Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I. PENDAHULUAN A.

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Umur terhadap Bobot Ovarium. Hasil penelitian mengenai pengaruh umur terhadap bobot ovarium domba

FENOMENA ESTRUS DOMBA BETINA LOKAL PALU YANG DIBERI PERLAKUAN HORMON FSH

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α


Jurnal Kajian Veteriner Volume 3 Nomor 1 : ISSN:

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

ONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

Anatomi/organ reproduksi wanita

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

PENDAHULUAN Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH FOLIKEL YANG MENGALAMI OVULASI TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA PADA BERAHI PERTAMA SETELAH PENYUNTIKAN PGF2,

PENGARUH UKURAN DAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI TERHADAP KUALITAS OOSIT KAMBING LOKAL

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

Pengaruh Waktu dan Suhu Media Penyimpanan Terhadap Kualitas Oosit Hasil Koleksi Ovarium Sapi Betina Yang Dipotong Di TPH

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

PEMBERIAN WHOLE SERUM KUDA LOKAL BUNTING YANG DISENTRIFUGASI DENGAN CHARCOAL TERHADAP BIRAHI DAN KEBUNTINGAN PADA SAPI POTONG

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :83-87 ISSN : Agustus 2009 INDUKSI ESTRUS DENGAN PMSG DAN GN-RH PADA SAPI PERAH ANESTRUS POSTPARTUM

Sutiyono, E.T. Setiatin, Sri Kuncara dan Mayasari Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

5 KINERJA REPRODUKSI

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hcg pada Induk Sapi Potong

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini berupa ovarium domba lokal umur <1 tahun 3 tahun

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

(In Vitro Quality of Filial Ongole Bovine Oocytes Collected from Ovary after Transported in Different Transportation Period) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

PENGARUH UMUR TERHADAP BOBOT DAN DIAMETER OVARIUM SERTA KUALITAS OOSIT PADA DOMBA LOKAL

SUPLEMENTASI FETAL BOVINE SERUM (FBS) TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO SEL FOLIKEL KAMBING PE

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

Minggu Topik Sub Topik Metode Pembelajaran

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

PEMANFAATAN PMSG LOKAL SEBAGAI ALTERNATIF HORMON SUPEROVULASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

KEMAMPUAN MENCIT SWISS WEBSTER BERSUPERKEHAMILAN DAN MEMELIHARA ANAKNYA

Budiasa & Bebas Jurnal Veteriner (Prasetyo dan Susanti, 2000). Pola pemeliharaannya juga masih sangat beragam, mulai dari sistem tradisional, semi int

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

PEMACUAN KEAKTIFAN BERAHI MENGGUNAKAN HORMON OKSITOSIN PADA KAMBING DARA ESTRUS ACTIVITY INDUCTION OF YOUNG GOAT BY OXYTOCIN

D. Uraian Pembahasan. Sistem Regulasi Hormonal 1. Tempat produksinya hormone

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB I PENDAHULUAN tahun jumlahnya meningkat dari 21 juta menjadi 43 juta atau dari 18%

PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI...

Pengaruh Waktu Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HASIL DAN PEMBAHASAN

EFISIENSI SUPEROVULASI PADA SAPI MELALUI SINKRONISASI GELOMBANG FOLIKEL DAN OVULASI MAIDASWAR

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

MANIPULASI REPRODUKSI PADA ITIK PETELUR AFKIR DENGAN PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

Transkripsi:

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2006, VOL. 6 NO. 2, 145 149 Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter) Nurcholidah Solihati, Tita Damayanti Lestari, Kundrat Hidajat, Rangga Setiawan dan Lia January Nurhayat Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan superovulasi selama 48 jam sebelum pemotongan ternak terhadap jumlah folikel, kualitas oosit, dan residu hormon gonadotropin eksogen. Penelitian ini menggunakan domba betina dewasa sebanyak delapan ekor yang dibagi menjadi dua kelompok masing-masing terdiri dari empat ekor domba. Siklus estrus diamati dengan cara melakukan pengamatan/deteksi estrus baik secara visual maupun dengan menggunakan pejantan pengusik (teaser). Perlakuan superovulasi dilakukan dengan memberikan injeksi intramuskular 500 i.u. (Folligon, Intervet) pada hari ke-10 dari siklus estrus. Pemotongan dilakukan 48 jam kemudian, kemudian diambil ovariumnya dan segera dievaluasi. Pengujian residu hormon dilakukan menggunakan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography), sampel diambil dari serum darah. Parameter yang diamati meliputi (1) Jumlah folikel berdasarkan ukuran dan, (2) Jumlah oosit berdasarkan kualitas, (3) Residu hormon gonadotropin eksogen () pada ternak yang diberi perlakuan.. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan uji t dengan ulangan sama. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara domba kontrol dengan domba yang mendapat perlakuan injeksi dalam hal jumlah folikel, jumlah oosit maupun kualitas oosit, namun jumlah folikel ukuran sedang (2-6 mm) dan oosit grade A pada domba yang diberi lebih banyak dibandingkan pada domba kontrol. Hasil pengujian dengan HPLC ditemukan kadar hormon sebanyak 240,62 i.u/ml. Kata Kunci : superovulasi, pmsg, domba ABSTRACT The aim of this research was to know the effect of superovulation treatment during 48 h before animal slaughter on number of follicle, oocyt quality, and hormonal residual of gonadotropin exogen. This research use eight ewe and split in two group. Estrous cycle had monitored with estrous detection both visual and use the teaser. Superovulation treatment do with give intramuscular injection of 500 i.u (Folligon, Intervet) at day 10 of estrous cycle. Slaughter do 48 h after, then ovarium took and evaluated. Analisys for hormonal residual do with HPLC methode, sample take from blood serum. Parameters that inspected consist of (1) number of follicle base on follicle size, and (2) number of oocyte base on oocyte quality, and (3) hormonal residual of gonadotropin exogen (). Data was analized use t test with same replication. Result of this research show that there was no significant different between control and treatment in number of follicle, number of oocyte and oocyte quality although more number follicle of 2-6 mm in size and oocyte with A grade resulted from ram injected than control. Result of HPLC found 240,62 i.u/ml of. Keywords : superovulation, pmsg, follicle number, oocyt quality Pendahuluan Superovulasi adalah suatu prosedur pemberian ormone pada ternak betina sehingga menghasilkan beberapa oosit atau sel telur, dimana secara normal hanya dihasilkan satu oosit pada setiap estrus. Pada domba, kambing atau sapi ratarata diperoleh 12 ovulasi setelah induksi superovulasi. Tujuan utama superovulasi adalah untuk meningkatkan jumlah oosit yang dilepaskan dan jumlah embrio yang potensial. Hormon yang biasa digunakan untuk merangsang pertumbuhan folikel dan ovulasi adalah pregnant mare serum gonadotrophin () dan follicle stimulating hormone (FSH). Target organ superovulasi adalah ovarium dimana terdapat folikel yang didalamnya

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2006, VOL. 6 NO. mengandung oosit. Di rumah pemotongan hewan (RPH) ovarium tergolong kepada limbah dan bersama dengan organ reproduksi yang lain dijual dengan harga yang sangat murah. Induksi superovulasi pada ternak yang akan dipotong dapat meningkatkan jumlah folikel dan oosit yang dihasilkan, sehingga akan meningkatkan manfaat ovarium dari ternak-ternak yang dipotong di RPH, dan selanjutnya dapat digunakan untuk memproduksi embrio secara in vitro. Permasalahan yang dihadapi adalah lama waktu ketika ternak berada di RPH sebelum dipotong sangat singkat, yaitu sekitar dua hari, sehingga lama waktu induksi superovulasi hanya mungkin dilakukan dalam selang waktu tersebut. Sebelumnya telah ada laporan bahwa interval waktu antara pemberian FSH dan pemotongan ternak dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan oosit untuk memperoleh kemampuan perkembangan, dimana interval waktu 48 jam menghasilkan paling banyak embrio (Blondin and Sirard, 1997). Untuk mengetahui kelayakan aplikasi superovulasi di RPH terhadap ternak sebelum dipotong, perlu dilakukan penelitian yaitu yang menyangkut kualitas ovarium. Yang dihasilkan. Selama selang waktu tersebut, induksi superovulasi diharapkan dapat meningkatkan jumlah folikel matang yang berukuran besar dimana terdapat oosit dengan kualitas yang lebih baik. Metode Ternak Percobaan Ternak percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba betina dewasa sebanyak delapan ekor yang dibagi menjadi dua kelompok masing-masing terdiri dari empat ekor domba. Kelompok pertama mendapatkan perlakuan injeksi intramuskular 500 I.U., kelompok kedua adalah control yang tidak mendapatkan injeksi.. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan terdiri dari spuit, jarum suntik, pisau, beaker glass, cawan petri, dan mikroskop. Bahan yang digunakan terdiri dari (Folligon, Intervet), larutan NaCL fisiologis. Metodologi Penelitian Sebelum dilakukan perlakuan superovulasi, seluruh domba yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu diamati siklus estrusnya dengan cara melakukan pengamatan/deteksi estrus baik secara visual maupun dengan menggunakan pejantan pengusik (teaser). Perlakuan superovulasi dilakukan dengan 146 memberikan injeksi intramuskular 500 I.U. (Folligon, Intervet) pada hari ke-10 dari siklus estrus. Pemotongan dilakukan 48 jam kemudian. Setelah ternak dipotong, lalu diambil ovariumnya dan dicuci dengan NaCl Fisiologis. Setelah dibersihkan, ovarium diperiksa kualitasnya. Oosit diperoleh dengan cara aspirasi folikel pada ovarium menggunakan spuit dan jarum suntik, kemudian disimpan dalam cawan Petri dan diperiksa dibawah mikroskop. Parameter yang diukur : 1. Jumlah dan ukuran folikel, yaitu dengan cara menghitung banyaknya folikel yang dihasilkan dari ovarium setiap ekor ternak yang dikelompokan berdasarkan ukuran. Diameter folikel diukur dengan menggunakan jangka sorong dan dihitung jumlah folikelnya dengan menggunakan counter. Ukuran folikel dikelompokan berdasarkan kriteria menurut Tan dan Lu, (1990) dan Lonergan et al., (1991), yaitu : - Ukuran kecil : 1-2 mm - Ukuran sedang : 2-6 mm - Ukuran besar : > 6 mm 2. Jumlah dan kualitas oosit, yaitu dengan cara menghitung banyaknya oosit yang diperoleh dari folikel di ovarium setiap ekor ternak yang diamati dibawah mikroskop dan digolongkan menjadi tiga katagori berdasarkan penilaian visual dari kekompakan sel-sel kumulus. Pengelompokan oosit digolongkan menjadi tiga katagori berdasarkan kualitas oosit (A, B, dan C) menurut Madison, dkk (1992) yaitu: A = sepenuhnya dikelilingi oleh sel-sel kumulus B = sebagian dikelilingi oleh sel-sel kumulus C = oosit yang gundul Rancangan Percobaan Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan perlakuan yang diberikan yaitu induksi dan tanpa. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan uji t dengan ulangan sama. Peubah yang diamati meliputi: ukuran folikel dan kualitas oosit. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Pregnant Mare Serum Gonadotrophin () Terhadap Jumlah Folikel Jumlah folikel yang dihasilkan dari domba kontrol dan yang diberi perlakuan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh Pregnant Mare Serum Jumlah Folikel. Perlakuan Rataan Jumlah Folikel 22,25 23,25

N. Solihati dkk., Perlakuan superovulasi sebelum pemotongan ternak Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa rataan jumlah folikel yang dihasilkan oleh ovarium domba yang diberi suntikan menunjukan jumlah yang lebih banyak dibandingkan kontrol (23,25 vs 22,25). Hasil analisis statistik menunjukan bahwa hormon yang diinduksikan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah folikel. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah umur ternak yang belum dewasa, sehingga respons ovarium terhadap hormon gonadotrofin sangat kurang. Kemungkinan lain adalah kurangnya kadar hormon yang diberikan serta jarak waktu antara penyuntikan hormone dengan pemotongan yang relatif singkat, sehingga hormon tersebut belum terserap dan digunakan sepenuhnya untuk pertumbuhan folikel. Menurut Shahib (2001) kerja hormon selain dipengaruhi oleh kadar hormon darah, juga tergantung kepada keadaan reseptor pada sel target dan protein pengangkut di dalam darah. Hasil penelitian Yulnawati et al. (2005) menunjukkan bahwa jumlah folikel tertinggi didapatkan dari sepasang ovarium dengan adanya CL tanpa folikel dominan. Pertumbuhan folikel selama siklus dikontrol oleh hormon FSH dan LH, yang keduanya harus ada bila diharapkan pertumbuhan dan fungsi (sekresi estrogen) folikel yang normal (Nalbandov, 1990). Pada hewan monotokus maupun politokus jumlah folikel yang berkembang pada fase folikuler dalam siklus jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang bertahan sampai ovulasi. Folikel yang tidak mencapai ukuran ovulasi mengalami degenerasi selama fase folikuler, sehingga dibutuhkan hormon lebih sedikit untuk memulai pertumbuhan folikel dibandingkan dengan mempertahankan folikel yang lebih besar dan membawanya ke ukuran ovulasi (Nalbandov, 1990). Data hasil penelitian menunjukan bahwa induksi hormon yang dilakukan pada hari ke-10 dalam siklus estrus tidak memberikan pengaruh pada pertumbuhan folikel sehingga hasilnya tidak berbeda nyata dengan kontrol. Meskipun sekresi hormon pada betina yang belum dewasa menstimulasi pertumbuhan folikel, namun dari pertumbuhan duktus yang lambat ternyata hanya sedikit estrogen yang disekresikan (Nalbandov, 1990). Sebagaimana pada hewan dewasa, keragaman respons itu timbul terutama akibat (a) sifat dan potensi biologi sediaan hormon yang digunakan dan (b) variasi yang bersifat menurun dalam sensitivitas ovarium antara sesama hewan (Hunter, 1995). Faktor utama yang menghambat jumlah folikel yang mengalami pemasakan pada hewan dengan siklus normal adalah konsentrasi gonadotrofin dalam sirkulasi darah, dan tentu saja ini dapat diperbesar oleh materi hormon yang disuntikkan. Pada penelitian ini, konsentrasi hormon yang diberikan kepada setiap ekor domba merupakan konsentrasi paling rendah yaitu sebesar 500 IU. Hal lain yang menentukan respons ovarium terhadap jumlah folikel yaitu teknik induksi. Teknik induksi secara subcutan akan lebih cepat mencapai target daripada secara intramuskular. Apabila diuraikan lebih lanjut, jumlah folikel tersebut di atas dibagi menjadi jumlah folikel ukuran < 2 mm dan ukuran 2 6 mm. Jumlah folikel dengan kedua ukuran tersebut pada domba kontrol maupun yang diberi perlakuan tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Pregnant Mare Serum Jumlah Folikel Berdasarkan Ukuran Folikel. Perlakuan Jumlah Folikel berdasarkan Ukuran < 2 mm 2 6 mm 52,38 47,62 47,31 52,70 Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa komposisi jumlah folikel kecil (< 2 mm) pada domba kontrol lebih banyak dibandingkan jumlah folikel ukuran sedang (2-6 mm). Hal sebaliknya terjadi pada domba yang diberi perlakuan dimana jumlah folikel ukuran sedang diperoleh lebih banyak dibandingkan jumlah folikel ukuran kecil. Hal ini memberikan gambaran bahwa pemberian dapat meningkatkan jumlah folikel ukuran sedang sebagai akibat terjadinya peningkatan folikulogenesis pada ovarium. Berdasarkan Tabel 2 menunjukan bahwa folikel ukuran < 2 mm diperoleh lebih banyak dari ternak kontrol (52,38) dibandingkan ternak yang diberi (47,31), namun hasil analisis statistika menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Jumlah folikel ukuran < 2 mm pada ovarium domba yang diberi hasilnya lebih kecil daripada domba kontrol menunjukan bahwa pemberian memicu pertumbuhan folikel sehingga folikel yang berukuran < 2 mm sudah berkembang menjadi folikel yang lebih besar dan jumlahnya lebih sedikit diperoleh dibandingkan pada domba kontrol. Tanggapan organisme terhadap hormon tergantung kapasitas jaringan dan organ sasaran 147

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2006, VOL. 6 NO. untuk menanggapinya. Pada umumnya, jaringanjaringan yang tanggap, secara nyata menunjukkan pengambilan hormon yang tersebar dan penahanan yang terlama (Turner dan Bagnara, 1988). Secara alami folikel tersier yang akan menjadi masak pada domba hanya terdapat 1-2 folikel sehingga FSH berperan dalam perangsangan folikel tersier menjadi folikel de Graaf. Lapis sel teka interna dan sel granulosa pada folikel de Graaf menghasilkan estrogen. Semakin masak atau semakin besar dimensi folikel de Graaf semakin tinggi pula produksi estrogen (Partodihardjo, 1987). Estrogen tertuju pada folikel besar seiring diproduksinya LH untuk ovulasi. Tingginya estrogen akan menghambat pertumbuhan folikel primer menjadi folikel sekunder. Berdasarkan Tabel 2 menunjukan bahwa rata-rata persentase folikel ukuran 2-6 mm lebih besar (52,70) diperoleh dari domba yang diberi dibandingkan kontrol (47,62), namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Pengaruh terhadap pencapaian folikel ukuran 2-6 mm cukup besar, sehingga folikel dengan ukuran tersebut diperoleh lebih banyak dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini menunjukan bahwa berperan untuk perkembangan folikel sehingga pada domba yang diberi perlakuan diperoleh folikel yang berukuran sedang lebih banyak dibandingkan dengan domba kontrol. Pengaruh Pregnant Mare Serum Gonadotrophin () Terhadap Kualitas Oosit Pengamatan tehadap jumlah oosit tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Pregnant Mare Serum Jumlah Oosit. Perlakuan Rataan Jumlah Oosit (sel) 20,25 20,75 Berdasarkan Tabel 3 menunjukan bahwa jumlah oosit yang dihasilkan dari domba yang diberi suntikan 500 IU hampir sama dengan kelompok kontrol, dan secara statistic tidak berbeda nyata. Hal ini karena jumlah folikel yang dihasilkan dari kedua kelompok perlakuan tersebut juga tidak berbeda nyata, mengingat sel telur terdapat di dalam folikel. Dengan kata lain, jumlah oosit akan mengikuti jumlah folikelnya. Oosit akan tumbuh dalam lingkungan folikel dan akan mengikuti siklus ovarium. Hadirnya folikel dominan dalam ovarium akan mengurangi konsentrasi FSH dan menyebabkan folikel lainnya mengalami stress dan regresi (Varishaga et al. 1998). Hadirnya corpus luteum dan folikel dominan di dalam ovarium akan memberikan pengaruh bagi perkembangan folikel dan status ovarium. Masalah terbesar pada superovulasi adalah variasi yang sangat besar pada respons superovulasi pada spesies yang sama (Bowen dan Pineda, 1989). Tabel 4. Pengaruh Pregnant Mare Serum Jumlah Oosit Grade A, B, dan C. Perlakuan Rataan Kualitas Oosit A B C control 33,27 33,71 33,03 40,58 33,02 26,40 Berdasarkan Tabel 4. terlihat bahwa pada domba kontrol mempunyai komposisi oosit grade A, B, dan C yang relatif sama (33,27 vs 33,71 vs 33,03). Pada domba yang diberi perlakuan injeksi terlihat bahwa jumlah oosit terbanyak diperoleh dari oosit grade A (40,58), disusul oleh grade B (33,02) dan grade C (26,40). Hal ini menunjukan bahwa pemberian dapat meningkatkan jumlah oosit grade A dan memperkecil oosit grade C. Pemberian akan meningkatkan folikulogenesis yang terjadi pada ovarium sehingga terjadi perkembangan folikel dan peningkatan sintesis estrogen dari selsel granulosa di dalam folikel. Hal ini selanjutnya akan memberikan tambahan nutrisi terhadap oositoosit yang berada di dalam folikel sehingga kualitas oosit tersebut meningkat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa oosit grade A yang diperoleh dari domba yang diberi induksi lebih banyak dibandingkan kontrol, namun hasil uji statistik menunjukan perbedaan yang tidak nyata. Hasil ini menunjukan bahwa pemberian meningkatkan perkembangan folikel. Oosit grade A ini diperoleh dari folikel berukuran 2-6 mm, yang menunjukkan bahwa pada folikel yang mencapai ukuran maksimum banyak terdapat nutrisi didalamnya yang berguna untuk meningkatkan kualitas oosit, sehingga pada domba yang diberi diperoleh oosit grade A lebih banyak. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa jumlah tertinggi oosit dengan grade A diperoleh dari sepasang ovarium dengan 148

N. Solihati dkk., Perlakuan superovulasi sebelum pemotongan ternak adanya CL dan folikel dominan (Yulnawati, et al. 2005). Waktu penyuntikan hormon eksogen juga berpengaruh terhadap besar kecilnya rangsangan yang diterima oleh setiap organ dan jaringanjaringan. Kompetensi sel sasaran tergantung kepada banyak faktor, seperti spesies hewan, jenis kelamin, kebuntingan, nutrisi, pencahayaan, kondisi refraktori, suhu, umur, dan hormonhormon lain di dalam sistem (Turner dan Bagnara, 1988). Hasil Pengujian HPLC Terhadap Serum Domba yang Diberi Berdasarkan pengujian menggunakan metode HPLC diperoleh hasil bahwa di dalam serum domba ditemukan hormon dengan kadar 240,62 i.u/ml. Sampai saat ini belum ada laporan mengenai efek negatif dari residu hormon protein baik terhadap ternak maupun manusia. Demikian pula belum ada laporan yang menyatakan hormon protein dapat bertindak sebagai bahan karsinogen (Hardjopranjoto, 2001). Menurut Manalu (2001), apabila terdapat peningkatan kadar hormon (somatotropin dan IGF) pada daging yang dikonsumsi manusia, maka secara biologis tidak ada masalah, karena hormon tersebut akan dirusak oleh enzim pepsin di lambung, kemudian oleh enzim tripsin dan kimotripsin di usus dan oleh enzim-enzim peptidase sebelum diserap di dinding usus halus. Dengan demikian pada manusia normal dewasa tidak akan pernah ada molekul protein yang akan utuh masuk ke dalam darah dari saluran pencernaan. Kalaupun ada yang tidak terurai secara sempurna menjadi asam amino, molekul tersebut tidak akan mempunyai aktivitas biologis lagi sebagai hormon. Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara domba kontrol dengan domba yang mendapat perlakuan injeksi dalam hal jumlah folikel, jumlah oosit maupun kualitas oosit, namun jumlah folikel ukuran sedang (2-6 mm) dan oosit grade A pada domba yang diberi lebih banyak dibandingkan pada domba kontrol. Bowen, R.A. and M.H. Pineda. 1989. Embryo Transfer in Domestic Animals. In : L.E. McDonald. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Lea&Febiger Philadelphia, London. 527-533. Hafez, B. and E.S.E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th Ed. Lea and Febiger, Philadelphia. 96-107 Hunter, R.H.F. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit ITB, Bandung. 82-95. Lonergan, P., Monaghan, P., Rizos, D., Boland, M. and Gordon, I. 1994. Effect of follicle size on bovine oocyte quality and developmental competence following maturation, fertilization and culture in vitro. Molecular Reproduction and Development (37) : 48-53. Madison, V., B. Every, and T. Grave. 1992. Selection of immature bovine oocytes for developmental potention in vitro. J. Animal. Reprod. Sci. 27 : 1-9. Nalbandov, A. V. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 22, 74, 180, 183. Partodihardjo, Soebadi. 1990. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 48-49, 84,120-121. Shahib, M.N. 2001. Hormon : Dari klinik ke bioteknologi. Proceeding, Seminar Sehari : Problematika Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung. 6-13. Tan, S.J. and Lu, K.H. 1990. Effects of different oestrous cycle stage of ovaries and sizes of follicles on generation of IVF early bovine embryos. Theriogenology (33) : 335. Turner, C.D. dan J.T. Bagnara. 1988. Endokrinologi Umum. Airlangga Univ. Press, Surabaya. 61-63. Varishaga, M.D., C. Sumantri, M. Murakami, M. Fachrudin, T. Suzuki. 1998. Morphology classification of the ovaries in relation to the subsequent oocyte quality for IVF-produced bovine embryos. Theriogenology 50 : 1015-1023. Yulnawati, M.A. Setiadi, and A. Boediono. 2005. Maturation and fertilization rate of ovine oocytes collected from different status of ovaries. Proceedings, Reproductive Biotechnology for Improved Animal Breeding in Southeast Asia. Bali, Indonesia. 199-202. Daftar Pustaka Blondin, P. and Sirard, M.A., 1997. The time interval between FSH-P administration and slaughter can influence the developmental competence of beef cattle oocytes. Theriogenology (47) : 184. 149