BAB II AJARAN DAN KONSEP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI DALAM HUKUM PIDANA. A. Eksistensi Perbuatan Melawan Hukum Di dalam Konsepsi Hukum Pidana

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA. Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum

DAFTAR PUSTAKA. Abidin, Andi Zainal, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama), Bandung: Alumni, 1987

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKEMBANGAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA. Pertanggung Jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

Tafsir Hakim Terhadap Unsur Melawan Hukum Pasca Putusan MK Atas Pengujian UU PTPK

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB II TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

DIMENSI DAN IMPLEMENTASI PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. dijatuhi pidana apabila terbukti memiliki kesalahan.dengan demikian penilaian

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

DAFTAR PUSTAKA. Abidin, A.Z. & Hamzah, Andi, 2010, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta.

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang. didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian.

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

I. PENDAHULUAN. juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

I. PENDAHULUAN. yang melakukan tindak pidana. Dengan lahirnya konsepsi baru dalam hukum pidana modern,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal. pelaku tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

Keywords: Financial loss of countries, corruption, acquittal, policy, prosecutor

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Respon terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kehidupan di dunia terdapat suatu nilai-nilai mengenai apa yang dianggap baik dan

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

Transkripsi:

BAB II AJARAN DAN KONSEP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DI DALAM HUKUM PIDANA A. Eksistensi Perbuatan Melawan Hukum Di dalam Konsepsi Hukum Pidana Hukum pidana di dalam prespektif sistem hukum di Indonesia berada pada ruang lingkup hukum publik yang secara esensial dapat dibagi lagi menjadi hukum pidana materiil (materieel strafrecht) dan hukum pidana formal (formeel strafrecht/strafprocesrecht). 49 Selanjutnya, ketentuan hukum pidana sesuai konteks di atas dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan hukum pidana khusus menurut W.P.J. Pompe, H.J.A. Nolte, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai subyeknya dan perbuatan yang khusus (bijzonder lijkfeiten). 50 Hukum pidana sebagai lingkup hukum publik merupakan salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat. 49 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), hal. 171. Lihat juga, Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 5 50 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya), (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1

Identifikasi dari beberapas aspek atau bentuk-bentuk perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan adalah sebagai berikut: 51 1. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat maka timbullan pendapat atau teori bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah penanggulangan kejahatan/penindasan kejahatan/penegakan kejahatan/pengendalian kejahatan. 2. Dilihat dari sudut perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahaya orang (si pelaku), maka timbul pendapat bahwa tujuan pidana adalah untuk memperbaiki si pelaku / rehabilitasi /reformasi sosial / resosialisasi /pemasyarakatan/pembebasan. Memperbaiki si pelaku mengandung makna mengubah atau mempengaruhi tingkah laku kembali patuh pada hukum. 3. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi terhadap pelanggar pidana, maka dapat dikatakan tujuan pidana adalah mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya dalam melakukan reaksi terhadap si pelanggar sering pula dikatakan bahwa pidana dimaksudkan untuk menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam atau untuk menghindari balas dendam. 4. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlunya mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu 51 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 26

oleh adanya kejahatan/dapat dikatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat. Selanjutnya, dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi wederrechtelijk dalam ranah hukum pidana dan terminologi onrechtmatige daad dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pengertian dan terminologi wederrechtelijk dalam hukum pidana tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met het recht), atau melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht) dan ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steunend op het recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid). Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif dimana perbuatan melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum materil (materiele wederrechtelijkheid) dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919. 52 52 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003), hal. 13

Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum memiliki empat makna yakni: Pertama, perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ketiga, sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil mengandung dua pandangan sebagai berikut: 53 2. Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang rumusan delik. 3. Dari sudut sumber hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat melawan hukum material dibagi menjadi sifat melawan hukum material dalam negatif dan fungsi positif. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif mengandung arti, meski perbuatan tidak memenuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu 53 Perbuatan melawan hukum di dalam hukum pidana, http://www.google.co.id, diakses tanggal 25 Mei 2009

dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana. B. Unsur Perbuatan Melawan Hukum (Wederrechtelijke) Dalam Suatu Tindak Pidana Hukum pidana dikenal sebagai ultimum remidium atau sebagai alat terakhir apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan. 54 Tetapi tidak semua orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan.untuk menjatuhkan pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit ada dalam suatu pasal. 55 Adanya sifat melawan hukum yang secara implisit dan eksplisit terdapat dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau terdakwa dapat dilakukan penuntutan dan pembuktian di pengadilan. Jika 54 Sudarto, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 102 55 Roeslan Saleh, Ibid

meneliti Pasal-Pasal dalam KUHP maka akan tercantum kata-kata melawan hukum (wederrechlijke) untuk menunjukan sah suatu tindakan atau suatu maksud. Penggunaan kata wederrechlijke untuk menunjukan sifat tidak sah suatu tindakan terdapat dalam Pasal 167 ayat (1), 168, 179, 180, 189, 190, 198, 253 257, 333 ayat (1), 334 ayat (1), 335 ayat (1) angka 1, 372, 429 ayat (1), 431, 433 angka 1, 448, 453 455, 472 dan 522 KUHP. Sedangkan penggunaan kata wederrechlijke untuk menunjukan suatu maksud dapat dijumpai dalam Pasal 328, 339, 362, 368 ayat (1), 369 ayat (1), 378, 382, 390, 446 dan 467 KUHP. 56 Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua Pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit; 2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan 56 P.A.F. Lamitang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, Bandung, 1990), hal. 332

pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan. 57 Pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana yang meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf maka sifat melawan merupakan alasan pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan hapus atau tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat formil (formele wederrechtelijkheid) maupun sifat melawan hukum yang materil (materiele wederretelijkheid). Keberadaan formale wederrechtelijkheid tidak menjadi persoalan karena secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan apakah seseorang itu wederrechtelijk atau tidak cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik atau tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan materiele wederrechtlikheid. Terhadap hal ini memang menjadi persoalan karena di negeri Belanda sendiri ajaran materiele wederrechtlikheid kurang berkembang, sedangkan persoalannya menjadi lain karena di Indonesia berkembang pula hukum tidak tertulis yaitu hukum adat yang memungkinkan sifat melawan hukum tidak berdasarkan hukum tertulis dan terdapat dalam KUHP tetapi unsur melawan hukum itu ada dalam kehidupan masyarakat yang tidak tertulis. Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang materil di Indonesia 57 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama), (Bandung: Alumni, 1987), hal. 269-270.

ternyata tidak seperti yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17 Januari 1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung mengeluarkan Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini secara terangterangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang materil (materiele wederrechtlikheid) sebagai alasan pembenar. Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut adalah sebagai berikut: 58 Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor : a. negara tidak dirugikan; b. kepentingan umum dilayani;dan c. terdakwa tidak mendapat untung. Keputusan ini dianggap sebagai yang pertama tentang pengakuan penggunaan ajaran materiele wederrechtlikheid yang selanjutnya digunakan pula dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yang lain. 59 Kaidah hukum yang terdapat dalam Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tidak terdapat dalam KUHP, khususnya dalam 58 L. Suryadarmawan, Himpunan Keputusan-Keputusan Dari Mahkamah Agung, Jakarta: 1967), hal 555. 59 Lihat juga putusan MARI No. 30 /K/Kr/1969 dalam kasus jual beli vespa bekas, MARI NO. 72 K/Kr/1970 dalam kasus penarikan cek kosong Caltex, MARI No. 43 K/Kr/1973, dalam kasus Komisi Dokter Hewan, MARI No. 97 K/Kr/1973 dalam kasus Deposito Telkom, MARI No. 81 K/Kr /1973 dalam kasus Reboisasi Hutan.

Bab 3 Buku 1 tentang alasan-alasan penghapus pidana. Kaidah ini tercipta sebagai akibat dari suatu perkara korupsi yang diputuskan oleh Mahkamah Agung yang mengambil alih pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 27 Januari 1965 No. 146/1964 yang merupakan perkara banding dan PN Singkawang tanggal 24 September 1965 No. 6/1964. Putusan ini mengundang berbagai pendapat, diantaranya adalah Sudarto, yang menyatakan bahwa : Terhadap kasus tersebut ada dua hal yang perlu dikemukakan : a. Keputusan PT Jakarta tersebut memberi presedent bahwa ajaran sifat melawan hukum yang material dalam fungsinya yang negatif telah dianut; b. Sangat diragukan kebenaran pendapat bahwa dalam persoalan penggelapan apabila negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung terdakwa lalu dipandang tidak berbuat sesuatu yang melawan hukum. Apabila jalan pikiran ini diikuti, seorang pemegang kas negara, yang membungakan uang yang dikuasainya, baik kepada Bank maupun kepada perseorangan, tidak dapat dituduh menggelapkan kalau memenuhi tiga faktor tersebut, misalnya bunganya disumbangkan kepada orang-orang miskin atau badan-badan sosial. Dapat kita menarik konsekuensi sedemikian jauh. 60 Terhadap persoalan di atas, Oemar Seno Adjie berpendapat lain. Oemar Seno Adjie mengemukakan: 61 Maka, suatu konstruksi sekitar materiele wederrechtlikheid dan perumusannya yang mengakui adanya strafuitslutings, tidak ada perbuatan melawan hukum yang materiil, jika ada afweziheid van alle materiele wederrechtlikheid. Ia merupakan suatu kesimpulan dalam ilmu hukum, yang 56 60 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 61 Oemar Seno Adjie, Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), hal. 44

seterusnya dapat dikembangkan pula oleh yurisprudensi dan semoga dapat disumbangkan bagi para legislator untuk menetukan perundangundangannya. Dari kedua pendapat tersebut memang terlihat tidak ada ukuran yang pasti tentang kapan dan dapat hilangnya sifat melawan hukum materiil. Tentu saja yang dimaksud dengan ukuran yang pasti di sini bukanlah suatu ukuran yang matematis, tetapi suatu ukuran obyektif yang dilihat dari asas-asas hukum yang berlaku. 62 Melawan undang-undang berarti secara formil melawan hukum. Mungkin perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma lain yang tidak diatur oleh undangundang, di sinilah letaknya sifat melawan hukum materil. Meskipun demikian belumlah tentu perbuatan itu sebagai pidana jika tidak terlebih dahulu ditentukan dalam undang-undang. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penegakan hukum karena banyak perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma hukum yang belum diatur dalam perundang-undangan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muladi yang mengatakan... dengan meningkatnya kuantitas kasus-kasus malpraktek di kalangan profesi, akan di sini penerapan ajaran sifat melawan hukum materil dalam penegakan hukum pidana. 63 Kesulitan lain juga muncul di samping karena sifat hukum pidana sebagai ultimum remidium, yaitu karena badan legislatif tidak begitu cepat tanggap terhadap 62 Komariah Emong S, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Prisma, No. 7 Juli 1995, hal. 30 63 Muladi, Sinkronisasi Pelaksanaan Penegakan Hukum dalam Mewujudkan Integrated Criminal Justice System, Makalah dalam diskusi hukum ICJS, Yogyakarta, 25 26 Juli 1990.

pembentukan undang-undang baru untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan bentuk baru sebagai akibatnya hakim harus berhadapan dengan masalah penafsiran yang bagi hakim pidana terbatas jenisnya. Schaffmeister melukiskan keadaan ini sebagai keadaan di mana hakim terpaksa menerapkan Pasal-Pasal penipuan bagi perkaraperkara yang muncul sebagai akibat perkembangan masyarakat sedangkan perangkat undang-undang pidana belum mengaturnya. 64 Peran legislatif menjadi sangat penting untuk membuat suatu peraturan hukum pidana. Menurut Roeslan Saleh, dengan jalan menyatakan sesuatu perbuatan dapat di pidana, maka pembentuk itu sebagai bersifat melawan hukum atau untuk selanjutnya akan dipandang demikian. 65 Sebagai contoh pentingnya peran legislatif dalam membuat suatu peraturan pidana adalah dalam perumusan tindak pidana korupsi. Dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat rumusan delik yang memuat ajaran sifat melawan hukum yang materil. Hal ini tersimpul dalam kalimat Kerugian keuangan negara atau perekonomian seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b. Unsur ini oleh jaksa penuntut umum ditafsirkan sebagai unsur yang harus dibuktikan di persidangan. Oleh Romli Atmasasmita, kelemahan rumusan delik dalam UU No. 3 Tahun 1971 ini diperlemah dengan adanya keputusan MARI No. 24 K/Kr/1965 tersebut di atas sehingga banyak tindak pidana korupsi yang menyangkut konglomerat tidak dilanjutkan ke tingkat pemeriksaan di pengadilan karena tidak 64 D. Schaffimeister, Fraud Bestrijding Zonder Grondslag, Leiden, 1990 65 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal 7.

terbukti unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dengan dikembalikannya uang hasil korupsi oleh terdakwa kepada negara. 66 Perkembangan selanjutnya, pembicaraan antara pemerintah dengan lembaga legislatif menghasilkan rumusan yang berbeda dengan UU No. 3 Tahun 1971. UU No. 31 Tahun 1999 sebagai ganti UU No. 3 Tahun 1971 menetapkan tindak pidana korupsi dirumuskan secara formal (delik formal), bukan delik materil, di mana pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa, melainkan hanya sebagai faktor yang meringankan pidana. 67 Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh penyidik Satuan Tipikor Polda Sumatera Utara yang menyatakan bahwa: Undang-undang tindak pidana korupsi yang diatur di dalam undang-undang sebagai kerangka penyidik untuk melakukan serangkaian penyidikan atas terjadinya suatu peristiwa pidana yang dituduhkan kepada tersangka tindak pidana korupsi maka kerangka hukum yang digunakan penyidik adalah mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang merumuskan tentang perbuatan melawan hukum formil, sedangkan melawan hukum materiil penyidik tidak dapat menggunakan kerangka hukum ini walaupun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Agung 66 Romli Atmasasmita, Proses Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI : Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya, FH UNPAD, Bandung 25 September 1990. 67 Hasil wawancara dengan penyidik pada Satuan Tindak Pidana Korupsi Polda Sumatera Utara, tanggal 25 Mei 2009

C. Perbuatan Melawan Hukum Berhubungan Dengan Adanya Kesalahan (Schuld) Sebagai Syarat Pengenaan Pidana Prinsip pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam hukum pidana dilandasi oleh adanya kesalahan (shuld) di dalam perbuatan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, 68 sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana di dalam faham KUH Pidana diperlukan beberapa syarat yakni: Pertama, adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh kealpaan. Kedua, adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Ketiga, adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab dan tidak ada alasan pemaaf. Kesalahan (schuld) sangat erat kaitannya dengan suatu kejahatan yang dilakukan oleh subjek hukum manusia alamiah yang mengandung arti bahwa dapat dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau sifat melawan hukum. Meskipun perbuatannya memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dapat dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana karena penjatuhan pidana memerlukan adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). 69 Hal ini 68 Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH Undip, 1987/1988), hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undnag dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. 69 H. Setiyono, Op.cit, hal. 101

tentunya mengambarkan bahwa perbuatan melawan hukum berhubungan dengan kesalahan sebagai syarat penjatuhan pidana dalam rangka meminta pertanggungjawaban pelaku sesuai dengan asas geen straf zonder schuld di dalam faham hukum pidana, untuk menentukan kesalahan sebagai dasar penjatuhan pidana tentunya didasarkan kepada perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Selanjutnya, pertanggungjawaban pidana akibat timbulnya perbuatan melawan hukum pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada diri seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut: 70 1. Ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku: 2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang; 3. Dan tindakan itu bersifat melawan hukum atau unlawful serta 4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan. Hubungan perbuatan melawan hukum dengan kesalahan sebagai syarat dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan pelaku tindak pidana bermakna bahwa schuld harus mengadung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan perbuatan berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan dimaksud bukannya diartikan pencelaan berdasarkan kesusilaan melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku hal. 67. 70 Lihat, Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000),

(bukan ethische schuld melainkan verantwoordelijk heid rechtens). 71 Hal ini berarti bahwa penjatuhan pidana berdasarkan syarat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana dilandasi oleh kriminalisasi suatu perbuatan pidana di dalam undangundang. 72 Menurut Komariah Emong Sapardjaja bahwa suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. 73 Perumusan delik ini dikarenakan asas legalitas dianut dalam konsepsi hukum pidana yang mewajibkan kepada pembuat undangundang untuk menentukan terlebih dahulu dalam undang-undang dan apa yang dimaksud dengan tindak pidana harus dirumuskan dengan jelas karena perumusan mempunyai peranan yang menentukan mengenai apa yang dilarang dan apa yang harus dilakukan orang. Hal ini sebagaimana dirumuskan oleh Enschede bahwa een strafbaar feit is een menselijke gedraging, die valt binnen de grenzen van een delictsomschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten (tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam perumusan delik, melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicelakan padanya). Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana sebagai perbuatan yang bertentangtan dengan undang-undang atau perbuatan melawan didasarkan pada 71 Ibid 72 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit, hal. 240 bahwa kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bahagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy). 73 Komariah Emong Sapardjaja, Op.cit, hal. 23

adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, intention) yang diwarnai dengan sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak. Di samping kesalahan berupa kealpaan atau culpa yang diartikan sebagai akibat kurang kehatihatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. 74 Dalam bahasa Belanda asas tindak pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah Geen Straf Zonder Schuld. Asas ini tidak dijumpai pada KUH Pidana sebagaimana halnya asas legalitas, karena asas ini adalah asas yag ada dalam hukum tidak tertulis. 75 Asas kesalahan ini merupakan asas yang diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana akibat terjadinya perbuatan melawan hukum, artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang benar-benar telah melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai pengertian kesalahan ini, Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat uang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana. 76 Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian semata-mata diperlukan dalam pembidanaan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh 74 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Centra, 1968), hal. 23 bahwa asas legalitas mengandung asas perlindungan yang secara historis merupakan reaksi terhadap kesewenangan-wenangan penguasa di jaman Ancient Regime, serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan dalam suatu negara liberal pada waktu itu. Roeslan Saleh, menyatakan dengan tegas nyata bahwa penolakan atas asas legalitas, suatu asas dan pengertian dalam lapangan hukum pidana adalah bertentangan dengan makna hukum pidana itu sendiri. 75 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hal. 3. 76 Sudarto, Op.cit, hal. 30.

sebab itu pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana. Selanjutnya, hukum pidana mengenai 3 pengertian dasar yaitu sifat melawan hukum (unrechf), kesalahan (schuid), dan pidana (strafe) yang secara dogmatis unsur kesalahan harus ada dalam hukum pidana. Unsur-unsur kesalahan dalam arti yang seluasluasnya dimana antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan, yaitu : a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat; b. Hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); c. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf;