BAB IV ANALISIS PROSPEK PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PIDANA OLEH JAKSA Penyimpangan Dalam Penerimaan Pengajuan Peninjauan Kembali yang

dokumen-dokumen yang mirip
HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

PENINJAUAN KEMBALI (PK) YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARIYANTO

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

I. PENDAHULUAN. seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diatas maka dapat ditarik kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Hukum menurut Subekti, dalam bukunya

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG MENERIMA PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PIDANA OLEH JAKSA

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB IV. A. Dasar Hukum Putusan Hakim Pidana Di Bawah Tuntutan Jaksa Penuntut. Tugas Hakim sangatlah berat, karena tidak hanya mempertimbangkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion merupakan hal baru dalam

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup,

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

I. PENDAHULUAN. Secara etimologis kata hakim berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. melekat pada diri masing-masing individu. Hal itu cukup beralasan, betapa tidak,

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan bagian

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

I. PENDAHULUAN. sehingga sistem hukum Belanda pun diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB I PENDAHULUAN. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS PROSPEK PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PIDANA OLEH JAKSA 4.1. Penyimpangan Dalam Penerimaan Pengajuan Peninjauan Kembali yang Diajukan Jaksa oleh Mahkamah Agung Putusan Mahkamah Agung yang telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa dalam beberapa kasus yang telah ada, seperti putusan kasus Muchtar Pakpahan, Kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, dapat dikatakan sebagai keputusan yang berani. Putusan-putusan tersebut oleh sebagian orang dianggap sebagai putusan yang kontroversial, karena dianggap tidak melaksanakan aturan formal atau telah bertindak melebihi ketentuan hukum acara mengenai hal pengaturan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut terlihat lebih memperhatikan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dari pada mengikuti ketentuan undangundang. Mahkamah Agung terlihat tidak fanatik terhadap ajaran positivisme atau analytical positivism atau rechtsdogmatiek yang cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu yang otonom, yang tujuannya tidak lain sekedar mencapai atau terwujudnya kepastian hukum. Mahkamah Agung juga sepertinya telah berfikir sebagaimana aliran realisme hukum yang tidak hanya berkutat pada pengongkritan undang-undang, sebagaimana aliran realisme hukum Amerika ataupun realisme hukum Skandinavia. 149

150 Menurut pemikir-pemikir tentang hukum di Amerika seperti Oliver Wendell Holmes, bahwa seorang sarjana hukum harus menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. 142 Dalam pendapat yang lain, menurut Benyamin Nathan Cardozo, salah seorang pemikir hukum Amerika berpandangan, bahwa : 1. Hukum adalah kegiatan hakim di pengadilan yang terikat pada tujuan hukum, yaitu kepentingan umum. 2. Hakim bebas memutus, tetapi dengan batasan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. 143 Hampir sejalan dengan aliran realisme hukum Amerika, dalam aliran realisme hukum Skandinavia, sebagaimana pendapat salah satu tokohnya yaitu Axel Hagerstrom, bahwa ilmu pengetahuan hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam bidang hukum. 144 Demikian juga pendapat Ander Vilhelm Lundstedt, bahwa hukum positif sama sekali tidak mewajibkan. Undang-undang hanya merumuskan bagaimana kelakuan biasa orang dalam suatu situasi tertentu. 145 Seperti halnya Lundstedt, pemikir hukum lainya bernama Karl Olivecrona juga berpendapat, bahwa : Aturan hukum merupakan sejumlah peraturan. Peraturan-peraturan itu mempunyai pengaruh psikologis yang agak besar atas kelakuan orang. Pengaruh ini berpautan dengan organisasi kekuasaan fisik, yakni negara. Kekuasaan itu menakutkan orang untuk tidak melanggar peraturan-peraturan itu. Peraturanperaturan hukum ditanggapi sebagai norma moral. Melalui propaganda orangorang dibawa pada keyakinan bahwa mereka harus mentaati peraturan tersebut. Akan tetapi memang tidak terdapat peraturan yang normatif, terdapat hanya kenyataan saja. 146 Putusan Mahkamah Agung dalam kasus-kasus peninjauan kembali tersebut di 142 Theo Huijbers I, Op.cit., h.179. 143 Achmad Ali, Op.cit., h.312. 144 Theo Huijbers I, Op.cit., h.181. 145 Theo Huijbers I, Op.cit.., h.182. 146 Theo Huijbers I, Op.cit., h. 182

151 atas, oleh Satjipto Rahardjo dipandang sebagai pembangkangan oleh pengadilan. 147 Pembangkangan tersebut terjadi karena pengadilan lebih mendengar gejolak dalam masyarakat dari pada mengikuti bunyi undang-undang. Filsafat atau aliran yang legalistik-positivisme dipinggirkan dan digantikan oleh realisme hukum. 148 Mahkamah Agung dan pengadilan pada umumnya memang harus berani keluar dari lingkungan formal dengan berfilsafat realisme seperti itu, semata-mata berdasarkan alasan demi membangun hukum Indonesia yang lebih berkeadilan. 149 Langkah hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam perkara-perkara peninjauan kembali tersebut di atas, menunjukkan secara tidak langsung bahwa Mahkamah Agung khususnya dalam perkara tersebut telah menerapkan tipe penegakan hukum yang oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai penegakan hukum progresif. Penegakan hukum tipe ini dilakukan demi menyelamatkan penegakan hukum di Indonesia dengan tipe penegakan hukum moderen yang sebelumnya dianut tidak bisa menyelesaikan kasus-kasus besar seperti korupsi, dimana para koruptor dan armada hukumnya lebih pintar mematahkan jurus-jurus hukum yang akan dikenakan kepada mereka. 150 Sebaliknya, apabila berpegang teguh pada ajaran positivisme, putusan-putusan peninjauan kembali di atas sebagai bentuk penyimpangan hukum. Dalam arti, penyimpangan terhadap ketentuan perundang-undangan yang sah dan berlaku, yakni KUHAP. Ketentuan yang mengatur masalah peninjauan kembali dalam perkara pidana 147 Satjipto Rahardjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta, selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo V, h.39. 148 Ibid. 149 Ibid. 150 Satjipto Rahardjo, Indonesia Inginkan Penegakan Hukum Progresif, htt://www.kompas.com. Tanggal Akses 5 Juli 2009, selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo VI.

152 di Indonesia telah dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 263 KUHAP. Dalam pasal tersebut secara jelas tidak ada ketentuan yang mengatur tentang boleh atau tidaknya jaksa mengajukan peninjauan kembali. Hal ini berarti dalam pandangan positivisme tidak ada kebolehan bagi jaksa mengajukan peninjauan kembali, karena memang dalam undang-undang itu tidak ada pengaturan kebolehan bagi jaksa. Kecenderungan melihat bahwa hukum sebagai suatu yang otonom, sebagaimana diagungkan penganut aliran positivisme yang berpendapat, bahwa tujuan hukum tidak lain dari sekedar mencapai/terwujudnya kepastian hukum, maka penyimpangan undang-undang dalam pandangan positivisme juga dianggap telah meniadakan kepastian hukum. Keputusan Majelis Hakim Mahkamah Agung menerima peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa sejak kasus pertama, yaitu kasus Muchtar Pakpahan dan kasuskasus berikutnya yang mengikuti hingga sekarang, secara normatif tidak mempunyai landasan berpijak. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam menerima pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa dalam putusan peninjauan kembali perkara Muchtar Pakpahan, perkara Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), perkara Soetiyawati maupun perkara Pollycarpus Budihari Priyanto tersebut di atas, didasarkan atas alasan yang pada intinya sebagai berikut : 1. Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menentukan Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Ketentuan tersebut tidak menjelaskan tentang siapa saja yang dimaksud pihak-

153 pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali tersebut. Demikian juga Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menentukan, Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara pidana atau perdata oleh pihak-pihak yang berkepentingan, tidak menjelaskan tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali. Terhadap ketidakjelasan tersebut, dalam putusan Mahkamah Agung perkara Muchtar Pakpahan maupun putusan setelahnya telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran ekstensif, bahwa yang dimaksud pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana, selain terpidana atau ahli warisnya adalah jaksa. 2. Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu : a. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang jaksa penuntut umum mengajukan upaya peninjauan kembali. Sebab logikanya terpidana/ahli warisnya tidak akan mengajukan peninjauan kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah jaksa penuntut umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP. b. Konsekuensi logis dari aspek demikian, maka Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang pokoknya menentukan, Atas dasar alasan yang sama sebagaimana

154 tersebut pada ayat (2) terdapat suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan ini suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan, tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan. Oleh kareananya logis apabila kepada jaksa diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali. Berdasarkan alasan-alasan tersebut dan seluruh pertimbangan sebagaimana termuat dalam putusan-putusan peninjauan kembali di atas, terlihat Mahkamah Agung sepertinya ingin membuktikan, bahwa jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali. Keinginan itu juga terlihat dari salah satu pertimbangan hukum dalam perkara peninjauan kembali perkara Pollycarpus Budihari Priyanto yang menyatakan, Menghadapi problema yuridis hukum acara pidana yang tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara a quo berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dalam perkara pidana. Membaca pertimbangan-pertimbangan hukum dalam perkara-perkara tersebut, terlihat Mahkamah Agung dalam masalah hukum kasus itu telah tidak menjalankan perintah undang-undang dan telah keluar dari ketentuan formal undang-undang (Pasal 263 KUHAP) sebagai acuan utama dalam menjalankan fungsinya mengadili suatu perkara pidana yang diajukan peninjauan kembali. Tindakan menciptakan hukum acara pidana sendiri dengan interpretasi ekstensif dalam mengadili perkara seperti

155 diperlihatkan Mahkamah Agung pada perkara Muchtar Pakpahan, perkara Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), perkara Soetiyawati maupun perkara Pollycarpus Budihari Priyanto, dalam pandangan positivisme sebagai hukum yang tidak berlaku. Karena hukum yang berlaku menurut aliran positivisme adalah karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. 151 Hukum dalam bentuk positifnya (undang-undang) tersebut akan dianggap sah dan dapat diberlakukan apabila dibentuk oleh lembaga legislatif (DPR) dengan persetujuan bersama lembaga eksekutif (Presiden). Oleh John Austin dikatakan bahwa setiap hukum positif dihasilkan dari pembentuk hukum, yang ditentukan secara tegas dan semua hukum positif dibentuk oleh yang berkuasa atau badan yang berwenang untuk itu. 152 Dengan demikian, hanya lembaga legislatif (DPR) dengan persetujuan eksekutif (Presiden) sajalah yang berwenang menetapkan dan merubah suatu undangundang. Oleh karenanya, penerapan hukum dalam kasus peninjauan kembali yang diajukan jaksa yang telah diterima oleh Mahkamah Agung, penerapannya dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari aturan hukum yang telah ada, yakni KUHAP. Hal tersebut dikarenakan mengubah aturan yang sah diluar kewenangannya dalam sistem hukum menurut H.L.A. Hart tidak dibenarkan. Dalam teori Hart tentang aturan yang disebut secondary rule, kewenangan mengubah aturan (rules of change) dibatasi oleh siapa dan bagaimana caranya. Jadi tidak secara bebas mengubah atau memberlakukan suatu aturan hukum (undang-undang). Keputusan Mahkamah Agung menerima peninjauan kembali perkara Muchtar Pakpahan, perkara Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), perkara 151 Theo Huijbers I, Op.cit., h. 129 152 Khudzaifah Dimyati, Op.cit., h. 64

156 Soetiyawati maupun perkara Pollycarpus Budihari Priyanto yang diajukan oleh jaksa, dalam pandangan positivisme juga dianggap bukan sebagai keputusan yang tepat. Putusan-putusan hukum yang tepat menurut Hart, dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, maupun norma-norma moral. 153 Demikian juga menurut teori Lon Fuller, bahwa keputusan-keputusan otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum. 154. Hal itu artinya sesuai dengan teori Hart yang disebut sebagai aturan primer (primary rule), seharusnya Mahkamah Agung bertindak sebagaimana seharusnya sesuai dengan norma yang ada, sehingga dengan langkah seperti itu akan memberikan nilai kepastian hukum bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan lembaga peninjauan kembali. 4.2. Alasan Mahkamah Agung Menerima Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Perdebatan tentang diterimanya pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan jaksa oleh Mahkamah Agung, yaitu sejak adanya kasus Muchtar Pakpahan hingga sekarang sepertinya belum tuntas. Berbagai pendapat telah banyak mengemuka baik dari para praktisi hukum maupun para akademisi. Ada sebagian pendapat bisa memahami dengan langkah yang telah diambil Mahkamah Agung. Tetapi juga tidak sedikit pendapat yang keberatan atau tidak setuju dengan langkah Mahkamah Agung tersebut. 153 Khudzaifah Dimyati, Op.cit., h. 61 154 Khudzaifah Dimyati, Op.cit., h. 62

157 Dari berbagai diskusi maupun kajian akademis, tampak bahwa pendapatpendapat yang muncul diwarnai oleh latar belakang dasar pemahaman yang berbedabeda. Sebagian pendapat terlihat didasari atas pemahaman secara kental ajaran positivisme dan pada pendapat yang lainnya terlihat didasari atas pemahaman yang lebih mengarah pada ajaran realisme hukum. Menilai putusan-putusan perkara peninjauan kembali seperti pada kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto tersebut, akan kurang tepat apabila hanya bersandar pada satu sudut pandang teori atau ajaran hukum saja, Melainkan harus dilihat secara menyeluruh dari berbagai sudut pandang bagaimana putusan-putusan tersebut lahir. Memperhatikan kembali putusan-putusan perkara peninjauan kembali tersebut, pada hakikatnya terdapat dasar pembenar keputusan hukum yang telah diambil oleh Mahkamah Agung dalam hal menerima pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa. Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai dasar pembenar tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kasus Muchtar Pakpahan. a. Hukum terbentuk antara lain meliputi putusan-putusan hakim, seperti dalam masalah pengajuan kasasi Pasal 244 KUHAP. Melalui penafsiran Pasal 244 KUHAP tersebut hakim menentukan bahwa terdapat dua macam putusan bebas, yakni bebas murni dan bebas tidak murni. Terhadap putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan terhadap putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi.

158 b. Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan, bahwa dalam perkara perdata dan pidana terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam perkara pidana terdapat dua pihak yang berkepentingan, yakni terdakwa dan jaksa yang mewakili kepentingan umum/negara. Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyebutkan adanya pihak-pihak yang berkepentingan, dimaknai bahwa pihak-pihak yang disebutkan diatas dapat mengajukan peninjauan kembali. c. Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan, Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, memberi arti bahwa terhadap putusan pengadilan yang bukan putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum dapat diajukan permintaan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dengan tegas ditentukan atau tidak diatur. Dengan perkataan lain, tidak ada larangan untuk dimintakan peninjauan kembali oleh jaksa, karena secara logika tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. d. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menentukan, Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap putusan pengadilan yang telah

159 memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan. Mahkamah Agung berpendapat Pasal 263 ayat (3) KUHAP juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan. Oleh karenanya, logis apabila Pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut ditujukan kepada Jaksa, sebab dalam hal ini jaksa adalah pihak yang paling berkepentingan. e. Berlandaskan asas legalitas dan dalam rangka menerapkan asas keseimbangan antara hak asasi pihak-pihak peninjauan kembali sebagai perseorangan atau sebagai manusia seutuhnya, berwujud kepentingan perseorangan atau golongan tertentu sebagai satu pihak. Sedangkan sebagai pihak lainnya, untuk kepentingan umum, bangsa dan masyarakat termasuk kepentingan pembangunan negara kesatuan Republik Indonesia. Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali selaku badan peradilan tertinggi mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil. Mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali perkara ini, masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam hal tersebut, Mahkamah Agung melalui putusan perkara a quo ingin menciptakan hukum acara sendiri guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa

160 tersebut dengan menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali dari jaksa secara formal dapat diterima. 2. Kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School). a. Sepanjang mempertimbangkan jalan masuk untuk peninjauan kembali, Majelis Hakim peninjauan kembali kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School) setuju terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan sepanjang menyangkut kewenangan/hak peninjauan kembali oleh jaksa. b. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang jaksa berhak mengajukan peninjauan kembali, Hal tersebut secara logika tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan vrijspraak (bebas) dan onslag van alle rechtvervolging (lepas dari segala tuntutan hukum), sehingga dalam hal ini yang berkepentingan adalah jaksa. c. Pasal 263 ayat (3) KUHAP juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisannya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis apabila jaksa diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali melalui pasal ini. 3. Kasus Soetiyawati. a. Ditinjau dari teori dan praktik yurisprudensi, dibenarkan melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk to growth the meaning atau overrule maupun depature. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP dan diterima dalam praktik peradilan Indonesia

161 adalah kasus Natalegawa dalam perkara Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 10 Desember 1993. Dalam perkara itu, Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui penafsiran ekstensif, yaitu meskipun Pasal 244 KUHAP tidak memberi hak kepada jaksa mengajukan kasasi terhadap putusan bebas, tetapi ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat pada ketentuan ini dilenturkan, bahkan disingkirkan (overrule) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan, bukan pembebasan murni. Motivasi meng-contra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan yang dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral. Bertolak dari kasus tersebut, Mahkamah Agung melenturkan atau mengembangkan ketentuan Pasal 263 KUHAP demi mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal. Untuk itu harus diberi hak kepada jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada jaksa membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan tidak adil (injustice). b. Hakim/pengadilan dalam sistem hukum Indonesia mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law). Fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan/hakim tersebut harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.

162 4. Kasus Pollycarpus Budihari Priyanto. a. Mahkamah Agung menerima pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa dengan pertimbangan sebagai berikut : 1) Menghadapi problema yuridis hukum acara pidana yang tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara a quo berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa penuntut umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dalam perkara pidana. 2) Untuk menyelesaikan problem yuridis tersebut, Mahkamah Agung meneliti dan menafsir beberapa undang-undang sebagai acuan, yaitu : a) Melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP, Mahkamah Agung telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi. Penafsiran ini telah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. b) Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan, bahwa dalam perkara perdata dan pidana terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam perkara pidana terdapat dua pihak yang berkepentingan yakni terdakwa/terpidana dan jaksa

163 yang mewakili kepentingan umum/negara. Pihak-pihak yang berkepentingan dimaksud adalah terpidana dan jaksa. c) Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Mahkamah Agung ditujukan kepada jaksa, karena jaksa adalah pihak yang paling berkepentingan agar putusan pengadilan dirubah. d) Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (termohon PK) disatu pihak dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak yang diwakili oleh jaksa, maka jaksa dapat pula mengajukan peninjauan kembali. e) Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat dan adil. Karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi adanya kepastian hukum. b. Selain atas alasan di atas, Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto, mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusan tanggal 5 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996 atas nama terpidana Muchtar Pakpahan dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001 atas nama

164 terpidana Ram Gulumal alias V. Ram, yang secara formal telah mengakui hak/wewenang jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali. Pendirian Mahkamah Agung tersebut selain untuk memelihara keseragaman putusan, dalam putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut terkandung penemuan hukum selaras dengan jiwa ketentuan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas maupun doktrin dan asas-asas hukum, sebagai berikut : 1) Penganut doktrin sens-clair (la doctrine du sensclair) berpendapat bahwa penemuan hukum oleh hakim hanya dibutuhkan jika : a) Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in concreto atau. b) Peraturanya sudah ada tetapi belum jelas. 2) Pendapat Lie Oen Hock, apabila dalam undang-undang menunjukkan kekurangan atau tidak jelas, dalam hal demikian undang-undang memberi kuasa kepada hakim untuk memberikan sendiri maknanya atas ketentuan undang-undang itu, atau artinya terhadap kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang, hakim boleh menafsir ketentuan undangundang tersebut secara gramatikal atau historis. 3) Pendapat M. Yahya Harahap, bahwa meskipun hukum acara tergolong hukum public yang bersifat imperatif, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi, apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to the principle of justice. Sifat hukum acara sebagai ketentuan publik memang diakui imperatif, tetapi tidak seluruhya absolut. Ada

165 ketentuan yang dapat dilenturkan (fleksibel), dikembangkan (growith) bahkan disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep to improve the quality of justice and to reduce injustice. 4) Pertimbangan di atas sesuai dengan model pada konsep daaddaderstrafrecht yang oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. Selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum pancasila yaitu pengayoman, dimana hukum harus mengayomi semua orang baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana. 5) Selain itu pertimbangan hukum tersebut juga sejalan dengan ajaran prioritas baku dari Gustav Radbuch, dimana keadilan selalu diprioritaskan. Ketika hukum harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus kepada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan dan kepastian hukum, maka pilihan harus kepada kemanfaatan. Ajaran prioritas baku tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh panitia penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yaitu Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum

166 yang akan ditetapkan hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan diatas kepastian hukum. 6) Pedoman pelaksanaan KUHAP menyebutkan bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, serta apakah orang yang didakwa itu dapat disalahkan. Dari pendapat atau pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagaimana termuat dalam empat kasus di atas, apabila ditinjau dari ajaran positivisme seperti telah diulas dalam sub bab sebelumnya, rasanya akan sulit dapat diterima. Hal itu dikarenakan keputusan Mahkamah Agung menerima pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa dari empat kasus itu mendasarkan diri pada interpretasi secara luas (interpretasi ekstensif), tidak sesuai ajaran positivisme, bahwa hukum yang dianggap sah adalah karena bentuknya, lepas dari pengaruh sosial atau moral, semua itu semata-mata untuk mendapatkan kepastian hukum. Namun demikian, untuk mendapatkan pemahaman secara bulat atas pendapat atau pertimbangan hukum Mahkamah Agung tersebut tentu haruslah meninjau pula dari sudut ajaran yang lainnya.

167 Sesuai dengan tugas dan fungsinya, hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya tersebut selalu akan dihadapkan pada peristiwa-peristiwa konkrit. Untuk dapat menyelesaikan perkara yang dihadapinya itu, seringkali hakim dihadapkan suatu fakta bahwa hukum (tertulis) yang menjadi dasar untuk memutuskan perkara tersebut tidak ada atau kurang jelas. Meskipun hukumnya tidak ada atau kurang jelas, hakim diharuskan tetap dapat memutuskannya. Dalam keadaan seperti itu, apakah hakim boleh membuat sendiri hukumnya agar perkara yang dihadapinya dapat diselesaikan? Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengatakan, dalam keadaan seperti itu hakim harus mencari hukumnya dan menemukan hukumnya. 155 Selanjutnya menurut Sudikno dan Pitlo, bahwa penemuan hukum dimaksud lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugaspetugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit. 156 Untuk dapat menemukan hukum tersebut, maka diperlukan suatu metode penemuan hukum dengan cara penafsiran atau interpretasi agar dapat memberi penjelasan mengenai teks undang-undang, dan agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. 157 Demikian pula seperti dikatakan Theo Huijbers, bahwa untuk sampai pada suatu pengertian undang-undang yang sungguh-sungguh perlu mengerti bagaimana suatu ketentuan berfungsi dalam praktik hidup. 158 Ilmu hukum itu sendiri menurut Theo Huijbers, bukan suatu sistem logis tertutup, melainkan suatu sistem yang terbuka bagi pertimbangan-pertimbangan 155 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 4 156 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 4 157 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 13 158 Theo Huijbers I, Op.cit., h. 134

168 baru. 159 Artinya, bahwa penafsiran terhadap undang-undang diperbolehkan sepanjang undang-undang itu terdapat ketidakjelasan atau terdapat kekosongan norma. Selain pendapat di atas, menghadapi problem adanya ketidakjelasan atau adanya kekosongan norma, secara normatif sebagaimana ditentukan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dari pemahaman tersebut, terhadap keputusan Mahkamah Agung yang telah menerima pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa melalui penafsiran-penafsiran sebagaimana telah diulas diatas dipandang merupakan keputusan yang dapat dibenarkan. 4.3. Analisis Pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Menerima Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara Pidana oleh Jaksa Pro-kontra lahirnya putusan-putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung dalam perkara pidana yang diajukan oleh jaksa dalam perkembangan hukum di Indonesia telah menarik perhatian masyarakat luas terutama bagi kalangan akademisi hukum maupun praktisi hukum. Pro-kontra tersebut terjadi karena dilatarbelakangi oleh pemahaman dari sudut pandang yang berbeda dalam melihat kasus yang terjadi, yaitu ada yang melihatnya dari sudut hukum positif dan ada yang melihatnya dari sudut nilai keadilan. Pemahaman dari sudut hukum positif cenderung berfikir bahwa keputusan-keputusan hukum haruslah seperti yang dikehendaki dalam undangundang. Sementara dalam pemahaman dari sudut keadilan, menghendaki bahwa keputusan-keputusan hukum haruslah dilandasi nilai-nilai keadilan. 159 Theo Huijbers I, Op.cit., 134

169 Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dengan mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang termuat dalam putusan-putusan peninjauan kembali kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati dan kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, dalam tesis ini penulis mencoba menganalisis masalah diterimanya pengajuan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana yang diajukan oleh jaksa dari beberapa kajian teori, sebagai berikut : 1. Penafsiran hukum oleh Mahkamah Agung terhadap ketentuan undang-undang mengenai pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa. Penafsiran hukum sebagaimana termuat dalam putusan-putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung pada kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati dan kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, secara garis besar mengenai hal sebagai berikut : a. Penafsiran hukum terhadap Pasal 263 KUHAP sebagai dasar acuan pengajuan peninjauan kembali pada perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap bercermin pada penafsiran hukum yang pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap Pasal 244 KUHAP dalam perkara Nomor 275 K/Pid/1983 kasus Natalegawa tentang ketentuan pengajuan kasasi. Pada kasus Natalegawa tersebut walaupun Pasal 244 KUHAP secara limitatif tidak memberi hak kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap putusan bebas, akan tetapi ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat pada ketentuan ini dilenturkan, bahkan disingkirkan (overrule) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan, bukan pembebasan murni. Mahkamah Agung dalam kasus itu

170 ternyata telah menafsirkan, bahwa putusan bebas tidak murni dapat diajukan kasasi. Sebelum adanya penafsiran Mahkamah Agung terhadap Pasal 244 KUHAP ini, dalam praktik peradilan terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi. Penafsiran Mahkamah Agung itu kemudian diartikan bahwa putusan bebas ada dua jenis yaitu putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni. Terhadap putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan terhadap putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi. Sekarang penafsiran tentang putusan tersebut sudah menjadi yurisprudensi tetap, sehingga dapat diikuti oleh hakim-hakim yang lain setelahnya. Istilah putusan bebas murni atau putusan bebas tidak murni dalam KUHAP tidak dikenal. Pasal 191 ayat (1) KUHAP hanya menentukan, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, terdakwa diputus bebas. Dari ketentuan Pasal 191 KUHAP dan penjelasanya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud bebas murni adalah putusan bebas karena berdasarkan penilaian hakim apa yang didakwakan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Adapun putusan bebas tidak murni menurut Lilik Mulyadi, yaitu batalnya dakwaan secara terselubung atau pembebasan yang menurut kenyataan tidak didasarkan pada ketidakterbuktian surat dakwaan. 160 Pendapat yang sama terhadap pengertian bebas tidak murni, juga disampaikan Andi Hamzah, bahwa suatu putusan yang bunyinya bebas tetapi seharusnya merupakan lepas dari segala tuntutan hukum, 160 Lilik Mulyadi, op.cit., h. 158

171 yang dinamai juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung. Selanjutnya dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, mengenai pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan peninjauan kembali tidak dijelaskan dengan tegas siapa sebenarnya yang termasuk dalam pihak-pihak berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali tersebut. Mahkamah Agung menafsirkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana ada dua, yaitu terdakwa/terpidana disatu pihak dan jaksa yang mewakili korban, masyarakat, bangsa dan negara di pihak yang lainnya. Melalui tafsiran demikian itu maka jaksa juga dipandang mempunyai hak untuk mengajukan peninjauan kembali perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Terhadap Pasal 263 ayat (3) KUHAP, Mahkamah Agung menafsirkan bahwa ketentuan tersebut ditujukan pada jaksa, karena logikanya tidak mungkin ketentuan pasal ini akan dipergunakan oleh terpidana yang telah diputus bebas untuk mengajukan peninjauan kembali. Kepentingan jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali menurut ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP ini adalah sebagai pintu masuk mengoreksi putusan hakim yang kurang tepat melalui Mahkamah Agung. c. Berdasarkan asas legalitas dan penerapan asas keseimbangan hak asasi, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa jaksa untuk mewakili korban atau masyarakat umum, bangsa dan negara juga mempunyai hak untuk mengajukan peninjauan kembali. Hal itu dikarenakan jaksa dalam tugasnya melakukan penuntutan perkara pidana adalah untuk mewakili korban atau kepentingan

172 umum, bangsa dan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai dengan fungsinya bahwa Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia yang bertugas membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat dan adil, maka ketika ada undang-undang yang digunakan dalam fungsi peradilan ternyata ada kekurangan atau kekosongan aturan dan tidak bisa diterapkan secara maksimal, Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan hukum (undang-undang) tersebut dengan cara menciptakan hukum sendiri melalui cara penafsiran terhadap undang-undang itu, demi terwujudnya kepastian hukum. Hasil penafsiran yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap undang-undang dan menghasilkan hukum secara sendiri dalam kasus Muchtar Pakpahan telah menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi yang dibuat oleh Mahkamah Agung dalam tata perundangundangan juga merupakan sumber hukum, sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Bagi hakim-hakim yang ada dibawahnya atau yang sederajat dengan Mahkamah Agung dapat mengikuti yurisprudensi yang telah dibuat Mahkamah Agung dalam perkara yang sejenis. Beberapa faktor yang menyebabkan penafsiran harus dilakukan dalam hukum pidana baik mengenai hukum materiilnya atau hukum formilnya, yaitu: 1. Hukum tertulis tidak dapat dengan mudah segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat yang terjadi juga merubah nilai-nilai yang dianut masyarakat, dan nilai-nilai ini dapat mengukur segala sesuatu misalnya rasa keadilan masyarakat. Hukum tertulis bersifat kaku sehingga tidak mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, oleh karena itu untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka praktik hukum harus menggunakan suatu penafsiran. 2. Ketika hukum tertulis dibentuk ada suatu hal yang tidak diatur karena terlepas dari perhatian pembentuk undang-undang ketika undang-

173 undang dijalankan barulah muncul persoalan mengenai hal yang tidak diatur tadi, maka untuk mengisi kebutuhan dan kekosongan hukum, dapat menggunakan suatu penafsiran. 3. Keterangan yang menjelaskan beberapa arti istilah atau kata dalam undang-undang tidak mungkin memuat semua istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana pembentuk undangundang memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur-unsur yang benar-benar ketika undang-undang dibentuk dianggap sangat penting sesuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal pembentuk undang-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran oleh hakim. 4. Seringkali suatu norma dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum sehingga maksud dan artinya menjadi kurang jelas, sehingga dalam penerapan norma tersebut juga sering kali mengalami kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut digunakan penafsiran, dalam hal ini hakim bertugas menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya terkandung dalam norma tertulis. 161 Melalui penafsiran ekstensif, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa jaksa adalah sebagai pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP maupun Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Posisi jaksa dalam hal ini adalah sebagai pihak yang mewakili kepentingan masyarakat atau negara. Mahkamah Agung dalam fungsinya menjaga agar hukum diterapkan secara adil dan tidak menjadi masalah hukum yang berdampak pada timbulnya ketidakpastian hukum, terutama bagi pihak yang merasa dirugikan, maka pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa secara formal dapat diterima oleh Mahkamah Agung. 2. Penggunaan yurisprudensi oleh Mahkamah Agung dalam mengadili suatu perkara. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam menerima pengajuan 161 Adam Chazawi I, Op.cit., h. 1-2

174 peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa pada perkara-perkara pidana setelah kasus Muchtar Pakpahan, salah satunya adalah dengan mengikuti putusan peninjauan kembali perkara pidana sebelumnya, yaitu perkara Muchtar Pakpahan, yang selanjutnya dipergunakan sebagai yurisprudensi. Sesuai dengan pengertiannya, yurisprudensi adalah putusan terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar putusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. 162 Penggunaan yurisprudensi sebagai dasar acuan bagi hakim untuk memutus perkara yang sejenis dalam sistem hukum Indonesia dapat dilakukan, meskipun pada umumnya dalam praktik peradilan di Indonesia hakim tidak terikat putusan yang terdahulu. Dikatakan R. Soepomo, bahwa di Indonesia hakim tidak terikat pada putusan-putusan hakim yang telah ada. 163 Sebaliknya, dalam praktik pengadilan-pengadilan di Eropa, hakim bawahan sangat memperhatikan putusanputusan hakim diatasnya termasuk terhadap permohonan banding dan kasasi. Melihat dari fungsinya itu, maka yurisprudensi merupakan sumber penting untuk mengisi kekosongan hukum atau untuk menjelaskan secara obyektif ketidakjelasan norma yang terjadi dalam suatu ketentuan perundang-undangan. Pada umumnya dalam sistem peradilan dikenal dua sistem, yaitu civil law system dan cammon law system. Civil law system sering disebut anglo saxon. 164 Indonesia sebagai negara dengan sistem hukum kontinental, dalam praktik peradilan hakim tidak terikat pada yurisprudensi mengenai perkara yang serupa. 162 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 50 163 Komariah Emong Supradjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi kasus Tentang Penerapan dan Perkembanganya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, h. 62 164 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 261-262

175 Sebaliknya, dalam Cammon law system untuk memutuskan suatu perkara, hakim terikat pada presedent, atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus. Oleh karenanya, hakim ketika berhadapan dengan peristiwa yang harus diselesaikan dan diputus secara hukum maka hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan yang terdahulu. Penggunaan yurisprudensi sebagai dasar untuk memutus perkara adalah sah, sebelum ada putusan lain yang membatalkan. Hal ini didukung dengan asas res judicata pro veretate habetur, artinya putusan pengadilan atau hakim harus dianggap benar selama belum ada pembatalan oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi. Langkah Mahkamah Agung menggunakan putusan Muchtar Pakpahan sebagai salah satu dasar hukum mengadili perkara peninjauan kembali yang diajukan jaksa setelahnya, adalah sah menurut hukum, karena belum ada putusan yang membatalkan putusan tersebut. Yurisprudensi dalam praktik peradilan di Indonesia mempunyai peranan yang sangat besar, menurut Mochtar Kusumaatmadja, karena yurisprudensi erat kaitanya dengan pembaharuan hukum. 165 Menurut pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa keberadaan yurisprudensi dalam sistem peradilan di Indonesia mempunyai peranan penting, yaitu disamping untuk mengisi kekosongan hukum atau sebagai penjelas atas ketidakjelasan norma, juga dapat sebagai pembaharuan hukum. Hal tersebut dikarenakan suatu undang-undang yang berisi peraturan-peraturan yang bersifat umum sering kali menghadapi permasalahan ketika dihadapkan pada peristiwa 165 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum Masyarakat dan pembinaan hukum nasional Suatu Uraiaan tentang landasan Pikir. Pola Dari Mekanisme Pembaharuan Di Indonesia, Binacipta, Bandung, h.12

176 konkrit yang bersifat khusus yang tidak diatur dalam undang-undang. Supaya peraturan perundang-undangan dapat mengikuti perkembangan yang terjadi pada masyarakat, maka disini peran hakim dibutuhkan dalam menerapkan undangundang terhadap peristiwa yang tidak jelas atau belum diatur dalam undangundang, yaitu dengan cara mencari hukumnya. Sebagaimana hukum pada umumnya, putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat dan harus ditaati, terutama mengikat para pihak yang berperkara. Meskipun putusan hakim hanya mengikat para pihak yang terkait, tetapi semua pihak diluar para pihak tetap harus menghormatinya. Putusan hakim mengikat para pihak yang bersangkutan, artinya putusan hakim itu harus dianggap benar sampai dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, meskipun putusannya itu secara materiil tidak benar. 166 3. Kewajiban hakim menemukan hukum. Sesuai dengan tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mengetahui pelaku yang sebenarnya, hal demikian memberi arti bahwa KUHAP harus digunakan secara maksimal guna mendapatkan kebenaran materiil dari suatu peristiwa pidana. Pasal 263 KUHAP sebagai acuan utama dalam proses pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap perkara pidana seperti telah diuraikan di atas, ternyata telah menimbulkan masalah dalam 166 Sudikno mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 4

177 pelaksanaannya, yaitu ketika jaksa ingin mengajukan peninjauan kembali atas perkara pidana, timbul berbagai pendapat pro dan kontra karena ketidakjelasan aturannya. Menghadapi masalah tersebut, Mahkamah Agung dalam putusannya baik dalam kasus Muchtar Pakpahan, kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School), kasus Soetiyawati maupun kasus Pollycarpus Budihari Priyanto, telah melakukan penafsiran ekstensif terhadap pasal 263 KUHAP. Menurut pendapat Mahkamah Agung, jaksa termasuk sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal peninjauan kembali perkara pidana. Oleh karenanya, pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa diterima Mahkamah Agung. Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan cara memperluas berlakunya norma hukum kedalam peristiwa konkrit yang pada dasarnya tidak termasuk pada kejadian yang diatur suatu norma hukum. 167 Berkaitan dengan tugas hakim, yaitu mengadili perkara-perkara yang dihadapkannya, hakim akan selalu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit tersebut tidak jarang muncul tidak dapat diselesaikan oleh peraturan perundang-undangan yang telah ada, karena belum ada ketentuan yang mengaturnya. Bahkan dalam keadaan tertentu terjadi kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas. Menghadapi keadaan seperti itu hakim dituntut menemukan hukumnya, agar perkara yang dihadapkannya itu dapat terselesaikan, tidak saja mewujudkan tetapi juga membentuk hukum secara in concreto. Maksud hukum in concreto 167 Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana (Penafsiran Hukum Pidana, Pemberatan & Peringanan, kejahatan Aduan, Pembarengan & Ajaran Kausalitas), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, selanjutnya disebut Adam Chazawi II, h. 12

178 adalah hukum dalam wujud putusan atau penetapan hakim. 168 Penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia, adalah suatu hal yang boleh dan sah dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, yaitu ketika hukumnya tidak ada atau tidak lengkap atau hukumnya tidak jelas. Adanya penemuan hukum tersebut, kasus yang tidak diatur dalam suatu regulasi tertulis dapat diselesaikan dan diputus dengan rasa keadilan. Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongrit. 169 Sesuai dengan keadaan masyarakat yang selalu berkembang dan terus mengalami perubahan, maka kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga ikut berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang tersebut, diperlukan penemuan hukum, yakni apabila hukum tertulis tidak memenuhi kebutuhan terhadap terjadinya perkembangan atau perubahan masyarakat. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya menyangkut pada penerapan peraturan perundang-undangan terhadap peristiwa kongkrit, tetapi juga membentuk hukum bahkan menciptakan hukum. Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dituangkan dalam bentuk putusan, dan juga sekaligus sumber hukum, karena dapat 168 Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII Press, Yogyakarta, selanjutnya disebut Bagir Manan II, h. v 169 Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 37

179 diikuti oleh hakim-hakim yang lain dalam memutus perkara yang sejenis. Ditinjau dari ajaran positivisme, pendapat Mahkamah Agung di atas sebagai bentuk penyimpangan dan dianggap sebagai hukum (aturan) yang tidak tepat. Karena dalam pandangan positivisme, seperti pendapat H.L.A. Hart, bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup, artinya putusan-putusan hukum yang tepat hanya dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan terlebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan maupun norma-norma moral. 170 Penafsiran hukum secara ekstensif yang telah dilakukan Mahkamah Agung dengan mempertimbangkan keadaankeadaan sosial masyarakat dan guna memenuhi rasa keadilan, dalam pandangan positivisme jelas sebagai bentuk contra legem (penyimpangan ketentuan undangundang). Hal itu karena dalam pandangan positivisme keputusan hukum harus dilakukan sebagaimana peraturan yang telah ada sebelumnya, dalam hal ini adalah KUHAP. Sementara KUHAP secara jelas tidak mengatur tentang posisi jaksa. Ajaran positivisme juga mewajibkan manusia bertindak atau tidak bertindak berdasarkan aturan-aturan yang telah ada sebelumnya. Demikian juga seharusnya sikap Mahkamah Agung dalam melihat persoalan hukum peninjauan kembali tersebut. Sikap Mahkamah Agung itu dalam sistem hukum menurut Hart, dipandang telah bertindak melampaui dari yang seharusnya seperti dikehendaki dalam aturan primer (primary rules). 171 Pandangan Hart itu sejalan dengan pandangan Lon Fuller, bahwa aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang diluar kemampuan 170 H.R. Otje Salman, Op.cit., h. 90 171 H.R. Otje Salman, Op.cit., h. 90