TINJAUAN PUSTAKA MUTU PANGAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I-1

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Luas lahan, produksi dan produktivitas TBS kelapa sawit tahun Tahun Luas lahan (Juta Ha)

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

VI. PENINGKATAN MUTU PRODUK KOMODITAS BERBASIS KELAPA SAWIT

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan

FORMULASI STRATEGI PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN PRODUK CRUDE PALM OIL

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI,KERANGKA PEMIKIRAN,DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

VII. FAKTOR-FAKTOR DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP MUTU

II. TINJAUAN PUSTAKA

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA

I. PENDAHULUAN. mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

HANS PUTRA KELANA F

URGENSI PENERAPAN ISO 9000, ISO DAN HAZARD ANALYTICAL CRITICAL CONTROL POINT PADA AGROINDUSTRI KELAPA SAWIT

Gambaran pentingnya HACCP dapat disimak pada video berikut

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. ditanam di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bagian utama dari kelapa sawit yang diolah adalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemasaran minyak goreng dengan bahan dasar kopra dan kelapa sawit. Pabrik ini telah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam beberapa tahun belakangan ini, media di Indonesia sangat gencar

PENERAPAN CARA BUDIDAYA IKAN YANG BAIK (CBIB) PADA UNIT USAHA BUDIDAYA

BAB I KETENTUAN UMUM. peraturan..

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG

LAPORAN KERJA PRAKTEK PT. BATARA ELOK SEMESTA TERPADU (1 AGUSTUS 8 SEPTEMBER 2015)

BAB I PENDAHULUAN. Prospek industri kelapa sawit Indonesia semakin cerah di pasar minyak

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan itu harus memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan hidup manusia.

Lu luatul Fuadah, Sutarni, S.P., M.E.P, Analianasari, S.T.P., M.T.A.

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL. Oleh: TIMOR MAHENDRA N C

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2014) Gambar 2 Perkembangan Produksi CPO Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak

PENDAHULUAN. integral pembangunan nasional. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati

Gambaran Umum Produksi Minyak Sawit

BAB I PENDAHULUAN. Kemudahan ini melahirkan sisi negatif pada perkembangan komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. keamanan makanan serta efektivitas dalam proses produksi menjadi suatu

PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)**

The Hazard Analysis and Critical Control Point System

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SISTEM-SISTEM TERKAIT MANAJEMEN MUTU PADA INDUSTRI PANGAN

Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P O Sanitasi

Prarancangan Pabrik Margarin dari RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengolahan tandan buah segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimaksudkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dihasilkan oleh perusahaan. Bahan baku suatu perusahaan industri dapat

BAB I PENDAHULUAN. tandan buah segar (TBS) sampai dihasilkan crude palm oil (CPO). dari beberapa family Arecacea (dahulu disebut Palmae).

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RUANG LINGKUP MANAJEMEN MUTU TITIS SARI KUSUMA

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

Pengantar HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93

Tabel 1. Standar Mutu Minyak Goreng, SII. Sumber : Departemen Perindustrian. dalam SII tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Indikator.

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa merupakan komoditas penting bagi rakyat Indonesia dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P

III. METODE PENELITIAN

Gambar I.1. Pertumbuhan Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia [1]

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa

DAFTAR ISI... ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESJA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 30/PMK.05/2016 TENTANG

PENILAIAN SISTEM MANAJEMEN KEAMANAN PANGAN (SMKP) HACCP

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit dapat berbuah setelah berusia 3-4 tahun dengan

STANDAR MUTU PRODUK OLAHAN BADAN KETAHANAN PANGAN DAN PENYULUHAN PROVINSI DIY

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

MAKALAH STANDARISASI MUTU PANGAN

I. PENDAHULUAN. berkembang pesat pada dua dekade terakhir. Produksi minyak sawit Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VII IMPLEMENTASI, VALIDASI DAN VERIFIKASI

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

TUGAS INDIVIDU PENGANTAR MIKROBIOLOGI. Penerapan HACCP pada Proses Produksi Yoghurt

I. PENDAHULUAN. diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

BAB I PENDAHULUAN Indonesia menguasai ekspor pasar minyak sawit mentah dunia sebesar

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN KERJA PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PELAKSANAAN A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan penyusunan dan penelitian tugas akhir ini dilakukan di Usaha Kecil Menengah

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memberikan kontribusi yang besar sebagai. sumber devisa negara melalui produk-produk primer perkebunan maupun

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TENTANG

Sumber (diolah dari) ; 1. Bank Indonesia, Sipuk-Siabe (2003). 2. Departermen Perindustrian, (2007).

PENILAIAN SISTEM MANAJEMEN MUTU (SMM) ISO 9001 : 2000

LAPORAN KERJA PRAKTEK

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA MUTU PANGAN Arti mutu secara umum berbeda-beda tergantung dari rangkaian kata atau kalimat dimana istilah mutu digunakan. Mutu merupakan karakteristik secara total dari produk atau jasa yang dihasilkan produsen yang berhubungan dengan konsumen. Deming (1969) menyatakan bahwa mutu seharusnya mengarah pada kebutuhan konsumen pada saat ini maupun yang akan datang. Mutu pangan sebagai salah satu unsur daya saing sangat terkait dengan penerimaan konsumen yang memiliki keinginan dan tuntutan yang terus bergerak. Perkembangan mutu pangan tidak terlepas dari perkembangan era mutu. Era mutu dimulai dari kegiatan inspeksi produk kemudian berkembang menjadi pengawasan mutu pada tahun 1920-an yang menekankan pada pengukuran. Arah perkembangan mutu pada tahun 1960-an kemudian bergerak kepada kegiatan pengendalian mutu dengan pendekatan statistika (statistical process control atau statistical quality control). Pada tahun 1980-an mutu berorientasi ke jaminan mutu (Quality Assurance/QA), sehingga akhirnya pada tahun 1990-an manajemen mutu mengarah kepada manajemen mutu total (TQM). Mutu saat ini, tidak lagi hanya didasarkan pada karakteristikkarakteristik fungsional yang konvensional, tetapi telah berkembang juga karakteristik-karakteristik atau atribut-atribut mutu baru seperti karakteristik psikologis (sifat-sifat sensori dan luxury), shelf life, kepraktisan/kemudahan (makanan siap santap) dan cepat saji (fast food). Karakteristik keamanan pangan (food safety) dan pengaruhnya terhadap kesehatan konsumen menjadi penting atau sebagai kekuatan daya saing, apalagi untuk tujuan ekspor. Dalam pengembangannya, pertimbangan utama dalam pembuatan standar mutu yang dilakukan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) lebih mengarah kepada upaya untuk memenuhi kesehatan konsumen (Wirakartakusumah dan Kadarisman, 1995). Menurut Baadilla (1996), sesuai dengan tuntutan konsumen produk pangan harus memenuhi persyaratan mutu yang meliputi lima aspek dengan urutan prioritasnya sebagai berikut : (1) aspek keamanan, 6

(2) aspek citarasa, (3) aspek nutrisi, (4) aspek estetika dan bisnis, serta (5) aspek halal. Pendekatan mutu perusahaan adalah mengembangkan dan menerapkan mutu melalui sistem yang mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan pada penerapan manajemen mutu. Sistem mutu yang diterapkan dalam semua rantai produk dimulai dari pembelian dan desain, procurement dan produksi sampai distribusi dan penjualan. Standar khusus dalam sistem mutu, diantaranya ISO 9000 yang merupakan standar manajemen mutu dan jaminan mutu. Dalam mencapai keberhasilan bisnis jangka panjang digunakan pendekatan yang berdasarkan pada partisipasi semua anggota dalam organisasi, yaitu TQM melalui komitmen dan partisipasi yang besar dari semua kekuatan kerja untuk mendapatkan kepuasan konsumen yang lebih baik (Jouve, 2000). SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001: 2000 ISO 9000 dikeluarkan oleh International Standarization For Organization (ISO) yang berpusat di Genewa, Swiss. ISO 9000 merupakan seri standar internasional untuk sistem mutu yang menspesifikasikan persyaratan-persyaratan dan rekomendasi untuk desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen, dengan tujuan menjamin bahwa pemasok (perusahaan) menyerahkan atau memproduksi barang dan atau jasa sesuai persyaratan yang ditetapkan. Standar internasional seri ISO 9000 diterbitkan dalam enam dokumen terpisah dengan nama ISO 8402, ISO 9000, ISO 9001, ISO 9002, ISO 9003 dan ISO 9004 (Hadiwiardjo dan Wibisono, 1996). Seri ISO 9000 direvisi setiap enam tahun sekali dan pada tahun 2000 dilakukan revisi ISO 9000 (Hadiwiardjo dan Wibisono, 1996; Gaspersz, 2001). Menurut Badan Standarisasi Nasional (2000) dalam revisi ISO tersebut terdapat empat standar utama, di bawah ini : ISO 9000 : Sistem manajemen mutu-konsep dan peristilahan ISO 9001 : Sistem manajemen mutu-persyaratan ISO 9004 : Sistem manajemen mutu-panduan ISO 10011 : Panduan pengauditan sistem mutu. 7

Standar ISO 9001, ISO 9002 dan ISO 9003 yang berlaku dilebur menjadi standar tunggal ISO 9001, sehingga dalam ISO 9000 revisi 2000 (ISO 9001 : 2000) hanya ada satu standar yang berisi persyaratan, yaitu ISO 9001. Standar diatas menyarankan adopsi pendekatan proses saat mengembangkan, mengimplementasikan dan memperbaiki keefektifan sistem manajemen mutu, dalam rangka meningkatkan kepuasan pelanggan sesuai dengan persyaratan (BSN, 2000). Manfaat penerapan ISO 9001 : 2000 menurut Gaspersz (2001) adalah: (1) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui jaminan mutu yang terorganisasi dan sistematik, (2) meningkatkan citra perusahaan serta daya saing dalam memasuki pasar global, (3) menghemat biaya dan mengurangi duplikasi audit sistem mutu oleh pelanggan karena dilaksanakan secara berkala, (4) membuka pasar baru karena nama perusahaan terdaftar pada lembaga registrasi terpercaya, (5) meningkatkan mutu dan produktivitas kerja manajemen melalui kerjasama dan komunikasi yang lebih baik, sistem pengendalian yang konsisten serta pengurangan dan pencegahan pemborosan, (6) meningkatkan kesadaran mutu perusahaan, dan (7) perubahan kultur kerja karyawan menjadi kultur mutu. Suatu organisasi untuk berfungsi efektif harus mengetahui dan mengelola sejumlah kegiatan yang saling berhubungan. Suatu kegiatan yang menggunakan sumber daya dan dikelola untuk memungkinkan transformasi masukan menjadi luaran, dapat dianggap sebagai suatu proses. Seringkali luaran suatu proses merupakan masukan bagi kegiatan berikutnya (BSN, 2000). Menurut Gaspersz (2001), tahap-tahap penerapan SMM adalah (1) komitmen dari manajemen puncak, (2) membentuk panitia pengarah atau koordinator ISO, (3) mempelajari persyaratan SMM ISO 9001:2000, (4) melakukan pelatihan terhadap semua anggota organisasi, (5) memulai peninjauan ulang manajemen, (6) identifikasi kebijakan mutu, prosedur-prosedur yang dibutuhkan dalam dokumen tertulis, (7) implementasi SMM, (8) memulai audit sistem manajemen mutu dan (9) memilih register/lembaga sertifikasi mutu yang terpercaya. 8

SISTEM MANAJEMEN KEAMANAN PANGAN Keamanan Pangan Menurut Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan. Menurut Fardiaz (1996), terdapat empat masalah utama dalam sistem keamanan pangan Indonesia, sebagai berikut : 1. Masih banyak ditemukan produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dalam peredarannya. 2. Masih banyak kasus penyakit dan keracunan melalui makanan, yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. 3. Masih banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan, terutama industri kecil atau industri rumah tangga dan penjual makanan jajanan. 4. Rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen terhadap keamanan pangan. Sesuai dengan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, konsumen berhak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan dari produk yang digunakan. Oleh karena itu, produsen wajib untuk menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang diperdagangkan sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Berbagai perangkat diperlukan dalam membangun pendekatan terstruktur dan terintegrasi dalam menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu tinggi. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan mikrobiologis dan mutu pangan dapat dilihat pada Gambar 1. 9

Gambar 1. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan mikrobiologis dan mutu pangan (ILSI dalam Jouve, 2000) Dalam pendekatan tersebut, dokumen Good Manufacturing Practice (GMP) yang berisi tentang cara-cara memproduksi makanan yang baik dan syarat-syarat higienis yang menjelaskan kondisi dasar dalam kegiatan produksi pangan higienis yang mencakup penggunaan peralatan pengolahan pangan higienis, jadwal perawatan dan pembersihan peralatan dan fasilitas, serta pelatihan dan kesehatan karyawan. Sistem HACCP merupakan pendekatan terstruktur terhadap manajemen bahaya yang bertujuan untuk menjaga keamanan produk dari bahaya biologis, kimia dan fisik yang dapat terjadi pada produksi, distribusi dan penjualan pangan, serta mengendalikannya pada tingkat yang aman (Jouve, 2000). Menurut WHO (2000) penyakit melalui makanan yang terjadi dapat disebabkan oleh konsumsi makanan seperti susu mentah, daging, unggas mentah dan makanan yang tidak diolah dengan cepat, beberapa makanan laut dan air minum. Beberapa penyebab terjadinya masalah kesehatan adalah infeksi oleh Escherichia coli seperti E. coli 0157: H7, Listeria monocytogenes, dan Vibrio cholera. Selain itu, ada beberapa penyebab masalah keamanan pangan yang lain, yaitu toksin alami pangan (misalnya, mikotoksin, biotoksin laut, glikosida sianogenik), agen yang tidak biasa (seperti freon), persistent organic pollutants (POPs) dan bahan metal. 10

Dalam CPO yang merupakan bahan baku produk pangan, dikhawatirkan terkandung beberapa bahan-bahan berbahaya yang tidak dikehendaki, antara lain dioxin, PAH (polyaromatic hidrocarbon), logam berat, pestisida, dan lain-lain (http://www.fediol.be, 2006). Hiel (2005) juga pernah mengungkapkan bahwa ada beberapa kandungan bahan yang dikhawatirkan terkontaminasi dalam CPO, dan ini dikarenakan oleh penanganan bahan yang kurang baik mulai dari penanaman, pemanenan dan transportasi buah, proses pengolahan, transportasi CPO, hingga tangki timbun penyimpanan di pelabuhan. Dalam hal ini, bahaya didefinisikan oleh National Advisory Committee on Microbiologicul Criteria for Foods (NACMCF) sebagai bahan biologi, kimia atau fisik yang dapat menyebabkan resiko kesehatan bagi konsumen. Berdasarkan definisi tersebut, bahaya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu bahaya biologi, bahaya kimia dan bahaya fisik (Pierson dan Corlett, 1992). Melalui sistem HACCP, bahaya-bahaya tersebut dapat dicegah melalui pengendalian titik-titik kritis di setiap tahapan proses produksi. Good Manufacturing Practice (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Menurut Adams dan Moss (1995), GMP didefinisikan sebagai suatu proses dalam industri pangan, dimana konsistensi produk akhir dari kualitas keamanan mikrobiologi dimonitor dengan uji laboratorium atau saat proses berlangsung. Di Indonesia, tuntutan kepada produsen pangan untuk menghasilkan produk pangan yang bermutu, aman dikonsumsi dan memenuhi keinginan konsumen lokal maupun global sudah menjadi perhatian pemerintah melalui SK Menteri Kesehatan RI No. 23/MENKES/SK/I/1978 mengenai pedoman cara berproduksi yang baik untuk makanan. Tujuan dari penerapan GMP di industri pangan adalah untuk menghasilkan produk bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen. Menurut Jouve (2000) dokumen GMP dan peraturan higiene lainnya terdiri dari deskripsi dan definisi syarat-syarat kondisi higienis. Penerapan GMP, pengendalian higiene dan uji mikrobial telah dilakukan oleh produsen, pengolah dan pengatur kebijakan pangan, namun untuk memperkuat tujuannya 11

perlu diterapkan ketentuan lain seperti HACCP, penerapan konsep jaminan mutu dan manajemen mutu. Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) adalah program prasyarat yang dianjurkan oleh FDA dalam penerapan HACCP. Prosedur tersebut merupakan alat bantu dalam penerapan GMP dan mempunyai karakteristik yang umum pada sistem HACCP. Prosedur SSOP berisi tentang perencanaan tertulis untuk menjalankan GMP, syarat agar penerapan GMP dapat dimonitor dan adanya tindakan koreksi jika terjadi keluhan, verifikasi dan dokumentasi (FDA, 1995). SSOP menurut FDA (1995) terdiri dari delapan aspek kunci, yaitu: (1) keamanan air untuk proses produksi, (2) kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan termasuk peralatan, sarung tangan dan seragam produksi, (3) pencegahan kontaminasi silang dari obyek yang tidak saniter, (4) penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan dan toilet, (5) perlindungan bahan pangan, kemasan untuk produk akhir dan bahan yang kontak dengan bahan pangan seperti pestisida, pelumas, minyak dan bahan pembersih, (6) pelabelan dan penyimpanan, (7) kontrol kesehatan pekerja, dan (8) pencegahan hama penyakit. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Sistem HACCP adalah suatu sistem yang mengidentifikasi bahaya spesifik yang mungkin timbul pada mata rantai produksi makanan dan tindakan pencegahan untuk mengendalikan bahaya tersebut, dengan tujuan menjamin keamanan makanan. Sistem HACCP merupakan pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi, menilai dan mengontrol bahaya, terutama digunakan oleh produsen pangan dalam menghasilkan produk sehat dan aman (Jouve, 2000). Dasar konsep HACCP pertama kali dikembangkan pada tahun 1959 oleh perusahaan Pillsbury yang bekerjasama dengan The National Aeronautics and Space (NASA), the Natick Laboratories of the U.S Army and The U.S. Air Space Laboratory Project Group untuk menghasilkan pangan yang tidak terkontaminasi oleh bakteri patogen yang dapat menyebabkan sakit 12

pada astronot. Pemecahan dari masalah tersebut adalah melalui sistem pencegahan terhadap pengawasan pada bahan mentah, proses, lingkungan, karyawan, penyimpanan dan distribusi, sehingga dapat dihasilkan produk dengan jaminan keamanan yang tinggi (Pierson and Corlett, 1992). HACCP dapat diterapkan pada seluruh mata rantai produksi makanan, mulai dari proses pertama sampai produk akhir. Menurut Fardiaz (1996) tujuan HACCP terdiri dari tujuan umum dan khusus. Tujuan umum pelaksanaan HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui makanan. Tujuan khususnya adalah sebagai berikut : 1. Mengevaluasi cara memproduksi makanan untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari makanan. 2. Mempelajari cara memproduksi makanan dengan memberikan perhatian khusus terhadap tahap-tahap proses yang dianggap kritis. 3. Memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan dan pengolahan makanan, serta penerapan sanitasi dalam memproduksi makanan. 4. Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan karyawan. Penerapan HACCP sebagai alat manajemen pada industri pangan memberikan keuntungan, diantaranya mengefektifkan biaya yang digunakan untuk memproduksi makanan yang aman, mencegah atau mengurangi terjadinya masalah keamanan pangan, meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk dan menjaga kelangsungan usaha (Tompkin, 1994). Menurut Fardiaz (1996) kegunaan HACCP terhadap industri pangan diantaranya, mencegah penarikan produk, mencegah penutupan pabrik, meningkatkan jaminan keamanan produk, mencegah kehilangan pembeli atau pasar, meningkatkan kepercayaan konsumen, dan mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul akibat masalah keamanan produk. Tujuh prinsip dalam HACCP adalah (1) melakukan identifikasi bahaya dan penetapan resiko, (2) penetapan Critical Control Point (CCP), (3) penetapan batas kritis/limit kritis, (4) pemantauan CCP, (5) tindakan koreksi terhadap 13

penyimpangan, (6) verifikasi dan (7) dokumentasi (Jouve, 2000; Moy, et al., 1994; Pierson dan Corlett, 1992). Menurut Jouve (2000) dan Fardiaz (1996) terdapat 12 langkah yang dapat dilakukan dalam HACCP, yaitu sebagai berikut (1) membentuk tim HACCP, (2) mendeskripsikan produk, (3) mengidentifikasi pengguna yang dituju, (4) membuat diagram alir, (5) verifikasi diagram alir di tempat, (6) mendaftar semua bahaya potensial, melakukan analisis bahaya, menentukan tindakan pengendalian, (7) menentukan CCP, (8) menetapkan batas kritis untuk setiap CCP, (9) menetapkan sistem pemantauan untuk setiap CCP, (10) menetapkan tindakan koreksi untuk penyimpangan yang mungkin terjadi, (11) menetapkan prosedur verifikasi, serta (12) menetapkan penyimpanan catatan dan dokumentasi. Menurut Basiron dan Chan (2005), kemungkinan bahaya yang memiliki dampak terhadap keamanan pangan minyak sawit dapat dilihat dalam tiga area, sebagai berikut : (1) Udara, air, tanah, bahan baku dan bahan-bahan lain yang dimasukkan pada saat pra-panen. (2) Aktivitas dari sistem mempunyai dampak terhadap lingkungan, dimana menghasilkan polusi air dan udara yang kemungkinan dapat menjadi sumber zat pencemar yang masuk kembali ke sistem melalui suatu titik yang berbeda. (3) Apabila ada tindakan untuk meningkatkan suatu manfaat dalam beberapa bagian dari sistem, kemungkinan akan meningkatkan resiko kesehatan manusia dalam bagian yang lain. Karenanya, keseluruhan sistem harus dipertimbangkan ketika mempelajari dampak/resiko keamanan pangan dari tindakan yang akan dilakukan. CRUDE PALM OIL (CPO) Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) memiliki siklus produksi ekonomis 25 tahun. Pada tiga tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda karena belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada usia 30-36 bulan dan pada usia tujuh sampai lima belas tahun disebut sebagai periode matang (the mature periode), dimana pada periode tersebut produksi Tandan Buah Segar (TBS) mencapai puncaknya. 14

Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan. Pelepah dan batang sawit bisa dijadikan pulp dan kertas, pakan ternak serta furniture. Tandan kosong dapat dimaanfaatkan sebagai pupuk kompos, pulp dan kertas, karbon, dan rayon. Cangkang inti sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar dan karbon, sedangkan ampas inti sawit bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Serat mesokarp dapat diolah menjadi medium density fibre-board dan bahan bakar. CPO dan PKO dapat diolah menjadi produk pangan dan non pangan. Produk pangan antara lain minyak goreng, margarin, shortening, emulsifier, minyak makan merah, susu kental manis, vanaspati, confectioneries, es krim, dan yoghurt. Sedangkan produk non pangan antara lain biodiesel, pelumas, lilin, senyawa ester, kosmetik, farmasi, dan lain-lain (PPKS, 2006). Pohon industri kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 1. CPO merupakan hasil dari unit pengolahan paling hulu dalam industri pengolahan kelapa sawit, dimana prosesnya juga merupakan titik kritis dalam alur hidup ekonomi buah kelapa sawit khususnya dan industri kelapa sawit umumnya. Sifat yang krusial tersebut disebabkan oleh beberapa faktor penting berikut : a. Sifat buah sawit yang segera mengalami kerusakan/penurunan mutu dan rendemen bila tidak segera diolah. b. CPO merupakan bahan antara industri olahan kelapa sawit dimana mutunya menentukan dayagunanya untuk diolah menjadi produk akhir industri dan konsumen rumah tangga seperti olein, stearin, minyak goreng, dan lain-lain. Seiring dengan peningkatan luas lahan kelapa sawit perkebunan rakyat dan swasta maka pangsa produksi CPO juga mengalami pergeseran. Pada tahun 1994 produksi minyak sawit adalah 2,8 juta ton, pada tahun 1999 produksi telah mencapai 6 juta ton, dan tahun 2006 mencapai 15,1 juta ton. Produksi tersebut dihasilkan oleh perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan besar swasta. Data produksi dan Ekspor CPO dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. 15

Tabel 1. Produksi dan Ekspor CPO tahun 1994 2006 (juta Ton) Tahun Produksi Ekspor 1994 2,8 1,3 1995 3,5 1,7 1996 3,7 3,0 1997 5,4 1,5 1998 5,4 3,3 1999 6,0 4,1 2000 6,6 4,1 2001 7,9 5,0 2002 9,7 6,3 2003 10,0 6,4 2004 10,3 8,7 2005 13,5 10,4 2006 15,1 13,2 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2004 Peningkatan permintaan minyak sawit yang selama ini terjadi selain disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, juga karena keunggulan komparatif minyak sawit tersebut dibandingkan jenis minyak nabati lainnya seperti dijabarkan di bawah ini (PT. Bank Rakyat Indonesia dan LMAA-IPB, 2001) : 1. Potensi produksi minyak kelapa sawit/ha tanaman sebesar 7-25 kali lebih besar dibandingkan sumber minyak nabati lainnya, sehingga biaya produksinya akan lebih murah dibandingkan minyak nabati lainnya. 2. Harga minyak sawit jauh lebih murah dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya. 3. Industri hilir yang berbahan baku minyak sawit sangat banyak dan beragam baik untuk keperluan pangan maupun non pangan. Pemanfaatan minyak sawit untuk oleokimia dan biodiesel dimasa mendatang akan sangat menjanjikan, karena potensinya yang sangat besar. 4. Di dunia keteknikan, minyak sawit digunakan sebagai minyak pelumas yang filmis (merata tanpa bolong), sehingga banyak diaplikasikan di industri logam sebagai rolling oil. 5. Perkebunan kelapa sawit lebih menghutan sehingga dapat melestarikan lingkungan dan pemanfaatan lahan yang optimal. 16

6. Kandungan asam lemak dalam minyak sawit sangat berimbang antara asam lemak jenuh dan asam yang berikatan rangkap, sehingga kurang membahayakan terhadap kesehatan manusia. 7. Kandungan vitamin A dan E yang cukup besar dalam minyak sawit yang sangat bermanfaat dalam dunia kesehatan. Selain hal tersebut di atas, Direktorat Jenderal Perkebunan (2007) mengatakan bahwa dari segi daya saing, minyak kelapa sawit memiliki kelebihan dibandingkan minyak nabati lain, diantaranya : (1) produktivitas per hektar relatif lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya, (2) merupakan tanaman tahunan yang cukup handal terhadap berbagai perubahan agroklimat, dan (3) dari segi aspek gizi, minyak kelapa sawit tidak terbukti sebagai penyebab meningkatnya kadar kolesterol dalam tubuh, bahkan mengandung beta karoten sebagai Pro- Vitamin A. Keunggulan komparatif minyak sawit terhadap sumber nabati lain menyebabkan pangsa minyak sawit makin hari makin meningkat. Dengan berkembangnya industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit, maka kebutuhan tersebut terus meningkat. Beberapa industri yang menggunakan minyak sawit adalah industri minyak goreng (34,2 % dari input), industri sabun dan bahan-bahan pembersih (16,2 %), industri minyak makan (5,9 %), industri mentega (1 %), industri pakan ternak (0,6 %) dan industri lainnya (3,7 8,7 %) (PT. Bank Rakyat Indonesia dan LMAA-IPB, 2001). Keunggulan komparatif minyak sawit di atas, sayangnya tidak diimbangi dengan mutu minyak sawit yang baik. Menurut Setiadi Djohar, dkk (2003), rendahnya mutu CPO disebabkan oleh bahan baku yang tidak baik. Banyaknya buah restan yang diolah sangat mempengaruhi mutu CPO yang dihasilkan. Faktor penyebab buah restan adalah faktor manusia (human error), alat dan fasilitas pengangkutan yang tidak memadai, serta metode pengangkutan dan lingkungan yang kurang mendukung. Di lain pihak, menurut Siahaan dan Erningpraja (2006), parameter mutu yang paling menentukan pada rantai produksi kebun, proses panen hingga pengangkutan ke PKS adalah asam lemak bebas dan DOBI (untuk mutu); serta logam berat, residu pestisida dan hidrokarbon (untuk keamanan 17

pangan). Proses pengolahan TBS menjadi CPO secara umum dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan Standar Mutu Minyak Sawit dapat dilihat pada Tabel 2. STERILISASI THRESHER MATERIAL P[ASSING TO DIGESTER TANDAN KOSONG DIGESTER 21 % 50 65 % PRESSING 40 % CAIRAN MINYAK 9-10% FIBRE AIR CONDENSAT 11 % 12-16% BIJI MINYAK 23 % NOS 6% SLUDGE 12-15% 4-6% KERNEL CANGKANG 5-7% MINYAK 6-8% BUANGAN LIMBAH 92-94% BOILER INCINERATOR ABU LAND APPLICATION Gambar 2. Proses Pengolahan TBS menjadi CPO (Naibaho, 2006) Tabel 2. Standar Mutu Minyak Sawit/CPO Berdasarkan SNI 01-2901-2006 No Kriteria uji Satuan Persyaratan mutu 1. 2. 3. Warna Kadar air dan kotoran Asam lemak bebas (sebagai asam palmitat) - %, fraksi massa %, fraksi massa Jingga kemerah-merahan 0,5 maks 0,5 maks 4. Bilangan Yodium g Yodium / 100 g Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2006 50-55 MINYAK GORENG SAWIT Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor : 02240/B/SK/VII/91 tentang Pedoman Persyaratan Mutu serta Label dan Periklanan Makanan, yang dimaksud dengan minyak goreng (cooking oil) adalah minyak yang diperoleh dari atau dengan cara memurnikan minyak nabati, dengan tujuan untuk menghilangkan bahan-bahan logam, bau, asam lemak 18

bebas, dan zat-zat warna. Secara umum komponen utama yang sangat menentukan mutu minyak adalah asam lemaknya, karena asam lemak akan menentukan sifat kimia maupun stabilitas minyak. Salah satu bahan baku penghasil minyak goreng adalah CPO (Crude Palm Oil). Disamping bahan baku utama, dalam proses pengolahan minyak goreng juga dibutuhkan bahan pembantu, baik bahan kimia maupun bahan pengemas. Proses produksi minyak goreng berbahan baku CPO pada dasarnya melalui dua tahap yaitu proses rafinasi dan fraksinasi, yang mana keduanya merupakan satu kesatuan proses. Rafinasi atau proses pemurnian adalah proses yang ditujukan untuk menghilangkan zat-zat yang tidak dikehendaki yang ada di dalam CPO, sehingga minyak menjadi bebas dari bau, FFA (Free Fatty Acid) yang rendah, warna yang normal, dan residu lainnya, sedangkan fraksinasi adalah proses pemisahan antara fraksi-fraksi yang ada dalam minyak goreng. Dalam proses fraksinasi tersebut terjadi pemisahan stearin dan olein. Standar mutu minyak goreng dapat dilihat pada Tabel 3. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Tabel 3. Standar Mutu Minyak Goreng Berdasarkan SNI 01-3741-2002 No Indikator Satuan Syarat 1. Kandungan air 0.3 % maks 2. Bilangan peroksida 1.0 % maks Kandungan Asam lemak bebas (asam pelarut) Kandungan logam berbahaya (Pb, Cu, Mg) Kandungan minyak pelikan Bau / aroma Warna Rasa Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2002 % mg oksigen / 100 oksigen % - - - - - 0.3 % maks negatif negatif normal normal normal Menurut Timms (2003), untuk menghasilkan refined oils dengan mutu yang baik, ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut : (1) CPO yang digunakan memiliki mutu yang tinggi, dimana memiliki FFA sebesar 2.5 5.0 %, (2) proses refinery dilakukan dengan kondisi yang terkontrol baik dan menjaga kandungan tocol sebagai antioksidan alami yang dikandung minyak, dan (3) minyak disimpan pada tangki penyimpanan yang terbuat dari stainless steel atau 19

baja dengan lapisan epoksi untuk menjaga minyak dari proses oksidasi yang disebabkan oleh besi. Adapun proses pengolahan CPO menjadi minyak goreng secara garis besarnya dibagi dalam dua tahapan, yaitu tahap pemurnian (refinery) dan tahap pemisahan (fractionation). Tahap pemurnian terdiri dari penghilangan gum (degumming), pemucatan (bleaching), dan penghilangan bau (deodorization). Tahap pemisahan terdiri dari proses pengkristalan (crystallization) dan pemisahan fraksi. Urutan proses minyak goreng secara singkat dapat dilihat pada Gambar 3. CPO Proses degumming Proses bleaching Proses Filtrasi NPO Proses deodorisasi RBDPO (Rifined Bleached Deodorized Palm Oil) Proses Fraksinasi Proses penyaringan RBD Olein RBD Stearin Gambar 3. Diagram Alir Proses Pengolahan Minyak Goreng (Amang, 1996) 20