Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

RINOSINUSITIS KRONIS

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 4 METODE PENELITIAN

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Teknik Radiografi Sinus Paranasal

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

BAB IV METODE PENELITIAN

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB I PENDAHULUAN. Apendisitis adalah salah satu penyebab akut abdomen paling banyak pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kuman dapat tumbuh dan berkembang-biak di dalam saluran kemih (Hasan dan

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book

BAB II LANDASAN TEORI

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai dimana stroke merupakan penyebab kematian ketiga yang paling

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

PROFIL PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

Repair of Cerebrospinal Fluid Leak After Functional Endoscopy Sinus Surgery

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Transkripsi:

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS DR. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia LATAR BELAKANG Rinosinusitis adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis apabila berlangsung paling sedikit 12 minggu. Penegakan diagnosis rinosinusitis merupakan masalah di fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki CT-Scan, atau biaya CT-Scan yang mahal; sehingga masih menggunakan foto polos. Masalah saat ini adalah validitas foto polos di RS Sardjito, bahkan di Indonesia belum pernah diteliti. Tujuan: Menentukan validitas foto polos sinus paranasal 3 posisi untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis kronik. Desain dan metode: Penelitian ini menggunakan desain uji diagnostik. Sampel diambil mulai bulan Januari sampai Maret 2007 di poliklinik RSUP DR.Sardjito secara consecutive sampling. Kritera inklusi adalah penderita tersangka rinosinusitis kronik (kriteria task force), memiliki foto polos sinus paranasal 3 posisi, memiliki CT scan potongan koronal. Kriteria eksklusi adalah pernah menjalani operasi sinus sebelumnya, terdiagnosis tumor sinonasal, catatan medis tidak lengkap. Analisis statistik menggunakan diagnostic test. Hasil: Sensitivitas = 85,7% Spesifisitas = 33,3% Nilai duga positif = 75% Nilai duga negatif = 50% Rasio kecenderungan positif = 1,28 Rasio kecenderungan negatif = 0,42 Simpulan: Foto polos SPN 3 posisi valid untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis. Kata kunci: rinosinusitis kronik, foto polos sinus paranasal 3 posisi, CT- Scan, diagnosis PENDAHULUAN Rinosinusitis (RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena sinusitis jarang tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan inflamasi mukosa hidung. Rinosinusitis menjadi penyakit berspektrum inflamasi dan infeksi mukosa hidung dan sinus paranasal (1). Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal; dikatakan kronik apabila telah berlangsung sekurangnya 12 minggu (1). Sinus paranasalis seperti bagian alat pernafasan lain, dilapisi oleh epitel pseudostratified kolumner berlapis semu bersilia (2). Mukosa sinus paranasal merupakan kelanjutan mukosa kavum nasi meskipun lebih tipis (3). Membran basal tampak lebih tipis, jaringan subepitel memiliki jaringan ikat tipis yang melekat kuat pada periosteum, dan kelenjar seromusin relatif lebih sedikit. Sinus paranasalis mempunyai sistem mukosilia, terdiri dari gabungan epitel bersilia dan lapisan mukus, berfungsi proteksi dan melembapkan udara inspirasi. Lapisan mukus didorong oleh silia menuju ke ostium sinus. Transportasi mukus sinus diawali dari dasar sinus dengan gerakan menyerupai bintang, sepanjang dinding depan, medial, posterior dan lateral, serta atap sinus bertemu di ostium (3,4,5). PATOFISIOLOGI Penyakit sinus terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor atau kombinasi faktor-faktor tersebut mengubah fisiologi dan menimbulkan rinosinusitis. Obstruksi ostium menimbulkan drainase tidak adekuat, berakibat penumpukan cairan dalam sinus; pada sinus maksilaris menjadi penting karena mukus dibersihkan melawan pengaruh gravitasi (3). Obstruksi menyebabkan hipoksi lokal dalam sinus, menimbulkan perubahan ph, kerusakan epitel dan fungsi silia. Cairan dalam sinus menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inflamasi jaringan dan penebalan mukosa sehingga menambah obstruksi ostium. KLASIFIKASI RSK ditandai penebalan mukosa, hiperplasi sel goblet, fibrosis subepitel dan inflamasi permanen. Remodelling mukosa sinus mengarah pada gangguan keseimbangan antara deposit dan degradasi kolagen dan matriks protein lain. Peningkatan sintesis fibroblas merupakan respon adanya aktivasi eosinofil beserta produknya, termasuk profibrotic transforming growth factor-β (TGF-β). Sel inflamasi yang banyak terdapat di sinus an- 409 CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 409 7/23/2010 10:32:59 PM

tara lain : sel T, eosinofil, basofil, dan neutrofil memiliki jumlah menonjol di mukosa sinus. Pinheiro et al. (1998) membagi rinosinusitis ditinjau dari lima aksis : 1) gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik), 2) lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis), 3) organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur), 4) keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi), dan 5) modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal). Klasifikasi lain didasarkan ditemukan tidaknya alergi, membagi rinosinusitis menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Sedangkan untuk derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah banyak dilakukan di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut sistem Lund MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelainan masing-masing sinus, dengan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1 bila ditemukan opasitas parsial, skor 2 bila ditemukan opasitas total sinus, dan penilaian patensi osteomeatal komplek. Sistem ini banyak dipakai karena mampu mengukur kelainan masing-masing sinus secara obyektif, dapat dipakai untuk kasus individual, dan mempertimbangkan kondisi komplek osteomeatal (7). GEJALA DAN TANDA Gejala RSK berbeda-beda, dari sangat ringan hingga berat. Gejala bisa dikelompokkan menjadi gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif meliputi gejala nasal dan nasofaringeal, faring dan nyeri wajah. Gejala nasal mencakup obstruksi hidung, sekresi hidung dan post nasal drip. Sering disertai epistaksis dan gangguan olfaktorius. Gejala faring berupa rasa ke-ring di tenggorokan dan gejala nyeri wajah akibat keadaan vakum di sinus. Nyeri pada sinusitis maksilaris timbul di daerah pipi atau zigomatik, sedangkan sinusitis etmoidalis menimbulkan nyeri daerah sela mata. Untuk sinusitis frontalis nyeri terasa di daerah dahi, sedangkan sinusitis sphenoidalis menimbulkan nyeri di daerah puncak kepala atau di oksipital (5). Tanda obyektif ditentukan melalui pemeriksaan rinoskopi anterior, rinoskopi posterior dan pemeriksaan faring. Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat menemukan tanda inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema, discharge mukopurulen yang terlihat di meatus media. Pemeriksaan rinoskopi posterior menemukan kumpulan pus di permukaan palatum, dapat berasal dari tiap sinus tetapi paling sering dari sinus maksilaris. Pus dapat tampak menetes melalui ujung posterior konka inferior dari meatus media. Pada pemeriksaan farings dapat terlihat pus mengalir sampai ke bawah melalui sela dinding lateral faring dan umumnya berasal dari sinus maksilaris, frontalis atau ethmoidalis (5,8). Pada pemeriksaan endoskopi dapat dilihat edema dan hiperemi di meatus media atau bulla ethmoid dan dan jaringan granulasi (9). DIAGNOSIS Diagnosis RSK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis didasarkan pada gejala seperti obstruksi hidung, kongesti, rasa nyeri di wajah, nyeri kepala, gangguan discharge hidung, post nasal drip, nafas bau, batuk, gangguan penghidu dengan atau tanpa telinga terasa penuh, faringitis, fatigue, malaise atau demam yang telah berlangsung selama 12 minggu (1). Pemeriksaan fisik harus menemukan salah satu tanda inflamasi yaitu 1) discharge berwarna di saluran nafas, polip atau pembengkakan konka polipoid menggunakan rinoskopi anterior atau endoskopi setelah aplikasi dekongestan; 2) edema dan hiperemi di meatus media atau bulla ethmoid yang diidentifikasi menggunakan endoskopi nasal; 3) eritema lokal atau keseluruhan, edema dan jaringan granulasi (1). RADIOLOGI SINUS PARANASAL Penyakit inflamasi sinus membutuhkan diagnosis yang akurat sebagai kunci manajemen terapi termasuk untuk menetapkan etiologi dan faktor predisposisi. Para ahli menyepakati bahwa rinosinusitis disebabkan oleh obstruksi clearance mukosilia dari sinus paranasal, khususnya daerah KOM. Pemeriksaan radiologi diharapkan dapat menggambarkan secara akurat morfologi regional dan menunjukkan obstruksi osteomeatal. Foto polos atau radiografi standar Foto polos sinus paranasal merupakan metode mudah dan cepat untuk evaluasi struktur maksilofasial. Ada empat posisi yang sering adalah posisi Waters, Towne s, lateral, dan submentoverteks. Paparan radiasi berkisar 40-60 msv. Pemeriksaan tersebut memuaskan untuk sepertiga bawah kavum nasi dan sinus maksila. Gambaran sinus ethmoid anterior et posterior, sinus frontal, dan sphenoid sering kurang baik akibat penumpukan bayangan (7). Penebalan mukosa lebih dari 4 mm, opasitas komplit sinus maksilaris, dan gambaran air fluid level merupakan gambaran radiologis utama yang digunakan untuk diagnosis sinusitis pada foto polos. Gambaran opasitas sinus maksilaris tersebut dapat akibat penebalan dinding anterior sinus atau jaringan lunak yang tebal. Polip sinus juga dapat memberi gambaran seperti air fluid level (7). Beberapa peneliti membandingkan roentgen polos dan CT scan koronal pada bayi dan anak dengan sinusitis rekuren. Hasilnya dari 70 pasien terdapat 80% mempunyai CT scan abnormal dan 75% roentgen tidak berkorelasi terhadap CT scan. Berdasarkan evaluasi pada 21 pasien didapatkan kesesuaian korelasi roentgen polos dengan CT scan pada penderita sinusitis akut sebesar 87%. CT scan CT scan menyediakan gambaran hidung dan sinus paranasal yang lebih detail dibandingkan roentgen. Ahli THT sangat membutuhkan gambaran KOM dan kelainan yang mungkin terdapat di sinus paranasal untuk menda- 411 CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 411 7/23/2010 10:33:00 PM

patkan diagnosis akurat dan rencana terapi selanjutnya. Potongan koronal CT scan memberikan gambaran akurat sinus ethmoid anterior, 2/3 kavum nasi bagian atas, recessus frontalis. Potongan lintang CT scan dapat menilai kondisi soft tissue di kavum nasi, sinus paranasal, orbita, dan intrakranial. Perbedaan yang teridentifikasi antara komponen kavum nasi yaitu udara - tulang, lemak - orbita, dan soft tissue udara. Perbedaan densitas juga mempermudah identifikasi sinus frontal, recessus frontal, processus uncinatus, infundibulum ethmoid, bulla ethmoid, sinus maksila, ostia sinus maksilaris, meatus media, sinus ethmoid, sinus sphenoid, dan recessus sphenoid. Gambaran yang jelas sangat mempermudah diagnosis dan rencana terapi (7). Potongan koronal merupakan potongan terbaik karena mampu menunjukkan hubungan antara otak dan sinus ethmoid, orbita dan sinus paranasal, juga KOM. Endoskopi hanya memberikan gambaran anatomi yang terletak di depan endoskopi, sedangkan CT scan mampu mendefinisikan daerah yang tidak tampak pada endoskopi. Pasien diposisikan prone dengan hiperekstensi di meja scanner. Kondisi KOM ideal diperoleh dengan CT scan difokuskan pada kavum nasi dan sinus paranasal. Bila pasien tidak dapat posisi prone maka dibuat potongan aksial dari palatum hingga melalui sinus frontalis (7). Pelaksanaan CT scan sering kali terkendala biaya, maka dikerjakan CT scan terbatas untuk mengatasi permasalahan dan meningkatkan nilai diagnosis foto polos sinus paranasal. Jika perkiraan jarak sinus sphenoid hingga nares sekitar 7,5 cm maka CT scan standar dengan jarak antara 3 mm akan menghasilkan 25 gambar. CT scan terbatas dikerjakan dengan jarak antar potongan beragam mulai 3, 4, 5 hingga 10 mm. sentrasi kavum nasi dan sinus paranasal (7). Penilaian CT scan meliputi 6 tahap, yaitu: 1) melihat gambaran dari anterior ke posterior (identifikasi sinus frontalis, sinus ethmoidalis, bulla ethmoidalis, sinus maksilaris, sinus sphenoidalis, kavum nasi, orbita, fossa kranii media, dan septum deviasi), 2) melihat lamina papiracea, processus uncinatus, dan konka media, 3) melihat recessus frontalis, 4) perhatikan asimetri kanankiri dengan melihat basis kranii, 5) indentifikasi sinus sphenoidalis, melihat septum intersphenoidalis, 6) melihat perluasan penyakit (7). Perbandingan CT scan koronal terbatas dan foto polos sinus paranasal CT scan potongan koronal terbatas telah diteliti sensitivitas dan spesifisitasnya dibandingkan dengan foto polos sinus paranasal. CT scan 4 slice dibandingkan CT scan standar memiliki sensitivitas 81,25%, spesifisitas 89,47%, nilai duga positif 92,86, dan nilai duga negatif 73,91. 13 Penelitian Goodman et al. (1995) mendapatkan bahwa foto polos sinus paranasal memiliki sensitivitas dan spesifisitas secara keseluruhan 54% dan 64%. 14 Penelitian serupa oleh Garcia et al. (1994) mendapatkan kesesuaian foto polos mendeteksi sinusitis adalah 20% untuk sinus frontal, 0% sinus sphenoid, dan 54% sinus ethmoid; sinus maksila 75%. Sensitivitas dan spesifisitas posisi Waters adalah 76% and 81%. Sinus CT scan mempunyai kesesuaian dibandingkan CT standar masing-masing 100% untuk sinus frontal, 82% untuk sinus sphenoid, 73% untuk sinus ethmoid, dan 97% untuk sinus maksila. Kesesuaian secara keseluruhan bila dibandingkan CT scan standar adalah 88% (14). Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk konfi rmasi klinis. Pada rontgen sinus paranasalis didapatkan air fl uid level, pengkabutan atau penebalan mukosa pada satu atau lebih sinus (2,4). CT scan dapat menggambarkan penebalan mukosa, perubahan struktur tulang maupun kondisi osteomeatal komplek (1). Sensitifi tas dan spesifi sitas radiologi sinus paranasal 85% dan 80% untuk posisi Waters, untuk tiga posisi 90% dan 60% sedangkan CT scan lebih dari 95% dan 61% (15). METODA PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan uji diagnostik untuk menentukan validitas foto polos sinus paranasal 3 posisi dan CT scan potongan koronal sebagai alat diagnosis pada pasien dengan gejala klinis/persangkaan rinosinusitis kronis menurut kriteria task force. B. Populasi Penelitian Populasi target pada penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria klinis task force untuk persangkaan rinosinusitis kronis (RSK). Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien yang memenuhi kriteria klinis task force untuk persangkaan rinosinusitis kronis di RS Dr. Sardjito. C. Sampel Penelitian Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dipilih dengan cara tertentu. Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (consecutive sampling), yaitu setiap pasien RSK di RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Cara pemilihan sampel seperti ini adalah satu cara yang terbaik dalam penelitian klinik (16). D. Kriteria Inklusi Penderita dengan persangkaan RSK (task force positif), memiliki foto polos sinus paranasal 3 posisi, memiliki CT scan potongan koronal E. Kriteria Eksklusi Pernah menjalani operasi sinus, terdiagnosis tumor sinonasal, memiliki catatan medis tidak lengkap. tidak bersedia ikut dalam penelitian. F. Cara Pengukuran 1). Semua penderita tersangka RSK memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dicatat identitasnya pada formulir penelitian, 2). Dilakukan foto polos sinus paranasal 3 posisi dan CT Scan potongan koronal. 412 CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 412

G. Kerangka Penelitian Penderita rinosinusitis kronis Informed consent Kriteria inklusi dan eksklusi H. Analisis Statistik Analisis data dalam penelitian ini adalah sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif dari CT Scan dan foto polos SPN 3 posisi. Foto polos SPN 3 posisi Sampel Penelitian Uji Diagnostik CT scan SPN potongan coronal HASIL PENELITIAN Karakteristik subyek penelitian Jumlah sampel penelitian seluruhnya 20 pasien, wanita 11 orang (55%) dan laki-laki 9 orang (45%), paling banyak pada umur dekade ke 3 (30%). (tabel 2). 1. Sensitivitas 2. Spesifisitas 3. Nilai duga positif 4. Nilai duga negatif 5. Rasio kecenderungan positif 6. Rasio kecenderungan negatif Gambar 1. Bagan alur penelitian dan analisis pada penelitian Tabel 2. Distribusi umur sampel penelitian Umur (dalam tahun) Jumlah (%) < 9 0 (0) 10-19 4 (20) 20-29 6 (30) 30-39 4 (20) 40-49 2 (10) 50-59 4 (20) >60 0 (0) Tabel 3. Distribusi gejala sampel penelitian No. Gejala rinosinusitis Jumlah (%) 1 Discharge purulen 8 (40) 2 Hidung tersumbat 6 (30) 3 Gangguan penghidu 4 (20) 4 Rasa tertekan atau nyeri di sinus 1 (5) 5 Nyeri kepala 1 (5) 6 Fatigue 0 (0) 7 Gangguan tidur 0 (0) Tabel 4. Tabel penghitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif foto polos SPN 3 posisi (17) Foto polos SPN 3 posisi + - Total + 12 4 16 - Keluhan utama pasien dengan persangkaan RSK terdistribusi dalam tabel 3. Uji Diagnostik/Validasi Foto polos SPN 3 posisi (Tabel 4) Sensitivitas = 12/14 x 100 % = 85,7% Spesifisitas = 2/6 x 100 % = 33,3% Nilai duga positif = 12/16 x 100 % = 75% Nilai duga negatif = 2/4 x 100 % = 50% Rasio kecenderungan positif = 85,7%/ (4/(4 + 2)) = 1,28 Rasio kecenderungan negatif = (2/(12 + 2))/33,3% = 0,14/0,33 = 0,42 PEMBAHASAN Jumlah sampel penelitian seluruhnya ada 20 pasien, wanita 11 orang (55%) dan laki-laki 9 orang (45%). Umur terutama pada dekade ke 3 (30%) (tabel 2). Keluhan utama pada sampel penelitian (kriteria task force) adalah discharge purulen (40%), hidung tersumbat (30%) dan gangguan penghidu (20%) (tabel 3). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Evans (1994) yang mendapatkan gejala subyektif meliputi gejala nasal dan nasofaringeal, faring dan nyeri wajah. Gejala nasal mencakup obstruksi hidung, sekresi hidung dan post nasal drip. Sering gejala tersebut disertai epistaksis dan gangguan olfaktorius. Gejala faring berupa rasa kering di tenggorokan dan gejala nyeri wajah disebabkan oleh keadaan vakum pada sinus. Proyeksi nyeri pada 413 CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 413

sinusitis maksilaris di daerah pipi atau zigomatik, sedangkan sinusitis etmoidalis menimbulkan nyeri di daerah sela mata. Untuk sinusitis frontalis nyeri terasa di daerah dahi, sedangkan sinusitis sphenoidalis menimbulkan nyeri di daerah puncak kepala atau di oksipital. Hal tersebut di atas menandakan bahwa keluhan utama discharge purulen hidung pada umur sekitar dekade 3 harus dicurigai sebagai gejala RSK. Masalahnya adalah untuk membuktikan kecurigaan tersebut. Mahalnya CT Scan dan tidak adanya fasilitas CT Scan di beberapa daerah menyebabkan masih perlunya foto polos SPN 3 posisi untuk menegakkan diagnosis RSK, tetapi validitas foto polos di RS Sardjito belum pernah diteliti, bahkan di Indonesia. Hal tersebut membuat kalangan klinisi ragu dan cenderung merujuk ke pusat pelayanan medis dengan fasilitas CT Scan. Hal ini menjadi beban tersendiri, karena pengobatan bisa dilakukan di daerah yang tidak memiliki fasilitas CT Scan. Masalah ini menjadi dasar bagi peneliti untuk mencari validitas foto polos SPN 3 posisi dalam menegakkan diagnosis RSK. Penelitian dengan 20 sampel mendapatkan sensitivitas sebesar 85,7% dan spesifisitas sebesar 33,3%. Hal ini berarti 85,7% kemungkinan seseorang benar benar positif RSK jika ditemukan foto polos SPN 3 posisi positif. Dan 33.3% kemungkinan subyek bukan RSK apabila hasil foto polos SPN 3 posisi ditemukan negatif. Foto polos SPN 3 posisi bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis RSK. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Dolor(2001) yang mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas radiologi sinus paranasal untuk tiga posisi 90% dan 60%. Dari 16 sampel pasien dengan CT Scan positif didapatkan 12 sampel foto polos SPN 3 posisi yang juga positif, ini menandakan bahwa hasil foto polos SPN 3 posisi mempunyai nilai duga positif yang tinggi (75%), sehingga tidak diperlukan foto CT Scan untuk mendiagnosis RSK. Foto polos SPN 3 posisi layak untuk mendiagnosis RSK di daerah yang tidak memiliki fasilitas CT Scan. SIMPULAN Foto polos SPN 3 posisi valid untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis dengan sensitivitas 85,7% dan spesifisitas 33,3%. DAFTAR PUSTAKA 1. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. Adult chronic rhinosinusitis: definitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg (suppl) 2003;129S: S1-S32. 2. Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Boies: Buku Ajar penyakit THT. Effendi H (terj.ed.) 6th ed. EGC, Jakarta. 1997. 3. Miller AJ, Amedee RG. Sinus anatomy and function. In: Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. 1998.Lippincott-Raven, New York ; p: 413-21. 4. Rohr AS. Sinusitis: pathophysiology, diagnosis, and management. J Immunol Allergy Clin North Am 1987;7:383-91 5. Evans KL. Fortnightly review: diagnosis and management of sinusitis. BMJ 1994;309:1415-22. 6. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concepts and management. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2 nd ed. Lippincott-Raven, New York, 1998. p: 441-55. 7. Zeinreich SJ. Imaging for staging of rhinosinusitis. Ann Otol. Rhinol. Laryngol 2004.; 133: 19-23. 8. Sucipto D. Temuan sinuskopi pada pasien sinusitis maksilaris kronis. Kongres Nasional Perhati XI. Jogjakarta: 1995.. 179-189. 9. Khun FA. Role of endoscopy in the management of chronic rhinosinusitis. Ann Otol Rhinol Laryngol 2004.; 113: 10-14. 10. Kurt R, Lange S, Grumme T, Wolfgang K. Cerebral and spinal computerized tomography. Schering AG, West Germany. 1989. 11. Toshiba s Medical Electronic. The statement of ROI. In Manual of Toshiba s CT scan. Serial number 27345-Tosh-201. 1995. 12. Awaida JPS, Woods SE, Doerzbacher M, Gonzales Y, Miller TJ. Four cut sinus computed tomographic scanning in screening for sinus disease. Southern Medical J 2004; 97: 18-20. 13. Goodman GM, Martin DS, Klein J. Comparison of a screening coronal CT versus a contagious coronal CT for evaluation of patients with presumptive sinusitis. Am Allerg. Asthma Immunol 1995.; 74: 178-182. 14. Garcia GP, Corbett ML, Elbery SM, Joyce MR, Le HT, Karibo JM et al. Radiographic imaging studies in pediatric chronic sinusitis. J Allerg Clin Immunol 1994; 94: 1-11. 15. Dolor RJ, Williams JW. Management of Rhinosinusitis in Adults: Clinical Applications of Recent Evidence and Treatment Recommendations. JCOM 2001.; 9: 463-477. 16. Hulley SB, Cummings SR. Designing Clinical Research. Williams and Wilkins, Baltimore. 1998. 17. Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH. Clinical Epidemiology : The Essential, 2 nd ed. Williams & Wilkins, Baltimore, USA 1988:58-04. 414 CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 414