Ia menjadi pesakitan dengan tuduhan kepemilikan peluru secara ilegal. Persidangan pun berlangsung layaknya drama murahan. Setelah diculik, disiksa dan dijebak dengan ransel berisi sejumlah peluru dan ditahan sekitar tiga bulan di Polda Metro Jaya Jakarta, Muhammad Bahrun Naim dipindah ke Lapas Solo untuk menjalani persidangan di Pengadilan Solo. Kronologi di bawah ini ditulis berdasarkan pandangan mata langsung penulis dari tempat persidangan yang lebih tepat disebut sebagai drama murahan. Dan juga berisi beberapa pembicaraan langsung yang dilakukan penulis dengan Bahrun di sela-sela persidangan. Sidang I Sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum (JPU) digelar pada Selasa (1/2) pagi di Pengadilan Solo. Isi dakwaan terkait informasi versi (A) yaitu laporan kepolisian, ada seseorang bernama Bahrun Naim diduga terkait jaringan terorisme menyimpan amunisi dan dituntut dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. Sementara sebelum persidangan, informasi awal dari surat penangkapan adalah keterkaitan Bahrun dengan jaringan terorisme yaitu terlibat sebagai anggota Jamaah Islamiyah dan kelompok Abdullah Sonata, tapi karena tidak terbukti, dakwaan berlaku surut menjadi dakwaan menyimpan amunisi kurang lebih 533 jenis peluru revolver dan AK 47. Jadi berita awalnya terkait jaringan terorisme, bukan menyimpan amunisi, dan yang menangani dari Tim Densus 88. Di situlah kejanggalannya. Kalau kasus penyimpanan amunisi harusnya ini ditangani oleh pihak kepolisian, tidak perlu Densus 88 yang menangani hal ini, bukti suratnya ada. Jadi mereka terkesan sudah salah dakwaan dan sasaran. Penangkapan dilakukan Selasa 1 / 5
(9/11/2010) pukul 12 siang. Tetapi rumah digeledah Rabu (10/11/ 2010) pukul 6-9 pagi. Artinya, penggeledahan dilakukan sehari setelah penangkapan. Sidang II Agenda pembacaan eksepsi dari Bahrun dilakukan pada Selasa (8/2) pagi. Dalam pembacaan eksepsi Bahrun menegaskan enam hal. Pertama, Bahrun menegaskan barang bukti berupa tas ransel berisi amunisi yang ditemukan di gudang rumah, bukan miliknya. Karena ia tidak pernah memiliki tas ransel sejak 2001. Kedua, selama penangkapan Bahrun mengaku bahwa kondisi matanya tertutup dan tangannya diikat ke belakang, mengalami penyiksaan layaknya seorang teroris, padahal ia tidak terkait apapun yang Densus 88 fitnahkan. Ketiga, sampai saat ini, keluarga tidak menerima surat penggeledahan rumah, bahkan surat penangkapan baru disampaikan ke keluarga jam 12 malam 2 hari setelah penangkapan. Anehnya setelah surat penggeledahan diketahui, ternyata ditandatangani orang yang tidak berwenang. Tertulis di suratnya, tim Densus 88 sendiri yang menandatangani dan RT setempat. Keempat, BAP yang dibuat oleh penyidik, terdapat tanda tangan seorang pengacara yang tidak dikenalnya yakni Asluddin Hatjani, kuasa hukum dari Densus 88. Sementara Tim Pengacara Muslim (TPM), mengatakan bahwa dakwaan JPU tidak jelas alias kabur. Dengan alasan kasus ini merupakan delik formal sehingga petugas dinilai melanggar ketentuan tersebut, seperti contoh ketika orang kena tilang, langsung ditanyakan barang bukti, tetapi kasus Bahrun ini, menunggu 1 hari dulu baru digeledah. Alasan di BAP karena pada malam harinya hujan dan banjir, tapi ini bisa dibantah, pagi hari pun saat mereka menggeledah, kondisi masih banjir, jadi ini alasan yang dibuat-buat. Dan keanehan lainnya, saat penangkapan Bahrun jam 12 siang dan tidak hujan. Karena hujan baru mulai jam 2 siang. 2 / 5
Kelima, Bahrun sempat mendengar petugas menyebut saat menelpon temannya, memastikan yang mereka interogasi ini apakah bernama Nu`aim atau Na`im. Padahal Bahrun tidak pernah dipanggil dengan sebutan nama Na`im. Jadi petugas sendiri sebenarnya tidak tahu Bahrun, ada indikasi salah orang. Keenam, Bahrun juga menyebutkan bahwa dari kecil ia tidak pernah dipanggil dengan sebutan Na`im untuk bisa membedakan dengan nama kakaknya yang juga ada Na`imnya. Jadi dia disebut dengan nama Bahrun atau Anggih (nama kecilnya). Sidang III Sidang ketiga berupa pembacaan replik oleh jaksa penuntut umum berlangsung pada Senin (14/2) pagi. JPU menegaskan sesuai BAP bahwa eksepsi yang disampaikan Bahrun tidak ada kaitan dengan proses hukum yang disampaikan dan menolak pernyataan TPM sebelumnya yang mengatakan bahwa ini merupakan delik formal. Karena secara hukum, tuntutan Bahrun sesuai dengan BAP. Sidang IV Putusan Sela, bahwa hakim memutuskan melanjutkan sidang. Sidang berlangsung 10 menit. Senin (21/2) pagi. Sidang V Sidang menghadirkan kesaksian Ketua RT Mulyadi. Poin yang dapat diambil dari penjelasan Ketua RT bahwa bukan Bahrun yang menemukan barang bukti di gudangnya, tetapi petugas sendiri yang menemukannya. Dan ia memberikan informasi juga bahwa Bahrun kelihatan bingung saat petugas menanyakan di mana barang-buktinya. Sidang VI Sidang menghadirkan saksi dari Densus 88, tapi tidak datang, jadi ditunda, Selasa (8/3) pagi. Sidang VII Sidang menghadirkan saksi dari Densus 88, Selasa (15/3) pagi. Tapi saksi tidak datang lagi. TPM menyatakan harus jemput paksa, saksi yang tidak datang, menurut keterangan JPU, ada tiga saksi dari Densus 88 di antaranya Rully Juanda, dan Maryudi Salempang. Dua saksi tidak ada keterangan dan satu saksi yaitu Rully ada tugas di Medan. 3 / 5
TPM juga sempat mengatakan bahwa adanya kebohongan publik dari saksi-saksi Densus 88, karena mereka tidak datang pada sidang sebelumnya dengan alasan jadwalnya sama dengan sidang Ust Abu Bakar Baasyir. Tapi ketika dicek TPM ke Jakarta, ternyata mereka tidak ada. Jadi jelas-jelas itu alasan yang dibuat-buat. Akhirnya hakim memutuskan mengundurkan sidang dan menegaskan ke JPU bahwa minta kepastian saksi-saksi untuk hadir. Sidang VIII Sidang kali ini adalah kesaksian dari Maryudi Salempang, Tim Densus 88 sekaligus yang menjadi Penyidik BN, Selasa (22/3) pagi. Melihat kesaksian yang janggal itu, TPM keberatan hadirnya saksi dari penyidik, karena secara hukum, penyidik tidak boleh dijadikan saksi. Hakim tetap melanjutkan sidang dengan alasan nanti keberatan TPM akan ditindaklanjuti, sementara hakim melihat BAP, penyidik sebagai saksi, jadi itu alasannya. Lagi-lagi penulis mendapatkan (mendengar) keterangan saksi bahwa saksi tidak mengetahui secara pasti pada saat penemuan barang bukti, dan jawabannya selalu tidak tahu dan tidak jelas, bahkan lupa berapa lama menggeledah dan kondisi rumah pun ia lupa dan berbelit-belit. Dan hakim memberikan kesempatan kepada Bahrun untuk menyatakan keberatan apa saja yang dikatakan saksi. Ia mengatakan, di antaranya bahwa motif awal dari penangkapan dirinya adalah kasus terorisme kemudian karena tidak terbukti dikatanlah ia menyimpan amunisi. Bahkan mereka menuduh Bahrun akan menembak Obama, padahal saat Obama datang, Bahrun sedang sibuk mengurusi korban letusan Merapi Yogyakarta. Bahrun pun kembali membantah dan menyatakan bahwa ransel itu bukan miliknya. Ia pun menyatakan keheranannya ketika saksi menyatakan Densus 88 tidak pernah menanyakan denah rumah. Apakah saksi tidak tahu atau sengaja berbohong? Dan saat penggeledahan Bahrun pun diminta untuk menunjukkan posisi gudang, bukan posisi peluru. Aneh kan? 4 / 5
Sebelum sidang ini dimulai, oknum Densus 88 mengancam Bahrun, bila Bahrun lolos dalam sidang ini Densus 88 akan memerkarakan lagi pada suatu saat nanti. Intinya sang oknum akan mencari masalah lain untuk membungkam Bahrun. Silakan saja... Makar Allah yang lebih besar! jawab Bahrun.[] ak 5 / 5