I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family bovidae yang. berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari India.

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

5 KINERJA REPRODUKSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

BAB I. PENDAHULUAN A.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

ABSTRACT. Key words: Ongole Offspring, Estrous, Estrous Synchronization, PGF 2 α, Parities

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

I. TINJAUAN PUSTAKA. tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu

ONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi lokal dengan penampilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabadabad

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau Murrah merupakan jenis kerbau sungai (river buffalo) yang berasal

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

HASlL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1

Pemantauan dan Pengukuran Proses Layanan Purna Jual. Kegiatan Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal. Kepala BIB Lembang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

FENOMENA ESTRUS DOMBA BETINA LOKAL PALU YANG DIBERI PERLAKUAN HORMON FSH

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Ternak Sapi Potong. Menurut Susiloriniet al., (2008) Sapi termasuk dalam genus Bos, berkaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p Online at :

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DISINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F 2 Α (PGF 2 Α)

HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18%

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keadaan liar, efisiensi reproduksi pada kuda yang mencapai 90% atau lebih.

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

PENDAHULUAN. yang terdiri dari kecamatan Baraka 49 ekor, kecamatan Baroko 13 ekor,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yaitu sebagai tenaga kerja untuk mengolah sawah, penghasil daging dan susu, serta sebagai tabungan untuk keperluan dikemudian hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi. Permasalahan utama yang menghambat produktivitas kerbau adalah sulitnya deteksi estrus dan rendahnya respon ovulasi, sehingga perkawinan dilakukan tidak tepat waktu dan rendahnya angka fertilisasi. Berbagai penelitian untuk mengatasi sulitnya deteksi estrus dan rendahnya respon ovulasi telah banyak dilakukan dengan menggunakan Prostaglandin F2α (PGF2α) maupun kombinasinya dengan Human Chorionic Gonadotrophin (HCG). Dengan perlakuan ini, diharapkan estrus dapat terjadi serentak pada sekelompok ternak sehingga waktu ovulasi dapat diduga dan perkawinan dapat dilaksanakan tepat waktu. Dalam mengelola reproduksi ternak, karakteristik estrus sangat penting untuk diketahui. Paritas telah dilaporkan berpengaruh terhadap karakteristik estrus. Hasil penelitian Ismail (2009) yang dilakukan pada kambing, menyatakan ternak yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali memperlihatkan gejala estrus lebih awal dan penampakan estrus yang sangat jelas diikuti ternak yang sudah pernah melahirkan satu kali. Ternak yang belum pernah melahirkan memperlihatkan onset estrus lambat dan intensitas estrus kurang jelas. Pada kerbau, informasi tentang pengaruh paritas terhadap karakteristik estrus belum banyak tersedia. Oleh sebab itu, diperlukan pengkajian tentang aspek reproduksi dengan melihat

karakteristik estrus kerbau pada berbagai paritas sehingga dapat merancang strategi untuk mengelola reproduksi pada kerbau. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Paritas Terhadap Karakteristik Estrus Kerbau Setelah Penyuntikan PGF2α (Prostaglandin F2α) dan HCG (Human Chorionic Gonadotrophin). B. Rumusan Masalah Dari penjabaran diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu bagaimana pengaruh paritas terhadap karakteristik estrus kerbau setelah penyuntikan PGF2α dan HCG. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paritas terhadap karakteristik estrus kerbau setelah penyuntikan PGF2α dan HCG. Diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai bahan informasi bagi peneliti, peternak, dan masyarakat umum dalam upaya pengembangan ternak kerbau terutama aspek reproduksi. D. Hipotesis Penelitian HCG. Paritas berpengaruh terhadap karakteristik estrus kerbau setelah penyuntikan PGF2α dan II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Ternak Kerbau Murti (2002) menguraikan sistematika kerbau sebagai berikut : Kelas Ordo Sub ordo Family Sub family Genus Sub genus : mamalia : ungulata : ortiodactyla : bovidae : bovinae : bos : bubalus Fahimuddin (1975) mengklasifikasikan kerbau menjadi dua tipe yaitu kerbau sungai (river buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo). Kerbau sungai merupakan kerbau tipe penghasil susu, sedangkan kerbau lumpur sebagai kerbau tipe pedaging (Murti, 2002). Penampilan kerbau sungai yaitu badan dan muka panjang, warna kulit hitam legam, rambut sangat jarang yang berwarna putih meski sering ditemukan dibagian kepala, muka dan bulu ekor (Fischer, 1975 dalam Soedarsono, 1989). Penampilan umum kerbau lumpur yaitu memiliki tubuh yang pendek dan gemuk (stocky animal), lingkar dada besar, kaki pendek dan lurus. Warna yang menutupi tubuh kerbau lumpur adalah abu-abu dengan bercak putih pada bagian permukaan atas leher diatas brisket, warna kulit kebiruan sampai abu-abu hitam, kadang terdapat warna albino (Murti, 2002), sedangkan tanduk, kuku serta bulu berwarna hitam (Toelihere, 1981). Kehidupan kerbau dipengaruhi oleh iklim secara mikro dan keadaan lingkungan (Fahimuddin, 1975). Kerbau tidak mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap panas sehingga akan menderita bila terkena sinar matahari langsung dalam waktu lama. Stres panas yang terus

menerus dan berlangsung lama membuat laju pertumbuhan dan daya reproduksi kerbau menurun (Handiwirawan, Suryana dan Talib, 2008). Kerbau mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan sapi, yaitu mampu memanfaatkan serat kasar, mempunyai daya adaptasinya yang tinggi terhadap daerah yang berkondisi jelek, serta berat dan ukuran badannya yang relatif besar. Keistimewaan yang dimiliki kerbau tersebut memungkinkan untuk mengembangkannya sebagai ternak penghasil daging yang baik (Hellyward, Rahim dan Arlinda, 2000). B. Paritas Paritas adalah tahapan seekor induk ternak melahirkan anak. Paritas pertama adalah ternak betina yang telah melahirkan anak satu kali atau pertama, demikian juga untuk kelahirankelahiran yang akan datang disebut paritas kedua dan seterusnya (Hafez, 1980 dalam Prasetyo, 2009). Jumlah paritas berpengaruh terhadap karakteristik estrus pada ternak. Hasil penelitian Ismail (2009) yang dilakukan pada kambing, menyatakan ternak yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali memperlihatkan gejala estrus lebih awal dan penampakan estrus yang sangat jelas diikuti ternak yang pernah melahirkan satu kali. Ternak yang belum pernah melahirkan memperlihatkan onset estrus lambat dan intensitas estrus kurang jelas. Partodiharjo (1987) menyatakan bahwa lama estrus pada sapi remaja lebih pendek dari pada sapi yang telah pernah melahirkan. Walker et al., (1996) menyatakan bahwa durasi estrus pada sapi satu kali melahirkan (primiparous) lebih pendek dari pada sapi dua sampai empat kali melahirkan (multiparous). Pada hewan muda yang sistem reproduksinya normal mempunyai lama estrus yang lebih pendek dari pada betina yang tua (Toelihere, 1981).

C. Peranan Hormon Dalam Siklus Estrus Hormon adalah suatu zat organik yang diproduksi oleh sel-sel khusus dalam badan, lalu dirembeskan kedalam peredaran darah, dan dengan jumlah yang sangat kecil dapat merangsang sel-sel tertentu dalam tubuh untuk berfungsi (Suardi, 1989). Menurut Salisbury dan VanDemark (1985), hormon hippofisis dan ovarium bersama-sama mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pengaturan terjadinya siklus estrus. Menurut Partodiharjo (1987), Luteinizing Hormon (LH) bekerjasama dengan Folikel Stimulating Hormon (FSH) untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen. Suardi (1989) menyatakan bahwa FSH dianggap murni merangsang pertumbuhan folikel hingga menjadi masak tetapi tidak menyebabkan ovulasi, sedangkan fungsi LH pada hewan betina yaitu merangsang sel-sel granulosa dan sel-sel theca pada folikel yang masak untuk memproduksi estrogen (Partodiharjo, 1987). Estrogen adalah suatu hormon yang menimbulkan estrus pada hewan betina (Toelihere, 1981). Menurut Toelihere (1981), Prostaglandin F2α (PGF2α) merupakan zat yang mempunyai fungsi untuk menurunkan progesteron yang diproduksi corpus luteum. Setelah produksi progesteron rendah, maka FSH-RH/LH-RH (Folikel Stimulating Hormon-Releasing Hormon/Luteinizing Hormon-Realising Hormon) merangsang folikel tertier pada ovarium untuk tumbuh menjadi folikel de Graaf (Partodihardjo, 1987). Folikel de Graaf menghasilkan estrogen yang semakin meningkat kadarnya dan sampai kosentrasi tertentu, estrogen akan menghambat pelepasan FSH oleh hipofisis anterior sehingga kadarnya dalam darah menjadi menurun sampai kadar terendah (Suardi, 1989). Kadar estrogen yang meninggi menyebabkan produksi LH menjadi semakin tinggi, sehingga terjadinya proses ovulasi pada folikel yang masak (Partodiharjo, 1987).

Toelihere (1981) menyatakan bahwa setelah ovulasi, sel-sel luteal dibawah pengaruh LH akan berkembang menjadi corpus luteum sebagai sumber hormon progesteron. Pada level yang tinggi dalam darah, progesteron akan menghambat terjadinya estrus dan pelepasan LH serta menekan terjadinya kontraksi uterus dan menekan respon uterus terhadap pengaruh estrogen maupun oxitocin. Pada profil hormon normal, kadar progesteron mulai meningkat pada hari ke-6 dan mencapai puncak pada hari ke-12 yaitu 423±60,3 pg/ml (Wanananda dkk., 1983). D. Siklus Estrus Pada Ternak Kerbau Sistem reproduksi hewan betina yang telah mengalami dewasa kelamin biasanya mengalami perubahan secara teratur yang disebut siklus estrus. Lamanya waktu siklus estrus pada seekor hewan dihitung mulai dari munculnya estrus sampai muncul estrus lagi pada periode berikutnya (Suardi, 1989). Siklus estrus kerbau yaitu 21 hari dengan kisarannya 18-24 hari (Murti, 2002). Frandson (1992) menyatakan siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. 1. Proestrus Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode dimana folikel de Graaf bertumbuh dibawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang semakin bertambah (Toelihere, 1981). Pada fase ini folikel-folikel bertambah besar dibawah pengaruh FSH. Tiaptiap folikel akan berkembang dengan cepat selama dua sampai tiga hari dari permulaan sampai pada fase estrus (Arifin dkk., 1978). Menurut Suardi (1989), pada fase proestrus hewan telah memperlihatkan tanda-tanda estrus, namun belum bersedia melakukan kopulasi. Gejala estrus mengeluarkan cairan atau lendir juga kelihatan pada fase proestrus (Siregar, 1997). 2. Estrus

Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh betina (Toelihere, 1981). Frandson (1992) menyatakan gejala estrus sangat ditentukan oleh perkembangan sel telur yang dimana perkembangan ini berbeda pada masing-masing spesies, ada yang hanya mempunyai satu folikel de Graaf atau lebih dan juga ditentukan pengeluaran hormon estrogen kedalam darah. Intensitas estrus pada kerbau dan sapi dinilai berdasarkan perubahan vulva yaitu berwarna kemerahan, pembengkakan dan kenaikan suhu; lendir tembus pandang dari vulva (Toelihere, Yusuf dan Taurin, 1979); dan perubahan tingah laku yaitu menguak, saling menaiki, mengangkat ekor bila vulva diraba (Adhitia, 2011). Waktu estrus pada umumnya mempunyai kisaran 12-40 jam dengan rata-rata adalah 24 jam (Murti, 2002). Saladin (1978) menyatakan bahwa lama estrus pada ternak kerbau adalah 24-36 jam. Rata-rata lama estrus ternak kerbau di Kabupaten Sijunjung adalah 44,12 ± 18,63 jam (Suhari, 1996). Waktu untuk mendeteksi gejala estrus kerbau lumpur sebaiknya dilakukan antara pukul 05.00-06.00 dan 17.00-19.00. Gejala saling menaiki terlihat pada waktu fajar sedangkan lendir vulva keluar pada waktu pagi hari dan sore hari (Toelihere, 1981). 3. Metestrus Metestrus adalah periode sesudah estrus, dimana corpus luteum bertumbuh dengan cepat. Metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH sehingga menghambat pembentukan folikel de Graaf yang lain dan mencegah terjadinya estrus (Toelihere, 1981). Suardi (1989) menyebutkan metestrus ditandai dengan tidak terlihat atau berhentinya estrus. 4. Diestrus

Diestrus adalah periode terakhir selama siklus estrus pada ternak-ternak mamalia, dimana corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata (Toelihere, 1981). Fase ini ditandai oleh tidak adanya kebuntingan, tidak adanya aktivitas kelamin dan hewan menjadi tenang (Partodihardjo, 1987). E. Sinkronisasi Estrus Sinkronisasi estrus adalah usaha manusia agar seekor atau sekelompok hewan mengalami estrus sesuai dengan waktu yang diinginkan (Suardi, 1989), sehingga memudahkan observasi deteksi estrus, dapat menentukan jadwal kelahiran, menurunkan usia pubertas pada sapi dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator (Husnurrizal, 2008). Penelitian tentang sinkronisasi estrus telah banyak dilakukan dengan menggunakan PGF2α yang dikombinasikan dengan HCG. Diharapkan dengan perlakuan ini dapat dicapainya onset estrus yang tepat, dimana saat ovulasi dapat diperhitungkan, kemudian melakukan inseminasi buatan, serta mendapatkan hasil yang lebih baik untuk persentase kebuntingan kerbau (Situmorang dan Sitepu, 1991). Kesuksesan program sinkronisasi membutuhkan pengetahuan mengenai siklus estrus. Hari ke-0 merupakan hari pertama estrus. Pada hari ke-1 hormon estrogen mencapai puncaknya dan kemudian menurun, sedangkan level progesteron rendah karena corpus luteum belum terbentuk. Ovulasi terjadi 12-16 jam setelah akhir standing estrus. Corpus luteum terbentuk pada tempat ovulasi dan secara cepat mengalami pertumbuhan mulai dari hari ke-4 sampai ke-7 dan pertumbuhan ini diikuti dengan peningkatan level progesteron. Mulai hari ke-7 sampai ke-16, corpus luteum menghasilkan progesteron dalam level tinggi. Kira-kira hari ke-16, prostaglandin dilepaskan dari uterus yang menyebabkan level progesteron menjadi turun. Ketika level progesteron menurun, level estrogen meningkat dan folikel baru mulai tumbuh. Estrogen

mencapai puncaknya pada hari ke-20 diikuti tingkah laku estrus pada hari ke-21. Pada saat ini siklus estrus kembali dimulai (Siregar dan Hamdan, 2007). F. Prostaglandin F2α (PGF2α) Prostaglandin pertama kali ditemukan oleh Von Euler pada tahun 1935 didalam semen manusia dan diperkirakan merupakan zat yang dihasilkan oleh kelenjer prostat (Djojosoebagio, 1990). Nalbandov (1990) menyataan, prostaglandin berperan dalam sinkronisasi estrus, meniadakan corpus luteum persisten dan induksi kelahiran. Sariubang dan Tambing (2006) menyatakan bahwa penggunaan PGF2α untuk program sinkronisasi estrus ternak hanya efektif bila ternak tersebut telah memiliki corpus luteum. Pemberian PGF2α dapat dilakukan secara intramusculer atau secara intrauterin. Pemberian secara intramuscular mudah dilakukan yaitu dengan cara injeksi, namun dosis yang diperlukan cukup besar. Pemberian secara intrauterin hanya diperlukan dosis yang jauh lebih rendah, namun memerlukan keterampilan khusus (Solihati, 2005). Penggunaan prostaglandin sintetis (estrumate) sebanyak 2 ml secara intramusculer sangat efektif untuk tujuan menyerempakkan estrus kerbau, dimana pemberian estrumate mengakibatkan penurunan level progesteron dari 1,90 gg/ml menjadi 0,05 gg/ml setelah dua hari penyuntikan dan sebagian besar kerbau menunjukkan gejala estrus dua hari setelah pemberian estrumate. (Situmorang dan Sitepu, 1991). Menurut Sariubang dan Tambing (2006) hormon PGF2α dan analognya telah lama digunakan dalam program sinkronisasi estrus ternak. Metode yang digunakan ada dua jenis, yaitu penyuntikan satu kali dan penyuntikan dua kali selang 11 atau 12 hari. Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum dilakukan penyuntikan PGF2α satu kali. Apabila tanpa

memperhatikan ada tidaknya corpus luteum, penyuntikan PGF2α dilakukan dua kali selang waktu 11-12 hari (Herdis dkk., 2007 dalam Husnurrizal, 2008). G. Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) adalah hormon yang terdapat dalam darah maupun urin wanita hamil muda dan telah diketahui dihasilkan oleh placenta (Partodiharjo,1987) yang dapat berfungsi seperti LH untuk meningkatkan ovulasi pada ternak sapi (Situmorang, 2005). Rajamahendra dan Sianangama (1992) menyatakan bahwa peranan HCG adalah memperpanjang masa hidup corpus luteum, peningkatan sintesis progesteron oleh corpus luteum, induksi ovulasi pada keseluruhan siklus estrus, dan membantu pembentukan corpus luteum asesoris ketika diberikan pada awal fase luteal. Pemberian HCG bukan saja melalui peningkatan persentase estrus, akan tetapi juga menyerempakkan ovulasi dan memperbaiki kualitas sel telur yang terovulasi. Keseragaman ovulasi memungkinkan untuk meningkatkan pembuahan khususnya dengan menggunakan semen, dimana daya hidup spermatozoanya yang terbatas pada saluran reproduksi betina (Situmorang dan Siregar, 1997). Hasil penelitian Situmorang dan Siregar (1997) menyatakan, pemberian 500 IU HCG 24-48 jam setelah penyuntikan estrumate akan meningkatkan persentase kerbau yang menunjukkan gejala estrus dibandingkan dengan tanpa HCG. Pemberian HCG 42-47 jam setelah pemberian PGF2α mempercepat estrus dan ovulasi, sedangkan pemberian HCG 57-60 jam setelah PGF2α dapat lebih menyeragamkan waktu estrus dan ovulasi (Kaneda et al., 1981).