1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) semakin giat dilaksanakan. Salah satu bentuk usaha tersebut adalah melalui peningkatan mutu pendidikan dengan cara memperbaharui kurikulum. Misalnya, kurikulum lama 1994 sekarang telah diperbaharui menjadi kurikulum 2004 dan kurikulum ini pun telah disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Peningkatan mutu pendidikan itu sendiri tidak terlepas dari kualitas Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas. Melalui KBM tersebut akan diperoleh hasil belajar peserta didik seperti yang diharapkan. Proses pembelajaran merupakan suatu fase yang sangat menentukan terhadap keberhasilan belajar siswa. Sekarang ini, masih banyak guru yang memandang bahwa pembelajaran adalah transformasi ilmu pengetahuan. Dengan demikian pembelajaran dipandang sebagai aktualisasi dari teori behaviorisme yang memberi peran guru sebagai pentransfer ilmu. Oleh karena itu, dalam pembelajaran masih terjadi interaksi yang lemah dengan pemrosesan kognitif yang terjadi pada siswa, hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kita masih di dominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan merupakan serangkaian fakta-fakta yang harus dihafal oleh siswa dan
2 pembelajaran di kelas berfokus pada guru sebagai satu-satunya sumber utama pengetahuan. Penelitian yang dilakukan oleh Pendley, Bretz dan Novak (Rusmansyah, 2004) menunjukkan bahwa pada umumnya siswa cenderung belajar dengan hafalan daripada secara aktif mencari untuk membangun pemahaman mereka sendiri terhadap konsep kimia tersebut. Menurut Nakleh (Rusmansyah, 2004) hal tersebut menyebabkan sebagian besar konsep-konsep kimia masih merupakan konsep yang abstrak bagi siswa, dan bahkan mereka tidak dapat mengenali konsep-konsep kunci atau hubungan antar konsep yang diperlukan untuk memahami konsep tersebut. Dalam pembelajaran kimia, masalah ini menjadikan mata pelajaran kimia menjadi kurang menarik dan dianggap sulit oleh siswa karena pelajaran kimia yang sarat akan konsep contohnya pada pokok bahasan sifat-sifat koloid yang dirasakan siswa sedikit menggunakan hitungan namun banyak sekali hafalan. Akibatnya, siswa hanya mengafal konsep-konsep yang ada di buku atau yang diberikan oleh guru dan tidak membangun pemahaman konsep itu sendiri. Atas dasar kelemahan proses belajar yang menganut orientasi teori behaviorisme, maka sekarang ini ada kecenderungan terjadi pergeseran model pembelajaran dari teori behaviorisme menuju ke teori konstruktivisme dalam upaya perbaikan dalam proses pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme, proses belajar didasarkan pada suatu anggapan bahwa anak membangun sendiri pengetahuannya dan memperoleh banyak pengetahuannya di luar sekolah (Dahar,1989). Hal senada juga dinyatakan oleh
3 Suparno (1997) bahwa esensi belajar secara konstruktivisme merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi arti, baik itu teks, dialog, ataupun pengalaman fisis. Selain itu belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Beberapa model pembelajaran yang berorientasi pada teori konstruktivisme antara lain yaitu, model pembelajaran kooperatif, pembelajaran menggunakan model Sains Teknologi Masyarakat (STM), dan pembelajaran menggunakan model siklus belajar (learning cycle). Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan teori konstruktivisme adalah model pembelajaran dengan siklus belajar (learning cycle). Siklus belajar adalah suatu model pembelajaran dengan mengikuti pola tertentu yang terdiri dari tiga tahap yang mengalami perubahan, yaitu: (1) fase eksplorasi; (2) fase pengenalan konsep, dan (3) fase aplikasi konsep. Model siklus belajar memungkinkan seorang anak tidak hanya mengamati dan mendengarkan penjelasan dari guru tetapi juga menyimpulkan dan menguji penjelasan yang ada. Dengan menerapkan siklus belajar siswa diharapkan dapat meningkatkan penguasaan dan pemahaman konsep yang diperoleh berdasarkan observasi berupa fakta yang kemudian disimpulkan secara umum melalui fase eksplorasi, fase pengenalan konsep, dan fase aplikasi konsep yang hasilnya dipengaruhi lingkungan atau kelompok.
4 Berdasarkan latar belakang, peneliti mencoba melakukan penelitian dengan sebuah model pembelajaran yang berakar pada teori konstruktivisme, yaitu model siklus belajar dengan fokus pada pemahaman konsep. B. Rumusan Masalah Dengan melihat latar belakang penelitian yang telah diungkapkan, muncul permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pemahaman materi sifat-sifat koloid pada siswa setelah pembelajaran menggunakan model siklus belajar? Rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi beberapa submasalah penelitian: 1. Bagaimana pemahaman konsep siswa pada keenam domain kognitif? 2. Bagaimana pemahaman konsep sifat-sifat koloid untuk setiap kelompok prestasi? C. Batasan Masalah Agar penelitian ini lebih terarah dan memberikan gambaran yang lebih jelas, maka masalah-masalah pada penelitian ini dibatasi pada: a. Materi sifat-sifat koloid yang dipelajari hanya dibatasi pada koagulasi. b. Pemahaman konsep yang diperoleh dalam penelitian ini adalah pemahaman konsep kognitif siswa sesuai dengan taksonomi Bloom (Hamalik, 2005;
5 Widodo, 2003) yaitu C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (mengaplikasikan), C4 (menganalisis), C5 (mengevaluasi), C6 (membuat). D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Memperoleh informasi yang objektif mengenai pemahaman konsep siswa pada keenam domain kognitif. b. Memperoleh informasi yang objektif mengeni pemahaman konsep sifat-sifat koloid untuk setiap kelompok prestasi. E. Manfaat Penelitian Informasi yang diperoleh dari penelitian dapat dimanfaatkan sebagai masukan antara lain kepada: a. Guru kimia sebagai mediator dalam pembelajaran dapat memanfaatkan pembelajaran model siklus belajar sebagai alternatif dalam pengajaran bidang studi kimia agar dapat meningkatkan pemahaman siswa. b. Mahasiswa Pendidikan Kimia sebagai calon pendidik, untuk meningkatkan pelaksanaan pembelajaran kimia. c. Institusi dan instansi terkait yang berhubungan dengan pendidikan. d. Peneliti selanjutnya yang mengembangkan model pembelajaran siklus belajar.
6 F. Penjelasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa istilah sebagai berikut: a. Analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. b. Pemahaman merupakan kemampuan menerangkan sesuatu dengan kata-kata sendiri, mengenali sesuatu yang dinyatakan dengan kata-kata berbeda dari buku teks, menginterpretasi atau menarik kesimpulan pada jenjang kognitif.
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Balajar 1. Pengertian Belajar Banyak sekali istilah-istilah belajar yang digunakan orang dari dulu hingga sekarang. Para ahli berbeda-beda pendapat dalam menafsirkan dan merumuskan pengertian belajar. Belajar bukan sekedar mengumpulkan pengetahuan, melainkan proses mental yang terjadi dalam diri seseorang sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Sanjaya (2006) menyatakan aktivitas mental di atas terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya yang disadari. Belajar adalah proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar, baik individu maupun kelompok, baik mandiri maupun dibimbing (Arifin dkk, 2003). Menurut Kusdinar (Zakyiah, 2001) belajar dalam arti luas adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian terhadap atau mengenai sikap-sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pangalaman yang terorganisasi. Dalam pengertian itu terdapat kata perubahan yang berarti bahwa seseorang setelah mengalami suatu
8 proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku baik aspek pengetahuannya, keterampilan maupun aspek sikapnya. 2. Belajar konsep Belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi dan merupakan batu pembangunan berpikir untuk merumuskan atau memecahkan masalah. Dahar (1989) menyatakan bahwa konsep-konsep diperoleh dengan dua cara yaitu formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep terjadi pada anak-anak sebelum sekolah, konsep-konsep yang didapat melalui pemahaman langsung tanpa adanya definisi formal. Yang dimaksud definisi formal menurut Russel (Dahar, 1989) adalah kata yang dapat menunjukan kesamaan-kesamaan, sehingga dapat membedakan suatu konsep dari konsep yang lain. Oleh karena itu dalam formasi konsep misalnya ikan, anak tidak tahu bahwa itu ikan, tetapi anak tahu ciri-cirinya sehingga dapat membedakannya dari binatang lain. Sedangkan asimilasi konsep terjadi selama dan sesudah masa sekolah. Dalam proses ini anak diberi nama konsep-konsep dan atributatribut dari konsep itu. Berarti mereka akan belajar arti konseptual baru dengan memperoleh penyajian atribut-atribut kriteria dari konsep dan kemudian mereka akan menghubunginya dengan gagasan-gagasan relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif mereka. Dengan demikian, dalam proses asimilasi konsep anak-anak memperoleh definisi formal sehingga lebih mudah untuk memahaminya.
9 Belajar konsep berguna dalam rangka pendidikan siswa atau paling tidak memiliki pengaruh tertentu. Menurut Hamalik (2005) kegunaan konsep yaitu sebagai berikut. a. Konsep membantu kita untuk mengidentifikasi objek-objek yang ada di sekitar kita dengan cara mengenali ciri-ciri masing-masing objek. b. Konsep membantu kita untuk mempelajari sesuatu yang baru, lebih luas, dan lebih maju. c. Konsep mengarahkan kegiatan instrumental. Berdasarkan konsep yang telah diketahui maka seseorang dapat menentukan tindakan apa yang selajutnya perlu dikerjakan. d. Konsep dapat digunakan untuk mempelajari dua hal yang berbeda dalam kelas yang sama. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep memiliki sifat yang dapat membedakan suatu objek dengan objek lainnya. B. Pemahaman Mesti dan Johnson (Silalahi, 1985) memberikan pengertian bahwa pemahaman ialah kemampuan menerangkan sesuatu dengan kata-kata sendiri, mengenali sesuatu yang dinyatakan dengan kata-kata berbeda dari buku teks, menginterpretasi atau menarik kesimpulan misalnya dari tabel atau grafik dan sebagainya. Maka menurut Mesti dan Johnson ini terlihat adanya tiga aspek
10 pemahaman, yakni kemampuan menerangkan atau menjelaskan, pengenalan, dan kemampuan menginterpretasi. Memahami bukan sekedar mengetahui yang terbatas hanya dengan mengingat kembali apa yang pernah dialami atau dapat memproduksi yang pernah dipelajari sesuai dengan yang terdapat pada buku teks. Pemahaman lebih dari itu, pemahaman melibatkan berbagai proses/ kegiatan mental sehingga sifatnya lebih dinamis. Pemahaman konsep di sini berarti luas karena pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman konsep pada setiap kelompok dalam domain kognitif secara keseluruhan yang sesuai dengan taksonomi Bloom sehingga pemahaman mencakup C1 sampai C6. Menurut Bloom (Widodo, 2003; Hamalik, 2005) domain kognitif meliputi : a. Mengingat (C 1). Pengetahuan merupakan peringatan tentang bahan-bahan yang telah dipelajari sebelumnya, mungkin melibatkan ungkapan terhadap rentang luas bahan-bahan sejak dari fakta-fakta khusus sampai ke teoriteori yang lengkap yang semuanya menyangkut pemikiran tentang informasi yang bermanfaat. b. Memahami (C 2). Pemahaman ini dapat ditunjukan oleh penerjemah bahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya dengan penafsiran bahan (menjelaskan atau merangkum) dan dengan mengestimasi kecendrungan-kecendrungan yang akan datang (memperkirakan konsekuensi atau pengaruh).
11 c. Menerapkan (C 3). Penerapan menunjuk pada kemampuan untuk menggunakan material yang telah dipelajari di dalam situasi-situasi yang baru dan konkrit. Ini meliputi penerapan hal-hal seperti aturan-aturan, metode, konsep, prinsip, hukum, dan teori. d. Menganalisis (C 4). Analisis menunjuk pada kemampuan untuk merinci bahan menjadi komponen-komponen atau bagian-bagian agar struktur organisasinya dapat dimengerti. Ini meliputi identifikasi bagian-bagian, mengkaji hubungan antara bagian-bagian, dan mengenali prinsip-prinsip organisasi yang terlibat. e. Mengevaluasi (C 5). Evaluasi berkenaan dengan kemampuan untuk mempertimbangkan nilai bahan untuk maksud tertentu. Pertimbangan berdasarkan pada kriteria tertentu yang terdiri dari kriteria internal atau kriteria eksternal dan siswa dapat menentukan kriteria. f. Membuat (C 6). Sintesis menunjuk pada kemampuan untuk menempatkan bagian-bagian bersama-sama membentuk suatu keseluruhan baru. Ini mungkin melibatkan produksi dari suatu komunikasi yang rumit, suatu rencana operasi atau seperangkat hubungan-hubungan yang abstrak. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pemahaman konsep secara garis besar meliputi C 1 sampai C 6 berdasarkan taksonomi Bloom.
12 C. Metode Praktikum Menurut Sanjaya (2006) metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan atau mencapai tujuan. Dari batasan tersebut metode mengajar didefinisikan sebagai cara yang dipergunakan guru dalam menyajikan kesatuan bahan pelajaran yang telah ditetapkan. Salah satu metode mengajar yang diperlukan dalam pembelajaran ini adalah metode praktikum. Menurut Dahar (1989) metode praktikum merupakan suatu metode yang menerapkan keterampilan-keterampilan proses IPA dalam kegiatan belajar mengajar, menurutnya melalui metode praktikum siswa mendapat kesempatan melakukan rangkaian keterampilan-keterampilan proses IPA yang meliputi: mengamati, menafsirkan pengamatan, meramalkan, menggunakan alat dan bahan, mendapatkan konsep, merencanakan penelitian, berkomunikasi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Sehubungan dengan hal tersebut, keuntungan menggunakan metode praktikum adalah anak akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Menurut Arifin (1997), metode praktikum merupakan kegiatan yang memberikan kesempatan seseorang untuk menguji konstruksi pengetahuan yang berada dalam struktur mentalnya serta mengembangkannya berdasarkan pengalaman yang diperolehnya. Dalam pendangan konstruktivisme, kegiatan praktikum yang menarik memberikan kesempatan siswa untuk memahami dan pada saat yang sama siswa terlibat dalam proses mengkonstruksi pengetahuan melalui perbuatan yang dilakukan. Selanjutnya ditegaskan bahwa laboratorium kimia bukan hanya untuk
13 mempraktekkan apakah reaksinya cocok dengan teori, akan tetapi juga harus dapat mengembangkan proses berfikir dengan munculnya pertanyaan mengapa dan bagaimana. Dengan kata lain laboratorium kimia tidak hanya mempersoalkan hasil akhirnya, tetapi bagaimana proses inkuiri ikut berkembang. Dari kegiatan praktikum tersebut diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan berfikir, sikap ilmiah, dan keterampilan yang dapat dikembangkan termasuk keterampilan komunikasi. D. Pembelajaran Berdasarkan Pandangan Konstruktivisme Adanya kelemahan dalam teori belajar yang menganut behaviorisme menyebabkan adanya pergeseran teori belajar menuju ke konstruktivisme. Dimana dalam teori behaviorisme, guru berperan sebagai pentransfer ilmu, sejumlah pengetahuan dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Hal ini menimbulkan interaksi yang lemah dalam pembelajaran. Berbeda halnya dengan pembelajaran melalui teori konstruktivisme yang semua pengetahuan dibangun sebagai sebuah hasil dari proses kognitif pada pikiran manusia, pembelajaran konstruktivisme didasarkan pada partisipasi siswa dalam memecahkan masalah dan berfikir kritis mengenai sebuah kegiatan belajar. Mereka mengkonstruksi pengetahuan dengan mengecek ide-ide dan pendekatan yang didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman mereka sebelumnya, menerapkan pada situasi baru, dan mengintegrasikan pengetahuan terbaru yang mereka dapatkan dengan kemampuan intelektual mereka yang telah dibangun sebelumnya.
14 Menurut Suparno (1997) bahwa bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Dalam proses belajar, hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka sehingga pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus dan dalam proses ini keaktifan siswa yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya. Hal ini berarti pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pikiran yang belum mempunyai pengetahuan, bahkan bila seorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh si murid lewat pengalamannya. Brooks dan Brooks (dalam Ishii, 2002) mengidentifikasi ciri guru yang menggunakan pendekatan konstruktivisme, yaitu: a. Mendukung dan menerima otonomi dan inisiatif dari siswa. b. Mempersilahkan respon siswa untuk mengendalikan pelajaran, strategi instruksional, dan membuat materi alternatif. c. Mempertanyakan bagaimana pemahaman siswa terhadap konsep yang diberikan sebelum mereka mengaplikasikan konsep yang telah mereka dapat. d. Mendorong siswa untuk terlibat dalam diskusi, baik dengan guru atau dengan siswa lain.
15 e. Mendorong inkuiri siswa dengan pertanyaan bermakna, pertanyaan terbuka, dan mendorong siswa untuk saling bertanya. f. Mencari perluasan dari respon awal siswa. g. Melibatkan siswa dalam pengalaman yang mungkin bisa menimbulkan kontradiksi dengan hipotesis siswa, dan menuangkannya dalam diskusi. h. Menggunakan waktu tunggu setelah memberikan pertanyaan atau permasalahan kepada siswa. i. Menyediakan waktu bagi siswa untuk membangun hubungan-hubungan dan menciptakan kiasan. Beberapa teori belajar yang menganut teori kontruktivisme antara lain model pembelajaran kooperatif, pembelajaran menggunakan model Sains Teknologi Masyarakat (STM), dan menggunakan model siklus belajar (learning cycle). Dengan demikian konstruktivisme memberi gambaran bahwa pengetahuan itu sifatnya konstruksi (bentukan). Sedangkan guru, seperti yang telah dipaparkan dalam ciri guru yang menganut konstruktivisme, diposisikan sebagai pengembang strategi pembelajaran yang bersifat sebagai observer, pembimbing, dan fasilitator. E. Model Siklus Belajar Model siklus belajar merupakan suatu model yang mengacu pada pandangan konstruktivisme. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Science Curriculum Improvement Study (SCIS) USA pada tahun 1970-an dengan menggunakan tiga fase yakni fase eksplorasi (exploration), fase penemuan (invention), dan fase discovery.
16 Pada perkembangannya para pendukung model siklus belajar menamai fasefase pembelajaran masing-masing: fase I disebut fase ekplorasi (exploration), fase II disebut fase pengenalan konsep (concept introduction), sedangkan fase III disebut fase aplikasi konsep (concept application) yang dipelopori oleh Collea, Ramsey, Their, Karplus, Trowbridge (Mulyana, 1997). Selain itu, Heron (Dahar, 1989) mengemukakan tentang model pembelajaran siklus belajar yang serupa dengan model di atas. Fase-fase dalam model ini dapat diringkas sebagai berikut: a. Fase Eksplorasi Fase ini memberikan kesempatan secara langsung pada siswa untuk mengungkapkan pengetahuan awalnya dalam mengobservasi, mengembangkan pengetahuan baru, memahami fenomena alam, dan mengkomunikasikannya pada orang lain. Pada dasarnya, tujuan fase ini adalah untuk membangkitkan minat, rasa ingin tahu, serta menerapkan konsepsi awal siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan dimulai dari hal yang konkrit. Misalnya, guru melibatkan siswa dalam satu atau beberapa pengalaman konkrit dimana mereka mengobservasi dan menemukan konsep-konsep penting yang digunakan untuk menghubungkannya dengan konsep-konsep lainnya. Kemudian siswa diberi kesempatan untuk mengeksplorasi pengetahuan lamanya, mengembangkan pengetahuan baru, serta menjelaskan fenomena yang mereka alami dengan bahasa dan penyampaian sendiri.
17 b. Fase Pengenalan Konsep Pada fase ini guru mulai mengenalkan tentang suatu konsep atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi. Misalnya, guru membantu siswa dalam mengkomunikasikan pengalaman konkrit dan mengenalkan istilah dan penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam. Kemudian siswa diberi beberapa persoalan sejenis dan disarankan mereka menjawabnya dengan pandangan alternatif yang diusulkan guru. Diharapkan mereka merasakan bahwa pandangan baru dari guru tersebut mudah dipahami, masuk akal dan berhasil dalam menjawab berbagai persoalan. c. Fase Aplikasi Pada fase ini, guru memberikan berbagai persoalan dengan konteks yang berbeda untuk diselesaikan oleh siswa dengan konsep yang telah mereka dapat pada fase kedua. Pada fase ini, guru menyiapkan permasalahan lain yang dapat dipecahkan siswa berdasarkan pengalaman pada fase eksplorasi dan penemuan konsep. Selanjutnya siswa melakukan kegiatan menerapkan konsep tersebut dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini guru membantu siswa dalam menginterpretasikan hasil pengalamannya berdasarkan pengalaman awal. Keterkaitan antar fase eksplorasi, penemuan konsep, dan aplikasi dapat dilihat pada Gambar 2.1. di bawah ini.
18 Pengenalan Konsep Keterampilan Proses Problem Solving Invitasi Kegiatan Eksplorasi Aplikasi Gambar 2.1. Siklus belajar Sebagai implikasi dan konsekuensi dari penerapan model pembelajaran melalui siklus belajar tersebut di atas adalah peranan dan fungsi dari guru (fasilitator) serta metode dan teknik-teknik yang dipergunakan, sehingga tahapan-tahapan tersebut di atas dapat berjalan dengan baik. Secara umum dapat dikatakan bahwa pada umumnya, metode dan teknik yang dipergunakan adalah metode dan teknik yang banyak melibatkan peran serta peserta didik, dimana peran fasilitator adalah membantu peserta didik menciptakan suasana belajar yang kondusif. Dengan demikian maka keterlibatan aktif semua pihak menjadi penting dalam proses belajar mengajar ini.
19 F. Tinjauan Pokok Bahasan Sifat-sifat Koloid Sistem koloid mempunyai sifat yang khas, yang berbeda dengan sifat sistem dispersi lainnya. Beberapa sifat koloid yang khas, yaitu: a. Efek Tyndall Efek Tyndall adalah efek penghamburan cahaya oleh partikel koloid. Jika cahaya dilewatkan ke dalam sistem koloid, cahaya yang melewati sistem koloid tersebut terlihat lebih terang. Cahaya yang terlihat lebih terang ini disebabkan terjadinya efek Tyndall. Apabila cahaya putih dilewatkan ke dalam sistem koloid yang pertikel-pertikel fase terdispersinya sangat kecil maka cahaya dengan panjang gelombang lebih pendek dari spektrum cahaya tampak akan dihamburkan lebih banyak oleh partikel koloidnya. Efek Tyndall juga dapat menerangkan mengapa langit pada siang hari berwarna biru, sedangkan ketika matahari terbenam di ufuk barat berwarna jingga atau merah. Hal tersebut dikarenakan penghamburan cahaya matahari oleh partikelpartikel koloid di angkasa, dan tidak semua frekuensi sinar matahari dihamburkan dengan intensitas yang sama. Intensitas cahaya berbanding lurus dengan frekuensi, maka ketika matahari melintas di atas kita, frekuensi paling tinggilah yang banyak sampai ke mata kita, sehingga kita melihat langit biru. Ketika matahari hampir terbenam, hamburan cahaya yang frekuensinya rendahlah yang lebih banyak sampai ke kita, sehingga kita menyaksikan langit berwarna jingga atau merah. Kita ingat untaian cahaya tampak dalam spektrum cahaya, merah-jinggakuning-hijau-biru-ungu. Dari urutan merah sampai ungu, frekuensinya semakin
20 tinggi. Jadi warna-warna yang mendekati merah memiliki frekuensi cahaya tinggi, dan warna-warna yang mendekati ungu memiliki frekuensi cahaya rendah. Gambar 2.2 menunjukan percobaan efek Tyndall dari sistem koloid. Gambar 2.2. Percobaan Efek Tyndal Dalam kehidupan sehari-hari, efek Tyndall dapat dilihat pada gejala-gejala berikut selain yang telah dicontohkan di atas: a. Jika kita nonton film di gedung bioskop, kemudian ada asap rokok yang mengepul ke atas, cahaya proyektor terlihat lebih terang dan gambar pada layar menjadi buram. b. Sorot lampu mobil pada malam yang berkabut terlihat jelas, tetapi jalan tidak terlihat jelas. c. Gerak Brown Partikel-partikel suatu zat senantiasa bergerak, gerakan tersebut dapat bersifat acak seperti pada zat cair dan gas, atau hanya bervibrasi di tempat seperti pada zat padat. Untuk sistem koloid dengan medium pendispersi zat cair atau gas, pergerakan
21 partikel-partikel akan menghasilkan tumbukan dengan partikel-partikel koloid itu sendiri. Tumbukan tersebut berlangsung dari segala arah, Oleh karena ukuran partikel cukup kecil, maka tumbukan yang terjadi cenderung tidak seimbang. Sehingga terdapat suatu resultan tumbukan yang menyebabkan perubahan arah gerak partikel sehingga terjadi gerak zig zag atau gerak Brown Semakin kecil ukuran partikel koloid, semakin cepat gerak Brown terjadi. Demikian pula, semakin besar ukuran partikel koloid, semakin lambat gerak Brown yang terjadi. Hal ini menjelaskan mengapa gerak Brown sulit diamati dalam larutan dan tidak ditemukan dalam zat padat (suspensi). Di bawah ini merupakan ilustrasi dari gerak Brown. Gambar 2.3. Gerak Brown Gerak zig-zag akibat tabrakan dari partikel pendispersi menyebabkan sistem koloid tetap stabil, tetap homogen dan tidak mengendap.
22 d. Partikel Koloid Bermuatan Listrik (1) Elektroforesis Elektroforesis adalah pergerakan partikel-partikel koloid di bawah pengaruh medan listrik. Peristiwa bergeraknya partikel-partikel koloid ke salah satu elektroda menunjukkan bahwa partikel koloid bermuatan listrik. Partikel-partikel koloid dapat bermuatan listrik karena terjadi penyerapan ion pada permukaan partikel koloid. Kestabilan sistem koloid disebabkan adanya muatan listrik pada permukaan partikel koloid. Pada peristiwa elektroforesis, partikel koloid akan dinetralkan muatannya dan digumpalkan pada elektroda. Sifat ini digunakan untuk menentukan muatan yang dimiliki oleh suatu partikel koloid. Gambar 2.4 merupakan sel elektrolisis yang digunakan untuk menentukan muatan suatu koloid. Gambar 2.4. Sel Elektrolisis
23 (2) Adsorpsi Adsorpsi adalah gejala penyerapan atau penarikan oleh suatu benda (padatan atau cairan) terhadap benda lain ke permukaan benda itu. Gejala lainnya yang serupa tetapi berlangsung sampai ke seluruh badan benda itu disebut absorpsi. Zat yang diserap disebut adsorbat dan zat yang menyerap disebut adsorben. Peristiwa adsorpsi terjadi karena gaya tarik molekul, atom atau ion-ion pada permukaan adsorben. Penyerapan koloid terhadap ion positif atau ion negatif menyebabkan koloid menjadi bermuatan. Sebagai contoh: partikel sol Fe(OH) 3 mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi kation dari medium pendispersinya sehingga sol Fe(OH) 3 bermuatan positif, sedangkan partikel sol As 2 S 3 mengadsorpsi anion dari medium pendispersinya sehingga bermuatan negatif. Gambar di bawah merupakan ilustrasi dari sol As 2 S 3 dan Fe(OH) 3. Gambar 2.5. Sol As 2 S 3 dan Fe(OH) 3 Partikel koloid sol tersebut tidak selalu mengadsorpsi ion yang sama. Hal itu tergantung pada muatan yang berlebih dari medium pendispersinya. Misalnya, jika sol AgCl terdapat pada medium pendispersi dengan kation Ag + berlebih, maka AgCl akan bermuatan positif. Sedangkan jika AgCl terdapat pada medium pendispersi dengan anion Cl - berlebih, maka sol AgCl akan bermuatan negatif.
24 (3) Koagulasi Koagulasi adalah proses penggumpalan partikel koloid yang terjadi karena penurunan stabilitas sistem koloid atau karena penggabungan partikel koloid yang berbeda muatan sehingga membentuk partikel yang lebih besar. Hal ini terjadi karena setiap partikel koloid yang memiliki muatan berlawanan akan saling menetralkan dengan adanya gaya elektrostatis hingga membentuk pertikel yang besar dan menggumpal. Sebagai contoh, bila kita menambahkan larutan ion Natrium kedalam suatu koloid sol yang bermuatan negatif maka muatan partikel-partikel sol tersebut akan ternetralkan oleh ion Natrium dan akan menggumpal yang selanjutnya mengendap. Gambar di bawah ini merupakan ilustrasi dari contoh di atas. Gambar 2.6. Proses koagulasi Koagulasi dapat pula terjadi karena pengaruh pemanasan, pendinginan, dan pembusukan. Beberapa proses koagulasi yang sengaja dilakukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain pada proses pembuatan tahu, perebusan telur, pembuatan yogurt dan lain-lain. Pada proses pembuatan tahu, proses koagulasi terjadi dari susu kedelai yang ditambahkan asam cuka (CH 3 COOH). Susu kedelai mengandung koloid protein, dan protein ini merupakan polimer yang tersusun dari monomer-monomersnya berupa asam amino (Gambar 2.7).
25 Gambar 2.7. Struktur asam amino Asam amino tersebut mempunyai gugus yang bersifat asam (-COOH) dan basa (-NH 2 ). Kedua gugus ini dapat terionisasi dan memberikan muatan pada molekul-molekul protein. Pada ph rendah (konsentrasi H + tinggi), gugus basa NH 2 akan menerima proton (H + + ) dan membentuk gugus NH 3 NH 2 + H + + -NH 3 Pada ph tinggi, -COOH akan mendonorkan proton H + dan membentuk gugus COO - -COOH H + + COO - Disamping sebagai zat penggumpal, asam cuka juga berperan sebagai pengawet dimana asam akan menurunkan ph bahan pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan jumlah asam yang cukup akan menyebabkan denaturasi protein bakteri.
26 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode untuk memberi informasi pada permasalahan yang terjadi pada masa sekarang. Menurut Sudjana (2004) metode deskriptif adalah metode penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang. Dengan kata lain penelitian deskriptif mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian dilaksanakan. Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian nonhipotesis sehingga dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. B. Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis tingkat pemahaman siswa pada konsep sifat-sifat koloid yaitu koagulasi melalui pembelajaran dengan model siklus belajar. Untuk melakukan analisis tersebut, maka dirancang alur penelitian seperti tercantum pada Gambar 3.1.
27 Analisis Kurikulum Mata Pelajaran Kimia SMA Kelas XI pada Pokok Bahasan Sistem Koloid Analisis Buku Teks pada Pokok Bahasan Sistem Koloid dan Pemahaman Konsep Rumusan Masalah Pemahaman Konsep Penyusunan Skenario Pembelajaran Penyusunan Instrumen Penelitian Uji Coba dan Revisi Instrumen Penelitian KBM Menggunakan Model Siklus Belajar Observasi Tes Tertulis Analisis Data Wawancara Temuan Penelitian Kesimpulan Gambar 3.1. Alur Pelaksanaan Penelitian
28 C. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI di suatu SMA swasta di kota Bandung yang mempelajari materi sifat-sifat koloid dan berjumlah 29 siswa. Untuk kepentingan wawancara dipilih masing-masing dua orang siswa dari kelompok prestasi tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokan berdasarkan rata-rata nilai tes harian yaitu tes I, tes II (lampiran 13) dan aktivitas keseharian siswa di kelas berdasarkan pendapat guru. Pengelompokan ini dimaksudkan agar penyebaran siswa sesuai dengan kemampuannya masing-masing dan data yang diperoleh valid. D. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes yaitu tes pemahaman dan non-tes berupa pedoman wawancara. a. Tes pemahaman Tes pemahaman dibagi kedalam dua bagian, bagian pertama berupa tugas 1 yaitu berisi tugas prapraktikum pada pokok uji nomor 1 sampai 4 dan bagian kedua berupa tugas 2 yaitu tes tertulis sebanyak 6 soal essay. Instrumen tes tertulis tersebut mengacu kepada kegiatan pembelajaran menggunakan metode praktikum. Fungsi tes tertulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai pemahaman konsep siswa pada materi yang telah diberikan, maka dari tes ini harus dapat mengukur keseluruhan kemampuan berpikir yang dikembangkan dalam proses pembelajaran pada penelitian ini. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman kognitif menurut taksonomi Bloom.
29 Dipilihnya bentuk essay dalam tes ini karena tes essay mempunyai beberapa keunggulan sebagai berikut: (1) Lebih tepat untuk mengukur kemampuan jenjang tinggi yang meliputi banyak tahap-tahap penyelesaian. (2) Tidak memungkinkan terjadinya penebakkan. (3) Mendorong siswa untuk mengungkapkan secara bebas tentang gagasangagasan dan pikiran-pikiran yang dimilikinya. Selanjutnya agar tes pemahaman yang disusun ini memenuhi syarat sebagai alat pengumpul data yang baik, maka dilakukan uji validasi terhadap soal tersebut. Uji Validasi Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kesahihan suatu instrumen penelitian, maka menurut Firman (1991) bahwa validitas suatu alat ukur menunjukkan sejauh mana alat ukur itu mengukur apa yang seharusnya diukur oleh alat ukur tersebut. Suatu instrumen penelitian yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi, sebaliknya instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah. Pada penelitian ini penentuan validitas instrumen yang digunakan adalah dengan meminta pertimbangan dari dua orang dosen ahli yang kompeten di bidangnya sehingga diharapkan instrumen yang digunakan dapat berfungsi sebagai alat ukur yang dapat dipertanggungjawabkan.
30 b. Pedoman wawancara Wawancara kepada siswa dilakukan untuk memperjelas hasil tes tertulis dan mengambil informasi yang belum terjaring dengan tes tertulis, selain itu pedoman wawancara dibuat untuk mendapatkan informasi pendapat siswa mengenai pembelajaran melalui model siklus belajar dan pokok-pokok uji yang digunakan dalam tes. E. Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian menggunakan instrumen tes adalah kuantitatif yang diperoleh dari tes pemahaman yang kemudian diubah kedalam bentuk kualitatif, selanjutnya dianalisis untuk mengetahui apakah model siklus belajar telah memberikan pemahaman konsep yang baik kepada siswa pada domain kognitif. Kemudian data tersebut dianalisis pada setiap domain kognitif soal. Domain kognitif yang dianalisis melalui instrumen tes pemahaman meliputi domain kognitif C 1 sampai C 6 sesuai dengan taksonomi Bloom. Analisis domain kognitif soal tersebut dilakukan baik secara keseluruhan (mencakup seluruh siswa) maupun pada setiap kategori siswa. Untuk instrumen non-tes seperti pedoman wawancara, data diperoleh dari hasil wawancara dengan siswa menurut setiap kategori siswa (kelompok prestasi tinggi, sedang, dan rendah). Proses ini tidak dilakukan dengan seluruh siswa, melainkan hanya diambil sampel dari setiap kategori siswa yang mewakili, data yang
31 di dapat kemudian dianalisis untuk melengkapi data dari instrumen tes dan untuk mengetahui ketertarikan siswa terhadap model pembelajaran siklus belajar. F. Teknik Pengolahan Data Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang telah ditetapkan, maka pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Menentukan skor pemahaman Sebelum hasil tes siswa dianalisis, skor pemahaman siswa ditentukan terlebih dahulu. Kriteria yang digunakan adalah siswa yang menjawab benar diberi skor 10, siswa yang menjawab salah diberi skor 0, sedangkan siswa yang menjawab kurang tepat diberi skor sesuai dengan indikator penilaian yang telah dibuat (Lampiran 4). b. Mengelola skor yang diperoleh siswa dalam bentuk persentase (%). Untuk menghitung persentase yang diperoleh siswa, digunakan rumus sebagai berikut: S = y χ x 100 % Keterangan : S = nilai akhir x = jumlah skor yang diperoleh siswa y = jumlah skor maksimal
32 c. Menghitung persentase skor kelompok siswa pada setiap domain kognitif, digunakan rumus sebagai berikut: P = b a x 100 % Keterangan : P = Persentase skor siswa pada setiap domain kognitif a = Jumlah skor siswa pada setiap domain kognitif b = Jumlah skor maksimum pada setiap domain kognitif d. Membuat tabel diagnosis siswa. (lampiran 10) e. Menafsirkan data skor (%) menggunakan kriteria pada tabel kriteria pemahaman berikut ini: Tabel 3.1 Kriteria Pemahaman Skor Pencapaian Kriteria Pemahaman 80-100 Baik Sekali 66 79 Baik 56 65 Sedang 55 Kurang (Walandauw dalam Noviantika, 2005) f. Mengklasifikasikan data persentase ke dalam bentuk grafik g. Menganalisa hasil penafsiran data persentase Data yang diperoleh dari tes tertulis yang telah ditafsirkan dalam bentuk persentase kemudian dianalisis sehingga diperoleh kesimpulan. Adapun tahap-tahap analisinya sebagai berikut:
33 1. Pemahaman konsep siswa pada tiap domain kognitif ditafsirkan berdasarkan tabel di atas. 2. Menganalisis konsep-konsep yang dipahami dan konsep-konsep yang tidak dipahami. k. Mengolah data hasil wawancara berupa rekaman, yang selanjutnya ditranskripsikan ke dalam tulisan yang berupa tanya-jawab antara guru dan siswa. Data ini digunakan untuk memperjelas, melengkapi, dan memperkuat data hasil tes pemahaman bagi siswa yang bersangkutan.