Aspek Strategis yang Berpengaruh Kondisi Umum Provinsi Riau Secara umum situasi ketahanan pangan di Provinsi Riau pada periode 2006-2011 menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik, hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator ketahanan pangan antara lain (1). Produksi beberapa komoditas pangan penting cenderung meningkat, (2). Pergerakan harga-harga pangan lebih stabil, baik secara umum maupun menjelang hari-hari besar keagamaan nasional, (3). Konsumsi pangan masyarakat meningkat, (4). Proporsi penduduk miskin dan rawan pangan semakin menurun. Berbagai indikasi yang terukur tersebut menunjukkan bahwa berbagai upaya dan kebijakan ketahanan pangan yang dilakukan selama ini telah memberikan dampak yang positif, kemudian dalam membangun ketahanan pangan tidak terlepas dari aspek ketahanan pangan, yaitu aspek ketersediaan, aspek distribusi dan aspek konsumsi. Ketersediaan Pangan Selama periode 2006 2011 perluasan areal panen dan peningkatan penggunaan pupuk pada pertanian tanaman pangan telah mendorong peningkatan produksi pada sebagian besar kelompok 7

komoditas ini. Secara umum produksi keseluruhan komoditas pangan meningkat sebesar 2,79 persen, kondisi ini merupakan perkembgangan yang cukup menggembirakan terutama peningkatan yang terjadi pada produksi beras. Hal ini mengingat relatif terbatasnya potensi areal persawahan yand dapat dikembangkan untuk meningkatkan produksi padi di Provinsi Riau. Komoditas sayuran mencatat pertumbuhan tertinggi pada kelompok tanaman pangan yaitu mencapai 29.1 %. Produksi beras dan kedele masing-masing meningkat sebesar 2,03 % dan 11,02 % diikuti oleh ubi jalar (5,81%) dan sagu (4,64 %) dan ikan (3,37 %). Empat komoditas lainnya ternyata mengalami penurunan produksi yaitu jagung, buah-buahan, kacang tanah dan telur. Meskipun produksi sebagian besar komoditas pangan menunjukkan perkembangan yang meningkat selama periode 2004-2008, sebagai daerah yang mengalami defisit pangan dalam jumlah yang cukup besar, peningkatan ini ternyata masih belum mempu mengurangi laju peningkatanh pasokan pangan dari luar Provinsi Riau. Peningkatan kebutuhan dan permintaan masyarakat terhadap hampir seluruh komoditas pangan dasar yang bergerak lebih cepat dibandingkan peningkatan produksi pangan lokal telah berakibat pada meningkatnya pasokan pangan ke Perovinsi Riau yang mencapai 4,23 % selama periode 2006-2011. Banyak faktor yang menjadi kendala peningkatan produktivitas dan produksi pangan di Provinsi Riau dalam memenuhi kebutuhan pangan sekuruh penduduknya. Diantaranya yang terpenting adalah : 1.) masing tingginya konversi lahan produktif ke lahan non pertanian tanaman pangan (perumahan, perkebunan, fasilitas sosial); 2) kecilnya skala usaha pertanian tanaman pangan, perikanan maupun peternakan sehingga hasilnya tidak mampi mensejahterakan petani dan berakibat 8

pada kurangnya investasi untuk peningkatan produksi; 3) terbatasnya teknologi tepat guna yang dapat diakses oleh petani; 4) kurangnya bimbingan kepada petani karena tidak difungsikannya institiusi penyuluhan pertanian secara optimal seperti pada masa lalu; 5) jenis tanah yang didominasi oleh podzolik merah kuning dan jenis lahan lain relatif kurang responsif terhadap penggunaan input kiiawi; 6) sistem pengairan yang sebagian besar masih tadah hujan; dan 7) rendahnya akses petani terhadap modal usaha. Komponen yang tidak kalah penting dalam perhitungan ketersediaan pangan adalah pemasukan pangan dari luar Provinsi Riau, baik antar Provinsi bahkan antar negara. Sistem distribusi yang efesien menjadi prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumahtangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Dalam membangun kemandirian pangan, idealnya peran pasokan dari luar semakin hari semakin menurun dan digantikan dengan peningkatan peran produksi domestik. Namun data yang ada menunjukkan bahwa kecenderungan pasokan dari luar Provinsi untuk ke empat komoditas pangan yang dimaksud ternyata masih cukup tinggi dan buah-buahan menempati peringkat tertinggi untuk peningkatan pasokan dari luar. Komoditas yang paling dominan dalam pasokan pangan dari luar Provinsi Riau adalah beras (>46,5 %) dari total pasokan pangan dengan trend yang semakin meningkat ( 1,85 %). Kondisi tersebut akibat kemampuan produksi beras hanya mampu mendukung maksimal 57 % kebutuhan konsumsi penduduk. Jumlah beras yang masuk, tidak semuanya dikonsumsi di dalam provinsi namun diredistribusikan kembali menuju beberapa provinsi tetangga. Pasokan pangan darl luar daerah Riau yang mengalami peningkatan yang terbesar setiap tahunnya 9

adalah daging (18,16 %), kedele (16, 36 %), ubi jalar (16,24 %), buah-buahan (10,04 %) dan ikan (6,85 %) Ketahanan pangan di tingkat mikro dapat diketahui dari ketersediaan dan konsumsi pangan dalam bentuk energi dan protein per kapita per hari selanjutnya dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang direkomendasikan atau standar kecukupan gizi. Namun demikian ketersediaan pangan yang cukup di suatu daerah belum dapat menjamin ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga. Hal ini tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, baik dalam arti fisik ( daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Ketersediaan rata-rata energi dan protein untuk dikonsumsi penduduk di Riau telah melebihi dari angka kecukupan yang dianjurkan yakni energi sebesar 2200 Kkalori/kapita/hari dan protein 57 gram/kap/hari Rata-rata ketersediaan energi untuk konsumsi penduduk pada tahun 2008 mencapai 2807 Kkal/kap/hari, bila dibandingkan dengan ketersediaan tahun 2005, ternyata menunjukkan kecenderungan menurun sebesar 1.01 persen setiap tahunnya (Tabel 4). Sedangkan jumlah protein yang tersedia untuk dikonsumsi telah mencapai 108.7 gram/kap/hari. Bila dibandingkan dengan tahun 2004, ketersediaan protein ternyata juga menunjukkan penurunan setiap tahunnya sebesar 0.74 persen. Penurunan ketersediaan protein ini disebabkan ketersediaan protein hewani yang mengalami penurunan sebesar 2,22 persen. Kualitas / keanekaragaman pangan yang tersedia selama periode 2005 2011 menunjukkan trend yang tidak meningkat, meskpun telah mencapai 80. 10

Distribusi Pangan Sarana Prasana Secara umum kondisi sarana prasarana di Riau masih belum mendukung kinerja subsistem distribusi pangan daerah. Kurangnya fasilitas prasarana jalan, pelabuhan dan sarana angkutan menyebabkan mahalnya biaya distribusi dari sentra produksi ke sentra konsumsi. Hal ini terutama terdapat daerah kepulauan seperti Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hilir dan Pelalawan serta di daerah-daerah terpencil lainnya. Minimnya prasarana dan sarana ini menyebabkan daerah-daerah tertentu menjadi sangat terisolir dan sulitnya masyarakat mengakses pangan. Di samping itu biaya angkutan di Riau relatif lebih tinggi dibandingkan dengan biaya angkutan pada provinsi Sumatera lainnya, sehingga memberikan dampak terhadap produk-produk pertanian yang tidak mampu bersaing dengan daerah lain. Oleh karena itu, ke depan pemerintah daerah Provinsi Riau perlu melakukan perubahan dan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran distribusi pangan ke seluruh wilayah Indonesia. Di samping masalah sarana dan prasarana, pemerintah daerah perlu meningkatkan keamanan jalur distribusi serta mengurangi pungutan resmi maupun pungutan lainnya di sepanjang jalur distribusi dan pemasaran, yang dapat mengakibatkan biaya distribusi sebagai produk pangan menjadi tinggi. Sarana distribusi pangan seperti fasilitas-fasilitas pasar umum, sarana penyimpanan dan pengolahan hasil pertanian, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta belum berkembang dan masih terbatas. Kondisi ini sangat menyulitkan masyarakat 11

pedesaan dalam melakukan fungsi penyimpanan dan pengolahan untuk meraih nilai tambah ke posisi tawar yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu memfasilitasi dan memberikan kemudahan investasi pembangunan sarana pengolahan dan penyimpanan hasil di pedesaan. Kelembagaan pemasaran Ciri umum di berbagai daerah di Indonesia adalah lemahnya kelembagaan pemasaran di pedesaan. Hal ini menyebabkan mata rantai pemasaran produk-produk pangan menjadi sangat panjang, karena harus melalui berbagai sistem kelembagaan informal. Di Riau pada umumnya di ketahui bahwa dalam memasarkan produkproduk pangan harus melalui pedagang perantara yang ada di berbagai tingkatan mulai dari desa, kecamatan, kabupaten sampai ke tingkat provinsi. Sistem ini menyebabkan biaya pemasaran menjadi sangat tinggi dan margin yang diterima petani rendah, sehingga memberikan dampak kepada tingginya harga yang harus dibayar oleh konsumen akhir. Masalah lain yang menyangkut pemasaran adalah kurangnya sarana pasar secara fisik. Kombinasi persoalan kelembagaan pemasaran dan fisik pasar ini dapat menyulitkan akses pangan bagi konsumen (rural landless, urban poor dan net buying producers), dan menghambat penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan. Oleh karena itu harus dilakukan upaya-upaya untuk membangun kelembagaan pemasaran di berbagai tingkatan. Pada tingkat pedesaan perlu dikembangkan kelembagaan petani yang bergerak di bidang pemasaran hasil pertanian, untuk memperkuat posisi tawar petani. Bentuk kelembagaan ini disesuaikan dengan 12

kondisi sosial budaya setempat, seperti koperasi, kelompok tani maupun subak. Stabilitas Harga Stabilitas harga diukur dengan perkembangan harga rata-rata setiap tahunnya. Selama Tahun 2006 2011, perkembangan harga pangan pokok strategis di Riau cenderung meningkat. Beberapa pangan mengalami peningkatan melebihi 10 % setiapa tahunnya adalah beras, kedele, gula pasir, daging sapi dan minyak goreng. Harga pangan di Riau cenderung memberikan kontribusi terhadap tingginya inflasi di daerah ini. Peraturan Perundangan Peraturan daerah seyogyanya diarahkan untuk memperlancar arus distribusi pangan. Namun demikian masih banyak ditemukan peraturan-peraturan daerah yang membebani biaya distribusi antar daerah, antara lain pungutan-pungutan, retribusi dan pungutan jembatan timbang. Peraturan-peraturan seperti itu perlu segera dihapuskan. Untuk menurunkan biaya distribusi pangan, selain diperlukan peraturan-peraturan daerah tentang taris angkutan yang memberikan keringanan tarif angkutan bahan pangan, juga peraturan untuk mendahulukan pengangkutan bahan pangan di pelabuhan laut dan penyeberangan. Pada umumnya, masalah pokok distribusi dan aksesibilitas di Riau adalah sistem distribusi yang masih belum efesien dan efektif yang disebablkan terbatasnya jangkauan dan biaya distribusi serta lemahnya pengawasan dan pelaksanaan aturan yang ada. Infrastuktur yang belum memadai juga menjadi masalah pokok karena terbatasnya jaringan jalan 13

terutama jalan-jalan desa, jembatan, irigasi, waduk, embung dan terjadinya kerusakan hutan di hulu dan di DAS. Dari sudut daya beli pangan, rataan proporsi pengeluaran pangan di berbagai Kabupaten/Kota di Provinsi Riau umumnya masih tinggi, jauh diatas 50%. Hanya di Kota Pekanbaru yang porsi pengeluaran pangannya relatif rendah (40,12%) yang mengindikasikan bahwa kesejahteraan penduduk di Kota Pekanbaru relatif lebih tinggi dibanding di wilayah Kabupaten/Kota lainnya. Tingginya persentase pengeluaran pangan mengindikasikan rendahnya kesejahteraan dan dengan demikian juga rendahnya daya beli terhadap pangan. Hal ini cukup sejalan dengan daya tingkat kemiskinan dimana terjadi kecenderungan semakin tingginya tingkat kemiskinan semakin tinggi proporsi pengeluaran pangan untuk penduduknya. Disamping faktor daya beli, faktor lain penentu aksesibilitas pangan adalah kelancaran distribusi pangan dan akses ke pasar. Data pada Tabel 6 menunjukkan adanya interaksi antara akses ekonomi (daya beli) terhadap pangan dan akses fisik. Nampak bahwa di daerah dengan kemiskinan cukup tinggi memiliki infrastruktur yang relatif kurang memadai dibanding di wilayah lainnya (Indragiri Hilir, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Bengkalis) khususnya bila dilihat dari indikator persen desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat dan atau persen desa berjarak > 3 Km. Disamping persoalan infrastruktur, beberapa desa di Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Riau juga berpotensi mengalami masalah kerawanan pangan dan terputusnya akses pangan karena tergolong sebagai daerah rawan bencana. Saat ini diperkirakan 14

sekitar 987 desa berpotensi rawan pangan. Untuk menurunkan jumlah penduduk rawan pangan hingga 50 persen pada tahun 2015, sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah desa berpotensi rawan hendaknya dapat ditangani melalui pengembangan Desa Mandiri Pangan, dan pada tahun 2012 sekurantg-kurangnya 50 persen atau sekitar 500 desa dikembangkan menjadi Desa Mapan. Konsumsi Pangan Kuantitas Konsumsi Undang-undang No. 7 tentang Pangan mengamanatkan bahwa indikator ketahanan pangan adalah tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup bagi setiap rumahtangga sepanjang waktu untuk dapat mendukung hidup aktif, sehat dan produktif. Hal ini berimplikasi bahwa pencapaian ketahanan pangan di tingkat makro adalah penting namun belum cukup memadai untuk menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Demikian halnya ketersediaan pangan di rumahtangga yang cukup belum dapat dijadikan indikasi telah tercapainya ketahanan pangan apabila konsumsi pangan setiap anggota rumahtangga ternyata belum memenuhi norma gizi seimbang untuk mendukung hidup aktif dan sehat. Oleh karena itu sangat penting menganalisis situasi ketahanan pangan bukan hanya dari aspek produksi dan ketersediaan pangan, namun juga dari aspek konsumsi dan bahkan hingga output akhir berupa status gizi. Rata-rata konsumsi energi perkapita per hari di Provinsi Riau tahun 2005 mencapai adalah 1.984 Kalori dan tahun 2011 diperkirakan meningkat menjadi 2003 Kalori. Sedangkan konsumsi protein perkapita sehari pada tahun 2004 baru mencapai adalah 15

45.3 gram, dan tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 48.7 gram. Bila kondisi konsumsi energi dan protein ini dibandingkan dengan Standar Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG), tingkat konsumsi protein masih lebih rendah, dan menunjukkan kecenderung mengalami penurunan sebesar 3,16 % setiap tahunnya. Sementara konsumsi energi telah mencukupi. Standar konsumsi berdasarkan Widyakarya Pangan dan Gizi masing-masing untuk energi dan protein sebesar 2000 Kalori dan 52 gram per kapita per hari. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah serta masyarakat untuk meningkatkan pangan agar terwujud masyarakat dengan status gizi yang baik. Menurut Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau (2004), pada tahun 2002 hanya 26,01% persen penduduk Riau yang mampu mengkonsumsi lebih dari standar kecukupan gizi. Sedangkan 49,21% penduduk Riau hanya mampu mengkonsumsi antara 1.500 Kkal/kapita/hari sampai 2.000 Kkal/kapita/hari, dan sebanyak 24,78% penduduk masih mengkonsumsi kurang dari 1.500 Kkal/kapita/hari. Kualitas Konsumsi Indikator kualitas konsumsi pangan ditunjukkan oleh skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang dipengaruhi oleh keragaan dan keseimbangan konsumsi antar kelompok pangan. Telah dikemukakan di muka bahwa konsumsi pangan penduduk Provinsi Riau masih didominasi oleh padi-padian, khususnya beras. Pada tahun 2011 konsumsi padi-padian penduduk Provinsi Riau sebanyak 1.213 Kkal/kapita/hari dan pada tahun 2004 sebanyak 1.185 16

Kkal/kapita/hari. Dibandingkan dengan standar kebutuhan energi yang disarankan, maka konsumsi padi-padian di Provinsi Riau masih jauh lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keragaan konsumsi di Provinsi Riau masih relatif rendah, hal ini dapat ditunjukkan oleh skor PPH yang baru mencapai 67.70 dan menunjukkan kecenderungan penurunan sebesar 0.53 persen setiap tahunnya. Kondisi keragaman tersebut menunjukkan bahwa kualitas pangan penduduk Riau masih harus diperbaiki. Program diversifikasi pangan harus digalakkan agar ketergantungan terhadap beras sebagai sumber karbohidrat dapat dikurangi. Sementara itu konsumsi terhadap umbi-umbian, pangan hewani serta buah dan sayuran memerlukan peningkatan. Dengan demikian kualitas gizi masyarakat dapat ditingkatkan dan diharapkan dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Status Gizi Status gizi masyarakat secara umum dapat dicerminkan oleh keadaan status gizi anak balita. Meski status gizi merupakan suatu muara dari berbagai faktor penyebab yang kompleks, namun ada dua faktor penyebab umum yang telah terbukti menjadi penentu status gizi, yaitu tingkat konsumsi pangan (kualitas dan kuantitas) serta ada tidaknya penyakit, khususnya penyakit infeksi. Oleh karena itu tingkat ketahanan pangan individu dan masyarakat yang disertai dengan dukungan ketersediaan dan akses terhadap fasilitas kesehatan akan sangat menentukan keadaan status gizinya. 17

Isu Strategis 1. Keterbatasan dan rendahnya kualitas kelembagaan dan infrastruktur ketahanan pangan di Riau. 2. Belum efektifnya regulasi sistem distribusi dan informasi harga pangan sehingga pangan belum terdistribusi dengan baik dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. 3. Lemahnya daya dukung dan daya tamping lembaga usaha ekonomi pedesaan dalam meningkatkan ketersediaan, distribusi dan akses pangan di daerah. 4. Lemahnya manajemen pengembangan dan ketersediaan cadangan pangan di tingkat Rumah Tangga, Kabupaten/Kota dan Provinsi. 5. Adanya daerah rawan pangan maupun daerah berpotensi terjadinya rawan pangan yang belum teridentifikasi dan diupayakan pemecahannya. 6. Pola konsumsi masyarakat yang masih berbasis pada beras menyebabkan komoditi beras bukan saja sebagai komoditi ekonomi melainkan menjadi komoditi politik. 7. Adanya alternative pengembangan diversifikasi pangan melalui lahan-lahan marginal termasuk lahan pekarangan. 8. Lemahnya pengawasan keamanan dan mutu pangan terhadap produk pangan baik segar maupun olahan. 9. Rendahnya kesadaran para produsen pangan olahan untuk menghasilkan produk pangan yang bergizi, bermutu, sehat, aman dan halal. 10. Lemahnya partisipasi masyarakat dalam mengembangkan desa mandiri pangan yang berbasis pada budaya dan potensi local. 18

Kondisi Umum Ketahanan Pangan Riau Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, namun juga di kota-kota, di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit. Anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru terus bertambah. Masyarakat yang kurang beruntung masih diselimuti dengan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam menggapai kesejahteraan meski untuk tingkat kesejahteraan paling dasar sekalipun. Inilah fenomena sosial ekonomi yang bisa kita lihat secara kasat mata di berbagai daerah, termasuk Riau. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional 2011, jumlah angka pengangguran di Provinsi Riau menempati urutan pertama, yaitu 3,9 juta orang dari 11,1 juta orang jumlah pengangguran di Indonesia. Sementara angka kemiskinan di Riau, 19,6% berada di perkotaan, dan 18,4% di perdesaan. Jumlah penduduk miskin di Riau diperkirakan sudah mencapai 5,45 juta jiwa atau 13,5% dari total penduduk Riau. Jumlah itu meningkat 317.000 jiwa dibandingkan dengan jumlah orang miskin 2006, yakni 5,14 juta jiwa. Ketahanan pangan didasarkan pada akses rumah tangga terhadap pangan. Di Riau, pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga relatif tinggi, di atas 50%. Dengan demikian, pangan masih merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Riau. Apalagi, bagi orang miskin, pengeluaran untuk pangan sangat besar. Oleh karena itu, penduduk miskin dalam kesehariannya selalu dihadapkan pada tidak adanya jaminan ketersediaan pangan. Apabila situasi itu berlangsung 19

berkepanjangan, dapat terjadi kekurangan gizi. Tingginya prevalensi penduduk dengan status gizi kurang atau buruk merupakan salah satu ciri wilayah miskin. Provinsi Riau memiliki potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang kompetitif, dan masyarakatnya hidup dalam akar tradisi yang kondusif. Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu "lumbung padi" nasional. Hampir 23% dari total luas 29,3 ribu kilometer persegi lahan dialokasikan untuk produksi beras. Tidak dimungkiri lagi, Riau merupakan "rumah produksi" bagi ekonomi Indonesia. Hasil pertanian Provinsi Riau menyumbangkan 15% dari nilai total pertanian Indonesia. Hasil tanaman pangan Riau meliputi beras, kentang manis, jagung, buah-buahan, dan sayuran. Di samping itu, juga terdapat komoditi seperti teh, kelapa, minyak sawit, karet alam, gula, cokelat, dan kopi. Potensi perternakan menghasilkan 120.000 ekor sapi ternak, 34% dari total nasional. Potensi pertanian di Riau tersebar secara merata di seluruh daerah, yang meliputi komoditas padi, palawija, dan hortikultura. Selain itu, jenis sayuran dan buah-buahan memiliki potensi sangat menjanjikan. Hasil pertanian pangan lainnya berupa sayur-sayuran dan buah-buhan juga banyak. Potensi sumber daya perikanan dan kelautan Riau sangat besar yang terdiri atas potensi perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan bioteknologi kelautan. Melihat hasil pertanian tersebut, dapat dikatakan Riau memiliki potensi yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan secara optimal. Jika semua itu dapat dikembangkan serta dikelola secara profesional, Riau akan mendapat tambahan penghasilan yang besar dari sektor pertanian. Akan tetapi potensi tersebut belum digarap secara optimal yang berorientasi pada kepentingan masyarakat 20

(khususnya masyarakat miskin) serta berdasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan. Kondisi ini menempatkan masyarakat Riau saat ini pada posisi yang kurang menguntungkan, sehingga menyisakan sejumlah permasalahan yang kompleks dan perlu penanganan dengan segera. Hal ini salah satunya disebabkan oleh ketidakoptimalan operasionalisasi strategi pemberdayaan masyarakat yang diterapkan pada masa lalu serta kondisi perekonomian yang semakin berat dan belum kondusif, sehingga sebagian besar masyarakat terperangkap dalam kondisi ketidakberdayaan, terutama ketidakberdayaan untuk keluar dari kemiskinan. Dalam konteks kemiskinan itulah, mekanisme institusional di luar pasar menjadi keharusan. Bila tidak, kelompok miskin akan secara kronis kekurangan pangan. Mekanisme institusional itu sebutlah suatu lembaga ketahanan pangan yang merupakan suatu wadah khusus yang berfungsi untuk "mengeluarkan" orang miskin dari mekanisme pasar untuk mendapatkan pangan. Lembaga ketahanan pangan ini mengatur bagaimana orang miskin yang tidak bisa ikut dalam transaksi pasar menjadi relatif mudah untuk mendapatkan pangan. Membangun kapasitas, baik individu maupun kolektif sangat penting untuk memperoleh akses terhadap kesempatan - kesempatan ekonomi, pelayanan sosial, dan infrastruktur. Permasalahan Dengan demikian maka permasalahan yang muncul pada tahun 2011 adalah sebagai berikut : 1. Jumlah penduduk masyarakat Riau dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang cukup pesat. 21

2. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional Tahun 2011 di Riau, jumlah pengangguran masih menduduki urutan yang pertama. Sementara angka kemiskinan di Riau, 19,6% berada di perkotaan, dan 18,4% di perdesaan. Jumlah penduduk miskin di Riau diperkirakan sudah mencapai 5,45 juta jiwa atau 13,5% dari total penduduk Riau. Jumlah itu meningkat 317.000 jiwa dibandingkan dengan jumlah orang miskin 2006, yakni 5,14 juta jiwa. 3. Ketahanan pangan didasarkan pada akses rumah tangga terhadap pangan. Di Riau, pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga relatif tinggi, di atas 50%. 4. Untuk masyarakat miskin di Riau, dihadapkan pada tidak adanya jaminan ketersediaan pangan yang memadai. 5. Apabila situasi dan kondisi kemiskinan tidak mendapat perhatian dari semua pihak, dapat terjadinya kekurangan gizi. 6. Belum optimalnya operasionalisasi strategi pemberdayaan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan. Isu Strategis Berdasarkan kondisi dan permasalahan di atas maka muncul isu strategis sebagai berikut : Keterbatasan dan rendahnya kualitas kelembagaan dan infrastruktur ketahanan pangan di Riau. Belum efektifnya regulasi sistem distribusi dan informasi harga pangan sehingga pangan belum terdistribusi dengan baik dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. 22

Lemahnya daya dukung dan daya tamping lembaga usaha ekonomi pedesaan dalam meningkatkan ketersediaan, distribusi dan akses pangan di daerah. Lemahnya manajemen pengembangan dan ketersediaan cadangan pangan di tingkat Rumah Tangga, Kabupaten/Kota dan Provinsi. Adanya daerah rawan pangan maupun daerah berpotensi terjadinya rawan pangan yang belum teridentifikasi dan diupayakan pemecahannya. Pola konsumsi masyarakat yang masih berbasis pada beras menyebabkan komoditi beras bukan saja sebagai komoditi ekonomi melainkan menjadi komoditi politik. Adanya alternative pengembangan diversifikasi pangan melalui lahan-lahan marginal termasuk lahan pekarangan. Lemahnya pengawasan keamanan dan mutu pangan terhadap produk pangan baik segar maupun olahan. Rendahnya kesadaran para produsen pangan olahan untuk menghasilkan produk pangan yang bergizi, bermutu, sehat, aman dan halal. Lemahnya partisipasi masyarakat dalam mengembangkan desa mandiri pangan yang berbasis pada budaya dan potensi local. Strategi Untuk pengembangan dan pencapaian program peningkatan ketahanan pangan, maka strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan penguatan terhadap kapasitas dan daya dukung kelembagaan dan infrastruktur pangan di Riau. 23

2. Meningkatkan efektifitas regulasi sistem distribusi dan informasi harga pangan sehingga pangan terdistribusi dengan baik dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat 3. Meningkatkan daya dukung dan daya tampung lembaga usaha ekonomi pedesaan dalam meningkatkan ketersediaan, distribusi dan akses pangan di daerah. 4. Meningkatkan penguatan terhadap manajemen pengembangan dan ketersediaan cadangan pangan di tingkat Rumah Tangga, Kabupaten/Kota dan Provinsi. 5. Mengidentifikasi daerah rawan pangan maupun daerah berpotensi terjadinya rawan pangan serta mengupayakan pemecahannya. 6. Meningkatkan penganekaragaman konsumsi dan kualitas pangan serta menurunnya ketergantungan terhadap pangan pokok beras. 7. Mengembangkan diversifikasi pangan melalui lahan-lahan marginal termasuk lahan pekarangan 8. Meningkatkan pengawasan keamanan dan mutu pangan terhadap produk pangan baik segar maupun olahan. 1.4. Tupoksi dan Core Business Tugas pokok dan fungsi tersebut menunjukkan bahwa area inti (core area) Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Riau adalah melakukan pengembangan, implementasi (sosialisasi dan asistensi), pelayanan serta pemantauan evaluasi terhadap kewaspadaan dan ketahanan pangan di daerah. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1996 menyatakan bahwa Pemerintah bersama rakyat bertanggungjawab atas terwujudnya Ketahanan Pangan yang mantap, 24

melalui pengembangan subsistim yang termuat dalam Sistem Ketahanan Pangan, yaitu Subsistim Ketersediaan Pangan. Subsistim Distribusi dan Subsistim Konsumsi dan Keamanan Pangan Struktur Organisasi : Berdasarkan Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Riau sampai dengan tanggal 30 Januari 2011 adalah sebagai berikut : Bagan 1: Struktur Organisasi. 25

Berlandaskan pada peraturan tersebut, seluruh bagian/bidang dan subbagian/subbidang di lingkungan Badan Ketahanan Pangan (BKP) mempunyai tugas pokok yang identik, yaitu: Melaksanakan penyiapan administrasi rutin maupun teknis, penyusunan rencana di bidang ketahananan pangan, pemantauan evaluasi terhadap ketersediaan, pengadaan, cadangan pangan, kerawanan pangan dan keamanan pangan, pengembangan pangan dan analisis pola konsumsi pangan, inventarisasi, pembinaan, penyediaan dukungan dan kerjasama dengan lembaga ketahanan pangan, penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan dan ketahanan pangan. Core Business : Mengacu pada kebijakan tersebut maka pada tahun 2011 ini arah kebijakan pembangunan Riau lebih difokuskan pada peningkatan IPM yang meliputi aspek pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya diharapkan mampu menyiapkan modal dasar pembangunan. Bagi Riau, Tahun 2011 adalah tahun ketiga dalam pelaksanaan RPJMD 2011-2013 dalam rangka upaya pencapaian IPM sebesar 80. Pada tahap ini kebijakan ekonomi daerah diarahkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkualitas melalui pengembangan kegiatan utama (core business) dengan mewujudkan tujuan bersama (common goals) dengan berdasarkan potensi local untuk mengurangi disparitas kesejahteraan antar wilayah serta memantapkan infrastruktur wilayah dalam mendukung pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu dari 8 (delapan) common goals yang telah ditetapkan antara lain point 2 (dua) yaitu Ketahanan Pangan, yang difokuskan pada komoditas beras, jagung, kedelai dan ketersediaan protein hewani. Berkaitan dengan penjelasan diatas, maka Ketahanan Pangan mempunyai peran strategis dalam mendukung pelaksanaan pembangunan daerah Riau 26

Tahun 2011 dan berbagai upaya pelaksanaan program dan kegiatan ketahanan pangan 2011 adalah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagai perwujudan pembangunan social dan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu, upaya peningkatan kelembagaan dan infrastruktur, ketersediaan dan cadangan pangan, distribusi dan harga pangan, serta peningkatan kualitas konsumsi dan keamanan pangan akan terus dilaksanakan sebagai penggerak utama pembangunan social-ekonomi daerah. Dengan demikian, program-program peningkatan ketahanan pangan perlu diarahkan untuk mendorong terciptanya kondisi social-ekonomi yang kondusif menunju ketahanan pangan yang mantap dan berkelanjutan. 1.5. Sistematika Penyajian Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah kegiatan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau (LAKIP) Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau disusun dengan sistematika : IKHTISAR EKSEKUTIF KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Dasar Hukum Penyusunan LAKIP SKPD 1.3. Aspek Strategis yang Berpengaruh 1.4. Tupoksi dan Core Business 1.5. Sistematika Penulisan BAB II : RENCANA STRATEJIK 2.1. Rencana Stratejik 2011 2013 2.2. Rencana Kinerja Tahun 2011 27

2.3. Anggaran Tahun 2011 BAB III : AKUNTABILITAS KINERJA 3.1. Kerangka Pengukuran Kinerja 3.2. Pengukuran Capaian Kinerja Tahun 2011 3.3. Analisis Capaian Kinerja 3.4. Akuntabilitas Keuangan 3.5. Analisis Efisiensi dan Efektivitas Kegiatan BAB IV : PENUTUP 4.1. Keberhasilan dan Kegagalan Kinerja 4.2. Kendala dan Hambatan dalam Pencapaian Sasaran 4.3. Strategi Pemecahan Masalah LAMPIRAN LAMPIRAN : - Lampiran 1 : Formulir Rencana Stratejik (RS) Tahun 2011 2013 - Lampiran 2 : Formulir Rencana Kinerja Tahun (RKT) Tahun 2011 - Lampiran 3 : Formulir Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS) Tahun 2011 - Lampiran 4 : Formulir Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) Tahun 2011 28

RENCANA STRATEJIK 2.1. Rencana Stratejik 2011-2013 mempunyai rencana strategis yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 5 (lima) tahun yang dituangkan dalam dokumen Rencana Strategis Tahun 2011-2013. Selanjutnya, kinerja yang ingin dicapai dalam tahun 2011 dituangkan dalam dokumen Renja Tahun 2011. Pada dasarnya, perencanaan strategis merupakan tipe perencanaan yang timbul akibat kegagalan perencanaan rasional-komprehensif yang gagal mengatasi permasalahan secara menyeluruh. Selain itu pemegang policy dalam perencanaan strategik tidak dimonopoli oleh para teknokrat saja, melainkan harus adanya konsensus bersama antara stakeholders sesuai sistem yang berlaku. Terkait dengan permasalahan tersebut, maka pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan renstra adalah melalui proses teknis-rasional dan proses politis. Pernyataan visi sepenuhnya mengacu pada pernyataan visi Riau Pembangunan 2020, yaitu sebagai: Terwujudnya Ketahanan Pangan yang mantap dalam menciptakan masyarakat yang berkwalitas tahun 2020 mendukung peran Pemerintahan Provinsi Riau itu melalui implementasi core area Badan 29