STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BUDIDAYA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb)

dokumen-dokumen yang mirip
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA KUNYIT. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

A MANAJEMEN USAHA PRODUKSI. 1. Pencatatan dan Dokumentasi pada : W. g. Kepedulian Lingkungan. 2. Evaluasi Internal dilakukan setiap musim tanam.

Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat

BUDIDAYA TANAMAN KUNYIT

III. BAHAN DAN METODE. Universitas Lampung pada titik koordinat LS dan BT

Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah. Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat

2 METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan. Rancangan Penelitian

III. BAHAN DAN METODE

Dibajak satu atau dua kali, digaru lalu diratakan. Tanah yang telah siap ditanami harus bersih dari gulma, dan buatlah saluran-saluran drainase.

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU

III. METODE PENELITIAN

Oleh Administrator Kamis, 07 November :05 - Terakhir Diupdate Kamis, 07 November :09

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

Budi Daya Kedelai di Lahan Pasang Surut

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

I. TATA CARA PENELITIAN. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

PERBENIHAN BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

Teknologi Produksi Ubi Kayu Monokultur dan Tumpangsari Double-Row

MODEL SIMULASI KELAYAKAN LAHAN PENGEMBANGAN LADA ORGANIK

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Lapangan Terpadu Universitas Lampung

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) BUDIDAYA PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molkenb.)

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

Persyaratan Lahan. Lahan hendaknya merupakan bekas tanaman lain atau lahan yang diberakan. Lahan dapat bekas tanaman padi tetapi varietas yang

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi. yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman yang

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU

Budidaya Tanaman Obat. Elvira Syamsir

BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

Teknik Budidaya Bawang Merah Ramah Lingkungan Input Rendah Berbasis Teknologi Mikrobia PGPR

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu dan Laboratorium Ilmu

TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Tanaman obat asli Indonesia. Tumbuhan rumpun berbatang semu yang di dalam rimpangnya memp. kand.

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

III. BAHAN DAN METODE

VARIETAS UNGGUL KUNYIT CURDONIA 1 TOLERAN NAUNGAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo provinsi DIY. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

Cara Sukses Menanam dan Budidaya Cabe Dalam Polybag

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit

BAHAN DAN METODE. Pada musim tanam pertama penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai

UPAYA PEMULIHAN TANAH UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN BAHAN TANAM NILAM DI KABUPATEN MALANG. Eko Purdyaningsih, SP PBT Ahli Muda

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

RAKITAN TEKNOLOGI SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016

Pada umumnya sebagai sumber pangan karbohidrat, pakan ternak dan bahan baku industri olahan pangan. Ke depan peranannya semakin penting dan strategis

BUDIDAYA CENGKEH SECARA MUDAH OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO

Teknologi Produksi Ubi Jalar

TEKNOLOGI BUDIDAYA UBI KAYU UNTUK MENCAPAI PRODUKSI OPTIMAL

KAJIAN EKONOMI BUDIDAYA ORGANIK DAN KONVENSIONAL PADA 3 NOMOR HARAPAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb)

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Agro inovasi. Inovasi Praktis Atasi Masalah Perkebunan Rakyat

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Mei 2016 sampai bulan Agustus 2016.

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

MATERI DAN METODE. Pekanbaru. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan dimulai dari bulan Juni sampai

Teknologi Budidaya Tumpangsari Ubi Kayu - Kacang Tanah dengan Sistem Double Row

PENGENDALIAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

BAB III METODE PENELITIAN

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Timur Kabupaten Semarang dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian

TEKNIS BUDIDAYA TEMBAKAU

MATERI DAN METODE. Urea, TSP, KCl dan pestisida. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, parang,

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

Penanganan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) dengan perbanyakan stek pucuk

Sumber : Nurman S.P. (

Pendahuluan menyediakan dan mendiseminasikan rekomendasi teknologi spesifik lokasi

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

Transkripsi:

1

KATA PENGANTAR Temulawak merupakan salah satu tanaman obat yang banyak manfaatnya dan termasuk tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah besar dibanding tanaman obat lainnya. Ajakan untuk menjadikan temulawak sebagai bahan baku minuman juga telah dicanangkan beberapa waktu yang lalu. Secara nasional kebutuhan temulawak telah cukup terpenuhi oleh produksi dalam negeri dan sebagian kecil yang telah diekspor. Pengolahan produk hilir temulawak yang didasarkan pada temuan bahan-bahan aktif yang terkandung di dalam temulawak mendorong peningkatan permintaan pasar akan produk-produk temulawak. Buku SOP temulawak ini, dibuat berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh hingga saat ini, khususnya mengenai budidaya temulawak. SOP ini juga mengakomodasi budidaya yang dilakukan secara organik, selain menjabarkan SOP budidaya secara konvensional. Besar harapan kami, buku SOP temulawak ini dapat menjadi pemacu pengembangan temulawak pada khususnya dan tanaman obat pada umumnya di Indonesia. Balittro sebagai instansi pemerintah yang banyak bergerak di hulu dan berinteraksi dengan petani, memandang perlu untuk membuat petunjuk teknis mengenai budidaya temulawak, sebagai bentuk antisipasi akan permintaan temulawak di masa datang yang diprediksi akan meningkat. 2

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... PENDAHULUAN... 1 Lingkungan Tumbuh... 2 Persiapan Benih... 2 Pengolahan Tanah... 3 Pelaksanaan Tanam... 4 Pemupukan... 4 Pemeliharaan... 5 Panen dan Pasca Panen... 5 Analisis Usahatani... 6 Permintaan... 8 DAFTAR PUSTAKA... 11 ii 3

PENDAHULUAN Temulawak merupakan tanaman obat asli Indonesia. Temulawak tumbuh baik dan dapat beradaptasi di tempat terbuka maupun di bawah tegakan pohon hingga tingkat naungan 40%. Rata-rata produksi nasional relatif rendah yakni 10,7 t/ha pada tahun 2000 (Direktorat Aneka Tanaman, 2000), sedangkan potensi produksi varietas unggul temulawak bisa mencapai 20-30 t/ha. Orientasi budidaya tanaman obat pada umumnya termasuk temulawak tidak hanya ditujukan kepada produktivitas biomas yang tinggi, tetapi juga kepada tingginya mutu bahan aktif yang dikandungnya. Produktivitas dan mutu bahan aktif temulawak dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: 1) lingkungan tumbuh, 2) sifat unggul tanaman (varietas), 3) ketersediaan unsur hara (pupuk), 4) perlindungan tanaman terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT), dan tidak kalah pentingnya adalah 5) penanganan pasca panen. Teknologi budidaya di tingkat petani masih secara tradisional, belum mengacu kepada SOP yang telah ada, mulai dari pemilihan lingkungan tumbuh yang tepat, penggunaan varietas unggul, benih bermutu, pemupukan, dan panen yang tepat. Secara empiris, rimpang temulawak terbukti berkhasiat untuk kesehatan. Kebutuhan temulawak untuk industri obat tradisional (IOT) dan industri kecil obat tradisional (IKOT) menduduki peringkat pertama di Jawa Timur dan peringkat kedua di Jawa Tengah setelah jahe (Kemala et al. 2003). Hasil survey Kemala et al. (2003) temulawak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional yang berkhasiat untuk menyembuhkan 24 jenis penyakit. Pada tahun 2004, pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) mencanangkan Gerakan Nasional Minum Temulawak sebagai minuman kesehatan (Badan POM, 2004). Berdasarkan hasil survey lainnya menunjukkan bahwa dari 609 produk jamu, 176 di antaranya mengandung temulawak dan penggunaannya 4

terdapat di dalam 12 kelompok penyakit yang dapat diobati (Purwakusumah et al. 2008). Secara empiris rimpang temulawak digunakan sebagai obat hepatoproteksi, antiinflamasi, antikanker, antidiabetes, antimikroba, antihiperlipidemia, antikolera, antibakteri, antioksidan (Hwang, 2006, Darusman et al. 2007, Rukayadi et al. 2006, Masuda et al. 1992). Lingkungan Tumbuh Temulawak tumbuh baik pada lokasi tipe iklim B dan C menurut Oldeman (1975), dengan curah hujan sekurangkurangnya 1.500 mm/tahun, bulan kering 3-4 bulan per tahun, suhu udara rata-rata tahunan 19-30 C, kelembaban udara 70-90%. Temulawak dapat ditanam di bawah tegakan dengan tingkat naungan maksimal 25% (Hasanah and Rahardjo, 2008). Temulawak dapat tumbuh baik pada jenis tanah latosol, andosol, podsolik dan regosol yang mempunyai tekstur liat berpasir, gembur, subur banyak mengandung bahan organik, ph tanah 5,0 6,5. Persiapan Benih Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) telah mempunyai 3 varietas unggul temulawak (Cursina 1, Cursina 2 dan Cursina 3). Faktor lain sebagai penentuan pada keberhasilan budidaya temulawak, selain penggunaan varietas unggul adalah mutu benih. Benih yang sehat dan berviabilitas tinggi merupakan faktor input yang paling menentukan produktivitas tanaman. Tingkat keberhasilan budidaya tanaman lebih kurang 40% ditentukan oleh kualitas benih (Rahardjo, 2001). Benih temulawak yang dipakai bisa berasal dari rimpang induk dan rimpang cabang (Sukarman et al. 2007). Benih berasal dari rimpang induk yang ukurannya besar dapat dibagi menjadi 2 atau 4 bagian dengan cara memotong (membelah). Benih yang berasal dari rimpang cabang berukuran besar dapat dilakukan pemotongan, ukuran benih disarankan 20-40 g/potong benih, setiap benih 5

diusahakan mempunyai 2 sampai 3 mata tunas. Benih yang telah dipotong diusahakan ditaburi abu sekam, untuk mencegah terjadinya infeksi hama dan penyakit. Penyemaian benih yang baik dan benar dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Di dalam bak pasir yang basah setelah diairi (kandungan airnya lebih kurang kapasitas lapang), benih ditanam dengan kedalaman lebih kurang 5 cm, kemudian ditutup pasir setebal 2 cm, usahakan kondisi pesemian selalu lembab dengan menyiramnya dengan air. 2. Di media tanah kering yang dihampar mulsa jerami atau alang-alang di atasnya dengan ketebalan lebih kurang 5 cm, rimpang dihampar di atas lapisan mulsa setinggi satu lapis, rimpang disebar merata (tidak menumpuk), kemudian ditutup dengan mulsa jerami atau alang-alang lagi, usahakan kondisi pesemian selalu lembab dengan menyiramnya air setiap hari. 3. Di atas rak kayu atau bambu yang disusun bertingkat (3-4 tingkat) yang telah dilapisi oleh jerami atau alang-alang, benih dihampar 1 lapis di setiap rak kemudian ditutup dengan jerami atau alang-alang, usahakan kondisi pesemian selalu lembab dengan menyiramnya air setiap hari. Penyemaian benih dilakukan selama 2-4 minggu, tunas sudah tumbuh dengan, panjang sekitar 0,50 cm, benih siap dipindahkan ke lapang produksi. Pengolahan Tanah Pengolahan tanah dimulai dari membersihkan lahan dengan traktor, garpu atau cangkul sedalam kurang lebih 30 cm. Kemudian tanah dihaluskan hingga gembur. Tanah yang sudah digemburkan pada lahan yang datar dibuat petak dengan menggunakan ukuran lebar petak 3-4 m dan panjang petak sesuai dengan kondisi lahan. Pada tanah yang konturnya miring lebih baik dibuat guludan. Batas antar petak atau guludan dibuat parit sebagai saluran pembuangan air dan untuk memudahkan pemeliharaan 6

tanaman, seperti memupuk, menyiang dan panen. Lobang tanam dibuat sedalam lebih kurang 10 cm. Ke dalam lobang tanam diberikan pupuk kandang yang sudah matang dengan dosis 0,5-1 kg/lobang tanam, diberikan 1-2 minggu sebelum tanam. Pelaksanaan Tanam Musim tanam temulawak biasanya pada awal musim hujan (September sampai Oktober) dan masa panennya di musim kemarau setelah tanaman berumur 7 sampai 9 bulan. Temulawak bisa ditanam dengan jarak tanam 75 x 60 cm atau 75 x 50 cm pada pola tumpang-sari, dan jarak tanam 50 x 50 cm pada pola monokultur. Sistem pola tumpangsari yang disarankan adalah menaman tanaman semusim di sela-sela tanaman temulawak, seperti padi gogo dan kacang tanah (Syakir et al. 2008), serta dengan jagung, sehingga pendapatan petani bertambah. Selain itu temulawak juga dapat ditanam di bawah tegakan tanaman sengon, papaya, kayu jati dengan tingkat naungan tidak lebih dari 40%. Benih temulawak yang sudah disemaikan dan telah bertunas dimasukkan ke dalam lubang tanam yang telah diberi pupuk kandang, SP18 dan KCl sesuai dengan takaran yang sudah ditentukan, dengan arah mata tunas menghadap ke atas. Pemupukan Ada dua cara pemupukan yang dapat diterapkan pada budidaya temulawak, yakni pemupukan anorganik dan pemupukan organik. Pada pemupukan anorganik, pupuk yang dipersyaratkan pada SOP budidaya temulawak adalah pupuk organik (pupuk kandang), Urea, SP36 dan KCl. Secara umum pupuk yang dianjurkan pada SOP budidaya temulawak monokultur adalah 10-20 t/ha pupuk kandang, 200 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP18 dan 100 kg/ha KCl (Rahardjo dan Rostiana, 2005). Sedangkan untuk budidaya pola tumpang-sari adalah 10-20 t/ha pupuk kandang, 200 kg/ha Urea, 200 kg/ha SP18 dan 200 kg/ha 7

KCl. Pada pemupukan organik, pemupukan dilakukan hanya dengan pupuk kandang. Pupuk kandang diberikan 1-2 minggu sebelum tanam di lobang tanam, sedangkan pupuk SP18 dan KCl diberikan pada saat tanam, sedangkan pupuk Urea diberikan dalam tiga agihan, 1/3 dosis diberikan 1 bulan setelah tanam (BST), 1/3 dosis diberikan 2 BST dan 1/3 diberikan setelah 3 BST dengan cara tugal. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan, pembumbunan dan pengendalian OPT. Penyiangan dilakukan setelah tanaman berumur 1 BST, berikutnya dilakukan sebulan sekali, atau disesuaikan dengan kebutuhan. Setelah tanaman disiang kemudian dipupuk dan dilakukan pembumbunan, yaitu menaikkan tanah ke dalam petak penanaman, sekaligus memperdalam parit antar petak untuk memperbaikai drainase. Pengendalian OPT untuk tanaman temulawak masih jarang dilakukan, karena sampai saat ini belum terdapat serangan OPT yang merugikan. Bila terdapat serangan OPT disarankan untuk melakukan pengendalian secara hayati atau mekanis dengan cara membuang kemudian memusnahkan bagian tanaman yang terserang. Panen dan Pasca Panen Pada musim kemarau tanaman temulawak mengalami senescen, batang dan daunnya mengering, ciri ini menunjukkan bahwa tanaman siap untuk dipanen. Umur optimal temulawak siap dipanen berkisar antara 10-12 bulan setelah tanam. Pada kondisi demikian asimilat di bagian vegetatif sudah diretranslokasikan ke bagian rimpang, sehingga diharapkan kualitas rimpang telah mencapai optimal. Namun temulawak bisa ditunda masa panennya hingga tahun berikutnya, sampai 1, 2 atau 3 tahun. Penundaan masa panen dilakukan untuk menghindari nilai jual yang rendah, jika harga rendah petani biasanya tidak mau memanen temulawaknya, dan mereka 8

akan menjual temulawak apabila ada permintaan pasar atau harga jualnya memadai. Sebagai bahan baku jamu dan obat, rimpang hendaknya dijaga kebersihannya, dengan cara dicuci air bersih, kemudian dirajang tipis-tipis lantas dijemur. Perajangan dilakukan dengan ketebalan + 4-7 mm. Hasil rajangan (simplisia) kemudian dijemur di bawah sinar matahari atau dikeringkan di dalam oven. Simplisia yang dikeringkan di bawah sinar matahari ditutupi dengan kain hitam, agar tidak terkena langsung sinar matahari yang menyebabkan warna simplisia yang dihasilkan buram/ tidak cerah. Sedangkan yang dikeringkan di dalam oven, diusahakan suhu oven tidak lebih dari 40 C. Pelaksanaan pengeringan diakhiri setelah kadar air simplisia mencapai + 10%. Pada kondisi demikian diharapkan simplisia terbebas dari jamur dan OPT lainnya. Simplisia yang sudah kering bisa dikemas pada kemasan plastik kedap udara untuk disimpan sementara atau dikirim ke tempat pembuatan jamu atau obat. Analisis Usahatani Usahatani temulawak yang dilakukan oleh petani saat ini umumnya di bawah tegakan hutan masyarakat serta tidak menggunakan input produksi yang optimal. Bibit yang digunakan berasal dari anakan, dengan input pupuk rendah atau tanpa pemupukan, serta tanpa pemeliharaan yang memadai. Dengan cara budidaya tersebut produktivitas nasional temulawak yang dapat dicapai pada tahun 2009 adalah 17,3 ton/ha. 9

Tabel 1. Biaya usahatani budidaya temulawak berdasarkan budidaya organik dan SOP standar per 1.000 m 2 lahan No Uraian Satuan Biaya/ Satuan Budidaya Organik Budidaya SOP I Upah dan Gaji HOK Volume Biaya Volume Biaya 1. Pembukaan lahan 25.000 10 250.000 10 250.000 Pemupukan dasar 25.000 4 100.000 5 125.000 Penanaman 25.000 5 125.000 5 125.000 Pemupukan 25.000 0 0 3 75.000 Pengendalian OPT 25.000 2 50.000 6 150.000 Penyiangan 25.000 20 500.000 20 500.000 Panen 25.000 18 450.000 22 550.000 Total Biaya Upah & Gaji 1.475 1.775.000 II Bahan 1. Bibit kg 2.000 80 160.000 80 160.000 2. Pupuk organik - Bokashi kg 500 1000 500.000 - Bio-fertilizer kg 5.000 9 45.000 - Zeolit kg 600 30 18.000 - Fosfat alam kg 10.000 30 300.000 - Pukan kg 350 0 0 2000 700.000 3. Pupuk anorganik - Urea kg 2500 0 20 50.000 - SP-36 kg 3000 0 20 60.000 - KCl kg 12.500 0 20 250.000 4. - Pestisida Paket 100.000 1 100.000 1 100.000 Total Biaya Bahan 1.320.000 III Peralatan Paket 100.000 1 100.000 Total Biaya 2.698.000 3.195.000 IV Produksi kg 1.783 2.231 Harga pokok berdasarkan 1.513 1.432 biaya total Harga pokok dengan input saprodi 686 636 Beberapa hasil penelitian kajian analisis usahatani temulawak berdasarkan pada produktivitas dan biaya yang dikeluarkan pada budidaya temulawak telah ada, dengan produktivitas yang dicapai berdasarkan SOP mencapai 22,31 ton/ha, 29% lebih tinggi dari produktivitas yang dicapai oleh petani. Biaya yang dikeluarkan dengan pada budidaya menggunakan pupuk organik lebih rendah, namun produktivitasnya juga lebih rendah dibandingkan dengan budidaya sesuai SOP (Pribadi dan Rahardjo, 102007). Budidaya organik menghasilkan rimpang segar 17,83 t/ha sedangkan budidaya anorganik (konvensional) menghasilkan 22,31 t/ha. Dengan budidaya berdasarkan SOP tanpa memperhitungkan biaya tenaga kerja, karena biasanya petani tidak memasukkan biaya tenaga kerja keluarga yang mereka gunakan dalam usahatani, harga 10

pokok rimpang adalah Rp. 636,-/kg. Sedangkan dengan perhitungan yang sama, harga pokok rimpang temulawak dengan budidaya organik adalah Rp. 686,-/kg (Tabel 3.). Pada tahun 2000 sampai 2005, harga jual rimpang temulawak berkisar antara Rp. 809,- sampai Rp. 2.066,- (diolah dari BPS, 2000-2005). Dengan harga pasar tersebut keuntungan yang diperoleh petani sebagai pengganti biaya tenaga kerja dalam keluarga berkisar antara Rp. 385.900,- sampai Rp.3.190.300,- per 1.000 m 2, bila menerapkan usahatani berdasarkan SOP. Sedangkan keuntungan yang diperoleh bila menggunakan budidaya organik berkisar antara Rp.219.300,- sampai Rp. 2.460.500,-. Budidaya temulawak yang menerapkan SOP dapat meningkatkan penghasilan bersih petani dibandingkan dengan budidaya tanpa menerapkan SOP (Tabel 1). SOP budidaya temulawak senantiasa terus diperbarui, mengikuti perkembangan teknologi yang terbaru, karena dengan penerapan SOP dapat meningkatkan nilai tambah pendapatan petani. Budidaya temulawak relatif tidak banyak kendala, karena masih belum adanya serangan hama dan penyakit yang dapat mempengaruhi penurunan produktivitas tanaman. Permintaan Serapan temulawak sebagai bahan baku obat dalam industri obat tradisional kelompok industri kecil (Industri Kecil Obat Tradisional) dan kelompok industri besar (Industri Obat Tradisional) cukup besar. Temulawak termasuk lima besar dari 31 jenis tanaman obat yang diserap oleh industi obat dan jamu, bahkan menempati urutan ke dua terbanyak untuk digunakan dalam jamu gendong (Pribadi, 2009). Selain sebagai bahan baku jamu gendong dan pemenuhan ekspor, temulawak digunakan sebagai bahan baku beberapa industri besar dan sedang, diantaranya industri malt dan minuman yang mengandung malt, industri 11

minuman ringan, jamu, industri sabun, dan pembersih rumah tangga termasuk tapal gigi dan kosmetik. Bentuk penggunaan sebagai bahan baku industri bervariasi mulai dari rimpang sampai bahan aktif (Tabel 2). Berdasarkan data permintaan untuk industri sedang dan besar pada tahun 2000 sampai 2005, industri di Indonesia telah merespon hasil penelitian terkini tentang diversifikasi penggunaan temulawak yaitu untuk kosmetik dan salah satu komponen bahan baku tapal gigi. Tabel 2. Volume dan bentuk penggunaan temulawak pada beberapa industri tahun 2000 2005 Industri Volume permintaan pada tahun... (kg) Kode KKI pengguna dan bentuk 2000 2001 2002 2003 2004 2005 penggunaan 15530 Industri malt dan minuman yang mengandung malt 153170108 Ekstrak Td Td Td Td Td 4000 15540 Industri minuman ringan 11170201 Simplisia dalam berbagai jenis Td 4.680 Td 31 30 28 11170201 Simplisia Td 29 29 Td Td Td 11170106 Ekstrak 42 Td Td Td Td Td 11170108 Rimpang 352 Td Td 7.500 Td Td 153170108 Simplisia 7.000 24233 Industri simplisia bahan jamu 11170201 Bahan aktif Td Td Td Td Td 71 24234 Jamu 11170201 Simplisia dalam berbagai jenis 950 288 19.194 112.393 373.558 136.215 153170108 Berbagai bentuk primer temulawak 0 0 30.728 416.150 1.400 1.200 242330243 Rimpang 383.358 802.509 1.157.573 687.305 712.772 656.916 24241 Industri sabun & pembersih rumah tangga termasuk tapal gigi 11170102 Ekstrak Td Td Td Td Td 2.368 242330243 Rimpang Td 311.540 Td Td Td Td 24242 Kosmetik 011170102 Rimpang Td Td Td 1.050 Td 83 242330243 Rimpang 81.213 Td Td Td Td Td Sumber : BPS, 2000 2005 Keterangan : Td = tidak ada data Porsi terbesar permintaan temulawak digunakan untuk industri jamu. Permintaan bahan baku untuk masingmasing industri selain untuk jamu sangat berfluktuasi, tetapi total permintaan untuk industri sedang dan menengah 12

Milyar (Rp.) cenderung meningkat. Selain untuk keperluan industri diperkirakan kebutuhan temulawak untuk jamu gendong mencapai 37.500 ton/tahun, sedangkan rata-rata pasokan untuk ekspor mencapai 6 sampai 8 ton setara rimpang/ tahun 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Industri Jamu Gendong Ekspor Sumber : BPS, 2000-2005 Gambar 1. Total nilai penggunaan temulawak sebagai bahan baku industri, jamu gendong dan ekspor tahun 2000 2007 Nilai jual temulawak untuk memasok konsumen, setiap tahun cenderung stabil yaitu mencapai 15 sampai 28 milyar rupiah/tahun (Gambar 1). Nilai permintaan untuk jamu gendong yang terbesar dan nilai permintaan untuk ekspor meningkat cukup tajam pada tahun 2005-2007. Peningkatan nilai tambah produk primer temulawak dilakukan melalui diversifikasi produk menjadi produk sekunder seperti simplisia, ekstrak, dan bahan aktif. Harga rimpang temulawak berfluktuasi antar tahun tergantung pada pada pasokan dan permintaan, akan tetapi harga produksi sekunder temulawak seperti simplisia, ekstrak dan bahan aktif cenderung meningkat. Pengolahan lebih lanjut 13

dari rimpang temulawak menjadi bahan aktif, meningkatkan nilai jual produk sebesar 1.128 kali. Pengolahan rimpang temu-temuan menjadi simplisia mampu meningkatkan harga produk menjadi 7 sampai 15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi ekstrak sebesar 81-280 kali. DAFTAR PUSTAKA BADAN POM RI. 2004. Informasi temulawak Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia, 36 hlm. BPS, 2000 2005. Statistik Industri Besar dan Sedang. Badan Pusat Statistika. Jakarta BPS. 2006. Statistik Ekspor. Badan Pusat Statistika. Jakarta. Darusman, L. K., B. P. Priosoeryanto, M. Hasanah, M. Rahardjo dan E. D. Purwakusumah. 2007. Potensi temulawak terstandar untuk menanggulangi flu burung, Laboran Hasil Penelitian, Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Badan Litbang Pertanian, 46 hlm. Direktorat Aneka Tanaman. 2000. Budidaya Tanaman Temulawak. Jakarta, 44 hlm. Hasanah, M. dan M. Rahardjo. 2008. Javanese turmeric cultivation. Proceeding of the first international symposium on temulawak. Biopharmaca Research Center Bogor Agricultural University, hlm. 207-212. Hwang, J.K., J.S. Shim and Y.R. Pyun. 2000. Antibacterial activity of xanthorrhizol from Curcuma xanthorrhiza against oral pathogens. Fitoterapia 71:321-323. 14

Kemala, S; Sudiarto, E.R.Pribadi, J.T. Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, M. Raharjo, B. Waskito, dan H. Nurhayati. 2003. Studi Serapan, Pasokan dan Pemanfaatan Tanaman Obat di Indonesia. Laporan teknis penelitian Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat APBN 2003, 61 hlm. Masuda, T., I. Junko; A. Jitoe, dan N. Nakatani. 1992. Antioxidative curcuminoide from rhizomes of Curcuma xanthorrhiza. Phytochemistry 31(10) : 3645-3647. Oldeman, L.R. 1975. An Agro-cimatic map of Java., No.17 Published : Contr. Centr. Inst. 22 hlm. Pribadi, E.R. dan M. Rahardjo. 2007. Kajian ekonomi budidaya organik dan konvensional pada 3 nomor harapan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bul. Littro, 18:73-85. Pribadi, E.R. 2009. Pasokan dan permintaan tanaman obat Indonesia serta arah penelitian dan pengembangannya. Perspektif, 8:52-64. Purwakusumah, E.D., Y. Lestari, M. Rahminiwati, M. Ghulamahdi, B. Barus dan M. Machmud, MT. 2008. Menjadikan temulawak sebagai bahan baku utama industri berbasis kreatif yang berdaya saing. Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB. E-mail: bfarmaka@gmail.com, 24 hlm. Rahardjo, M. 2001. Karakteristik beberapa bahan tanaman obat keluarga Zingiberaceae. Buletin Plasma Nutfah, Badan Litbang Pertanian, 7:25-30. Rukayadi, Y. D. Yong dan J.K. Hwang. 2006. In vitro anticandidal activity of xanthorrhizol isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. J. Antimicrob Chemother 132:1-4. 15

Sukarman, M. Rahardjo, D. Rusmin dan Melati. 2007. Efisiensi penggunaan benih nomor harapan temulawak Curcuma xanthorrhiza Roxb. Laporan Teknis Penelitian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Puslitbangbun, Badan Litbang Pertanian, hlm. 251-256. Syakir, M., N. Maslahah dan M. Januwati. 2008. Mix cropping system for Zingiberaceae for up land site and dry agro-ecological zone of East Java. Proceeding of the first international symposium on temulawak. Biopharmaca Research Center Bogor Agricultural University, p. 285-289. 16