BAB I PENDAHULUAN A. latar Belakang Pendidikan merupakan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia yang memberikan peningkatan kecakapan dan kemampuan manusia yang diyakini sebagai faktor pendukung upaya manusia dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Dalam kerangka inilah pendidikan diperlukan dan di pandang sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakat Indonesia yang ingin maju. Pendidikan juga merupakan bagian penting dari proses pembangunan nasional, yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya selama ini, standarisasi pendidikan dan penyeragaman rencana yang terlalu terpusat, dirasakan menghambat pelaksanaan pembangunan, karena cenderung akan berakibat pada ketidak sesuaian antara rencana pusat dan kebutuhan daerah masing-masing (Mulyasa, 2009). Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan desentralisasi yang ditempuh oleh pemerintah, tanggungjawab pemerintah daerah akan meningkatkan pembangunan, termasuk dalam pembangunan pendidikan. Pemerintah daerah diharapkan untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, sejak tahap perumusan kebijakan daerah, perencanaan,
pelaksanaan, sampai pemantauan di daerah masingmasing, agar sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah. Dalam kerangka inilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tampil, sebagai paradigma baru pengembangan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan sekolah dan kebutuhan daerah masingmasing. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan, agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta didik, untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial, dan lain sebagainya, yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesionalisme yang dimiliki. Dalam penerapannya MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien, apabila di dukung oleh sumber daya manusia yang professional untuk mengoperasikan sekolah, salah satunya adalah kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah. Kepemimpinan berkaitan dengan masalah kepala sekolah, adalah salah satunya masalah yang perlu diperhatikan dalam menciptakan situasi yang kondusif. Perilaku kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para guru dengan menunjukan rasa bersahabat, dekat,
dan penuh pertimbangan terhadap pendapat para guru (Mulyasa, 2009). Dalam menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin masing-masing, kepala sekolah mempunyai gaya kepemimpinan tersendiri. Gaya kepemimpinan adalah sikap, gerak-gerik atau lagak yang dipilih oleh seseorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Gaya yang dipakai oleh seorang pemimpin satu dengan yang lain berlainan, tergantung situasi dan kondisi kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan adalah suatu pola perilaku yang konsisten yang ditunjukkan oleh pemimpin dan diketahui pihak lain, ketika pemimpin itu berusaha mempengaruhi kegiatan-kegiatan orang lain (Nurkolis, 2005). Salah satu gaya kepemimpinan kepala sekolah yang penting dalam penerapan MBS adalah gaya kepemimpinan partisipatif, yang artinya dalam membuat keputusan, kepala sekolah perlu melakukan konsultasi dengan bawahannya, dalam hal ini guru, sehingga keputusan-keputusan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan keinginan bersama. Dengan cara melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan, maka akan meningkatkan kualitas keputusan, karena partisipan memiliki informasi dan pengetahuan yang tidak dimiliki atasannya dan bersedia bekerja sama dalam menemukan solusi yang baik untuk masalah yang dihadapi (Zhang, 2005). Dalam kerangka melaksanakan MBS kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan partisipatif akan membuat guru merasa dilibatkan dalam mengambil
keputusan, sehingga motivasi guru dalam bekerja semakin meningkat. Hal ini terjadi karena dalam setiap persoalan, kepala sekolah selalu mendengarkan ide atau pendapat mereka, serta mempunyai niat untuk mempergunakan pedapat guru tersebut secara konstruktif. Selain dari itu, kepala sekolah sebagai pemimpin juga akan mendorong bawahan untuk ikut bertanggungjawab dalam membuat keputusan, dan juga melaksanakan keputusan tersebut dengan tanggungjawab yang besar. Hal ini membuat guru merasa secara mutlak mendapat kebebasan untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya bersama atasannya (Thoha, 2005). Pentingnya kepemimpinan partisipatif ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sarno (2009) pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pengimplementasian kepemimpinan partisipatif Kepala SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta dan Kepala SMA 4 Yogyakarta dalam penerapan MBS termasuk kategori baik dengan rerata skor 121,61 dan 113,40. Selain itu Theodora (2010) menemukan ada hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan partisipasif kepala sekolah terhadap prestasi kerja berdasarkan pendapat karyawan pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Cipta Karya 2 Jakarta. Pentingnya peran pemimpin dalam Manajemen Berbasis Sekolah tidak terlepas dari 4 pilar MBS yang meliputi : 1) transparansi manajemen 2) pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, 3)
peran serta masyarakat, 4) lingkungan yang baik dan nyaman. Masalah-masalah yang mayoritas terjadi di SD se-gugus Hassanudin yang berkaitan dengan pilar pertama adalah kurang terbukanya kepala sekolah dalam laporan-laporan keuangan seperti yang di ungkapkan oleh salah seorang guru kelas 4 sebagai berikut : kepala sekolah selama ini cenderung otoriter dengan arti kegiatan-kegiatan yang berlangsung di sekolah lebih banyak sesuai dengan kemauan/keinginan kepala sekolah tanpa mempertimbangkan kepentingan bersama, penggunaan dana BOS pun tidak melibatkan semua guru tetapi kepala sekolah sendiri yang memutuskan untuk apa dana itu digunakan. Berdasarkan hasil wawancara itu dapat dilihat bahwa transparansi manajemen belum diterapkan secara maksimal di beberapa SD se Gugus Hassanudin Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pilar MBS yang kedua yaitu sebagian besar sekolah masih menerapkan metode pembelajaran konvensional (seperti ceramah dan Tanya jawab), guru-guru belum kreatif dalam menggunakan metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan bagi siswa. Untuk pilar ketiga yaitu peran serta masyarakat menurut peneliti sudah terjalin dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari sikap masyarakat yang mendukung keberadaan sekolah, mendorong anaknya untuk masuk sekolah, dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan sekolah.
Pilar MBS yang ke empat yaitu lingkungan yang baik dan nyaman. Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap empat dari Sembilan sekolah di gugus Hassanudin berada di lingkungan yang baik dan nyaman, namun sekolah yang lain kurang nyaman, karena letak geografis sekolah yang dekat dengan jalan raya, sekolah yang dekat dengan sungai yang sering banjir, dan konflik internal antara guru dengan guru. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada sekolah-sekolah digugus Hasanudin diatas dan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Kepemimpinan partisipatif Kepala Sekolah Dalam Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Pada SD se- Gugus Hasanudin, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang seperti di atas, maka perumusan masalah adalah Apakah penerapan MBS di SD Negeri se-gugus Hasanuddin, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan berdasarkan kepemimpinan yang partisipatif? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kepemimpinan partisipatif kepala
sekolah dalam penerapan pada SD se-gugus Hasanudin, kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan. D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan yang bersifat teoritis maupun kegunaan yang bersifat praktis yaitu : 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan bisa menjadi informasi/masukan dalam upaya meningkatkan kemampuan kepala sekolah baik yang terkait dengan teknik edukatif maupun manajemen sekolah dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan pada ruang lingkup tugas dan tanggung jawab sekolah masing-masing. 2. Manfaat praktis Sebagai sumbangan pemikiran bagi para penentu kebijakan dan pengambil keputusan, terutama dalam mengembangkan pola-pola kepemimpinan kepala sekolah guna pelaksanaan manajemen berbasis sekolah serta menjadi dasar penelitian lebih lanjut