PROFESIONALISME WARTAWAN DAN UPAYA MEMBANGUN INSTITUSI PERS

dokumen-dokumen yang mirip
KODE ETIK, PELAKSANAAN DAN EFEKTIFITAS PENGAWASANNYA

TANTANGAN RRI MENGHADAPI ERA MASYARAKAT INFORMASI

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal

DARI KODE ETIK WARTAWAN INDONESIA KE DEWAN PERS

KEBEBASAN WARTAWAN DALAM INDUSTRI PERS NASIONAL. Oleh Ashadi Siregar

HAK PUBLIK MEMPEROLEH INFORMASI DAN KEBEBASAN PERS Oleh Ashadi Siregar

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL TELEVISI KABUPATEN SINJAI

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Ketika mendengar Berita Kriminal Sergap di RCTI, sekilas. dan penjelasan yang panjang sehingga membuat pendengar atau pemirsa

BAB V PENUTUP 5.1. KESIMPULAN. Praktik jurnalisme kloning kini menjadi kian populer dan banyak

PUBLIC RELATIONS: SEBUAH PENGANTAR. Oleh Ashadi Siregar

PROSPEK PERANAN PERS DALAM PERKEMBANGAN DEMOKRASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. penting dalam peta perkembangan informasi bagi masyarakat.

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

KODE ETIK JURNALISTIK. Oleh Ashadi Siregar

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

BAB VI PENUTUP. A. Simpulan

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) HUKUM DAN KODE ETIK JURNALISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

MATA KULIAH ETIKA BISNIS

PEDOMAN PENGORGANISASIAN KOMITE ETIK RUMAH SAKIT DAN MAJELIS KEHORMATAN ETIK RUMAH SAKIT INDONESIA PERSI - MAKERSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu

HAK BERKOMUNIKASI DALAM MASYARAKAT INFORMASI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era modern saat ini, televisi dapat memberikan nilai-nilai kehidupan

ANGGARAN DASAR ANGGARAN RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. pewarta. Dalam melakukan kerjanya, wartawan berhadapan dengan massa,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN

LEMBARAN DAERAH KOTA TARAKAN TAHUN 2009 NOMOR 03 PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. : Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan. mengeluarkan pendapat. Serta ditegaskan dalam Pasal 28F, yaitu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ETIKA PROFESI DAN KODE ETIK KONSULTAN PAJAK INDONESIA. Oleh Bambang Kesit PROGRAM MAKSI-PPAK FE-UII YOGYAKARTA 2010

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

bagi kehidupan modern, khususnya bisnis.

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERKEMBANGAN HUKUM MEDIA DI INDONESIA. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur

PR DAN RELASI MEDIA. Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA

1. Mengkaji tempat kejadian dan kebutuhan organisasi

ANGGARAN DASAR IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA (IJTI)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Hasanah Ratna Dewi, 2015

PETA PERMASALAHAN KOMUNIKASI DAN INFORMASI DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN

BAB I PENDAHULUAN. Humas Pemerintahan dan Humas Perusahaan. Humas Pemerintahan dan. satu peran yang berbeda dari kedua Humas tersebut adalah Humas

BIDANG HUBUNGAN MASYARAKAT POLDA D.I.YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. informasi yang sangat dikenal oleh seluruh masyarakat di Indonesia maupun di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan membawa dampak yang signifikan bagi

BAB I PENDAHULUAN. secara ideal. Namun dalam dunia globalisasi, masyarakat internasional telah

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi. Komunikasi dilakukan dengan tujuan untuk berinteraksi dengan

ETIKA JURNALISTIK IJTI JURNALISME POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. terbaru dari dunia jurnalistik. Kehadirannya dipengaruhi oleh tingginya tingkat

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pemekaran ditingkat provinsi, kabupaten dan kota di Maluku utara tak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BIDANG HUBUNGAN MASYARAKAT POLDA D.I.YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang cerdas di era seperti sekarang ini sangat penting

BAB IV ANALISIS DATA. A. Temuan Penelitian Dalam penelitian kualitatif analisis data merupakan tahap yang

BAB I PENDAHULUAN. membuat informasi yang dibutuhkan dapat diakses dengan cepat, dan memiliki tampilan yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan wahana komunikasi dalam melakukan kegiatan jurnalistik dengan mencari,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Giya Afdila, 2016

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk berkumpul dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan manusia

Tanggung Jawab (Responsibility) Etika Profesi dan Rekayasa #2 Dian Retno Sawitri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wartawan adalah seorang yang melakukan kegiatan sehari-hari sebagai

KAJIAN SERTIFIKASI PADA PROFESI JURNALIS. Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

-3- MEMUTUSKAN: Pasal I

2013, No.41 2 Mengingat haknya untuk ikut serta dalam kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perw

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam setiap kegiatan organisasi yang diselenggarakan dan

Hendry Ch Bangun Wakil Pemred Warta Kota Sekolah Jurnalisme Indonesia 2012

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang No 40 tahun 1999 Tentang Pers, telah ditetapkan dalam

PROGRAM STUDI S1 ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS TANJUNGPURA SIKAP

RADIO SIARAN SWASTA NASIONAL MENYONGSONG ERA INFORMASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RUU GURU DAN DOSEN : MENDONGKRAK KINERJA PROFESI PAHLAWAN TANPA TANDA JASA? Oleh :

FOTO NARASUMBER. Yusuf Anggara. Kepala Subbagian Humas Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif

BAB I PENDAHULUAN. memadai saja yang dapat tumbuh dan bertahan. Setiap profesi dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting dalam pembangunan

Etika Jurnalistik dan UU Pers

INDUSTRI PERCETAKAN PT MASSCOM GRAPHY DI SEMARANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Rohmadi (2011:75) bahasa jurnalistik meliliki kaidah-kaidah tersendiri

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, bahasa merupakan penunjang keberhasilan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari beragam media yang cukup berperan adalah televisi. Dunia broadcasting

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

BAB IV PENUTUP. Hasil penelitian tentang penerapan model humas di Pimpinan Pusat. Aisyiyah (PPA) ini menemukan bahwa pada periode pra

BAB I PENDAHULUAN. untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari

Transkripsi:

PROFESIONALISME WARTAWAN DAN UPAYA MEMBANGUN INSTITUSI PERS Oleh Ashadi Siregar Pengantar Pada saat diminta untuk menyampaikan ceramah umum di depan Rapat PWI Cabang Yogyakarta untuk menghadapi Kongres XIX PWI 1993, timbul tanda tanya, apa yang dapat saya sumbangkan sebagai masukan bagi perjalanan organisasi profesi yang tergolong besar ini? Meskipun saya banyak terlibat dalam kegiatan yang bertalian dengan profesi jurnalisme, saya adalah pihak luar, bukan seorang pelaku profesi, lebih-lebih bukan anggota profesi pers. Namun dalam menyiapkan makalah ini saya merasa betapa pun terbatasnya, saya harus memberikan pemikiran untuk perjalanan PWI. Untuk menyiapkan makalah ini saya membaca keputusan-keputusan yang telah diambil pada Kongres XVIII PWI. Tiba-tiba saya disadarkan bahwa seorang yang sangat dekat dengan saya dan sejumlah teman lainnya, telah tiada. Penandatangan berbagai keputusan itu, seorang senior saya, yang sangat banyak membantu sejak saya aktif dalam pers mahasiswa, Zulkharman Said telah tiada. Bukan hanya PWI kehilangan, juga kami yang berada di luar, mungkin merasa lebih kehilangan. Sebab jika PWI sebagai organisasi formal dapat silih berganti kepemimpinan, tetapi kepemimpinannya yang bersifat informal tak dapat digantikan begitu saja di lingkungan kami. Secara langsung kami di Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya (LP3Y) kehilangan seorang sponsor pendiri yang kemudian menjadi penasehat ahli lembaga. Kami belum pernah kehilangan tulang punggung, karenanya sampai saat ini kami belum tahu apakah harus menghapus nama almarhum jika kami harus mencetak ulang prospektus lembaga kami. Karena kami tidak ingin menghilangkan namanya dari lingkungan kami. Demikianlah dengan membayangkan kongres yang akan datang tidak lagi dihadiri oleh Zulharman Said, saya susun makalah ini. Suatu eksplorasi terhadap keberadaan organisasi profesi PWI. ( 1 ) Pertama-tama perlu diingat adalah fungsi sosial setiap orga-nisasi profesi. Dalam fungsinya ini, keberadaan organisasi profesi adalah untuk memelihara dan meningkatkan standar perilaku profesional anggotanya. Ini terutama diperlukan pada pekerjaan yang membentuk suatu institusi sosial dan keberadaannya sangat ditentukan oleh penghargaan masyarakat. Dengan demikian selalu berlangsung segitiga: pekerjaan pelaku profesi - institusi sosial - masyarakat. Sejauh mana suatu pekerjaan dapat menampilkan institusi sosial, dan sejauh mana institusi sosial itu diterima oleh masyarakat; inilah yang menjadi pangkal bagi kehadiran suatu organisasi profesi. Dari sini dapat dibedakan suatu pekerjaan dengan profesi. Tidak setiap pekerjaan akan menjadi profesi. Organisasi profesi dibentuk untuk menjaga agar pekerjaan dan institusi yang dijalankan oleh kaum profesionalnya memiliki harkat di tengah masyarakatnya. Tidak setiap pekerjaan memerlukan upaya fungsional semacam ini. Sejumlah pekerjaan dapat menjadi berharkat tanpa adanya suatu organisasi profesi, karena memang sifat pekerjaannya membuat masyarakat menghargainya. Pekerjaan semacam rohaniwan mi- Disampaikan pada Pertemuan Pra Kongres XIX PWI 1993, Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Yogyakarta, 30 Oktober 1993

salnya, tidak memerlukan organisasi profesi yang spesifik. Pekerjaannya yang membentuk institusi keagamaan sudah memiliki pola dan kredbilitas yang khas bagi masyarakat. Dengan mengemban fungsinya maka organisasi profesi seperti PWI akan melakukan pengawasan dan pengamatan terus menerus tentang citra pekerjaan profesional ini dalam masyarakat. Karenanya bagian terbesar dari kegiatan (dana dan daya) suatu organisasi profesi adalah untuk mendeteksi citra profesi ini, serta memelihara standar perilaku pelaksana profesi ini. Tujuannya jelas, yaitu untuk menjaga agar masyarakat tetap mendapatkan institusi sosial yang dikenal sebagai media pers. Dengan begitu keberadaan PWI pada dasarnya secara tidak langsung untuk menjaga agar institusi sosial bernama "Kompas", atau "Sinar Pagi", atau "Tempo", atau "Kedaulatan Rakyat", atau lainnya, tetap memiliki kredibilitas yang tinggi dalam masyarakat. Sebaliknya juga menjaga agar tidak ada media pers yang kehadirannya sebagai institusi sosial merugikan masyarakat. Fungsi ini bersifat tidak langsung, sebab yang langsung membangun citra adalah penampilan media pers itu sendiri. Kredibilitas institusi media pers di satu pihak dan penerimaan masyarakat pada pihak lain, merupakan tujuan jangka panjang dalam fungsi sosial organisasi profesi pers. Organisasi profesi memang tidak ikut dalam upaya peningkatan oplah koran, suatu tujuan yang bersifat pragmatis ekonomi. Tetapi dengan penerimaan secara sosial keberadaan institusi pers, pada dasarnya akan menguntungkan pihak media pers. Fungsi sosial organisasi profesi ini dijalankan tidak sebagai treatment langsung kepada media pers. Treatment dilakukan melalui pekerjaan pelaku profesi, terutama yang menjadi anggota organisasi profesi. Setiap anggota organisasi profesi menjadi pihak pertama yang perlu menjalankan pekerjaan sesuai standar profesi. Jika disebut standar profesi, akan mencakup standar teknis dan etis. Dengan standar teknis seorang pelaku profesi pers dapat menjalankan pekerjaannya untuk menghasilkan karya jurnalisme yang memiliki kelayakan teknis. Kelayakan teknis ini lebih bersifat pragmatis untuk keuntungan penerbitan. Sementara standar etis berkaitan dengan penghayatan terhadap kelayakan sosial, sehingga hasil kerja memiliki makna bagi masyarakat. Dengan kata lain, standar teknis ini pada dasarnya berguna secara langsung bagi penerbitan media pers, sementara standar etis bernilai bagi masyarakat karena akan memiliki suatu institusi sosial. Posisi PWI sebagai organisasi profesi ini dapat menjadi penting, tetapi dapat pula hanya menjadi sekadar wadah. Dia penting jika organisasi ini lebih terhormat dibanding dengan institusi yang menjalankan kegiatan profesi. Sebaliknya hanya menjadi wadah yang tidak memiliki kredibilitas jika pelaku profesi lebih menghargai institusi media tempatnya bekerja. Dari sini terjalin erat segitiga: pekerjaan pelaku profesi - institusi pers - organisasi profesi. Organisasi profesi tidak akan ada artinya jika pelaku profesi berada di dalam institusi pers yang tidak mempersoalkan keberadaan dalam standar kelayakan sosial di tengah masyarakat. Sebaliknya, jika institusi pers berkepentingan untuk menjaga keberadaannya sebagai institusi sosial, maka kehadiran organisasi profesi sangat diperlukan. Sebab dengan adanya organisasi profesi yang berwibawa, institusi pers akan terbantu dalam mengawasi standar profesi para pekerjanya. Ibaratnya, jika institusi pers berkepentingan agar jurnalisnya tidak menjadi "maling", dengan sendirinya akan sangat berterimakasih atas upaya "polisi" yang mengawasi perilaku profesional pekerjanya di lapangan. Fungsi "polisi" moral perilaku profesional ini sebenarnya tidak untuk kepentingan organisasi profesi itu, sebab citra yang dijaga adalah untuk media pers yang ada dalam masyarakat. ( 2 ) Dalam berbagai kesempatan, yang sering terdengar bukan konsep segitiga: pekerjaan pelaku profesi - institusi pers - masyarakat sebagaimana di atas, tetapi segitiga: institusi

pers - pemerintah - masyarakat. Bagaimana memahami konsep ini, dalam kaitannya dengan keberadaan organisasi profesi pers? Secara asumsi sudah jelas bahwa media pers khususnya penerbitan swasta, adalah institusi sosial. Dia menjadi bagian kehidupan masyarakat, dan dihidupi oleh masyarakat secara langsung (melalui pembelian oplah), dan tidak langsung (melalui pemasangan iklan). Dengan begitu posisi interaktif ini sebenarnya tidak sepenuhnya bersifat segitiga sama sisi, sebab secara empiris hubungan institusi pers dan pemerintah secara langsung melalui ijin terbit, dan ini hanya bersifat momentum pada kelahiran (keluar SIUPP) dan kematian (dicabut SIUPP). Sementara dalam rentang kehidupan institusi pers, dia akan dihidupi oleh masyarakatnya. Begitulah interaksi institusi pers dan masyarakat hanya ditandai dengan sikap pragmatis, masyarakat dianggap sebagai konsumen yang diperlukan sebagai penerima oplah. Semakin banyak konsumen, semakin besar keuntungan ekonomis dari oplah dan iklan. Seluruh upaya lebih banyak dilakukan untuk meningkatkan standar teknis melalui kapasitas kerja jurnalisme. Ini dipandang berkait-an langsung dengan pengembangan media. Sementara pertanyaan mendasar tentang standar etis untuk melihat kelayakan sosial dari institusi pers, jarang diperhatikan. Karenanya keberadaan organisasi profesi pers perlu dikaji ulang. Dalam melihat interaksi ini, biasanya kalangan institusi pers lebih terpaku kepada interaksi institusi pers dan pemerintah. Posisi pemerintah sebagai pemberi lisensi penerbitan memang sangat strategis. Tetapi posisi ini bersifat politis, tidak sosiologis. Padahal kalau kita bicara soal media pers sebagai institusi sosial, perspektif yang berlangsung bersifat sosiologis. Kita berkepentingan untuk hadirnya pers sebagai institusi sosial, bukan institusi perpanjangan pemerintah. Ini bukan berarti pers opposan terhadap pemerintah. Dengan dana yang dimiliki, pemerintah sendiri dapat mendirikan dan membiayai media pers, kendati tidak harus menjadi institusi sosial, tetapi sebagai media organik pemerintah. Media institusi sosial dan media orga-nik pemerintah jika menjalankan fungsi masingmasing dengan baik, akan sangat bermanfaat dalam pembangunan masyarakat. Dengan demikian interaksi pers - pemerintah - masyarakat dapat berlangsung secara proporsional dengan paradigma yang jelas. Pertama paradigma hubungan pers sebagai institusi sosial dengan intitusi pemerintah, kedua paradigma hubungan institusi pers dengan masyarakat, dan ketiiga paradigma hubungan pemerintah dan masyarakat. Dengan memperjelas dan memahami ketiga paradigma hubungan inilah interaksi segitiga dapat lebih lanjut dijabarkan. Interaksi dapat berhenti menjadi slogan, atau kalaupun harus diimplementasikan dalam hubungan yang tidak proporsional, bukan untuk mensetarakan dalam diferensiasi fungsi pada tataran sistem sosial. Ketidak-setaraan pertama dalam hubungan media pers dan masyarakat, pers tidak sepenuhnya menjadikan dirinya sebagai institusi sosial, sebaliknya hanya menjadikan masyarakat sebagai konsumen. Perspektif ekonomi yang mendominasi ini dapat dipahami dari kecenderungan industrial dalam kehidupan penerbitan pers. Dalam perspektif semacam ini masyarakat hanya berharga jika dapat menjadi konsumen produk media (oplah) dan produk industrial lainnya. Ketidak setaraan kedua adalah antara institusi pers dengan pemerintah dengan adanya Ijin Usaha Penerbitan yang berfungsi sebagai lisensi terbit yang dikeluarkan pemerintah. Ijin ini tidak berfungsi seperti dalam dunia ekonomi, yaitu sebagai jaminan bagi kepastian berusaha. Tetapi ijin dalam konteks politik, sebagai perangkat kekuasaan dalam menentukan lahir dan matinya intitusi sosial. Dengan begitu sulit membayangkan interaksi yang bersifat institusional dalam perspektif sosiologis. Selama fungsi SIUPP juga bersifat politis, berkaitan dengan isi yang diperoleh dari proses jurnalisme, sebenarnya interaksi yang berlangsung tidak bersifat positif. ( 3 )

Jika disimak berbagai keputusan Kongres VIII PWI, akan sangat terasa semangat yang kental untuk menjadikan pers sebagai institusi sosial yang bermartabat dan terhormat. Posisi ini tentulah tidak dapat diwujudkan secara langsung oleh PWI. Sebab yang hadir di tengah masyarakat adalah media pers dan wartawannya. Media pers berinteraksi secara sosiologis dengan masyarakat, wartawan berinteraksi dengan sumber-sumber informasi. Wartawan yang berinteraksi dengan sumber informasi ini pada dasarnya hadir sekaligus dengan identifikasi medianya. Karenanya sebenarnya tidak mungkin ada wartawan tanpa media berurusan dengan sumber informasi. Kalau pun ada dikenal wartawan bebas (freelance) biasanya tidak berurusan dengan sumber informasi yang spesifik. Wartawan freelance kebanyakan menulis features yang lebih mengutamakan kisah-kisah alam (travelling) atau human interest. Kalau ada wartawan tanpa identifikasi media berurusan dengan sumber informasi, sebenarnya sejak awal dapat dipertanyakan oleh sumber informasi. Wartawan gadungan sebenarnya bukan urusan PWI. Sebagaimana dokter gadungan, dosen gadungan, insinyur gadungan, polisi gadu-ngan, tentara gadungan, jika menjadi kasus kriminal, bukanlah merupakan krisis dalam berbagai profesi itu. Dokter gadungan misalnya, bukan urusan Ikatan Dokter Indonesia. IDI hanya mengurus dokter malpraktek atau yang mengalami kesulitan menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Dengan begitu kalau ada orang yang mengaku-aku sebagai wartawan tetapi tidak dapat diidentifikasi medianya, sumber informasi yang dapat dikelabui mungkin masalahnya adalah pencuri dikerjai maling. Karenanya tidak ada citra insitusi pers yang terganggu disitu. Kecuali jika oknum tadi mengaku sebagai wartawan media tertentu, maka pihak yang paling berkepentingan untuk menjaga citranya adalah media yang bersangkutan. Lalu dimana peran PWI? Baru menjadi lain persoalannya, jika yang melakukan tindakan tercela adalah wartawan media yang legal dalam masyarakat, sementara pengelola media membiarkan atau bahkan memberi peluang untuk tindakan tercela pekerjanya. Jika ini terjadi sebenarnya organisasi profesi tidak bertujuan untuk menjaga citra media pers yang bersangkutan, tetapi melindungi masyarakat dari kerugian yang diakibatkan oleh tindakan wartawan. Dengan begitu organisasi profesi menjalankan fungsi sosial lainnya, yaitu melindungi kepentingan umum. Melalui kepentingan umum ini keberadaan institusi pers dapat dipelihara. ( 4 ) Jika ditanyakan apa yang perlu kita perhatikan sekarang? Setidaknya meletakkan hubungan yang proporsional antara organisasi profesi dengan institusi pers. Saat ini hubungan ini bersifat tidak langsung, sebab yang berlangsung adalah hubungan antara organisasi profesi dengan anggotanya yang menjadi wartawan di berbagai perusahaan pers. Sementara pembinaan anggota sebenarnya tidak untuk kepentingan organisasi profesi. Segala peningkatan keterampilan, wawasan dan penghayatan etis pada dasarnya akan digunakan oleh pelaku profesi dalam pekerjaannya. Sementara yang mendapat kemanfaatan dari hasil kerja ini adalah media tempatnya bekerja. Dari sini dapat dibayangkan bahwa keberadaan organisasi profesi seharusnya ditopang oleh penerbitan pers yang ada, terutama yang pekerjanya menjadi anggota PWI. Karenanya cukup logis jika kontribusi dari penerbitan pers dalam menopang jalannya organisasi profesi berbanding lurus dengan jumlah pekerjanya yang menjadi anggota PWI di satu cabang. Pada pihak lain hubungan antara media dan organisasi profesi ini juga dapat dijadikan dasar dalam kriteria keanggotaan. Jika suatu media menjalankan jurnalisme dan menyiarkan karja jurnalisme, sudah semestinya jurnalisnya bergabung dalam organisasi profesi jurnalisme. Terutama ini menjadi lebih penting lagi jika media yang bersangkutan

bertujuan untuk menjadi suatu institusi sosial. Seperti halnya radio siaran dan televisi swasta, jika terbuka peluang untuk menjadi institusi sosial yang menyampaikan karya jurnalisme, bukan hanya sebagai institusi hiburan dan ekonomi (periklanan), sudah sepatutnya jurnalisnya ditampung di dalam PWI. Bahkan dibanding dengan jurnalis media pemerintah, jurnalis dari media swasta ini jauh lebih penting mendapat perhatian untuk menjadi anggota PWI. Media pemerintah sudah memiliki mekanisme yang bersifat "builtin" dalam birokrasinya dalam mengawasi pekerja jurnalismenya, dan karakter institusionalnya sebagai media pemerintah juga berbeda dari institusi sosial. Dengan melekat dalam mekanisme birokrasinya, pekerja medianya dapat dipindah, dialihtugas, bahkan dipensiun awal. Mungkin sudah masanya PWI ikut ambil bagian untuk memproses agar radio siaran dan televisi swasta memiliki hak hidup sebagai insitusi sosial penyampai hasil jurnalisme. Dapat dianjurkan sekiranya PWI Cab. Yogyakarta mengambil inisiatif semacam ini. Kerangka pemikirannya dimulai dari mengusahakan peluang yang lebih tegas dan terbuka bagi radio siaran dan televisi swasta untuk menjalankan fungsi jurnalisme, baru kemudian mengakui keberadaan para profesionalnya sebagai jurnalis. Karena sudah tidak perlu dihalang-halangi lagi, mengingat posisi bargaining dari sejumlah pengelola radio dan televisi swasta yang kuat menyebabkan larangan untuk menyiarkan karya jurnalisme seolah tidak berarti. Karenanya lebih baik PWI mengambil inisiatif untuk memasukkan pekerja jurnalisme di media elektronik ini ke dalam lingkungannya. Jika ini berlangsung, secara teknis akan ada pekerjaan besar yang akan dihadapi oleh PWI. Terdapat jumlah yang besar para profesional jurnalisme yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Untuk itu diperlukan standar teknis dan etis yang perlu menjadi dasar dalam membangun profesi broadcaster, sehingga lebih lanjutnya media radio dan televisi swasta dapat menjadi institusi sosial. Untuk itu pekerjaan rumah dapat diminta oleh PWI Cabang Yogyakarta kepada pusat, agar menjadi tempat pilot project dalam mengembangkan standar teknis dan etis dalam pekerjaan jurnalis broadcasting. Selain itu juga organisasi profesi pada tingkat cabang perlu melakukan monitoring terhadap media pers (cetak dan broadcasting) menyangkut isi spesifik dari wilayah kerja cabang bersangkutan. Dengan kata lain, informasi berasal dan/atau berkaitan dengan wilayah PWI bersangkutan yang dimuat atau disiarkan oleh media pers, dimonitoring kesesuaiannya dengan standar teknis dan etis. Secara berkala temuan menyimpang disampaikan kepada media bersangkutan. Dengan begitu tidak hanya menerima pengaduan atas perilaku pekerja jurnalisme yang berada di wilayahnya, tetapi juga berperhatian terhadap keberadaan media sebagai institusi sosial yang ada di daerahnya baik terbitan setempat maupun luar wilayah. Untuk itu tentunya perlu diwujudkan dalam kerjasama dengan media yang dimonitor, terutama yang kuat ekonomi dan tetap berorientasi untuk menjadi institusi sosial. Demikianlah pandangan yang dapat disampaikan untuk membangun media pers melalui organisasi profesi. Dengan harapan PWI dapat meningkatkan kualitas anggotanya melalui standar profesionalisme, dan implikasi lebih jauh kita akan membangun pers sebagai institusi sosial.