I. PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

dokumen-dokumen yang mirip
PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Eko Yudha ( )

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EKSTRAKSI OTOMATIS INFORMASI DEM DARI CITRA STEREO PRISM-ALOS

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

LAPORAN HASIL PENELITIAN INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

II. TINJAUAN PUSTAKA

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

dalam ilmu Geographic Information (Geomatics) menjadi dua teknologi yang

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR

III. BAHAN DAN METODE

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SURVEYING (CIV -104)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

STEREOSKOPIS PARALAKS

EKSTRAKSI MORFOMETRI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI WILAYAH KOTA PEKANBARUUNTUK ANALISIS HIDROGRAF SATUAN SINTETIK

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Isfandiar M. Baihaqi

Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

ANALISIS KOREKSI GEOMETRIK MENGGUNAKAN METODE DIRECT GEOREFERENCING PADA CITRA SATELIT ALOS DAN FORMOSAT-2

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II DAERAH PENELITIAN & BAHAN

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

Magister Fisika, FMIPA ITB. Fisika Bumi dan Sistem Kompleks, FMIPA ITB. (corresponding author) b)

BAB IV PENGOLAHAN DATA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pengertian Sistem Informasi Geografis

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan dan Realisasi Antena Mikrostrip Polarisasi Sirkular dengan Catuan Proxmity Coupled

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

TEKNOLOGI PEMETAAN DENGAN SENSOR RADAR DI TENGAH TAWARAN SISTEM PEMETAAN BERBIAYA RENDAH. Abstrak

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Saat ini survei dan pemetaan telah memasuki perkembangan teknologi ekstrateristrial, ditandai dengan banyak satelit yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pemetaan. Kepentingan pemetaan ekstraterestrial ini meliputi survei pemetaan udara (aerial/angkasa), antariksa (space), maupun luar antariksa (outer space). Perkembangan teknologi ini berpengaruh terhadap berbagai model tinggi/model 3D/height model yang meliputi Digital Surface Model (DSM), Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM), Digital Ground Model (DGM), Digital Height Model (DHM), Digital Terrain Elevation Model (DTED) maupun Earth Gravitational Model (EGM) (Li dkk., 2005). Model tinggi dapat dibuat dari data optik, radar, dan sonar. Model tinggi data optik tersebut menggunakan data citra satelit optik, foto udara, video. Pada data optik, pembuatan model tinggi menggunakan metode model stereo, videogrammetri, dan depth cue perceptive. Data radar dapat menggunakan data citra satelit Synthetic Aperture Radar (SAR), Interferometry Synthethic Aperture Radar (IFSAR), LIght Detection and Ranging (LIDAR). Pembuatan model tinggi pada data radar menggunakan metode model stereo, interferometri, dan depth cue perceptive. Model tinggi yang dibuat dengan sonar dapat menggunakan data Interferometry Synhetic Aperture Sonar (IFSAS). (Julzarika, 2013) DSM adalah model elevasi yang termasuk atap bangunan, pohon, dan obyek lainnya, biasa juga sebagai model kanopi (Li dkk, 2005). DEM adalah model elevasi bare earth atau autokorelasi permukaan tanpa ada vegetasi, bangunan, dan obyek lainnya (Petrie dan Kennie, 1987). DTM adalah DEM yang sudah dilengkapi sungai, kontur, dan fitur yang ada di alam (Li dkk, 2005). EGM adalah model geoid bumi, menggambarkan bidang ekuipotensial yang berimpit dengan muka laut rerata (Vanicek dan Krakiwsky, 1986). Saat ini model tinggi yang tersedia secara umum di Indonesia meliputi beberapa data seperti, peta Rupa Bumi Indonesia produksi BIG, peta topografi produksi Dittopad, Shuttle Radar 1

Topographic Mission (SRTM C), X SAR (Terra, TANDEM, Spaceborne), ASTER GDEM, ALOS (Palsar dan Prism). Peta Rupa Bumi Indonesia merupakan produk yang umum digunakan karena terdiri dari berbagai skala, tetapi saat ini skala yang detil (1:25.000 atau 1:50.000) tidak meliputi seluruh wilayah Indonesia. Selain itu beberapa peta topografi yang dibuat dengan foto udara banyak mempunyai data hilang (missing data) yang diakibat kesalahan interpolasi, wilayah tertutup awan saat pemotretan, serta wilayah terletak pada dataran rendah atau wilayah datar, dan lain-lain. Pada data ini, kesalahan tinggi RBI 1: terjadi 50000pada wilayah datar. DEM (Spline) Gambar I.1. DTM wilayah Aceh dari hasil interpolasi kontur Peta Rupa Bumi skala 1:50.000 Gambar I.1. memperlihatkan contoh DTM wilayah Banda Aceh yang dibuat dengan melakukan interpolasi spline terhadap kontur dari Peta Rupa Bumi skala 1:50.000. Hasil yang diperoleh adalah tidak ada informasi yang detil pada wilayah dataran rendah dan wilayah datar (Trisakti dan Julzarika, 2010). Peta Topografi Dittopad merupakan produk khusus yang dimiliki oleh TNI AD. Peta ini memiliki skala 1:25.000, juga tidak meliputi seluruh wilayah Indonesia. Peta ini masih menggunakan datum Bessel 1841. Pada data ini juga terjadi banyak kesalahan tinggi di wilayah datar. Gambar I.2. merupakan contoh model tinggi wilayah Enrekang yang dibuat dengan interpolasi Spline terhadap kontur dari Peta Rupa Bumi skala 1:25.000. Interpolasi Spline adalah interpolasi dengan membuat segmen-segmen garis yang menghubungkan titik-titik interpolasi dan menghasilkan interpolasi 2

tidak mulus. Interpolasi Spline menghendaki kurva yang diperoleh mempunyai pola seperti interpolasi linear dan kurva tersebut mulus. Persyaratan interpolasi Spline adalah derivatif ke satu dan derivatif ke dua dari fungsi interpolasi tersebut kontinyu dan harga derivatif ke satu tidak jauh berbeda antar titik interpolasi (harga derivatif ke dua sekecil mungkin). Hasil yang diperoleh adalah tidak ada informasi yang detil pada wilayah dataran rendah dan wilayah datar (Trisakti dan Julzarika, 2010) Gambar I. 2. DTM wilayah Enrekang dari hasil interpolasi kontur Peta Topografi (Dittopad) skala 1:25.000 Ada beberapa contoh model tinggi global yang bebas diakses dan bisa menjadi alternatif berbagai aplikasi. Model global tersebut adalah SRTM C, X SAR, ASTER GDEM, ALOS Prism, ALOS Palsar. Semua model tinggi termasuk model tinggi global masih memiliki banyak kesalahan tinggi (noise) sehingga tidak optimal dalam penggunaan berbagai aplikasi. Sebagai contoh SRTM C yang memiliki akurasi vertikal global 10-16 m. Jika dilakukan koreksi kesalahan tinggi maka akurasi vertikal bisa dioptimalkan menjadi 5-8 m. Integrasi SRTM C dengan ALOS Palsar maupun X SAR mampu meningkatkan akurasi vertikal sampai dengan 1-5 m (Julzarika dan Sudarsono, 2009) : (Julzarika, 2011a) : (Trisakti dkk, 2011). Filosofi integrasi model tinggi adalah satu data dengan akurasi vertikal lebih baik di dataran tinggi dan satu data lagi dengan akurasi vertikal lebih baik di dataran rendah. Jika keduanya diintegrasikan dengan hanya mengambil kelebihan 3

dari setiap data maka akan menghasilkan model tinggi dengan akurasi vertikal yang lebih baik dibanding kedua model tinggi sebelumnya. Filosofi lainnya juga bisa dengan satu data dengan konsep stereo optik dan satu data lagi dengan konsep interferometri. Setelah itu diambil karakteristik yang optimal akurasi vertikalnya dari setiap model tinggi. Kemudian dilakukan integrasi sehingga akan diperoleh model tinggi dengan akurasi vertikal lebih baik dari kedua model tinggi sebelumnya. SRTM C merupakan produk DSM yang dihasilkan melalui metode Interferometri menggunakan spaceborne milik NASA, DLR, dan ASI (DLR, 2010). Model tinggi ini memiliki resolusi spasial (3 arc second=90 m dan 30 arc second=900 m). SRTM C 3 arc second memiliki akurasi vertikal 5-8m untuk wilayah Indonesia (Trisakti dan Julzarika, 2011). Selain itu, pada spaceborne tersebut juga dipasang sensor lain, yaitu X SAR dengan resolusi spasial (1 arc second=25 m). X SAR memiliki resolusi spasial 3-5 m untuk wilayah Indonesia (DLR, 2010). Data X SAR resolusi spasial 25 m memiliki tingkat akurasi mencapai 3 m tetapi tidak meliputi seluruh wilayah Indonesia (Keydel dkk, 2000), diperlihatkan pada gambar I.3, selain itu data DSM berbasis IFSAR sering memiliki kesalahan yang disebabkan oleh layover, shadow dan atmosferic effect (temporal decorrelation) (Karkee dkk, 2006). Gambar I. 3. Liputan X SAR yang mencakupi wilayah Indonesia 4

Model tinggi ALOS Palsar bisa menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan dengan resolusi spasial (6-10 m) dan akurasi vertikal 2-5 m (Julzarika dan Sudarsono, 2009). Pada data SRTM C, X SAR, dan ALOS Palsar, kesalahan tinggi terjadi pada frekuensi rendah di setiap piksel. Kesalahan tinggi merupakan kesalahan anomali tinggi yang terjadi akibat adanya puncak (spire) dan lembah (pit) terhadap delapan tetangga terdekatnya. Istilah kesalahan tinggi (height error) digunakan di DLR, NASA, dan LAPAN. Istilah lain height error adalah bull eye s yang digunakan di Amerika Serikat, Golden software, dan LAPAN. Istilah noise digunakan di Eropa dan Kanada, sedang istilah pit dan spire digunakan di sebagian Amerika Utara. Cara untuk meminimalkan kesalahan tinggi adalah dengan koreksi kesalahan tinggi dengan metode fill sink, cut terrain, dan height error maps (HEM) (Julzarika, 2011a). Secara umum, kesalahan tinggi pada data optik terjadi pada frekuensi tinggi dan kesalahan tinggi pada data SAR terjadi pada frekuensi rendah. Tabel I. 1. Akurasi DSM X SAR, SRTM C, dan ALOS Tahun Sensor satelit Referensi Akurasi (m) 2005 X SAR (Gesch, 2005) 3 5 m 2006 X SAR (Yastikh, 2006) 5.6 2006 SRTM C (Yastikh, 2006) 9.6 m 2006 ALOS PRISM (JAXA, 2006a) < 6.5 m 2008 ALOS PRISM (Bignone & Umakawa, 2 5 m 2008) 2008 ALOS PRISM (Schneider dkk, 2008) 4 m 2009 ALOS Palsar (Julzarika dan 2-3 m Sudarsono, 2009) 2010 ALOS PRISM (Trisakti dan Julzarika, 2010) < 5 m Integrasi model tinggi diperlukan karena merupakan solusi optimal dalam penyediaan data model tinggi dengan akurasi vertikal optimal. Selain itu integrasi model tinggi juga akan menyebabkan efisiensi biaya dalam penyediaan data model tinggi yang akurat. Proses integrasi model tinggi juga efektif dari segi waktu pembuatannya. 5

Masalah ketersediaan model tinggi yang siap pakai di Indonesia adalah belum lengkap model tinggi lokal dan regional dari peta topografi yang disediakan oleh pihak BIG dan Dittopad-TNI. Saat ini data model tinggi yang ada masih bersifat komersil dan belum diperbaharui sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Permasalahan lainnya adalah data tersebut belum dilakukan koreksi undulasi geoid ke EGM 2008 dan koreksi kesalahan tinggi. Saat ini model tinggi yang siap pakai adalah SRTM C dengan bidang referensi EGM 1996 dan belum dikoreksi kesalahan tinggi. Selain itu ada juga pihak pengguna yang menggunakan Aster GDEM yang maasih memiliki banyak pit dan spire. Saat ini juga telah tersedia gratis data X SAR dari DLR dan NASA. X SAR dari DLR masih berupa interferogram, belum dikoreksi kesalahan tinggi, dan belum dilakukan koreksi undulasi geoid. X SAR dari NASA sudah berupa model tinggi dengan bidang referensi EGM 1996, belum dikoreksi kesalahan tinggi dan masih banyak terdapat data hilang (missing data). Beberapa laporan ilmiah tentang akurasi model tinggi, integrasi model tinggi, dan fusi model tinggi ada di laporan penelitian di LAPAN, Kemenristek, JAXA, dan publikasi jurnal ilmiah. Data yang digunakan untuk integrasi model tinggi ini adalah SRTM C, X SAR, Aster GDEM, dan ALOS Palsar. SRTM C merupakan model tinggi dengan resolusi spasial 90 m yang diperoleh dari band C data SAR dengan pembuatan secara interferometri. Data X SAR merupakan model tinggi dengan resolusi spasial 25 m yang diperoleh dari band X data SAR dengan pembuatan secara interferometri (Bamler, 1999). ALOS Palsar merupakan model tinggi dengan resolusi spasial 6,25 m yang diperoleh dari band L data SAR secara interferometri. Model tinggi data SRTM C, X SAR, Alos Palsar memiliki kesalahan vertikal baik berupa pits maupun spires pada wilayah memiliki frekuensi rendah. X SAR lebih mencerminkan kondisi sebenar dari DSM, hal ini bisa dibuktikan dengan analisis permukaan tren dan jenis band yang digunakan. Aster GDEM merupakan model tinggi dengan resolusi spasial 30 m yang dibuat dengan metode stereo terhadap citra Aster yang memiliki dua arah pandangan berbeda. Model 6

tinggi data optik ini memiliki kesalahan vertikal pada wilayah yang memiliki frekuensi tinggi. Integrasi model tinggi ini diperlukan untuk mendapatkan akurasi vertikal yang lebih baik dan bebas dari kesalahan vertikal seperti kesalahan tinggi. Kondisi DSM diperoleh dari model tinggi X SAR, resolusi spasial dari ALOS Palsar dan X SAR, bebas kesalahan tinggi pada wilayah berfrekuensi tinggi yang diperoleh dari data SRTM C, dan bebas kesalahan tinggi pada wilayah berfrekuensi rendah yang diperoleh dari data Aster GDEM. Kelebihan dari masing-masing karakteristik data model tinggi yang digunakan dalam integrasi model tinggi ini. I.2. Rumusan masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah terkait integrasi model tinggi data SRTM C, X SAR, ALOS Palsar, dan Aster GDEM.yang dapat digunakan untuk mengatasi kelangkaan model tinggi yang akurat di Indonesia. Integrasi model tinggi ini juga diharapkan untuk memperoleh model tinggi yang bebas dari kesalahan tinggi, dan bisa digunakan untuk berbagai aplikasi sesuai dengan standar tertentu. Data model tinggi yang tersedia di Indonesia dalam kondisi belum siap pakai. Data yang belum siap pakai ini juga bersifat komersil dan belum diperbaharui lebih dari 20 tahun. Selain itu juga belum banyak laporan akurasi model tinggi, integrasi model tinggi, maupun fusi model tinggi. I.3. Pertanyaan Penelitian Ada lima pertanyaan penelitian dalam penelitian ini diantaranya adalah: 1. Apakah kondisi data masih ada kesalahan tinggi? 2. Bagaimana cara melakukan integrasi model tinggi yang akurat? 3. Berapa akurasi vertikal dari integrasi model tinggi tersebut? 4. Apakah koreksi kesalahan tinggi berpengaruh signifikan terhadap integrasi model tinggi tersebut? 5. Apakah integrasi model tinggi bisa menghasilkan integrasi model tinggi dengan minimal kesalahan tinggi? 7

I.4. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk integrasi model tinggi menggunakan SRTM C, X SAR, ALOS Palsar, dan Aster GDEM yang menghasilkan akurasi vertikal lebih baik dan minimal kesalahan tinggi dengan bidang geoid EGM 2008. I.5. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi semua pihak, yaitu: 1. Dapat mengatasi kelangkaan data model tinggi untuk seluruh wilayah Indonesia yang telah dilakukan koreksi kesalahan tinggi. 2. Hasil integrasi model tinggi bisa menghasilkan akurasi vertikal lebih baik dan minimal kesalahan tinggi. I.6. Cakupan penelitian Pada penelitian ini, lebih difokuskan pada integrasi model tinggi SRTM C, X SAR, ASTER GDEM, ALOS Palsar dengan model geoid EGM2008. Integrasi model tinggi ini menggunakan dua parameter yaitu analisis permukaan tren dan beda nilai tinggi. Hasil integrasi model tinggi tersebut bisa dievaluasi standar peta. Standar peta yang digunakan adalah ASPRS accuracy standard for digital geospatial data yang telah menjadi salah satu acuan penelitian di LAPAN. I.7. Tinjauan pustaka Penelitian ini memiliki keaslian dari segi metode yang diperbaharui dalam integrasi, koreksi kesalahan tinggi, bidang georeferensi geoid EGM 2008, penyamaan bidang referensi jenis model tinggi yang digunakan serta lokasi penelitian yang dilakukan. Ada dua metode penggabungan model tinggi yaitu integrasi dan fusi. Pada penelitian ini fokus pada integrasi model tinggi dengan 11 kombinasi dari empat jenis data. Ada beberapa penelitian lain yang telah dilakukan, akan tetapi memiliki perbedaan, lihat tabel I.2.. Tema penelitian lain bisa digunakan untuk membantu penelitian di Indonesia. Salah satunya dalam penggunaan koreksi kesalahan tinggi dan integrasi 8

model tinggi yang dapat meningkatkan akurasi vertikal dan meminimalkan kesalahan tinggi. Tabel I. 2. Perbandingan tesis dengan tema penelitian yang lain yang berhubungan dengan penggabungan model tinggi No Nama peneliti 1. Honikel, 1998 2. Keydel dkk, 2000 3. Yastikh, 2006 4. Schneider dkk, 2008 5. Hoja dkk, 2006 6. Trisakti dan Julzarika, 2010 7. Hoja dan d angelo, 2010 8. Julzarika, 2011c 9. Julzarika dkk, 2012 10. Julzarika dkk, 2013 11. Julzarika, 2014 (tesis) Metode penggabungan Koreksi kesalahan tinggi Bidang geoid Jenis model tinggi Lokasi penelitian Fusi Tidak ada EGM96 Optik, InSAR Belanda Fusi Tidak ada EGM96 X SAR, SRTM C Fusi Tidak ada EGM96 GTOPO30, SRTM, X SAR Fusi Tidak ada EGM96 ALOS Prism, SRTM C Fusi (ada Fill sink, cut EGM 96 SPOT 5, X pembobotan) dan terrain SAR integrasi (tanpa bobot) Fusi (ada HEM EGM2008 Topografi pembobotan) dan (Dittopad), integrasi (tanpa RBI BIG, bobot) SRTM C, ALOS Prism Fusi (ada Fill sink, cut EGM96 Cartosat, pembobotan) dan terrain SRTM C integrasi (tanpa bobot) Fusi Fill sink, cut EGM2008 SRTM C, terrain Altimetri Integrasi (tanpa Fill sink, cut EGM2008 SRTM C, X bobot) terrain SAR Integrasi (tanpa bobot) Integrasi (dengan bobot) HEM EGM2008 SRTM C, X SAR HEM EGM2008 X SAR, SRTM C, Palsar, ASTER GDEM Pulau Samos Istambul Barcelona Catalonia Sragen, enrekang, bogor, bali Catalonia Borneo Kalsel, Kaltim, Indonesia- Malaysia Sumbawa Tabalong- Paser 9

I.8. Landasan teori I.8.1. Model Tinggi Global Model tinggi atau juga dikenal dengan model 3D merupakan tampilan suatu model dengan sistem koordinat 3D (polar, geodetik, raster dan kartesi) dengan bidang referensi yang terdefinisi terhadap proyeksi dan datum tertentu. Model 3D dapat dibuat dari data radar dan optik. Selain itu model tinggi juga bisa didefinisikan sebagai model digital yang memberikan informasi bentuk permukaan bumi (topografi) dalam bentuk data raster, vektor atau bentuk data lainnya. Gambar I. 4. Perbedaan DSM, DEM, DTM, EGM Model tinggi terdiri dari dua informasi, yaitu: data tinggi dan data posisi koordinat dari tinggi tersebut di permukaan bumi. Pada beberapa referensi, istilah model tinggi sering dikaitkan dengan beberapa istilah lainnya yaitu: Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM) dan Digital Surface Model (DSM). 10

DEM: Digital Elevation Model DTM: Digital Terain Model DSM: Digital Surface Model Rendah Tinggi Gambar I. 5. Tampilan DSM, DEM, DTM Gambar I.4. dan I.5. memperlihatkan perbedaan antara DEM, DTM dan DSM. DEM merupakan informasi tinggi permukaan bumi yang ditampilkan tanpa ada obyek permukaan bumi, dalam kondisi bare earth. DTM merupakan informasi tinggi dari permukaan bumi tanpa ada obyek permukaan bumi, tapi sudah dilengkapi dengan fitur alami seperti sungai. DSM merupakan informasi tutupan lahan dari permukaan bumi beserta obyek permukaan bumi diatasnya (sebagai contoh, daerah perkotaan 3D). Penyimpanan data model tinggi menggunakan format Geotiff dengan tipe file 32 bit floating point samples (ASPRS, 2014). I.8.3. SRTM C dan X SAR I.8.3.1. Sekilas tentang SRTM C dan X SAR Data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) merupakan suatu bentuk data yang menyediakan informasi tentang tinggi tempat atau biasa disebut DSM. Data ini diperoleh dari sistem radar yang dipasang pada Pesawat Ruang Angkasa selama 11 hari misinya pada Februari 2000, lihat gambar I.6. Data ini mempunyai resolusi spasial yang tinggi yaitu 3 arc second ( 90m) (NASA, 2005). X SAR mempunyai resolusi spasial 1 arc second ( 25m) (DLR, 2010). 11

Gambar I. 6. Cakupan dan nilai parameter SRTM C dan X SAR Secara global, X SAR memiliki akurasi vertikal 9 m (relatif) dan ~15 m (absolut) untuk 90% data (DLR, 2003) sedangkan SRTM C memiliki akurasi vertikal 10 m (relatif) dan ~16 m (absolut) untuk 90% data (NASA, 2005). I.8.3.2. Teknik pembuatan DSM dengan SRTM C dan X SAR Teknik pembuatan DSM dengan SRTM C dan X SAR menggunakan metode interferometri. Data dari SRTM C dan X SAR dilakukan integrasi dengan ERS-Tandem supaya bisa dilakukan interferometri (DLR, 2003). Gambar I. 7. Interferometri SRTM C, X SAR, ERS-Tandem (Knopfle dkk, 1998) 12

Parameter yang terdapat pada gambar I.7 adalah B, H, r1, Δr, r2, ζ, dan θ. B adalah basis antar dua wahana, H adalah tinggi terbang, r (r1, r2, Δr) adalah jarak dari wahana ke obyek (slant range), ζ adalah sudut antara dua wahana, dan θ adalah sudut pandang (incidence angle) (Knopfle dkk, 1998). I.8.3.3. Interferometri Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) adalah teknologi penginderaan Jauh yang menggunakan citra hasil sensor radar dari pesawat udara/satelit (Lusch, 1999). Sensor radar pada pesawat udara dan satelit memancarkan gelombang radar secara konstan, kemudian gelombang radar tersebut direkam setelah diterima kembali oleh sensor akibat dipantulkan oleh target di permukaan bumi. (ESA, 2007) Citra radar yang diperoleh dari pesawat udara maupun satelit berisi dua informasi penting. Informasi tersebut adalah daya sinar pancar berupa fase dan amplitudo yang dipengaruhi oleh banyaknya gelombang yang dipancarkan serta dipantulkan kembali. Gambar I.8 merupakan grafik fase pada satu amplitudo dalam perekaman citra radar. Gambar I. 8. Grafik Fase Pada saat gelombang dipancarkan dilakukan pengukuran fase. Pada citra yang diperoleh dari tiap elemen citra (piksel) akan memiliki dua informasi 13

tersebut. Intensitas sinyal dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik dari obyek yang memantulkan gelombang tersebut, sedangkan fase gelombang digunakan untuk menentukan apakah telah terjadi pergerakan (deformasi) pada permukaan yang memantulkan gelombang tersebut. (Hoffman dan Walter, 2006) InSAR merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengekstraksi informasi tiga dimensi (3D) dari permukaan bumi dengan pengamatan fase gelombang radar (Julzarika dan Susanto, 2009). Pada awalnya radar interferometri digunakan untuk pengamatan permukaan bulan dan planet venus. Pada tahun 1974 teknik ini diaplikasikan pertama kali di bidang pemetaan. Untuk memperoleh topografi dari citra harus dipenuhi dua buah syarat, yaitu obyek dipermukaan bumi yang dicitrakan harus dapat terlihat dengan jelas atau memiliki resolusi citra yang tinggi sehingga dapat dilakukan interpretasi dan identifikasi yang sesuai.(esa, 2007) Selain itu citra harus memiliki posisi tiga dimensi yang cukup sehingga daerah yang akan dipetakan dapat diketahui topografinya. Kedua hal tersebut hanya dapat dipenuhi oleh teknik InSAR. Hal inilah yang menyebabkan semakin banyak bidang kajian yang mengaplikasikan InSAR. Teknik interferometri mencitrakan suatu obyek di permukaan bumi dengan cara melakukan pengamatan terhadap beda fase dua gelombang pendar yang berasal dari satu obyek (Julzarika dan Susanto, 2009). Metode pencitraan InSAR dapat diterapkan pada wahana pesawat terbang maupun wahana satelit. Pada wahana pesawat terbang digunakan dua antena pada saat yang sama dan melakukan pencitraan dengan sekali melintas (single pass), sedangkan pada wahana satelit digunakan satu antena dengan melakukan pencitraan dengan melintas lebih dari sekali pada waktu yang berbeda (multi pass). Pada penggunaan dua buah antena, berdasarkan posisi antena dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu posisi melintang pesawat terbang (accross track), dan memanjang pesawat terbang (along track) (ESA, 2007). Gambar I.9. merupakan metode pencitraan dengan wahana satelit dengan sekali melintas (single pass). 14

Gambar I. 9. Metode Pencitraan InSAR dengan wahana satelit, juga mirip wahana pesawat terbang InSAR dapat dilakukan dengan wahana satelit dan wahana pesawat terbang. Teknik InSAR yang menggunakan satelit dilakukan dengan cara pengulangan lintasan (multi pass). Pengulangan lintasan pada daerah yang sama di permukaan Bumi memungkinkan terjadi perubahan liputannya. Perubahan liputan lahan ini mempengaruhi sinyal balik radar. Penggunaan dua satelit yang memiliki perbedaan waktu melintas 1 hari, maka liputan lahan relatif masih tetap. Sensor pada satelit untuk melakukan penginderaan InSAR ke arah samping kanan dengan sudut masuk sebesar 23 derajat dan tegak lurus arah lintasan. Hal ini menyebabkan pada saat satelit bergerak pada posisi naik dari selatan ke utara yang disebut juga ascending sensor mengarah ke timur, sebaliknya saat descending dari arah utara kes elatan sensor mengarah ke barat (Julzarika dan Susanto, 2009). Pencitraan InSAR dengan pesawat terbang menggunakan konsep posisi melintang pesawat terbang (accross track), dan memanjang pesawat terbang (along track). Hasil InSAR yang dihasilkan jauh lebih akurat dan presisi dibandingkan dengan wahana satelit. Data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode along track sehingga geometri citra sudah dalam posisi orthoimage. (ESA, 2007) Apabila dicitrakan oleh suatu sensor, dua titik di permukaan bumi yang memiliki jarak dan azimuth tertentu kemungkinan kedua titik tersebut muncul pada satu elemen citra (piksel) yang sama, padahal kedua titik tersebut 15

kenyataannya memiliki tinggi yang berbeda, namun menjadi tidak dapat dibedakan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya sensor lain (sensor kedua) yang dapat menunjukkan adanya perbedaan elevasi diantara kedua titik tersebut. Sensor kedua melakukan pencitraan dengan posisi berbeda dengan sensor pertama. Pada masing-masing citra untuk titik yang sama akan mempunyai nilai fase yang berbeda. Beda fase itulah yang merupakan fungsi tingginya. Beda fase ini memiliki nilai pada rentang minus phi hingga positif phi, sehingga hanya dapat diukur dengan ambiguitas 2 phi. (Julzarika dan Susanto, 2009) Salah satu hal yang menentukan dalam beda fase adalah pencitraan kedua yang dibedakan dengan pencitraan pertama oleh garis dasar (baseline). Garis dasar ini disebut juga dengan nama garis dasar interferometrik. Garis dasar interferometrik pesawat udara radar dapat digunakan untuk keperluan tertentu. Semakin pendek garis dasar interferometrik maka pengaruh terhadap perubahan tinggi akan semakin besar. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya panjang garis dasar interferometrik, maka derau fase juga akan semakin meningkat sehingga terjadi ketidaksesuaian antara citra utama dengan citra kedua. I.8.3.4. Karakteristik panjang gelombang SAR Data penginderaan jauh dapat digunakan untuk aplikasi penghitungan volume permukaan, yaitu model 3D dari data radar. Citra SAR memiliki beberapa jenis band, yaitu X, C, L, P band yang memiliki perbedaan pendefinisian dalam bidang referensi tinggi permukaan. Model 3D dari SAR X Band hanya mampu memetakan pada permukaan obyek bangunan maupun tajuk. SAR dengan C Band memiliki penetrasi lebih tajam, demikian pula dengan SAR L Band. SAR P band bisa melakukan penetrasi sampai ke permukaan tanah. Tinggi obyek dapat diketahui dari beda referensi tinggi antara X atau C band terhadap L atau P band. Ilustrasi ini dapat dilihat pada gambar I.10. (Julzarika, 2011a) 16

Gambar I. 10. Ilustrasi penetrasi band X, C, L, dan P data SAR Contoh DSM X Band adalah DEM1 X SAR, TerraSAR X. Contoh DSM C Band adalah SRTM C, ENVISAT, Cosmo SkyMed. Contoh DSM L Band adalah ALOS Palsar, sedangkan contoh DSM P Band ENVISAT, GeoSAR Airborne. Koreksi volume permukaan yang memiliki akurasi tinggi adalah DSM X Band - DSM P Band sedangkan koreksi permukaan yang memiliki akurasi rendah adalah DSM C Band DSM L Band. Gambar I.11 berikut merupakan tampilan penetrasi band X, C, dan L SAR terhadap vegetasi tinggi dan rapat seperti hutan. (Julzarika, 2011b) Gambar I. 11. tampilan penetrasi band X, C, dan L SAR terhadap vegetasi tinggi dan rapat seperti hutan 17

Faktor penyebab berbagai jenis penetrasi band SAR ini disebabkan oleh jendela atmosfer yang digunakan. Absorpsi air akan optimal jika menggunakan band P dan L, sedangkan band C dan X akan kurang optimal dalam absorpsi air. Hal ini merupakan salah satu penyebab perbedaan penetrasi dari band X, C, L, dan P. (Julzarika, 2011c) Gambar I. 12. Pola absorpsi air pada band X, C, dan L Pada proses perekaman data SAR, penetrasi pada masing-masing panjang gelombang tidak akan optimal terutama pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh tidak optimal pemantulan balik pulsa radar pada obyek basah atau terkena air. Gambar I.13 berikut merupakan perbandingan band X terhadap band Ka. 18

Gambar I. 13. Grafik perbandingan band X dan band Ka terhadap laju hujan per jam Persentase pengembalian sinyal terrain akan optimal pada kondisi kering atau hujan < 0,3 mm/jam. Pengembalian sinyal terrain tidak akan optimal jika kondisi hujan < 1 mm/jam. Kesalahan tinggi yang ada pada model tinggi dari data SAR terjadi di wilayah dataran rendah. Wilayah dataran tinggi akan memiliki nilai kesalahan tinggi yang minimum. Jenis band data SAR sangat berpengaruh pada kesalahan tinggi yang terjadi di dataran tinggi. Band X merupakan bentuk DSM yang paling ideal jika dibandingkan dengan band C. band L merupakan bentuk DEM paling ideal jika dibandingkan dengan data dari band X, C, dan L. Perbedaan penetrasi ini bisa digunakan untuk aplikasi perhitungan volume permukaan dan bisa diaplikasikan juga dalam perhitungan Karbon. (Julzarika, 2011b) Demikian pula dengan dataran rendah, band X memiliki kesalahan tinggi lebih besar jika dibandingkan dengan band C, L, dan P. Band P memiliki kesalahan tinggi paling minmum. Koreksi kesalahan tinggi yang terjadi pada data SAR bisa menggunakan filter low pass. Filter ini bisa meminimalkan kesalahan tinggi yang terjadi pada dataran rendah. (Julzarika, 2011c):(Trisakti dan Julzarika, 2010) 19

I.8.4. ALOS Palsar Palsar adalah suatu sensor gelombang-mikro aktif pada L-band (frekuensipusat 1270 MHz/23,6 cm) yang dikembangkan dalam kerjasama dengan JAXA dan JAROS (Japan Resorces Observation Systems Organization). Sensor Palsar mempunyai suatu kemampuan off-nadir yang variabel antara 10 sampai dengan 51 derajat dengan menggunakan teknik phased array aktif dengan 80 modulmodul untuk mentransmisikan/penerimaan. Palsar adalah suatu instrument yang secara penuh polarimetrik, bekerja dengan salah satu dari mode : polarisasi tunggal (HH atau VV), polarisasi rangkap dua (HH+HV atau VV+VH) atau polarimetrik penuh (HH+HV+VH+VV). Sudut pandangan adalah variabel antara 7 dan 51 derajat (sudut datang 8-60 derajat), rata-rata dengan sudut 34,2 derajat. (JAXA,2006a) Gambar I. 14. Ilustrasi perekaman citra ALOS Palsar Sensor Palsar dapat juga beroperasi pada mode ScanSAR dengan resolusi yang kasar, dengan polarisasi tunggal (HH atau VV) dan lebar liputan satuan citra 250-350 km. Resolusi spasial sebesar 100 m dalam arah azimuth dan range. Mode polarisasi akan dioperasikan untuk eksperimental. Polarisasi diubah dalam setiap pulsa dari sinyal transmisi, dan sinyal polarisasi ganda diterima secara simultan. Operasi dibatasi dalam sudut datang yang lebih rendah untuk mencapai hasil guna yang lebih baik. Akurasi vertikal data ALOS Palsar adalah 5 m. (JAXA, 2006b) 20

Tabel I. 3. Karakteristik Teknis Sensor dan Data Citra PALSAR Mode Operasi Fine Fine ScanSAR Polarimetrik Chirp Bandwidth 28 MHz 14 MHz 14 MHz,28 MHz 14 MHz Polarisasi HH, VV HH+HV, HH+VV+ HH, VV VV+VH HV+VH Sudut Datang 8 60 derajat 8 60 derajat 18 43 derajat 8 30 derajat Resolusi spasial Range 7 44 m 14 88 m 100 m (multi Look) 24 89 m Lebar Liputan satuan citra dari 40 70 km 40 70 km 250 350 km 20 65 km pengamatan Panjang bit 5 bit 5 bit 5 bit 3 / 5 bit Kecepatan data 240 Mbps 240 Mbps 120 Mbps, 240 Mbps 240 Mbps Akurasi Radiometrik Frekuensi Pusat Citra ( Scene) : 1 db/ orbit : 1,5 db L band (1270 MHz) I.8.5. Aster GDEM Aster GDEM merupakan model tinggi dalam bentuk DSM yang dibuat dari citra Aster dengan metode stereo. Pembentukan model tinggi dengan metode stereo ini menggunakan perhitungan beda paralaks. Aster GDEM memiliki resolusi spasial 30 m. Aster GDEM memiliki kesalahan vertikal pada citra ASTER yang memiliki awan dan kabut. Citra Aster yang digunakan pihak METi dan JAXA sudah dilakukan koreksi geometrik dan radiometrik, kecuali koreksi topografi. Aster GDEM dibuat oleh METi dan JAXA Jepang. Citra Aster memiliki 15 band yang terdiri dari sensor VNIR, SWIR, TIR. Aster GDEM dibuat secara stereo dari citra dari sensor VNIR. Akurasi vertikal data ini adalah 20 m. (Lang dan Welch, 1999) I.8.5.1. Pembentukan Model Tinggi secara Stereo Gambar I.15 memperlihatkan konfigurasi dari sistem stereo ASTER. Hubungan antara Base/Height dan α adalah B/H = tan α, dimana α adalah sudut yang terbentuk antara arah nadir dan arah backward pada lokasi observasi di permukaan bumi. Sudut α yang sesuai dengan rasio B/H sebesar 0.6 adalah sudut 30.96 0. Dengan mempertimbangkan bentuk dari permukaan bumi, maka sudut 21

antara teleskop nadir dan teleskop backward didesain menjadi sebesar 27.60 0. (Trisakti dan Julzarika, 2010) Gambar I. 15. Konfigurasi dari sistem stereo (Sensor ASTER) Gambar I. 16. Pengambilan 1 scene data stereo searah lintasan orbit (along-track) Gambar I.16 memperlihatkan bentuk geometri dan waktu pengambilan 1 scene data stereo ASTER sepanjang lintasan orbit (along-track). Satelit Terra 22

melintasi garis orbit dengan ketinggian rata-rata 705 km (di daerah equator) dari permukaan bumi dengan kecepatan 6.7 km/detik. Pengambilan 1 scene data dengan swath 60 km (meliputi luasan 60 x 60 km) dari dari arah nadir membutuhkan waktu sekitar 9 detik, sedangkan pengambilan 1 scene data stereo dari arah nadir dan backward membutuhkan waktu sekitar 64 detik. Sudut yang dibentuk antara teleskop nadir dan backward adalah 27.6 0 untuk menghasilkan rasio Base/Height sebesar 0.6 dengan memperhatikan bentuk kurva permukaan bumi. (Lang dan Welch, 1999) Gambar I.17 memperlihatkan algoritma pengukuran tinggi obyek Δh dari perbedaan paralak (stereo paralak) Δp pada sistem stereo sensor ASTER (Lang dan Welch, 1999). Obyek pada permukaan bumi dengan ketinggian Δh, direkam dengan dua teleskop dari arah 1 (tegak lurus) dan arah 2 (miring). Teleskop 1 akan melakukan merekam bagian puncak dan bagian dasar obyek pada waktu yang sama (waktu t1), sedangkan teleskop 2 akan merekam terlebih dahulu pada bagian puncak obyek (waktu t2 dan jarak X2 dari posisi rekam sensor 1) kemudian merekam bagian dasar (waktu t3 dan jarak X1 dari posisi rekam sensor 1). Hal ini menyebabkan terjadi perbedaan waktu dan jarak Proses perekaman antara bagian puncak dan dasar obyek sebesar t3-t2 dan X1-X2. (Leica Geosystem, 2002) Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan posisi antara puncak dan dasar obyek pada citra perekaman arah miring, sedangkan pada citra perekaman tegak lurus, puncak atau dasar obyek akan mengacu hanya pada posisi dasar obyek. Perbedaan ini disebut perbedaan paralak atau jarak paralak Δp yang besarnya sama dengan jarak perekaman arah miring antara puncak dan dasar obyek X1-X2, atau Δp= X1-X2. Sudut arah miring terhadap garis vertikal (atau sudut yang dibentuk antara telescop 1 dan teleskop 2) adalah sebesar α, dimana tan α senilai dengan X1 dibagi ketinggian satelit dari permukaan bumi, atau B/H. Jadi persamaan yang dapat dibentuk adalah sebagai berikut: Δp= X1-X2 (I.1) Tan α = B/H (I.2) 23

Selanjutnya ketinggian obyek Δh dapat dihitung dengan formula trigonometri sederhana yaitu: tan α = (X1-X2)/Δh. Sehingga persamaannya menjadi sebagai berikut Δh = (X1-X2)/tan α.. (I.3) Δh = Δp/ (B/H).. (I.4) Δh = H*Δp/B. (I.5) Dari Persamaan ini diketahui bahwa ketinggian obyek dapat ditentukan dengan cara menentukan jarak paralak terlebih dahulu. Tan = B/H X1 - X2 = p Height 3N 3B h h = h X1 X2 = tan H p B p tan Ketinggian h p Jarak paralax B Base Gambar I. 17. Pendekatan pengukuran ketinggian Δh dari perbedaan paralak (stereo paralak) Δp pada sistem stereo (Lang dan Welch, 1999) I.8.5.2. Ekstraksi Model Tinggi secara Stereo Konsep dasar dari ekstraksi model tinggi secara stereo adalah membangun model korelasi antara sistem koordinat ruang citra (image space) 3D, sensor, dan sistem koordinat ruang tanah (ground space) 3D. Tahapan ekstraksi model tinggi secara stereo dari empat tahap (Leica Geosystem, 2002), yaitu: 1. Transfomasi Sistem Koordinat (Konecny dan Lehmann, 1984) 24

Transformasi sistem koordinat piksel ke sistem kordinat ruang citra menggunakan parameter orientasi dalam. Parameter orientasi dalam terdiri dari: panjang fokus, titik prinsipal, titik fidusial. Metode transformasi yang digunakan adalah metode transformasi Affine yang membutuhkan minimal 3 titik (XY) untuk mendapatkan 6 parameter tranformasi yang digunakan untuk memenuhi persamaan tersebut. Ilustrasi trasnformasi Affine diperlihatkan pada Gambar I.18. x = a1 + a2x + a3y... (I.6) y = b1 + b2x +b3y (I.7) Dimana, x, y : koordinat citra X, Y : koordinat piksel Gambar I. 18. Ilustrasi transformasi Affine 2. Pemotongan ke belakang (Space Resection) Pemotongan ke belakang membuat korelasi antara sistem kordinat ruang citra (x,y,z) dengan koordinat ruang tanah (X,Y,Z). Pemotongan ke belakang menggunakan persamaan kolinear, dengan syarat bahwa titik O (sensor), koordinat citra dan koordinat tanah terletak segaris (linear) seperti Gambar I.19 memperlihatkan persamaan model korelasi antara sensor, citra, dan tanah serta persamaan kolinear yang dibentuk. Persamaan kolinear digunakan untuk mengestimasi parameter orientasi luar (X,Y,Z, ω,φ, κ) yang membutuhkan masukan minimal tiga titik 25

kontrol tanah atau lebih banyak untuk mendapatkan enam koefisien persamaan. 3. Interseksi pemotongan ke depan (Space Forward Intersection) Interseksi pemotongan ke depan digunakan untuk membuat persamaan yang menghitung koordinat ruang tanah (XYZ) pada wilayah overlap dua citra (Gambar I.20) bila telah diketahui parameter orientasi luar berbasis persamaan kolinear. Gambar I. 19. Sensor (O), koordinat citra dan koordinat tanah terletak segaris (linear) Berikut ini merupakan rumus korelasi sensor, citra, dan tanah. (Konecny dan Lehmann, 1984)...(I.8) Selain itu juga digunakan persamaan Kolinear pada proses ekstraksi model tinggi ini. (Konecny dan Lehmann, 1984) 26

...(I.9) Di mana f adalah panjang fokus, M adalah matriks rotasi (ω, φ, κ) X, Y, Z adalah koordinat tanah x,y, z adalah koordinat citra Jika digambarkan dalam bentuk ruang 3D, maka model stereo ini dapat dilihat ada gambar I.20. Gambar I. 20. Tumpang susun dua citra secara stereo 4. Ekstraksi model tinggi Tahapan ini terdiri dari: a. Pengumpulan titik massa (mass point) dengan korelasi citra (image matching). b. Perhitungan kordinat ruang tanah (XYZ) untuk setiap titik massa dengan teknik interseki pemotongan ke depan. 27

c. Konstruksi model tinggi dari koordinat XYZ yaitu titik massa dengan interpolasi. I.8.6. Koreksi Kesalahan Tinggi Kesalahan tinggi adalah kesalahan acak berupa blunder yang terjadi akibat anomali nilai tinggi terhadap delapan tetangga terdekatnya. Kesalahan tinggi bisa disebabkan oleh interpolasi kontur yang salah akibat penyebaran titik tinggi yang tidak merata atau bisa disebabkan oleh nilai titik tinggi yang tidak sesuai dengan sebenarnya. Penyebaran titik tinggi tidak merata ini bisa disebabkan oleh tidak tersedia titik tinggi di lapangan, tidak ada data, rancangan sebaran titik tinggi kurang optimal atau bisa juga karena kesalahan dalam pendeteksian titik tinggi. Kesalahan tinggi merupakan titik, garis, atau area yang mempunyai nilai tinggi, akan tetapi nilai tersebut tidak merepresentasikan keadaan di lapangan. (Sefercik dan Jacobson, 2006) Gambar I. 21. Pengecekan kesalahan tinggi berupa pits dan spires Pada gambar I.21 tersebut terdapat empat parameter utama dalam pengecekan kesalahan tinggi yaitu pit, spire, radius, dan kedalaman (depth). Pit adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi lembah terjal di model tinggi. Spire adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi gunung terjal di model tinggi. Radius adalah jangkauan area pencarian pit dan spire dari titik tengah kea rah sekitarnya sejauh nilai radius yang ditetapkan. Kedalaman adalah nilai anomali yang ditetapkan sesuai standar tertentu. Pada penelitian ini nilai kedalaman sebesar 2σ dari masing-masing data model tinggi global. Nilai 2σ 28

(dua kali standar deviasi) berarti memiliki tingkat kepercayaan sebesar 95,45 %. (ASPRS, 2014) : (Gillani dan Wolf, 2006) Koreksi kesalahan tinggi perlu dilakukan terhadap model tinggi dari berbagai data masukan. Koreksi kesalahan tinggi bertujuan untuk menghilangkan anomali nilai tinggi yang berbeda dari delapan tetangga sekitar dan bersifat blunder serta menimbulkan kondisi kontur yang salah. Gambar I.22. merupakan pengecekan kesalahan tinggi berupa spires dan pits. Ada tiga metode untuk koreksi kesalahan tinggi, yaitu FillSink, Cut Terrain, dan Height Error Maps. Gambar I. 22. Koreksi kesalahan tinggi (Julzarika, 2011a) Tampilan pit dan spire pada koreksi kesalahan tinggi dapat dilihat dari indikasi bentuk kontur yang sangat merapat. Hal ini mengindikasikan bentuk ekstrim dari pit dan spire di wilayah tersebut. Gambar I.23 merupakan contoh kontur yang memiliki kesalahan tinggi. 29

Gambar I. 23. Indikasi kesalahan tinggi melalui kontur Formula dan parameter yang digunakan dalam koreksi kesalahan tinggi pada penelitian ini mengacu ke standar yang ditetapkan DLR. Formula tersebut meliputi beberapa hal (Knopfle dkk, 1998), yaitu: a. Fase noise λ adalah panjang gelombang θ adalah sudut pandang r adalah jarak slant range ζ adalah sudut kemiringan (tilt) baseline β adalah panjang baseline absolut k=1 untuk single pass interferometri k=2 untuk repeat pass interferometri (I. 10) b. Geometri citra Geometri citra ini meliputi lima parameter, yaitu: i. Kesalahan panjang baseline (σβ)...(i.11) 30

ii. Kesalahan kemiringan sudut baseline (σζ) (I.12) iii. Kesalahan jarak sensor ke obyek (slant range) (σr)... (I.13) iv. Kesalahan tinggi terbang (altitude) (σh) v. Kesalahan posisi (σx) (I.14)... (I.15) c. Kesalahan atmosfer Kesalahan ini bisa dieliminasi dengan menggunakan beberapa interferogram dalam pembuatan DSM. Total kesalahan yang digunakan untuk koreksi kesalahan tinggi adalah sebagai berikut: Formula ini bisa disederhanakan menjadi:.. (I.16)... (I.17) Total kesalahan dengan mempertimbangkan nilai titik kontrol tanah. (I.18) Total kesalahan dari data optik stereo... (I.19) 31

Total kesalahan dari beberapa model tinggi yang dibuat dengan integrasi dan fusi model tinggi.... (I.20) n adalah nomor nilai tinggi zi adalah masukan nilai tinggi pi adalah faktor bobot yang diberikan dari standar deviasi untuk pembuatan HEM berikut: Akurasi yang diperoleh dari koreksi kesalahan tinggi ini adalah sebagai σ 0 adalah faktor estimasi varian vi adalah residu.. (I.21) Pada penelitian ini, formula koreksi kesalahan tinggi tersebut digunakan dalam pembuatan HEM dari ALOS Palsar. HEM dari SRTM C, X SAR, dan Aster GDEM telah disediakan oleh pihak penyedia data. SRTM C disediakan oleh NASA, X SAR disediakan oleh DLR, dan Aster GDEM disediakan oleh METi. Kesalahan tinggi dibuat dari nilai standar deviasi atau kesalahan vertikal pada data model tinggi tersebut (Zimmerman dan Cressie, 1992). Kesalahan tinggi dapat dibuat dari data itu sendiri. Fill sink adalah metode penghilangan anomali tinggi terhadap daerah cekungan sedangkan Cut Terrain adalah metode penghilangan anomali tinggi terhadap daerah cembung/terjal. Koreksi kesalahan tinggi (Gambar I.22.) dilakukan dengan tiga metode yang ada, yaitu FillSink, Cut Terrain, dan Height Error Maps. Metode Height Error Maps menghasilkan data keluaran dengan akurasi dan presisi lebih baik dari FillSink dan Cut Terrain. Metode FillSink memiliki kelebihan pada pengisian anomali nilai tinggi pada wilayah lembah, tetapi tidak bisa mengkoreksi data 32

wilayah gunung terjal, sedangkan metode Cut Terrain berlaku kebalikan dan metode FillSink. I.8.7. Penggabungan Data Model Tinggi Penggabungan data model tinggi dilakukan menggunakan dua metode, yaitu DEM integration dan DEM fusion. Konsep DEM integration dan DEM fusion mengacu kepada konsep yang dikembangkan penelitian sebelumnya (Hoja dan d Angelo, 2010):(Hoja dkk, 2006). Beberapa modifikasi dilakukan seperti: koreksi kesalahan tinggi, pembuatan Height Error Maps, penambahan bobot, metode deteksi dan penghilangan kesalahan (pembuatan void), serta metode interpolasi CoKriging yang dilakukan. I.8.7.1. Metode Integrasi Model Tinggi (DEM Integration) Filosofi integrasi model tinggi ini adalah mendapatkan model tinggi berdasarkan integrasi menggunakan berbagai keunggulan dari setiap model tinggi berdasarkan karakteristik berupa penetrasi ke obyek, resolusi spasial, dan minimal kesalahan tinggi di dataran rendah maupun dataran tinggi. Integrasi model tinggi bertujuan untuk mendapatkan model tinggi yang memiliki akurasi vertikal lebih baik dan minimal kesalahan vertikal. Integrasi ini menggunakan keunggulan dari masing-masing karakteristik model tinggi yang digunakan dalam integrasi. Model tinggi X SAR, SRTM, Aster GDEM, dan ALOS Palsar merupakan salah satu alternatif dalam integrasi model tinggi. Resolusi spasial yang digunakan dalam integrasi ini adalah ALOS Palsar sebesar 6,25 m. Kemudian DSM yang digunakan adalah X SAR, sedangkan DEM yang digunakan adalah ALOS Palsar. Wilayah dataran rendah menggunakan Aster GDEM. Wilayah dataran tinggi menggunakan SRTM, atau X SAR. Data Aster GDEM memiliki kelemahan pada dataran tinggi sehingga perlu dilakukan penggunaan filter high pass. Data SAR memiliki kelemahan pada dataran rendah sehingga diperlukan penggunaan filter low pass. Secara keseluruhan, data SAR tetap memiliki keunggulan dibandingkan dengan data optik. 33

Karakteristik SRTM C, X SAR, dan ALOS Palsar ini bisa dilihat berdasarkan panjang gelombang dan penetrasi ke obyek vegetasi. Penjelasan tentang panjang gelombang SAR ini bisa dilihat di bagian I.8.3, khususnya di bagian I.8.3.4. Prosedur pelaksanaan penggabungan model tinggi disesuaikan dengan kondisi DSM/DEM/DTM yang digunakan. Pada metode integrasi ini, cara meminimalisir kesalahan tinggi bisa dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu model tinggi (misal model tinggi 1) dilakukan ekstraksi nilai tinggi secara acak dan merata. Cara ekstraksi tinggi ini bisa dengan pembuatan kontur atau kontur diambah dengan titik tinggi dengan sebaran tertentu. Setelah itu baru dibuat model tinggi baru dari hasil kontur dan titik tinggi. Model tinggi baru tersebut juga akan menghasilkan HEM. Model tinggi 1 Contouring HEM Minimalisir kesalahan tinggi Model tinggi 2 HEM Minimalisir kesalahan tinggi Ekstraksi titik tinggi Pengisian void Interpolasi CoKriging Integrasi model tinggi Gambar I. 24. Metode integrasi model tinggi Kemudian HEM tersebut digunakan untuk meminimalisir kesalahan tinggi yang terjadi pada model tinggi 1. Model tinggi 1 telah dilakukan minimalisir kesalahan tinggi. Kemudian baru dilakukan pembuatan HEM pada model tinggi yang lain (misal model tinggi 2). Pembuatan HEM ini bisa dilakukan dengan cara pendeteksian anomali tinggi terhadap minimal delapan tetangga sekitarnya. Setelah diketahui nilai anomali tinggi baru dilakukan pemmbuatan HEM. Setelah 34

itu model tinggi 2 dilakukan koreksi kesalahan tinggi terhadap HEM tersebut. Diagram alir metode integrasi model tinggi, lihat gambar I.24. Ekstraksi titik tinggi perlu dilakukan jika model tinggi 2 telah selesai dilakukan minimalisir kesalahan. Nilai ekstraksi titik tinggi ini digunakan untuk pengisian void pada model tinggi 1. Void isi bisa diketahui dari sebaran model tinggi 1 yang tidak memenuhi toleransi vertikal tertentu, misal 2σ. Selanjutnya dilakukan proses intepolasi CoKriging sehingga menghasilkan DSM/DEM/DTM gabungan. Metode intepolasi yang dilakukan adalah metode Kriging dengan semivariogram (linear+spherical) dan normalisasi dengan model linear. Pada integrasi model tinggi perlu dilakukan perbedaan ekstraksi antara dua model tinggi. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan potensi pengecekan kesalahan tinggi yang terjadi pada dua model tinggi. Jika cara pengecekan kesalahan tinggi berbeda, maka kemungkinan berbagai macam pola kesalahan tinggi akan terdeteksi bervariasi. Keuntungan lain yang diperoleh dari hal ini adalah integrasi yang optimal masing-masing model tinggi pada waktu pengisian void. Hal ini akan berimbas pada akurasi vertikal yang lebih baik dan minimal kesalahan tinggi. I.8.7.2. Metode Fusi Model Tinggi (DEM Fusion ) Prosedur DEM fusion mengacu kepada metode yang dikembangkan oleh (Hoja dkk, 2006). Walaupun terdapat perbedaan dalam pembuatan Height Error Map. Penggabungan DSM/DEM/DTM dilakukan dengan menurunkan Height Error Map berbasis standar deviasi dari ke dua DSM/DEM/DTM yang ingin digabung (misal DEM 1 dan DEM 2), selanjutnya dilakukan penggabungan dengan mempertimbangkan besar kesalahan setiap piksel (tingkat akurasi setiap piksel) dari kedua DEM. Penggabungan dilakukan dengan menggunakan model pembobotan. Dimana, p i = 1/a i, a i > 0.... (I.22) 35

h i : Tinggi DEM (1,2) a i : Tingkat akurasi DEM, kesalahan DEM (1,2) Model Tinggi 1 Model Tinggi 2 HEM HEM Minimalisir kesalahan tinggi Minimalisir kesalahan tinggi Penggabungan model tinggi Weighted Mean Height Fusi model tinggi Gambar I. 25. Metode fusi model tinggi I.8.7.3. Verifikasi Hasil Penggabungan Data Model Tinggi Verifikasi dilakukan dengan 3 metode yaitu: 1. Perbandingan Height Error Map sebelum dan sesudah dilakukan penggabungan. Penggabungan dinilai berhasil bila besarnya kesalahan model tinggi yang dihasilkan berkurang dibandingkan nilai kesalahan model tinggi sebelumnya. Perhitungan Height Error Map menggunakan formula yang digunakan DLR (Knopfle dkk, 1998) dan pernah diuji di data model tinggi wilayah Indonesia (Julzarika dan Sudarsono, 2009):(Julzarika, 2011b). 2. Perbandingan jumlah kesalahan tinggi sebelum dan sesudah dilakukan penggabungan. Kesalahan tinggi adalah kesalahan yang terjadi pada saat pembuatan model tinggi sehingga mengakibatkan adanya anomali tinggi pada suatu piksel terhadap nilai tinggi piksel-piksel lain yang terdapat disekitarnya. Anomali tinggi yang mengakibatkan piksel lebih tinggi dari 36

piksel di sekelilingnya disebut spire, sedangkan anomali tinggi yang mengakibatkan piksel lebih rendah dari piksel di sekelilingnya disebut pit. Suatu piksel dinyatakan pit/spire bila memenuhi persyaratan sebagai berikut: X X X X C X X X X Gambar I. 26. Contoh piksel C dengan jendela 5 X 5 untuk deteksi pit dan spire a. Nilai C harus lebih besar/kecil dibandingkan dengan seluruh piksel di dalam jendela b. Nilai C harus lebih tinggi dibandingkan 8 piksel (piksel X), sebesar seting nilai pit/spire yang didefinisikan pada saat input proses. Metode deteksi kesalahan tinggi dengan deteksi pit dan spire dijelaskan dengan contoh pada piksel C dengan jendela 5X5 pada Gambar I.26. 3. Analisis kuantitatif perbaikan yang terjadi dilakukan dengan melakukan pengujian tingkat akurasi dengan menggunakan data pengukuran lapangan menggunakan GNSS geodetik. Metode pengujian akurasi yang digunakan pada penelitian ini adalah perhitungan Root Mean Square Error (RMSE) dan akurasi (z) 95% antara model tinggi yang dihasilkan dengan model tinggi referensi. Metode ini juga merupakan metode yang digunakan dalam American National Map Accuracy Standard atau juga disebut dengan ASPRS accuracy standard for digital geospatial data. (ASPRS, 2014) I.8.8. Filter Spasial Proses filter melibatkan komputasi rata-rata tertimbang (weighted average) dari piksel di jendela bergerak, dan menugaskan bahwa nilai rata-rata piksel pusat. Pilihan bobot menentukan bagaimana filter mempengaruhi gambar. Sebuah jendela nilai berat disebut kernel konvolusi. Setiap piksel di jendela bergerak 37

dikalikan dengan bobot dan menjumlahkan semua produk menghasilkan nilai baru untuk piksel pusat (Jones, 2013). Formula yang digunakan dalam filter citra adalah metode konvulasi. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Fungsi malar b. Fungsi diskrit. (I.23)... (I.24) g (x) adalah filter konvulasi. a,b adalah parameter konvulasi. x,y dalah posisi citra yang dilakukan filter spasial. Konvulasi bisa dinyatakan dalam matriks. Tiap elemen matriks filter disebut koefisien konvulasi. I.8.8.1. Filter Frekuensi Rendah (Low Pass) Filter frekuensi rendah yang dirancang untuk menekankan fitur frekuensi rendah dan dengan menekankan komponen frekuensi tinggi dari suatu gambar (Jones, 2013). Dengan demikian, informasi yang berubah sangat cepat (misalnya, daerah perkotaan) akan disaring. Kemudian disimpan informasi frekuensi rendah yaitu, informasi yang berubah secara bertahap (misalnya tanah rumput, air). Gambar I. 27. Tampilan filter frekuensi rendah Formula pada filter frekuensi rendah terdiri dari angka 1 dan 0 yang merupakan jarak dari titik yang didefinisikan terhadap pusat filter (Trisakti dan Julzarika, 2010). Berikut merupakan formula dari filter frekuensi rendah. H (u, v) adalah filter low pass (I.25) 38

D 0 adalah angka spesifik positif D(u, v) adalah jarak dari titik (u, v) ke pusat filter Gambar I.28 merupakan contoh penerapan filter frekuensi rendah pada citra satelit SAR. Gambar I. 28. Contoh efek filter frekuensi rendah Keuntungan filter frekuensi rendah: a. Memungkinkan informasi frekuensi rendah harus dipertahankan. b. Berguna untuk menghilangkan noise dalam gambar, seperti speckle. c. Membuat daerah penutup yang sama muncul seragam, sehingga dapat digunakan untuk deteksi batas Kekurangan filter frekuensi rendah: a. Tidak merapikan tepi b. Ukuran jendela yang lebih besar menyebabkan smoothing lebih besar I.8.8.2. Filter Frekuensi Tinggi (High Pass) Filter frekuensi tinggi menekankan komponen frekuensi yang tinggi, rinci pada gambar, dan informasi frekuensi rendah yang lebih umum (Jones, 2013). Filter frekuensi tinggi meningkatkan detail gambar (informasi yang jarang), dan berguna di mana informasi frekuensi yang lebih rendah cenderung menyembunyikan bagian dari adegan misalnya jalan di perkotaan. 39

Gambar I. 29. Tampilan filter frekuensi tinggi Formula pada filter frekuensi tinggi merupakan hasil pengurangan dari nilai 1 terhadap nilai filter frekuensi rendah (Trisakti dan Julzarika, 2010). Berikut merupakan formula filter frekuensi tinggi:. (I.26) adalah filter frekuensi tinggi adalah filter frekuensi rendah Gambar I.30. merupakan contoh penerapan filter frekuensi tinggi pada citra satelit SAR. Gambar I. 30. Contoh efek filter frekuensi tinggi Keuntungan filter frekuensi tinggi a. Memungkinkan informasi frekuensi tinggi untuk dipertahankan. b. Berguna untuk mempertahankan tepi dalam foto Kekurangan filter frekuensi tinggi a. Tidak merapikan daerah halus. b. Ukuran jendela yang lebih besar menghilangkan informasi yang cukup, menjaga hanya tepi. 40

I.8.10. Standar Akurasi Peta Penelitian ini menggunakan standar akurasi peta dari LAPAN yang mengacu ke ASPRS Accuracy Data for Digital Geospatial Data. Pada penelitian ini hanya fokus pada akurasi vertikal. Cara pengecekan tes akurasi vertikal dengan dua langkah yaitu: (ASPRS, 2014) a. Root Mean Square Error (RMSE). (I.27) b. Perhitungan akurasi vertikal pada tingkat kepercayaan 95%.. (I.28) Setelah diperoleh nilai akurasi vertikal maka kemudian dilakukan penyesuaian terhadap standar telah ditetapkan oleh ASPRS yang memperhitungkan RMSEz di terrain tanpa vegetasi dan terrain bervegetasi. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau 1.96 σ. Tabel I. 4. Standar akurasi vertikal untuk data elevasi digital (ASPRS accuracy standard) Kemudian dilakukan juga pengecekan terhadap standar interval kontur yang ditetapkan ASPRS sesuai dengan nilai RMSEz tadi. Penjelasan tentang kualitas akurasi vertikal bisa dilihat pada tabel I.4. 41

Tabel I. 5. Kualitas akurasi vertikal untuk data elevasi digital (ASPRS Accuracy Standard) Syarat tabel I.5. dan I.6 adalah sebanyak 10% dari titik uji memiliki RMSE nilai perbedaan tinggi yang lebih kecil dari setengah interval kontur. Jumlah titik yang digunakan untuk pengecekan nilai tinggi di lapangan disesuaikan dengan luas wilayah penelitian. Standar penetapan jumlah titik uji (TU) ini juga telah ditetapkan oleh ASPRS. Tabel I.7 merupakan rekomendasi jumlah titik uji berdasarkan luas wilayah. (ASPRS, 2014) Tabel I. 6. Standar akurasi United States National Maps Accuracy Standard Tabel I. 7. Standar interval kontur United States National Maps Accuracy Standard 42

Tabel I. 8. Jumlah rekomendasi titik uji berdasarkan luas wilayah Selain dilakukan uji ketelitian (RMSE dan akurasi vertikal) juga diperlukan uji beda tinggi. Uji beda tinggi bertujuan untuk menghilangkan kesalahan sistematik yang masih ada pada model tinggi. Uji beda tinggi dapat berguna dalam penentuan beda tinggi antar dua atau lebih titik. Penentuan titik tersebut mengacu pada muka air laut rata-rata, tinggi lokal, maupun ellipsoid. Keseluruhan titik pada model tinggi mengacu pada bidang referensi atau datum tertentu. Jika beda tinggi antar keseluruhan titik yang diuji dalam bentuk poligon tertutup memiliki nilai beda tinggi minimum (mendekati nol) maka model tinggi tersebut memiliki ketinggian titik relatif terhadap datum. Hal ini akan menghilangkan kesalahan sistematik yang masih ada pada model tinggi tersebut. I.8.11. Analisis Permukaan Tren (Trend Surface) Analisis permukaan tren melibatkan pemasangan permukaan (model polinomial) melalui satu set poin di X, Y, Z koordinat ruang. Permukaan dipasang kemungkinan besar tidak akan melewati tepat melalui setiap titik, sehingga regresi kuadrat-terkecil digunakan untuk meminimalkan jarak antara Z nilai yang terukur dan permukaan dipasang langsung di atas atau di bawah. Perbedaan dinyatakan sebagai RMS (root mean square atau r 2 ). Semakin kecil nilai "r-squared", semakin dekat kesesuaian antara poin dan permukaan. 43