BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan pada suatu daerah, baik berupa transportasi barang maupun transportasi orang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008) Evaluasi adalah penilaian. Prestasi yang di perlihatkan, (3) kemampuan kerja.

TERMINAL TOPIK KHUSUS TRANSPORTASI

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. TARIF TOL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam kurun waktu tertentu. (Hazian,2008) Transportasi dapat diartikan sebagai

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 35 TAHUN 2003 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM

PEMERINTAH KOTA BATU

PENENTUAN TARIF ANGKUTAN UMUM (BUS) ANTARKOTA (STUDI KASUS : ANGKUTAN UMUM BUS TRAYEK BITUNG-MANADO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. penumpang, bus kecil, bus sedang,dan bus besar.

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 84 TAHUN 1999 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Angkutan jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sistem transportasi seimbang dan terpadu, oleh karena itu sistem perhubungan

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2006 NOMOR 17 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 30 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN MASSAL

BAB III LANDASAN TEORI

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYESUAIAN JARINGAN TRAYEK DALAM WILAYAH KOTA KABUPATEN JEMBER

2017, No Republik Indonesia Nomor 5229); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lntas dan Angkutan Jalan (Lembaran N

TINJAUAN PUSTAKA Transportasi. Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Transportasi merupakan suatu kegiatan pemindahan barang (muatan) dan

BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2012 NOMOR : 28 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TERMINAL. Mata Kuliah : Topik Khusus Transportasi Pengajar : Ir. Longdong Jefferson, MA / Ir. A. L. E. Rumayar, M.Eng

yang sebenarnya dalam setiap harinya. Faktor muat (loadfactor) sangat dipengaruhi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Secara spesifik, tahapan-tahapan langkah yang diambil dalam menentukan tarif

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UMUM DALAM TRAYEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI ROKAN HILIR PERATURAN DAERAH ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM DI JALAN

PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TAMIANG

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Kendaraan bermotor dalam perkembangannya setiap hari

ANALISIS PENENTUAN TARIF STANDAR ANGUTAN KOTA DI KABUPATEN BANYUWANGI. Rahayuningsih ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinisikan sebagai

CONTOH 1 : PERMOHONAN IZIN USAHA ANGKUTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. sangat kompleks terhadap kehidupan masyarakat termasuk diantaranya

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PERIZINAN DI BIDANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DI KOTA TASIKMALAYA

BAB I PENDAHULUAN. Transportasi merupakan salah satu aspek penunjang kemajuan bangsa terutama

Berdasarkan, Juknis LLAJ, Fungsi Terminal Angkutan Jalan dapat ditinjau dari 3 unsur:

BAB II STUDI PUSTAKA STUDI PUSTAKA EVALUASI KINERJA OPERASIONAL ARMADA BARU PERUM DAMRI UBK SEMARANG TRAYEK BANYUMANIK - JOHAR

PERHITUNGAN VEHICLE OPERATION COST GUNA KESINAMBUNGAN PERUSAHAAN: (STUDI KASUS SHUTTLE SERVICE TUJUAN BANDUNG-BANDARA SOEKARNO HATTA)

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Seiring dengan perkembangan Propinsi Kalimantan Barat baik dalam jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Warpani ( 2002 ), didaerah yang tingkat kepemilikan kendaraaan

ANGKUTAN KOTA DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI DKI JAKARTA 26 MEI 2008

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dengan kota lainnya baik yang berada dalam satu wilayah administrasi propinsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

-2- Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

OPTIMALISASI UMUR GUNA KENDARAAN ANGKUTAN UMUM ABSTRAK

2015, No Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468); 4. Peraturan Presiden Nomor 47

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG ANGKUTAN ORANG DENGAN SEPEDA MOTOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barang dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan tertentu. Manusia selalu berusaha

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Nomor : SK.2257/AJ.003/DRJD/2006. Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONSEP PENGEMBANGAN ANGKUTAN PERMUKIMAN DI JABODETEBAK. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

DALAM DAERAH KABUPATEN BERAU.

BAB 1 PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang menunjang pergerakan baik orang

PEMERINTAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN UNTUK UMUM

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN

Transportasi Perkotaan. Permasalahan transportasi perkotaan kemacetan lalulintas parkir angkutan umum tertib lalulintas

I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Angkutan umum sebagai bagian sistem transportasi merupakan kebutuhan

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SEWA MENGGUNAKAN APLIKASI ONLINE

KARAKTERISTIK PENGOPERASIAN ANGKUTAN OJEK SEBAGAI SARANA ANGKUTAN DI KOTA GUBUG TUGAS AKHIR

BAB IV ANALISIS DATA

ANALISA KARAKTERISTIK MODA TRANSPORTASI ANGKUTAN UMUM RUTE MANADO TOMOHON DENGAN METODE ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN (BOK)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Nomor : SK. 75/AJ.601/DRJD/2003. Tentang PENYELENGGARAAN POOL DAN AGEN PERUSAHAAN OTOBUS (PO)

BAB l PENDAHULUAN. Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012, untuk lalu lintas dan angkutan jalan ratarata

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

T E N T A N G WALIKOTA SURABAYA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 3 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DI JALAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 17 Tahun 2008 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KEBUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR :SK.967/AJ.202/DRJD/2007 TENTANG

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tenta

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM TIDAK DALAM TRAYEK

TAHUN : 2006 NOMOR : 04

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 26 TAHUN 2009

BAB II LANDASAN TEORI. dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Umum Defenisi angkutan umum menurut undang-undang No. 14 Tahun 1992 adalah angkutan untuk mana penggunanya dipungut bayaran. Konsep angkutan publik atau umum muncul karena tidak semua warga masyarakat memiliki kendaraan pribadi sehingga negara berkewajiban menyediakan angkutan bagi masyarakat keseluruhan. Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum terdiri dari: 1. angkutan antar kota dari satu kota ke kota lain, disini dipisahkan atas antar kota antar propinsi (AKAP) dan antar kota dalam propinsi ( AKOP), 2. angkutan kota yang merupakan pemindahan orang dalam wilayah kota, 3. angkutan pedesaan yang merupakan pemindahan orang dalam dan/atau antar wilayah pedesaan, 4. angkutan perbatasan, yakni yang berhubungan dengan daerah perbatasan negara lain. Disamping itu, termasuk kendaraan umum adalah kendaraan bermotor yang disewakan kepada orang lain baik dengan maupun tanpa pengemudi selama jangka waktu tertentu (mobil sewa) dan juga mobil belajar untuk sekolah mengemudi. Angkutan umum dapat diselenggarakan setelah memenuhi syarat sebagai berikut: 5

6 1. memiliki ijin usaha 2. memiliki ijin trayek 3. mengasuransikan kendaraan serta penumpangnya, 4. laik pakai bagi kendaraan yang dioperasikan. Pada UU RI No 14 tahun 1992 pasal 42 menyebutkan struktur dan golongan tarif angkutan dengan kendaraan angkutan umum, ditetapkan oleh pemerintah. Dalam penetapan struktur dan golongan tarif, pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat dan pengusaha angkutan umum. Orientasinya kepada kemampuan masyarakat luas, keangsungan dan pengembangan usaha perusahaan angkutan umum dalam rangka peningkatan mutu pelayanan serta perluasan jaringan pelayanan angkutan di jaln. 2.2. Angkutan Perkotaan atau Angkutan Kota Defenisi angkutan kota menurut Keputusan Menteri No. 35 tahun 2003 tentang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan umum, angkutan kota adalah angkuatan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah kota atau wilayah ibukota kabupaten dengan menggunakan mobil bus umum atau mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek. Pasal 20 ayat (2) mengatakan Pelayanan angkutan kota dapat diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. trayek utama : 1. mempunyai jadwal tetap, sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan kendaraan yang dioperasikan,

7 2. melayani angkutan antar kawasan utama, antara kawasan utama dan pendukung dengan ciri melakukan perjalanan ulang-alik secara tetap, 3. pelayanan angkutan secara terus menerus serta berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang telah ditetapkan untuk angkutan kota. b. trayek cabang : 1. berfungsi sebagai trayek penunjang terhadap trayek utama, 2. mempunyai jadwal tetap sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan kendaraan yang dioperasikan; 3. melayani angkutan pada kawasan pendukung dan antara kawasan pendukung dan permukiman, 4. pelayanan angkutan secara terus menerus serta berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang telah ditetapkan untuk angkutan kota. c. trayek ranting : 1. tidak mempunyai jadwal tetap, 2. pelayanan angkutan secara terus menerus serta berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan punumpang yang telah ditetapkan untuk angkutan kota, 3. melayani angkutan dalam kawasan permukiman. d. trayek langsung : 1. mempunyai jadwal tetap sebagaimana tercantum dalam jam perjalanan pada kartu pengawasan kendaraan yang dioperasikan,

8 2. pelayanan angkutan secara terus menerus serta berhenti pada tempat-tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang telah ditetapkan untuk angkutan kota, 3. melayani angkutan antara kawasan utama dengan kawasan pendukung dan kawasan permukiman. 2.3 Tarif Menurut Soni dan Aine (1999), tarif angkutan adalah tarif yang dikenakan pada angkutan umum. Besarnya tarif ditentukan oleh beberapa aspek, antara lain: kepentingan konsumen pengguna, produsen atau operator pengguna jasa dan kemampuan/kepentingan pemerintah. Tingkat tarif angkutan dipengaruhi juga oleh perubahan biaya operasi alat angkutan, yakni ditetapkan berdasarkan biaya operasi satu unit (unit cost) dari jasa angkutan tersebut. Perusahaan angkutan selalu menginginkan agar jasa tarif ditetapkan tinggi, sedangkan konsumen menginginkan tarif yang rendah/murah. Tarif dikatakan wajar selama masih berada dalam jangkauan daya beli pemakai jasa angkutan serta dapat menjamin penerimaan ynag layak bagi perusahaan angkutan. Winardi, (1991) mengatakan bahwa dalam melakukan penetapan besar nilai tarif didasari dua nilai pokok yaitu: a. banyak penyedia angkutan umum, b. keuntungan atau laba yang diinginkan, Disamping dua hal tersebut ada tujuan sampingan lain dalam menentukan besar nilai tarif, misalnya:

9 1. mempertahankan citra dari publik dalam hal ini memberikan kesan yang baik kepada masyarakat pengguna angkutan umum, 2. mempertahankan stabilitas harga dari biaya produksi yang lain, 3. mencari fasilitas dan keuntungan jangka panjang. Dengan memperhitungkan hal dasar yaitu menetapkan semua biaya dan mencari keuntungan yang layak serta memperhitungkan semua tujuan sampingan maka tarif dapat diterapkan. Dalam kaitan dengan penentuan laba, penetapan tarif dibedakan sebagai berikut: a. cost plus profit pricing Cost plus profit pricing yaitu penetapan tarif dengan laba dan jumlah tertentu dan ditambahkan pada biaya yang diperlukan. Sistem ini biasanya dipakai untuk perjalanan jangka pendek atau perjalanan dengan jumlah penumpang sedikit dan tidak menentu. b. precentage cost plus pricing Precentage cost plus pricing yaitu penetapan tarif dengan laba sebesar persentasi tertentu dari biaya angkutan dan ditambahkan dengan biaya yang diperlukan. Cara ini lebih cocok diterapkan untuk perjalanan jarak jauh dan jumlah penumpang besar dengan fluktuasi kecil. Dasar pemilihan dan penetapan tarif dari kedua sistem ini sangat ditentukan oleh kebijakan yang mempertimbangkan jumlah investsi yang ditanamkan, jumlah penumpang yang mungkin menggunakan dan rencana investasi dan modal yang digunakan. Untuk membantu kendala itu maka sering diadakan bantuan lunak untuk pengusah

10 angkutan umum dalam wujud kemudahan dan keringanan pajak dan keringanan dalam pengembalian modal. 2.4. Sistem Penerapan Tarif Sistem penerapan tarif adalah cara pengenaan tarif pada penumpang. Cara yang dipakai akan memegang peranan penting dalam pengolahan angkutan umum agar nilai tarif yang sudah ditetapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pengguna dan dapat menggerakkan lalu lintas dengan lancar. Secara umum, Salim (1994), menjelaskan tarif angkutan adalah suatu daftar yang memuat harga-harga untuk pemakai jasa angkutan yang disusun secara teratur dan dihitung menurut kemampuan angkutan. Tarif operasional ialah tarif angkutan dimana terdapat perbedaan tarif menurut jarak kecepatan, atau sifat khusus dari muatan yang diangkut, sedangkan dalam melakukan penetapan basar nilai tarif didasari oleh dua nilai pokok yaitu: a. biaya penyedia angkutan umum, b. keuntungan atau laba yang diinginkan. Secara umum sistem penerapan tarif digolongkan menjadi: a. sistem flat atau rata, yaitu sistem yang menetapkan tarif untuk seluruh penumpang dan semua jarak. b. sistem mileage basis atau berdasarkan jarak, yaitu sistem yang menetapkan tarif yang berbeda-beda untuk masing-masing penumpang sesuai dengan jarak perjalanan, c. sistem group rates, merupakan gabungan dari flat dan mileage basis, yaitu sistem tarif angkutan yang berdasarkan pada asal dan tujuan penumpang,

11 d. sistem tapering rates yaitu sistem dengan mileage basis atau berdasarkan jarak tetapi pertambahan tarif tidak proforsional dengan perubahan jarak. Semakin jauh jarak perjalanan, maka pertambahan tarif akan kecil. Sistem ini sangat tepat digunakan untuk perjalanan jarak jauh dengan banyak transit dengan kata lain diberikan harga khusus untuk perjalanan langsung dan menerus, e. sistem tarif berdasarkan status penumpang dalam hal ini tarif dibedakan sesuai dengan status penumpang, sehingga ada kelompok penumpang dengan tarif berbeda. Pembagian kelompok ini dapat berdasarkan usia, status dan lain-lain, misalnya pelajar dan non pelajar. Pembedaan ini dimaksud agar angkutan umum dapat memberi fungsi sosial yang lebih disamping usaha menggerakkan moda tersebut agar lebih baik, f. sistem pembedaan tarif sesuai dengan waktu, yaitu pembedaan berdasarkan jumlah penumpang pada waktu bersangkutan. Keberhasilan pembadan tarif sistem ini sangat bergantung dari elastisitas perjalanan yaitu perubahan jumlah penumpang jika ada perubahan tarif atau ada perubahan biaya total. Elastisitas dan keberhasilan penetapan tarif dengan pembedaan ini sangat ditentukan oleh jumlah penumpang dan harga tiket awal. 2.5. Biaya Operasi Kendaraan Biaya operasional kendaraan adalah biaya yang dikeluarkan oleh penyedia jasa atau pengusaha angkutan untuk mengoperasikan armadanya. Perhitungan atas biaya yang dilakukan kegiatan produksi jasa angkutan, sesuai dengan SK Dirjen Perhubungan Darat No.274/HK.105/DRJD/96 yang telah disempurnakan dengan

12 SK Dijen Perhubungan Darat No. 678/AJ.206/DRJD/2002 dengan pendekatan sebagai berikut. 1. Penggolongan biaya menurut fungsi pokok kegiatan a. Biaya produksi Biaya produksi adalah biaya yang berhubungan dengan fungsi produksi atau kegiatan dalam proses produksi, b. Biaya organisasi Biaya organisasi adalah semua biaya yang berhubungan dengan fungsi administrasi umum perusahaan, c. Biaya pemasaran Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan pemasaran produksi jasa. 2. Penggolongan biaya berdasarkan perubahan volume produksi jasa a. Biaya tetap Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah walaupun terjadi perubahan pada volume produksi jasa sampai tingkat tertentu. Biaya ini secara rutin harus dikeluarkan meskipun kendaraan yang bersangkutan tidak beroperasi, b. Biaya tidak tetap Biaya tidak tetap adalah biaya yang berubah apabila terjadi perubahan pada volume produksi jasa. 3. Penggolongan biaya berdasarkan hubungannya dengan produksi jasa yang dihasilkan

13 a. Biaya langsung Biaya langsung adalah biaya yang berkaitan dengan produk jasa yang dihasilkan, misalnya biaya penyusutan kendaran, bahan bakar, modal, gaji, servis, konsumsi oli, pajak kendaraan dan biaya suku cadang. b. Biaya tidak langsung Biaya tidak langsung adalah biaya yang secara tidak langsung berhubungan dengan produk jasa yang dihasilkan misalnya akuntansi, administrasi kantor dan sebagainya. 2.6. Karakteristik Jaringan Jalan di Kota Serang Jaringan jalan yang berada di wilayah kota Serang terbagi atas jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal. Jalan tol dan jalan arteri di daerah ini, berfungsi untuk menghubungkan wilayah kota Serang dengan wilayah lain. Jalan tol menghubungkan kewilayah Jakarta dan sekitarnya serta Cilegon-Merak dan wilayah Sumatera, melalui pintu kelur masuk tol Serang Timur dan Serang Barat. Sedangkan ruas jalan non tol yang sejajar dengan jalan tol tersebut adalah jalan Raya Serang- Tangerang dan Jalan Raya Serang- Cilegon dengan fungsi jalan arteri. Jalan utama yang lain adalah Jalan Raya Serang- Pandeglang yang menghubungkan wilayah Kota Serang dengan wilayah Kabupaten pandeglang dan kabupaten Lebak. Jalan tersebut merupakan jalan dengan fungsi kolektor primer. Dari jalan tol, jalan arteri dan jalan kolektor yang telah disampaikan dimuka, maka jaringan jalan tersebut mengalirkan kendaraan dari luar wilayah studi atau keluar wilayah studi atau hanya melintas pada wilayah studi (trough traffic).

14 Untuk jaringan jalan dalam kota, poros yang mempunyai peran sentral di wilayah kota Serang adalah Jalan A. Yani, Jalan Veteran, jalan M. Syafe i. Jalan tersebut membentang dari timur ke barat yang menghubungkan jalan Raya Serang Tangerang di sebelah timur dan jalan Raya Serang Cilegon di sebelah barat. Demikian juga melalui jalan KH Bochari dan Jaln Abdul Hadi, menghubungkan jalan Raya Pandeglang di sebelah selatan.