SANKSI TERHADAP NOTARIS YANG MENJADI PIHAK TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA SENDIRI

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

BAB II KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMBATALKAN PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS PUSAT

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai pelaksana pembinaan dan pengawasan

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

BAB II BATASAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN NOTARIS DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BOYSAL PARULIAN SIHOMBING ABSTRACT

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

Lex Privatum, Vol.I/No.4/Oktober/2013. PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK 1 Oleh : Muam mar Qadavi Karim 2

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015. PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN DALAM PEMBUATAN AKTA OLEH NOTARIS 1 Oleh: Gian Semet 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB I PENDAHULUAN. dan ahli dalam menyelesaikan setiap permasalahan-permasalahan hukum.

Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap interaksi yang dilakukan manusia dengan sesamanya, tidak

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

BAB I PENDAHULUAN. profesional yang tergabung dalam komunitas tersebut menanggung amanah. yang berat atas kepercayaan yang diembankan kepadanya.

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris;

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

BAB III PENUTUP. sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pelanggaran Kode Etik dan Undang-Undang Jabatan Notaris yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. AKIBAT HUKUM BAGI NOTARIS DALAM PELANGGARAN PENGGANDAAN AKTA 1 Oleh: Reinaldo Michael Halim 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

LEMBARAN NEGARA PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris

B A B V P E N U T U P

Dr. AGUNG IRIANTORO,SH.,MH. Edisi Revisi, Jakarta:Pradnya Paramita, 1996.

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB II HUBUNGAN ANTARA PENEGAKAN KODE ETIK NOTARIS DENGAN KEBERADAAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS TERHADAP PROFESI PEKERJAAN NOTARIS

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam

PERANAN DAN FUNGSI MAJELIS PENGAWAS WILAYAH TERHADAP PELAKSANAAN TUGAS JABATAN NOTARIS RUSLAN / D

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. hukum. Tulisan tersebut dapat dibedakan antara surat otentik dan surat dibawah

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan perlindungan dan

Bab XII : Pemalsuan Surat

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KEWENANGAN MPW DALAM MELAKUKAN PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELANGGARAN ADMINISTRATIF YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS

2016, No Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Lembran Negara Republik Indonesia Tahun 20

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan

BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. akan disebut dengan UUJNP, sedangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. hlm Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta Timur, 2013, hlm.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk Undang Undang yaitu Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan

PERBANDINGAN ATURAN KEWENANGAN, KEWAJIBAN, LARANGAN, PENGECUALIAN DAN SANKSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. unsur yang diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 1. Dibuat dalam bentuk ketentuan Undang-Undang;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA YANG TELAH DI LEGALISASI DI KABUPATEN MAGETAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

Transkripsi:

BAB III SANKSI TERHADAP NOTARIS YANG MENJADI PIHAK TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA SENDIRI 1. Sanksi Terhadap Notaris. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) diatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi kode etik jabatan notaris kemudian dalam UUJN berupa sanksi administrasi, perdata dan yang terakhir adalah sanksi pidana. 1.1 Kode Etik Notaris Sanksi atas pelanggaran kode etik profesi merupakan bagian dari hukum profesi tertulis yang berkaitan dengan fungsi pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Pelayanan dasar selalu dilakukan oleh aparat penyelenggara pelayan publik yaitu para pejabat, pegawai dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara. Pelayanan publik di dalam Hukum Administrasi dikaji dalam pendekatan fungsionaris, yaitu dengan titik pijak bahwa yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan adalah pejabat (orang). Oleh karena itu yang menjadi perhatian dalam pendekatan fungsionaris adalah perilaku aparat dalam melakukan pelayanan publik. Dengan pendekatan ini, norma Hukum Administrasi tidak hanya meliputi norma pemerintahan tetapi norma perilaku aparat (overheidsgedrag). Norma perilaku diukur dengan konsep maladministrasi. 32 Kemudian pelanggaran atas maladministrasi ini sesuai yang dijelaskan pada bab 2 maka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didalamnya ada unsur maladministrasi dan merugikan warga negara akan ditegakan dengan peraturan kode etik profesi karena tanggung jawab dan tanggung gugatnya dibebankan kepada pribadi orang yang melakukan tindakan maladministrasi tersebut. Bagi notaris yang melakukan pelanggaran kode etik dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam kode etik notaris pasal 1 angka 12 yaitu, sanksi 32 Philipus. M. Hadjon et al., Hukum Adminisitrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, 2010. H. 9

adalah suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya, dan alat pemaksa ketaatan dan displin anggota perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris daam menegakan kode etik dan disiplin organisasi. Sanksi yang dapat dikenakan terhadap notaris yang melakukan pelanggaran diatur pada pasal 6 kode etik notaris yaitu: 33 a. Teguran b. Peringatan c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan d. Onzetfing (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik notaris, dilakukan dengan dibentuk dewan kehormatan. Tugas dewan kehormatan adalah untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelangaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung. Dewan kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap kode etik dan menjatuhakn sanksi kepada pelanggarannya sesuai dengan kewenangannya. Dewan kehormatan ini beranggotakan beberapa orang yang dipilih dari anggota biasa atau notaris yang masih aktif dan werda notaris (notaris yang sudah abis masa jabatannya yaitu 67 tahun ke atas). Mereka yang dipilih dalam keanggotaan dewan kehormatan adalah notaris-notaris yang bisa dikategorikan senior serta meiliki latar belakang pengalaman dan pendidikan yang mumpuni. Pasal 12 ayat 3 anggaran dasar I.N.I menetapkan bahwa dewan kehormatan memiliki tugas sebagai berikut : a. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjujung tinggi kode etik b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai hubungan dengan masyrakat secara langsung c. Memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan notaris. Pengawasan atas pelaksanaan kode etik dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Pada tingkat pertama oleh pengurus daerah ikatan notaris Indonesia dan dewan kehormatan daerah b. Pada tingkat banding oleh pengurus wilayah ikatan notaris Indonesia dan dewan kehormatan wilayah 33 Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifani, loc cit, h. 172

c. Pada tingkat terakhir oleh pengurus pusat ikatan notaris Indonesia dan dewan kehormatan pusat Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh notaris F adalah kewajiban yang diatur dalam pasal 3 angka (4) kode etik notaris yaitu larangan untuk tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak dalam akta yang dibuatnya, hal ini merupakan pelanggaran kode etik karena melanggar isi sumpah jabatan notaris sesuai dengan ketentuan Pasal 4 angka (15). Penegakan sanksi ini dilakukan dengan pemecatan sementara keanggotaannya oleh pengurus pusat atau usul dewan kehormatan pusat, dewan kehormatan wilayah atau dewan kehormatan daerah melalui dewan kehormatan pusat, apabila anggota yang diberhentikan sementara berdasarkan keputusan kongres dinyatakan bersalah, maka anggota yang bersangkutan dapat dipecat untuk seterusnya dari keanggotaan perkumpulan. Berdasarkan keputusan kongres, pengurus pusat membuat keputusan pemecatan bagi anggota yang bersangkutan dan keputusan tersebut dilaporkan oleh Pengurus Pusat kepada menteri yang membidangi jabatan notaris, majelis pengawas pusat, majelis pengawas wilayah dan majelis pengawas daerah serta instansi lainnya yang menurut pertimbangan pengurus pusat perlu mendapat laporan, sedangkan penegakan sanksi dalam undang-undang jabatan notaris terhadap pemberhentian sementara dan pemberhentian secara tidak hormat dibagi menjadi 4 (empat) penegakan sanksi yaitu sanksi administratif, sanksi perdata. sanksi kode etik notaris, dan sanksi pidana. Dalam sanksi admnisitratif meliputi pengawasan dan penegakan sanksi, pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, langkah preventif adalah pengendalian sosial yang bertujuan untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan penerapan sanksi merupakan langkah resprensif untuk memaksakan kepatuhan, langkah reprensif adalah pengendalian sosial yang bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah terganggu karena terjadinya suatu pelanggaran dengan cara menjatuhkan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Dalam menegakan sanksi administratif terhadap notaris yang menjadi instrumen pengawas yaitu majelis pengawas yang mengambil langkah-langkah preventif, untuk memaksakan kepatuhan, untuk menerapkan sanksi yang represif, dan untuk memaksakan kepatuhan agar sanksi-sanksi tersebut dapat

dilaksanakan. Langkah-langkah preventif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan secara berkala 1 (satu) kali dalam satu tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu untuk memeriksa ketaatan notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yang dilihat dari pemeriksaan protokolnya oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). Kemudian MPD dapat memberitahukan kepada Majelis Pengawas Wilayah (MPW), jika atas laporan yang di terima MPD menemukan adanya unsur pidana, kemudian juga dapat menyelanggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris. Jika hasil pemeriksaan MPD menemukan pelanggaran, maka MPD tidak dapat menjatuhkan sanksi yang represif kepada notaris melainkan hanya dapat melaporkan kepada MPW, tindakan preventif yang dilakukan oleh MPD sesuai dengan kewenagannya yang telah diatur dalam pasal 70 UUJN huruf a dan h, dalam huruf a disebutkan bahwa MPD dalam menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris dan dalam huruf h disebutkan membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah. MPW dapat melakukan langkah represif, yaitu menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis dan sanksi ini bersifat final, dan mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada majelis pengawas pusat (MPP) berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampa dengan 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat. Tindakan MPW dalam melakukan represif ini sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalan pasal 73 UUJN huruf a, b, e, f, g dalam huruf a MPW berwenang disebutkan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui majelis pengawas wilayah, dalam huruf b disebutkan MPW berwenang memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dalam huruf e disebutkan bahwa MPW berwenang memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, dalam huruf f disebutkan bahwa MPW berwenang untuk mengusulkan pemberian

sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat. MPP tidak melakukan tindakan preventif, tapi menyelanggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti, dan tindakan represif berupa menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara, dan mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada menteri. 34 Tindakan represif ini sesuai dengan yang diatur dalam kewenangan pasal 77 UUJN huruf a, b, c, d, dalam huruf a disebutkan bahwa Majelis Pengawas Pusat berwenang untuk menyelanggarkan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan pemolakan cuti, dalam huruf b Majelis Pengawas Pusat berwenang untuk memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, dalam huruf c mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan dalam huruf d berwenang untuk mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada menteri, pemberian sanksi ini diberikan terhadap notaris yang melanggar kewajiban dan larangan jabatan pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN dan melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan pasal 12 huruf d UUJN. Dalam sanksi perdata pemberhentian sementara dan pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya jika dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang sesuai pasal 9 ayat (1) UUJN dan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai pasal 12 huruf a UUJN. Dalam sanksi kode etik notaris melakukan perbuatan tercela sesuai pasal 9 ayat (1) huruf c UUJN dan melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris pasal 12 huruf c UUJN. Dalam sanksi pidana berpa dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah 34 ibid, h. 92

mempunyai kekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih sesuai pasal 13 UUJN 35 Hubungan antara kode etik notaris dan UUJN memberikan arti terhadap profesi notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik notaris menghendaki agar notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab kepada masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (ikatan notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap negara. Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam pasal 1 UUJN yaitu notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut G.H.S, Lumban Tobing Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga sudah tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai pejabat umum. Ketentuan yang berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum sangat erat dengan pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik dan kualifikasi seperti diberikan kepada notaris 36. Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN yaitu Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undangundang. Maksud dari dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain adalah seperti kantor 35 Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai pejabat publik, Cet ke 3, PT. Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm 120 36 Istilah openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het Notaris Ambt in Indonesia (ord, van. Jan. 1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S, Lumban Tobing, sebagaimana tersebut dalam kata pengantar buku, Peraturan Jabatan Notaris, Op.Cit., hlm. V.

catatan sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai pejabat umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai pejabat umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai pegawai negeri. Dalam pasal 15 ayat (2) UUJN disebutkan kewenangan yang lain dari notaris adalah notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, notaris berwenang juga untuk membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, notaris berwenang membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan, notaris berwenang untuk melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya, dan notaris berwenang memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau membuat akta risalah lelang. Dengan adanya hubungan ini, maka terhadap notaris yang mengabaikan keseluruhan dari martabat jabatannya selain dapat dikenai sanksi moril, ditegur atau dipecat dari keanggotaan dari profesinya juga dapat di pecat dari jabatannya sebagai notaris, namun sanksi pemecatan yang diberikan terhadap notaris yang melakukan pelanggaran kode etik bukanlah berupa pemecatan dari jabatan Notaris melainkan pemecatan dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia sehingga walaupun notaris yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik, notaris tersebut masih dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai notaris, dengan demikian sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan perkumpulan tentunya tidak berdampak pada jabatan seorang notaris yang telah melakukan pelanggaran kode etik. 1.2 Sanksi Administrasi Penegakan kode etik diatas terhadap maladministrasi diatur juga dalam undang-undang jabatan notaris dalam pasal-pasalnya yang berisi mengnai sanksi administrasi, terhadap kasus yang terkait notaris F melakukan pelanggaran pasal 16 ayat (1) huruf a, yang mewajibkan notaris dalam menjalankan jabatannya notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak

berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. pada pasal 16 ayat (11) ditentukan bagi notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf i dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. Sanksi-sanksi tersebut berlakunya secara berjenjang mulai dari teguran lisan sampai dengan pemberhentian tidak hormat, dalam kasus ini notaris F terlebih dahulu dapat dikenakan pemberhentian sementara sesuai dengan pasal 9 UUJN yaitu: a. Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena: 1) dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; 2) berada di bawah pengampuan; 3) melakukan perbuatan tercela; 4) melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik Notaris; atau 5) sedang menjalani masa penahanan. b. Sebelum pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Pengawas secara berjenjang. c. Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat. d. Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan. Sesuai dengan pasal 9 ayat (2) notaris yang diberhentikan sementara diberikan kesempatan untuk membela diri secara berjenjang maksudnya dimulai dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, sampai dengan Majelis Pengawas Pusat, jika tetap

dinyatakan bersalah bagi notaris dapat ditindak lanjuti dengan pemberhentian secara tidak hormat sesuai yang diatur dalam pasal 12 UUJN yaitu: Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila: a. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b. berada di bawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; c. melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris; atau d. melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Klasifikasi dari pasal 12 huruf (d) yaitu melakukan pelanggaran berat adalah tidak memenuhi kewajiban dan melanggar larangan jabatan notaris sesuai yang diatur dalam pasal 16 UUJN mengenai kewajiban dan pasal 17 UUJN mengenai larangan. Sesuai dengan uraian diatas dan dianalisi terhadap kasus ini notaris F melanggar pasal 12 huruf d UUJN yaitu notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul majelis pengawas pusat, karena dalam sanksi administrasi ini notaris F melanggar ketentuan pasal 16 ayat 1 huruf (a), karena telah berpihak pada salah satu pihak yaitu penjual, sehingga akibat hukum yang diterima oleh notaris F adalah dikenakan penegakan sanksi pada pasal 12 UUJN huruf (d) yaitu notaris dapat diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya jika melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. 1.3 Sanksi Perdata Pengaturan dalam dunia kenotariatan lebih tepatnya dalam UUJN diatur ada dua jenis Sanksi terhadap notaris, selain sanksi administrasi yang telah dijelaskan lebih dulu diatas, juga terdapat sanksi lainnya pada pasal 84 UUJN, yaitu sanksi perdata : 37 a. Sanksi perdata adalah sanksi yang dikenakan pada notaris jika melanggar pasal 84, ditentukan ada dua jenis sanksi perdata, jika notaris melakukan tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi yang sama jenisnya tersebar dalam pasal 37 Habib Adjie,loc cit h. 93

pasal lainnya yaitu: 1) Akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan; dan 2) Akta notaris menjadi batal demi hukum Pada saat ini pasal 84 UUJN telah dihapuskan di dalam undang-undang jabatan notaris yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, digunakan kembali rujukan tersebut dengan maksud agar penulis lebih rinci menentukan pembagian pasal-pasal dalam UUJN yang dapat menyebabkan akta menjadi dibawah tangan dan akta yang menjadi batal demi hukum, akibat dari akta notaris yang seperti itu, maka dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris. Akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai di bawah tangan dan akta notaris menjadi batal demi hukum adalah dua istilah yang berbeda. Pasal 84 UUJN tidak menegaskan atau tidak menentukan secara tegas (membagi) ketentuan (pasal-pasal) yang dikategorikan seperti itu. Pasal 84 UUJN mencampur adukan atau tidak memberikan batasan kedua sanksi tersebut, dan untuk menentukannya bersifat alternatif dengan kata atau pada kalimat mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Oleh karena dua istilah tersebut mempunyai pengertian dan akibat hukum yang berbeda, maka perlu ditentukan ketentuan pasal-pasal mana saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran dengan sanksi akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. Kemudian juga perlu di tegaskan, apakah sanksi kepada notaris kedua hal tersebut sebagai akibat langsung dari akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. Untuk menentukan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat dilihat dan ditentukan dari : a. Isi dalam pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika notaris melakukan pelanggaran maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.

b. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan maka pasal lainnya yang dikategorikan melanggar pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta batal demi hukum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, jika di sebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan, dan yang tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan, termasuk sebagai akta menjadi batal demi hukum. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 84 UUJN, yaitu jika notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf I, k, pasal 41, pasal 44, pasal 48, pasal 49, pasal 50, pasal 51 pasal 52 (1) ketentuan-ketentuan tersebut dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh notaris sehingga akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, yaitu : a. Melanggar ketentuan pasal 16 ayat 1 huruf (i), yaitu tidak membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditanda tangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris b. Melanggar ketentuan pasal 16 ayat 7 dan ayat 8, yaitu jika notaris pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dbcakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isi akta. c. Melanggar ketentuan pasal 41 dengan menunjuk kepada pasal 39 dan 40, yaitu tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan: Pasal 39 bahwa: 1) Penghadap paling sedikit berusia 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum 2) Penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya dua orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan dua penghadap lainnya

Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh notaris dengan dihadirii paling sedikit dua orang saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan perkwainan serta hubungan darah dalam garis lurus tanpa derajat pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris atau para pihak d. Melanggar ketentuan pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluaragaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan garis miring atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diir sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Ketentuan-ketentuan yang jika dilanggar mengakibatkan akta notaris menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, disebutkan dengan tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang bersangkutan sebagaimana tersebut di atas. Dapat ditafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan dengan tegas bahwa akta notaris menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka selain itu termasuk ke dalam akta notaris yang batal demi hukum, yaitu : 38 a. Melanggar kewajiban sebgaimana tersebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke daftar pusat wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil). b. Melanggar kewajiban sebagaiman tersebut dalam pasal 16 ayat (1) huruf k, yaitu tidak mempunyai cap / stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkari namanya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukannya. c. Melanggar ketentuan pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak di buat dalam bahasa Indonesia ataua bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai penerjemah resmi, penjelasan, penandatanganan akta di hadapan penghadap, notaris, dan penerjemah resmi 38 ibid, h. 97

d. Melanggar ketentuan pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan notaris, atas perngubahan atau penambahan berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian atau pencoretan. e. Melanggar ketentuan pasal 49, yaitu tidak menyebutkan taas perubahan akta yang dibuat tidak di sisi kiri akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang di ubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang di ubah mengakibatkan perubahan tersebut batal. f. Melanggar ketentuan pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan, dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang di coret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan apda akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan. g. Melanggar ketentuan pasal 51, yatu tidak membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, juga tidak membuat berita acar tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta. Maka dalam sanksi perdata ini notaris F bersalah karena telah melanggar pasal melanggar ketentuan pasal 52 ayat (1) UUJN, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluaragaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan garis miring atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ke tiga, serta menjadi pihak untuk diir sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa dan seabagai akibat hukumnya sebagaimana yang diatur dalam pasal 52 ayat (3) yaitu pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban notaris yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga kepada yang bersangkutan. 1.4 Sanksi Pidana Sanksi yang terakhir bagi notaris adalah sanksi pidana, sanksi ini terhadap notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatan notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta harus berdasarkan pada kepada aturan hukum yang mengatur hal tersebut, dalam hal ini UUJN. Jika semua tatacara pembuatan akta

sudah ditempuh suatu hal yang tidak mungkin secara sengaja notaris melakukan suatu tindakan bunuh diri jika seorang notaris secara sengaja bersama-sama atau membantu penghadap secara sadar membuat akta untuk melakukan suatu tindak pidana. Pengertian sengaja yang dilakukan oleh notaris, merupakan suatu tindakan yang disadari atau direncanakan dan diinsyafi segala akibat hukumnya, dalam hal notaris sebagai sumber untuk melakukan kesengajaan bersama-sama dengan para penghadap. Sanksi pidana terhadap notaris tunduk terhadap ketentuan pidana umum, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disingkat KUHPidana. UUJN tidak mengatur mengenai tindak pidana khusu untuk notaris. 39 Sanksi ini berlaku bagi notaris yang melanggar atau memenuhi unsur-unsur perbuatan yang dilarang dalam KUHpidana, karena dalam kedudukannya notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik. Pembuatan akta otentik tersebut harus berdasarkan bentuk dan prosedur yang sudah ditetapkan di dalam Undangundang Jabatan Notaris. Pembuatan akta otentik oleh atau di hadapan notaris dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat apabila memenuhi unsur-unsur rumusan tindak pidana pemalsuan surat di dalam KUHPidana, yaitu pasal 263 ayat (1) KUHPidana, Pasal 264 ayat (1) KUHPidana, dan pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 KUHPidana, dalam pasal 263 ayat (1) KUHPidana berbunyi barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal 264 ayat (1) KUHPidana berbunyi pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap: 39 bid, h. 119

a. akta-akta otentik; b. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; c. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai: d. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti suratsurat itu; e. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. Pada pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 KUHPidana dalam pasal 266 ayat (1) berbunyi Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; dan pasal 55 KUHPidana berbunyi dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan dan mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Notaris yang melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam pembuatan Akta Otentik dapat dipertanggungjawabkan secara pidana apabila memenuhi unsur-unsur kesalahan, yaitu mampu bertanggung jawab, ada hubungan batin berupa kesengajaan dan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan. Sehingga Notaris yang dengan

penuh kesadaran sengaja atau terlibat dalam pembuatan akta otentik palsu dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Sedangkan apabila unsur-unsur kesalahan tersebut tidak terpenuhi maka notaris tersebut tidak dapat dipidana. Berdasarkan uraian penjelasan mengenai sanksi di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa notaris F dapat di kenakan sanksi kode etik, perdata dan administarsi karena telah bersalah dengan melanggar ketentuan dalam kode etik pasal 3 angka 4 kode etik notaris yaitu melakukan bentuk keterpihakan dan akibat hukum dari perbuatan tersebut adalah pemecatan sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemecatan seterusnya jika berdasarkan keputusan kongres dinyatakan bersalah. Dalam sanksi perdata bersalah karena notaris F melanggar ketentuan dalam pasal 52 ayat (1) UUJN karena telah membuat akta peralihan hak atas tanah dengan dasar kuasa bagi dirinya sendiri untuk melakukan transaksi, maka notaris F dapat dikenakan sanksi perdata sebagai akibat hukumnya dalam pasal 52 ayat (3) UUJN yaitu mengakibatkan akta menjadi akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi para pihak untuk menggugat notaris untuk membayar biaya, ganti rugi, dan bunga. Dalam sanksi administrasi notaris F terbukti bersalah dengan melakukan bentuk keterpihakan pada salah satu pihak yaitu pihak penjual maka dari itu notaris F bersalah karena tidak memnuhi ketentuan dalam pasal 16 ayat (1) huruf a yang mengharuskan notaris bertindak jujur dan tidak berpihak, oleh ketentuan itu notaris F dikenakan sanksi administrasi yang dapat mengakibatkan pencabutan jabatan secara tidak hormat sesuai dengan pasal 12 huruf d UUJN. Bagi sanksi pidana tidak dapat dikenakan sanksi pidana karena tidak memenuhi unsur-unsur perbuatan yang dilarang dalam pasal 263 ayat 1 KUHP, Pasal 264 ayat (1) KUHP dan Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 KUHP. 2. Kedudukan Dari Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Notaris adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik sebagai bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat untuk menjamin kepastian hukum, jika akta yang dibuat yang dibuat oleh notaris tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam UUJN maka akan mempengaruhi kekuatan hukum dari atas tersebut, seperti pada kasus yang terkait menjadi analisis

dalam penulisan ini yaitu notaris F yang telah membuat surat kuasa atas dirinya sendiri dalam akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya sehingga atas perbuatan tersebut mengakibatkan dirinya melakukan bentuk berpihakan kepada pihak penjual. Atas dasar kasus posisi diatas maka dianalisis sebagai berikut pada pasal 1869 Burgelijk wetboek menentukan batasan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan karena: a. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan; atau b. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan c. Cacat dalam bentuknya Ketentuan-ketentuan tersebut d bawah ini dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh notaris, sehingga akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, yaitu melanggar pasal 16 huruf ayat (1) huruf i, pasal 16 ayat (7) dan ayat (8), pasal 41 dengan menunjuk kepada pasal 39 dan 40, dan yang terakhir pasal 52. Berdasarkan analisa tersebut diatas ketentuan yang dilanggar oleh notaris F dalam kasus posisi adalah pasal 52 UUJN, maka akibat perbuatan tersebut notaris F dapat dikenai sanksi pasal 52 ayat (1) yaitu notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri serta menjadi pihak untuk diri sendiri maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Sebagai akibat hukum atas pelanggaran Pasal 52 ayat (1) tersebut diatur dalam pasal 52 ayat (3) UUJN yaitu merupakan sanksi perdata yang berakibat kedudukan akta yang dibuat oleh notaris F menjadi akta di bawah tangan. Akibat dari akta notaris yang seperti itu, maka dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.