BAB I PENDAHULUAN. primer lainnya adalah perlunya penanggalan atau yang biasa disebut dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. muslimin, sebab banyak ibadah dalam Islam yang pelaksanaannya dikaitkan

UNTUK KALANGAN SENDIRI

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA DAN MATLA. yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah. Selain itu fatwa juga

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 4 Tahun 2003 Tentang PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMAR (INVESTASI)

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH PILIHAN DOA IFTITAH MENURUT PUTUSAN TARJIH MUHAMMADIYAH


BAB I PENDAHULUAN. Tradisi dalam menentukan awal bulan Kamariah khususnya Ramadan,

BAB I PENDAHULUAN. Penanggalan Islam atau yang lebih dikenal bulan qamariyah merupakan

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG MATLA MENURUT FIQH ASTRONOMI SKRIPSI

PENEMPELAN PHOTO PADA MUSHAF AL-QUR AN (KEMULIAAN AL-QUR AN)

BAB I PENDAHULUAN. dan hari raya Islam (Idul fitri dan Idul adha) memang selalu diperbincangkan oleh

PUASA DI BULAN RAJAB

MENTASHARUFKAN DANA ZAKAT UNTUK KEGIATAN PRODUKTIF DAN KEMASLAHATAN UMUM

Wa ba'du: penetapan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat hilal menurut semua ulama, berdasarkan sabda Nabi r:

KRITERIA MASLAHAT. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 Tentang KRITERIA MASLAHAT

BAB IV ANALISIS METODE ISTINBA<T} HUKUM FATWA MUI TENTANG JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Tentang PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA

ZAKAT PENGHASILAN. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 3 Tahun 2003 Tentang ZAKAT PENGHASILAN

KLONING FATWA MUSYAWARAH NASIONAL VI MAJELIS ULAMA INDONESIA NOMOR: 3/MUNAS VI/MUI/2000. Tentang KLONING

BAB IV ANALISIS PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN THOMAS DJAMALUDDIN TENTANG WUJU<DUL HILAL

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Mengganti Puasa Yang Ditinggalkan

HADITS TENTANG RASUL ALLAH

PENENTUAN AWAL RAMADAN, SYAWAL, DAN ZULHIJAH 1432 H

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan termasuk di dalamnya mengenai kehidupan manusia, yaitu telah

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

DAFTAR ISI PENGAKUAN ABSTRACT PENGHARGAAN PANDUAN TRANSLITERASI

PENYERANGAN AMERIKA SERIKAT DAN SEKUTUNYA TERHADAP IRAK

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Yang Diizinkan Tidak Berpuasa

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan agama yang lain adalah bahwasannya peribadatan dalam

A. Analisis Tentang Tata Cara Akad Manusia tidak bisa tidak harus terkait dengan persoalan akad

BAB I PENDAHULUAN. berikannya sebuah kelebihan tersebut manusia tidak hanya diam. Akan tetapi. wajib melaksanakan segala perintah dan larangan Allah.

PAKET FIQIH RAMADHAN (ZAKAT FITRAH)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Al-Qur an merupakan kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah

BAB V PEMBAHASAN. A. Pemberlakuan Sistem Kredit Semester (SKS) di SMA Negeri 3 Sidoarjo. Alokasi waktu yang diperlukan perminggu persatu satuan kredit

Hukum Menyekolahkan Anak di Sekolah Non-Muslim

Perbedaan Penentuan Awal Bulan Puasa dan Idul Fitri diantara Organisasi Islam di Indonesia: NU dan Muhammadiyah

HambaKu telah mengagungkan Aku, dan kemudian Ia berkata selanjutnya : HambaKu telah menyerahkan (urusannya) padaku. Jika seorang hamba mengatakan :

ف ان ت ه وا و ات ق وا الل ه ا ن الل ه ش د يد ال ع ق اب

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH DALAM KONSEP MATLA FI WILAYATIL HUKMI

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 81/DSN-MUI/III/2011 Tentang

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ASUSILA DAN PENGANIAYAAN OLEH OKNUM TNI

BAB I PENDAHULUAN. menambah istri yang lebih muda yakni 9 dan 7 tahun, bocah ingusan yang masih duduk di sekolah dasar itu.

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Orang Yang Meninggal Namun Berhutang Puasa

Keutamaan Puasa Enam Hari dibulan Syawal

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIYAH. beliau dikukuhkan sebagai khalifah ke-3 menggantikan khalifah Abu Bakar as-

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Narasumber: DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Video kajian materi ini dapat dilihat di

BAB I PENDAHULUAN. penentuan hari-hari besar umat Islam. Banyak ibadah yang pelaksanaanya

Problem pelaksanaan Idul Adha yang tidak bersesuaian dengan Kerajaan Saudi Arabia (KSA) Oleh: Syamsuddin

BAB IV. Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai. Politik, dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : Partai politik adalah

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PENGULANGAN PEKERJAAN BORONGAN PEMBUATAN TAS DI DESA KRIKILAN KECAMATAN DRIYOREJO KECAMATAN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan penciptaan manusia. Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB I PENDAHULUAN. dipatuhi tetapi juga tauhid, akhlak dan muamalah, misalnya ketika seseorang ingin

Oleh: Shahmuzir bin Nordzahir

Hukum Mengubah Nazar

BAB 1 PENDAHULUAN. Membaca adalah pengolahan bacaan secara kritis-kreatif yang dialakukan

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan bangsa. Pendidikan Agama Islam akan mengenalkan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. sempurna dibanding dengan mahkluk ciptaannya yang lain. Kesempurnaan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. berpedoman penuh pada Al-Qur an dan As-Sunnah. Hukum-hukum yang melandasi

KEWARISAN SAUDARA KANDUNG LAKI-LAKI/ SAUDARA SEBAPAK LAKI-LAKI BERSAMA ANAK PEREMPUAN TUNGGAL

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

BAB I PENDAHULUAN. kandungan atau makna yang tersirat di dalam suatu nash. Mulai dari ibadah yang

Qawaid Fiqhiyyah. Niat Lebih Utama Daripada Amalan. Publication : 1436 H_2015 M

BAB III PENYESUAIAN KALENDER SAKA DENGAN KALENDER HIJRIYAH DAN APLIKASINYA DALAM PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIYAH

Puasa Tatawwu' atau Puasa Sunat

WUJU<D AL-HILA<L ANTARA TEORI DAN APLIKASI. Ahmad Junaidi

BAB I PENDAHULUAN. Agama Islam adalah agama yang universal. Segala sesuatunya telah

BAB I PENDAHULUAN. aqliy. Sumber hukum naqliy ialah Al-Qur an dan As-Sunnah, sedangkan sumber

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Anjuran Mencari Malam Lailatul Qadar

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Narasumber: DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Video kajian materi ini dapat dilihat di

KAIDAH FIQH. Disyariatkan Mengundi Jika Tidak Ketahuan Yang Berhak Serta Tidak Bisa Dibagi. حفظه هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Tema: Keutamaan Akrab Dengan Al Qur an

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

ب س م االله الر ح من الر ح ي م

Adzan Awal, Shalawat dan Syafaatul Ujma ADZAN AWAL, MEMBACA SHALAWAT NABI SAW, DAN SYAFA ATUL- UZHMA

SMS BERHADIAH. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 9 Tahun 2008 Tentang SMS BERHADIAH

MERAIH KESUKSESAN DAN KEBAHAGIAAN HIDUP DENGAN MENELADANI RASULULLAH

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan. Narasumber: DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA Video kajian materi ini dapat dilihat di

PENGERTIAN TENTANG PUASA

KOMPETENSI DASAR INDIKATOR:

Derajat Hadits Puasa TARWIYAH

1. Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al Qur an

Adab makan berkaitan dengan apa yang dilakukan sebelum makan, sedang makan dan sesudah makan.

SILABUS PEMBELAJARAN

CARA PRAKTIS UNTUK MENGHAFAL AL-QUR AN

Oleh : Ahmad Abdillah NPM:

BAB III TINJAUAN UMUM AQAD MURABAHAH DALAM FIQH MUAMALAH. Kata aqad dalam kamus bahasa arab berasal dari kata ع ق د - ی ع ق د - ع ق د ا yakni

BAB I PENDAHULUAN. manusia guna memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat. Salah satu aspek

BAB 7 ASPEK AL-QUR AN

Materi Kajian Kitab Kuning TVRI Edisi Ramadhan

PERAYAAN NATAL BERSAMA

2. Tauhid dan Niat ]رواه مسلم[

Berkompetisi mencintai Allah adalah terbuka untuk semua dan tidak terbatas kepada Nabi.

BAB II TABUNGAN ZAKAT AL-WADI< AH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di antara kebutuhan manusia yang tidak kalah pentingnya dengan kebutuhan primer lainnya adalah perlunya penanggalan atau yang biasa disebut dengan kalender. 1 Kalender dalam arti penanggalan, disamping memuat pengelompokan hari ke dalam minggu, bulan, dan tahun, juga kadang memuat informasi lain seperti harihari libur, hari-hari atau tanggal-tanggal bersejarah, jadwal waktu shalat, dan sebagainya. 2 Manusia dari siklus hidupnya dari kelahiran, peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya sampai saat kematiannya semua tercatat dalam angka-angka kalender sehingga lebih mudah untuk diingat bahkan diperingati. 3 Pada dasarnya ada dua sistem kalender atau penanggalan yang berkembang sampai saat ini. Pertama, sistem yang didasarkan pada revolusi bumi mengelilingi matahari, yang kemudian dikenal sebagai sistem syamsiyah (solar system) atau tahun surya. Satu tahun syamsiyah lamanya 365 hari (untuk tahun pendek) dan 366 (untuk tahun panjang). Kedua, sistem yang didasarkan pada rotasi bulan mengelilingi bumi, 1 Kalender adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu, untuk tujuan penanndaan serta perhitungan waktu dalam waktu jangka panjang.unsur-unsur kalender meliputi tanggal, hari, bulan dan tahun. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012), h. 115. 2 Oman Faturrahman, Kalender Muhammdiyah Konsep dan Implementasinya, makalah disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2006), h. 2. 3 Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung Persada, 2010), h. 181. 1

2 yang dikenal sebagai sistem qomariyah (lunar system) atau tahun candra. Satu tahun qomariyah lamanya 354 (untuk tahun pendek) 355 (untuk tahun panjang). 4 Sistem kalender atau penanggalan yang digunakan umat Islam dalam menentukan bulan qomariyah adalah sistem yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi matahari, yang dikenal dengan nama kalender atau penanggalan Hijriyah. Sebenarnya, sistem ini sudah digunakan oleh bangsa Arab sejak zaman Jahiliyah yang dikenal dengan sistem penanggalan bangsa Semit. Disebut tarikh Hijriyah atau tahun Hijriyah karena permulaan tahun tarikh ini dimulai saat hijrahnabi Muhammad SAW dari Mekah ke Yasrib. 5 Penggunaan sistem penanggalan ini didasarkan pada firman Allah SWT QS. At-Taubah (9): 36 Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah 4 Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Penggunaan Hisab Dalam Penetapan Bulan Baru Hijriyah/ Qomariyah, dalam Hisab Rukyat Dan Perbedaannya, ed. Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (Jakarta: Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2004), h. 20. 5 Maskufa, op.cit., h. 190.

3 kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa 6. Rasulullah SAW juga bersabda sebagai berikut: ع ن أ ب ي ب ك ر ة ر ض ي الله ع ن ھ ع ن الن ب ي ص ل ى الله ع ل ی ھ و س ل م ق ال ال زم ان ق د اس ت د ار ك ھ ی ي ت ھ ی و م خ ل ق الله ال سم و ات و الا ر ض ال سن ة اث ن ا ع ش ر ش ھ ر ا م ن ھ ا أ ر ب ع ة ح ر م ث لا ث ة م ت و ال ی ات ذ و ال ق ع د ة و ذ و ال ح جة و ال م ح رم و ر ج ب م ض ر ال ذ ي ب ی ن ج م اد ى و ش ع ب ان. (ر و اه ب خ ار ي ( Dari Abi Bakrah Ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya waktu telah kembali ke keadaannya semula pada saat Allah SWT menciptakan langit dan bumi, tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram tiga bulan berturut-turut yaitu Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram, satu lagi Rajab berada di antara bulan Jumadil Ula dan Jumadil al-tsaniyah dan Sya`ban (HR. Bukhari). 7 Benda langit yang dijadikan objek kajian di kalangan umat Islam adalah matahari, bulan dan bumi menurut keadaannya masing-masing. Hal ini disebabkan karena perintah pelaksanaan ibadah baik waktu maupun cara berkaitan langsung dengan posisi benda langit. 8 Sebagaimana firman Allah dalam QS. Yunus (10): 5 6 Kementrian Agama RI, Al-Qur an dan Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Qur an, 2010), h. 128 7 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-bukhari, Shahih al-bukhari, (Riyadh: Dar al-salam, 1997), h. 970. 8 Ibid., h. 148.

4 Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-nya) kepada orang-orang yang mengetahui 9. Dalam masyarakat, ada dua sistem yang dipakai untuk menentukan awal bulan qomariyah, yaitu sistem hisab dan sistem rukyat. Sistem hisab adalah penentuan awal bulan Hijriyah yang didasarkan pada perhitungan lamanya bulan mengelilingi bumi. Sedangkan rukyat adalah usaha untuk melihat bulan sabit ( hilal) kearah matahari terbenam pada akhir bulan hijriyah. Kedua metode ini sering dinyatakan tidak dapat berdiri sendiri, namun saling melengkapi dalam operasionalnya. 10 Namun dari dua sistem ini terbagi lagi menjadi beberapa aliran yang mempunyai pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Aliran hisab dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan metode yang dipakai dan berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Baik dari segi metode maupun kriterianya masing-masing kelompok bisa menghasilkan keputusan yang berberda antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. 11 Pada umumnya, nama aliran yang 9 Kementrian Agama RI, op.cit, h. 140 10 Susiknan Azhari, Penggunaan Sistem Hisab dan Rukyat di Indonesia (Studi tentang interaksi NU dan Muhammadiyah), (Yogyakarta, Disertasi doctoral, UIN Sunan Kalijaga, 2006), h. 78-79. 11 Ahmad Junaidi, Rukyat Global Perspektif Fiqh Astronomi, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010), h. 3.

5 sering digunakan ialah hisab urfi, hisab hakiki, hisab imkanur rukyat dan hisab astronomi. 12 Dua aliran yang dipilih untuk mewakili pemikiran hisab rukyat di Indonesia adalah hisab urfi dan hisab hakiki. 13 Hisab urfi adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. 14 Oleh karena itu, sistem hisab ini ada yang tidak menggunakannya untuk menentukan awal bulan qomariyah terutama pelaksanaan ibadah (awal dan akhir Ramadhan) karena menurut sistem ini umur bulan dalam satu bulan berkisar antara 29 hari dan 31 hari, Sya ban 29 hari dan Ramadhan 30 hari 15. Sementara itu, hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. 16 Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal bulan. Artinya boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari. 17 12 Susiknan Azhari, Ilmu Fikih Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004), h. 61. 13 Ibid., h. 62. 14 Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perdaban, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 3. 15 Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, op.cit., h. 30. 16 Susiknan Azhari, op.cit., h. 4. 17 Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, op.cit., h. 31.

6 Aliran rukyat juga demikian, di dalamnya ada beberapa aliran bila ditinjau dari alat yang digunakan dan bila ditinjau dari cakupan wilayah pemberlakuan rukyat. Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa rukyat harus dilakukan dengan mata telanjang, ada juga yang berpendapat bahwa rukyat boleh dilakukan dengan menggunakan alat bantuan penglihatan. 18 Hal ini dikarenakan kegiatan rukyat merupakan konsep syar i yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. 19 Ada juga yang mempermasalahkan tentang ketidakbersamaan munculnya hilal antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. 20 Sehingga apakah hasil penglihatan terhadap hilal di suatu daerah berlaku untuk seluruh wilayah di bumi atau hanya berlaku untuk daerah yang berdekatan lokasinya rukyat tersebut, yang kemudian dalam istilah falaq disebut dengan matla. 21 Terminology matla muncul sebagai akibat proses astronomis siklus bulan mengelilingi bumi. Berbedanya waktu terbenam matahari di suatu tempat disebabkan berbedanya waktu terbit matahari (ikhtilaf al mathali 22 ), demikian juga dengan fajar. 23 18 Ahmad Junaidi, op.cit., h. 4. 19 Abdul Karim dan M. Rifa Jamaluddin Nasir, Implementasinya, (Yogyakarta: Qudsi Media, 2012), h. 61. Mengenal Ilmu Fikih Teori dan 20 Ahmad Junaidi, op.cit. 21 Matla adalah tempat terbitnya benda-benda langit. Dalam bahasa Inggris disebut Rising Place.Sementara itu dalam istilah fiqh, matla adalah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya hilal atau dengan kata lain matla adalah batas geografis keberlakuan rukyat. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012), h. 139. 22 Pembahasan masalah ikhtilaf mathla senantiasa muncul ketika umat Islam akan menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan setiap tahun. Oleh sebab itu, pembahasan ikhtilaf mathla di berbagai wilayah Islam lebih ditekankan pada persoalan awal terbit hilal menjelang puasa

7 Persoalan yang menjadi pembahasan ulama adalah apakah terbitnya hilal Ramadhan atau hilal Hari Raya Id al- Fitri di suatu wilayah harus diikuti oleh wilayah lain yang belum melihat hilal. Dengan kata lain bahwa perbedaan matla tidak berpengaruh pada perbedaan memulai puasa atau berhari raya untuk seluruh wilayah di bumi ini, sehingga apabila suatu wilayah telah melihat hilal, maka wilayah lain berpedoman pada penglihatan hilal wilayah itu (tidak berdasarkan pada perbedaan matla ). Jika demikian halnya, maka perbedaan hari memulai puasa tidak akan terjadi di seluruh tempat di bumi ini, tanpa membedakan jauh dekatnya antara wilayah yang melihat dan wilayah yang belum melihatnya. 24 Secara umum matla terbagi dua, yaitu matla ikhtilaf (matla lokal) dan matla ittihad (matla global). Penegertian matla ikhtilaf adalah penampakan hilal dengan rukyatyang hanya berlaku untuk kawasan tertentu saja. Matla ikhtilaf disebut juga matla lokal. Adapun matla ittihad adalah penampakan hilal disuatu kawasan tertentu dan berlaku pada semua kawasan dipermukaan bumi. Matla ittihad disebut juga matla global. 25 Terdapat dua pendapat tentang ikhtilaf dan ittihad matla dikalangan fukaha: 26 Ramadhan dan hilal di akhir bulan Ramadhan. Persoalan yang menjadi pembahasan ulama adalah apakah terbitnya hilal Ramadhan atau hilal Hari Raya Idul Fitri di suatu wilayah (petunjuk dimulainya puasa atau diakhirinya puasa Ramdhan) harus diikuti pula oleh wilayah lain yang belum melihat hilal. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012), h. 141. 23 Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Problema Penentuan Awal Bulan Diskursus Antara Hisab dan Rukyat, (Malang: Madani, 2004), h. 129. 24 Ahmad Junaidi, op.cit, h. 4. 25 Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, op.cit., h. 129 26 Ibid., h. 131-132

8 1. Tidak berlaku ikhtilaf matla ( la ibrahbi ikhtilaf al mathali ) Kelompok ini menyatakan tidak berlaku ikhtilaf matla dalam penetapan kemnculan hilal untuk menentukan awal puasa dan hari raya.kelompok ini menyatakan apabila hilal terbukti (tsabat) terlihat di suatu negeri maka berlaku bagi seluruh penjuru bumi. Pendapat ini dipedomani oleh Hanafiyah, Malikiyah, satu pendapat dalam mazhab Syafi i, dan Hanabilah. 2. Berlaku ikhtilaf matla ( yu tadd ikhtilaf al-mathali) Pendapat ini dipedomani oleh Syafi iyah dan sebagian Hanafiyah. An- Nawawi (w. 676/1277), seorang ulama terkemuka dalam mazhab Syafi i mengatakan bahwa tiap-tiap negeri berlaku rukyat masing-masing, jika hilal terlihat di suatu negeri maka rukyat itu tidak berlaku bagi negeri lain yang berjauhan (la yatsbut hukmuhu lima ba uda). Terkait dengan persoalan matla Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam hal penentuan bulan khusunya awal Ramadan dan Syawal berpedoman kepada pendapat jumhur, sehingga rukyat yang terjadi di negara Islam dapat diberlakukan secara Internasional (berlaku bagi negara -negara Islam yang lain). Hal ini dapat dipahami dari salah satu fatwa yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980. Isi fatwa tersebut selengkapnya sebagai berikut: Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980, memfatwakan: 1. Mengenai penetapan awal Ramadan dan awal Syawal (Id al -Fitri) di kalangan fuqaha terdapat dua aliran, yaitu pertama aliran yang berpegang pada matla (tempat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Aliran ini

9 ditokohi oleh Imam Shafi i, dan kedua aliran yang tidak berpegang pada matla (jumhur fuqaha). Untuk mewujudkan ukhuwwah Islamiyah, Komisi Fatwa MUI mengambil kesimpulan agar dalam penenpan awal Ramadhan dan awal Syawwal dan Id al-fitri berpedoman kepada pendapat jumhur, sehingga rukyat yang terjadi di suatu negara Islam dapat diberlakukan secara Internasional (berlaku bagi negara-negara Islam yang lain). Hal ini memerlukan kesempatan untuk membentuk lembaga yang berstatus sebagai Qodi Internasional yang dipatuhi oleh seluruh negarnegara Islam. Sebelum itu berlakulah ketetapan pemerintah masingmasing. 2. Berbeda dengan masalah penetapan awal Ramadhan dan awal Shawwal I id al- Fitri ialah masalah penetapan awal bulan Dhu al-hijjah / Id ad- Adha. Dalam hal ini berlaku sesuai denagn matla masing-masing negara. Dalam hal ini ulama telah konsesus. Dengan demikian, Indonesia dalam shalat Id al-adha tidak dibenarkan mengikuti negara lain yang berbeda matla nya. 27 Fatwa ini ditanda tangani oleh ketua Komisi Fatwa pada saat itu yakni Ibrahim Hosen dan Sekretarisnya Musytari Yusuf, akan tetapi seiring dengan perubahan kondisi masyarakat yang senantiasa berjalan dan berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang perlu kembali menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, setelah menimbang bahwa umat Islam dalam pelaksanaan puasa Ramadhan, shalat Idul Fitri dan Idul Ada, serta ibadah-ibadah lain yang terkait tidak dapat melakukan pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan bulan-bulan tersebut, maka Majelis Ulama Indonesia kembali mengeluarkan fatwa yang tertuang dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. 27 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 138.

10 Isi fatwa tersebut selengkapnya sebagai berikut: 1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyat dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara Nasional. 2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. 3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait. 4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun diluar Indonesia yang matla nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI. 28 Pada fatwa yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil kesimpulan agar dalam pene tapan awal Ramadhan dan awal Syawal dan Id al-fitri berpedoman kepada pendapat jumhur, sehingga rukyat yang terjadi di suatu negara Islam dapat diberlakukan secara Internasional (matla global), akan tetapi pada fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang penentuan awal bulan qamariyah berpedoman pada penggunaan matla lokal, artinya Indonesia hanya menggunakan hasil rukyat dari luar wilayah Indonesia yang matla nya sama. 28 Ibid., h. 207.

11 Kasus yang baru terjadi pada penetapan awal dzulhijjah 1435, Pemerintah Indonesia melalui sidang isbat menetapkan Idul Adha 2014 (10 Dzulhijjah) jatuh pada Minggu 5 Oktober, sehingga puasa Arafah dilaksanakan pada hari Sabtu 4 Oktober, sementara Pemerintah Arab Saudi melalui Umul Qura menetapkan Idul Adha jatuh pada hari Sabtu 4 Oktober, dan wukuf dilaksanakan pada Jum at 3 Oktober, sehingga tidak ada kecocokan hari antara puasa Arafah versi Pemerintah Indonesia dengan pelaksanaan wukuf di padang Arafah. Perbedaan ini berjalan beringan dengan perubahan fatwa MUI tentang matla sehingga tentu dapat menyebabkan kebingungan dan memunculkan pertanyaan bagaimana sebenarnya penetapan awal bulan qomariyah di Indonesia, lebih dalam lagi bagaimana pandangan ilmu fiqh terhadap hasil penetapan fatwa tersebut. Hal inilah yang kemudian melaterbelakangi penulisan skripsi dengan judul FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG MATLA MENURUT FIQH ASTRONOMI. B. Batasan Masalah Supaya penelitian ini tidak menyimpang dari topik yang akan dibahas, maka pembahasan dalam penelitian ini akan difokuskan pada analisa keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI) tentang penentuan awal bulan qamariyah. C. Rumusan Masalah

12 Berdasarkan latar belakang diatas dapat dikemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang terjadinya perubahan fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI) tentang matla? 2. Bagaimana pandangan fiqh astronomi terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI) tentang matla? D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang terjadinya perubahan fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI) tentang matla. b. Untuk mengetahui bagaimana pandangan fiqh astronomi terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI) tentang matla. 2. Kegunaan Penelitian a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang bagaimana latar belakang lahirnya keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI) tentang matla'. b. Untuk mendapatkan pengetahuan bagaimana pandangan fiqh astronomi terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI) tentang matla c. Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syari ah pada Fakultas Syari ah dan Hukum di UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

13 E. Tinjauan Pustaka Helmi Karim dalam bukunya yang berjudul Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum Islam. MUI bertugas melakukan pengkajian serta menentukan hukum bagi persoalan yang diajukan kepadanya atau yang dianggapnya perlu dikaji serta ditetapkan hukumnya, yang diantaranya dirumuskan dalam bentuk fatwa. Ijtihad tersebut dilakukan secara kelembagaan, yang anggotanya terdiri atas para ulama serta mengikutsertakan para ahli dalam lapangan-lapangan yang diperlukan. Oleh sebab itu, tidaklah salah disimpulkan bahwa MUI, secara kelembagaan dinilai sebagai mujitahid. Karena yang dicari dalam berijtihad adalah menentukan hukum agama, maka kerja ijtihad mencerminkan aktivitas intelektual yang senantiasa terikat kepada kaidah-kaidah keagaman, bukanlah berpikir tanpa kendali. 29 Berkaitan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang penentuan awal bulan qomariyah, sepanjang pengetahuan penulis belum ada penelitian yang membahas tentang permasalahan tersebut. Penulis tidak menemukan penelitian yang membahas fatwa MUI tentang matla menurut fiqh astonomi, dan berdasarkan fatwa itulah dilakukan penelitian ini guna untuk mengkaji dan menganalisis tentang pandangan MUI sebagai representative ulama-ulama di Indonesia dalam menentukan awal bulan qomariyah yang berkaitan dengan penggunaan konsep matla Internasional dan lokal. 29 Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengembangan Hukum Islam, (Pekanbaru : Fajar Harapan, 1994), h. 338.

14 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu suatu penelitian yang menggunakan literatur kepustakaan dengan mempelajari berbagai bahan yang ada baik berupa buku-buku, majalah, koran, naskah, catatan, dokumen dan lain-lain. 2. Sumber Data Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang terdiri dari: a. Sumber hukum primer yaitu bahan-bahan yang dijadikan sebagai sumber utama, yang diambil dalam himpunan fatwa MUI sejak 1975, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta website resmi Majelis Ulama Indonesia (http//www.mui.or.id). b. Sumber hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang diambil dari buku-buku yang ada kaitannya dengan judul penelitian yaitu Ensiklopedi Hisab Rukyat karya Susiknan Azhari, Hisab Awal Bulan karya Sa adoeddin Djambek, Formula Baru Ilmu fikih karya A. Kadir dan sumber lainnya yang memiliki relevansi dengan ruang lingkup penelitian 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah mencari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan, selanjutnya dicatat sebagai proses pembuatan skripsi, kemudian dianalisis sesuai dengan kebutuhan.

15 4. Metode Analisis Data Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dalam memberikan, menyajikan dan menyimpulkan data, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode conten analisis atau analisis isi yakni suatu analisi data secara ilmiah tentang isi dari sebuah pesan suatu informasi. Metode ini juga digunakan intuk mengidentifikasi, mempelajari, dan kemudian melakuakan analisis terhadap apa yang diselidiki. 30 Dalam menganalisi data, penulis juga menggunakan metode : a. Deduktif yakni pengkajian data-data yang bersifat umum, untuk selanjutnya dianalisa dan disimpulkan menjadi data yang bersifat khusus b. Induktif yakni pengkajian data-data yuang bersifat khusus, untuk selanjutnya dianalisa dan disimpulkan menjadi data yang bersifat umum. G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan uraian dalam tulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I merupakan pendahuluan. Bab ini mencakup, latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, sistematika penelitian. Adapun yang dibahas dalam bab ini ialah persoalan penentuan awal bulan qomariyah secara umum dan tentang diskusi analisa fatwa MUI tentang penetuan awal bulan qomariyah. 30 Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991), h. 49

16 BAB II merupakan gambaran umum tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mencakup pembahasan tentang sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI), visi misi Majelis Ulama Indonesia (MUI), tugas dan fungsi Majelis Ulama Indonesia (MUI), struktur kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan metode istinbat Majelis Ulama Indonesia (MUI). BAB III dalam penelitian ini merupakan tinjauan umum tentang fatwa dan matla yang mencakup tentang pembahasan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini yang mencakup pengertian fatwa dan matla, dasar hukum fatwa dan matla, sebab-sebab munculnya fatwa dan matla, tujuan dan kegunaan fatwa dan matla, konsep matla menurut fuqaha. BAB IV dalam penelitian ini membahas tentnag analisa keputusan fatwa mui tentang penetapan awal bulan qomariyah yang mencakup bagaimana latar belakang lahirnnya keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang matla dan Bagaimana pandangan ilmu fiqh astronomi terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang matla BAB V adalah penutup yang berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya disertai dengan beberapa saran. Selanjutnya diikuti oleh daftar kepustakaan yang dijadikan sumber dalam pembahasan dalam penelitian ini.