BAB I PENDAHULUAN. sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah,

dokumen-dokumen yang mirip
KATA PENGANTAR Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

Kebijakan Pengelolaan Data Komoditas Perkebunan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

DRAFT LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENYUSUNAN NERACA PRODUK TANAMAN PERKEBUNAN DINAS PERKEBUNAN PROVINSI JAWA TENGAH SEMARANG, 24 NOVEMBER 2011

Provinsi Papua, telah telah dapat menyelesaikan buku Statistik. tatistik Perkebunan Papua Tahun 2015 menyajikan data luas areal,

KEGIATAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TAHUN Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 31 Mei 2016

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

KATA PENGANTAR. Samarinda, Juli 2016 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala

RANCANGAN PROGRAM DITJEN PERKEBUNAN PERIODE MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN ANDALAN

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

Disampaikan pada: RAPAT KOORDINASI TEKNIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TAHUN 2018 Jakarta, Januari 2017

BAB I PENDAHULUAN. untuk kegiatan pertanian. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris mempunyai peluang yang cukup besar dalam

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2011

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN

Revisi ke 02 Tanggal : 08 April 2015

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009).

Direktorat Jenderal Perkebunan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa , , ,16

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... I. Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan Perkebunan... 1

I. PENDAHULUAN. Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris, yang ditunjukkan oleh luas

KATA PENGANTAR. Samarinda, September 2015 Kepala, Ir. Hj. Etnawati, M.Si NIP

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN DAN PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN POLA KEMITRAAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

- Hibah Luar Negeri Langsung - Pinjaman Luar Negeri

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KATA PENGANTAR. Surabaya, Pebruari 2014 KEPALA DINAS PERKEBUNAN PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan besar), kehutanan, peternakan, dan perikanan (Mubyarto, 1977 : 15).

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

LUAS AREAL PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS PERKEBUNAN RAKYAT KABUPATEN GUNUNGKIDUL TAHUN 2016

KATA PENGANTAR. Jakarta, Februari 2013 Direktur Jenderal Perkebunan, Ir. Gamal Nasir,MS Nip

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HALAMAN PENGESAHAN...

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN KOMODITAS PERKEBUNAN KABUPATEN JEMBRANA

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

Produksi (Ton) Luas (Ha) Produksi (Ton) Karet , , , , , , ,01

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. daratan menjadi objek dan terbukti penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal. Masalah kesenjangan dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

I. PENDAHULUAN. ternak. Penanaman tanaman dengan sistem agroforestri ini dapat meningkatkan

KATA PENGANTAR. Ir. Gamal Nasir, MS Nip

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Disampaikan dalam Semiloka Refeleksi setahun nota kesepakatan bersama (NKB) Selasa, 11 November 2014 Hotel Mercure Ancol, Ancol Jakarta Baycity

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan umum pembangunan perkebunan sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan 2010 sd 2014, yaitu mensinergikan seluruh sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah, produktivitas, dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Kebijakan umum tersebut dijabarkan dalam kebijakan teknis pembangunan perkebunan, yakni meningkatkan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan melalui pengembangan komoditas, sumber daya manusia, kelembagaan dan kemitraan usaha, investasi usaha perkebunan sesuai kaidah pengelolaan sumber daya alam, dan lingkungan hidup dengan dukungan pengembangan sistem informasi manajemen perkebunan (Ditjenbun, 2010). Berdasarkan hasil rekonstruksi program, telah ditetapkan bahwa untuk tahun 2010 sd 2014 Direktorat Jendral Perkebunan memprogramkan peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan. Menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 511 tahun 2006 dan No. 3399 tahun 2009, prioritas penanganan difokuskan pada 15 komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional, yaitu karet, kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, lada, teh, cengkeh, jambu mete, jarak pagar, kemiri sunan, tebu, kapas, nilam, dan tembakau (Ditjenbun, 2010) Tembakau sebagai komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional, secara historis telah memperoleh perhatian besar sejak Pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan penanaman

tembakau terus dilanjutkan Pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan. Tanaman tembakau diusahakan secara cukup meluas oleh petani baik di Jawa maupun luar Jawa (Saptana dkk., 2001). Sampai saat ini jutaan penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya dari perekonomian tembakau. Usahatani tembakau mampu menyediakan lapangan kerja bagi ratusan ribu petani dan buruh tani, demikian juga industri olahan tembakau mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Pemerintahpun memperoleh pendapatan dari cukai tembaku yang begitu besar yakni 111,4 triliun pada APBN 2014. Peranan tembakau terhadap perekonomian Indonesia dinilai sangat signifikan, bahkan pada masa krisis ekonomi tahun 1997 sd 1998, perekonomian tembakau tetap gemilang dan menjadi andalan dalam memperoleh devisa negara (Kinasih dkk., 2012). Harapan terhadap perekonomian tembakau Indonesia ternyata masih tinggi, yang ditandai oleh meningkatnya target penerimaan dari cukai tembakau pada APBN 2015 yaitu sebesar 120,6 triliun, dan bahkan target penerimaan dari cukai tembakau pada RAPBN 2016 yaitu sebesar 155,5 triliun. Kenyataan ini membuktikan bahwa perekonomian tembakau secara implisit diakui pemerintah dapat menjadi andalan negara dalam mensejahterakan warganya. Ironisnya, walaupun penerimaan dari cukai tembakau mengalami trend peningkatan dalam APBN, namun justru secara gradual pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kurang kondusif terhadap perekonomian tembakau. Adanya pengendalian produk tembakau bagi kesehatan memberikan dampak terhadap perkebunan tembakau rakyat yang ditanam di lahan sawah dan lahan kering serta tembakau perkebunan besar nasional (PBN) terutama milik perkebunan negara. Salah satu indikator yang dapat dijadikan barometer dinamika usahatani tembakau adalah perkembangan luas areal dan

produksinya. Perkembangan luas areal dan produksi tembakau nasional periode 2000 sd 2010 disajikan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau Nasional Periode 2000 sd 2010 Luas areal (Ha) Produksi (ton) Tahun ------------------------------------------------------------------------------------ P. rakyat PBN Jumlah P. rakyat PBN Jumlah 2000 236.000 3.737 239.737 201.305 3.024 204.329 2001 256.652 4.086 260.738 196.335 2.738 199.103 2002 251.994 4.087 256.081 189.342 2.740 192.082 2003 253.484 3.317 256.801 198.363 2.512 200.875 2004 197.631 3.342 200.973 162.429 2.079 165.108 2005 193.328 4.834 198.212 149.467 4.003 153.470 2006 167.088 5.146 172.234 142.045 4.220 146.265 2007 185.237 5.817 191.054 161.728 3.123 164.851 2008 192.062 4.565 196.627 165.423 2.614 168.037 2009 197.906 4.547 202.453 173.994 2.943 176.937 2010 204.895 4.559 209.454 182.643 2.976 185.619 Sumber: Ditjenbun Deptan RI (2011) Keterangan: p = perusahaan Hasil analisis trend terhadap data luas areal pada Tabel 1.1 diperoleh koefisien arah (bi) - 6574,09. Koefisien arah (bi) yang negatif menunjukkan bahwa luas areal tembakau nasional cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Demikian juga dari sisi produksi, secara nasional produksi tembakau mengalami kecenderungan menurun yang ditunjukkan dengan koefisien arah (bi) sebesar -3138,55. Fakta ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2000 sd 2010 luas areal maupun produksi tembakau nasional mengalami penurunan. Di Provinsi Bali, luas areal dan produksi tembakau juga mengalami penurunan, dan khusus untuk tembakau virginia yang pengembangannya terdapat di Kabupaten Buleleng, data luas areal dan produksinya selama periode 2000 sd 2012 disajikan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau Virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali Periode 2000 sd 2012 Tahun Luas areal (Ha) Produksi (ton) 2000 867 1685,273 2001 892 1696,277 2002 874 1689,629 2003 859 1666,895 2004 878 1686,292 2005 896 1696,299 2006 928 1676,778 2007 931 1636,630 2008 834 1676,298 2009 834 1690,000 2010 822 736,500 2011 800 1384,000 2012 562 1342,760 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Bali (2013) Luas areal tembakau virginia di Kabupaten Buleleng periode 2000 sd 2012 menunjukkan angka trend menurun dengan koefisien arah (bi) sebesar -14,42, demikian juga tingkat produksi mengalami trend menurun dengan koefisien arah (bi) sebesar -40,89. Penurunan luas areal dan produksi tembakau tidak terlepas dari faktor internal dan eksternal petani. Faktor internal petani diduga terkait dengan permodalan dan standardisasi budidaya untuk menghasilkan kualitas tertentu, sedangkan faktor eksternal diduga terkait dengan beberapa kebijakan pemerintah. Beberapa kebijakan pemerintah yang diduga berdampak terhadap dinamika usahatani tembakau adalah kebijakan pencabutan subsidi bahan bakar terhadap usahatani tembakau melalui konversi minyak tanah ke LPG, kebijakan penggunaan dana perimbangan cukai tembakau oleh Pemerintah Daerah, dan terbitnya PP 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan

yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Di samping kebijakan pemerintah tersebut, ada traktat internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang memberikan tekanan terhadap produksi tembakau. Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG sangat memberatkan biaya produksi tembakau krosok. Pengeringan daun tembakau yang semula menggunakan minyak tanah yang bersubsidi, kemudian secara mendadak harus diganti dengan LPG yang tidak bersubsidi dan harganya melambung tinggi. Petani tembakau menghadapi cekaman hebat dalam pengeringan daun tembakau menjadi krosok, karena lebih dari 50% biaya produksi tembakau krosok didominasi oleh LPG. Penggunaan LPG untuk kebutuhan pengeringan daun tembakau, petani tembakau harus mengajukan permohonan secara kolektif melalui Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) kepada Pertamina. Permohonan penggunaan LPG diajukan kepada Pertamina, setelah Asosiasi Petani Tembakau Indonesia melakukan inventarisasi terhadap kebutuhan LPG dari masingmasing anggotanya. Petani yang tidak terinventarisasi tidak akan memperoleh jatah LPG untuk pengeringan daun tembakau. Hal ini berdampak terhadap fleksibilitas luasan areal tembakau yang dapat ditanam oleh petani. Kebijakan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai, mensyaratkan bahwa penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau sebagian harus dikembalikan kepada petani daerah penghasil tembakau. Berkenaan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Provinsi Bali melalui Keputusan Gubernur Bali Nomor 795/03.M/HK/2013 tentang kelompok tani tembakau penerima bantuan pupuk dalam rangka penyediaan sarana produksi pertanian/perkebunan, telah memberikan bantuan

pupuk kepada petani tembakau. Kebijakan ini tentunya memberikan dampak tersendiri kepada petani tembakau. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, juga diduga dapat memberikan dampak terhadap dinamika usahatani tembakau di masa mendatang. Walaupun peraturan pemerintah tersebut diakui pemerintah bukan sebagai bentuk ratifikasi terhadap Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), namun PP tersebut telah memberikan iklim yang kurang kondusif terhadap petani tembakau, terbukti dari banyaknya frekwensi unjuk rasa petani tembakau yang menolak PP tersebut. Secara massif PP 109 tahun 2012 telah memberikan tekanan hebat terhadap perekonomian tembakau. Betapa tidak, penayangan iklan rokok sangat dibatasi dan redaksi iklan rokok pun telah diubah menjadi merokok membunuhmu, kemudian ditambah lagi dengan adanya kewajiban bagi industri rokok untuk mencantumkan gambar mengerikan pada bungkus rokok yang sangat membebani ongkos produksi rokok. Di samping itu, ruang publik yang tersedia bagi perokok juga semakin dibatasi melalui seperangkat peraturan daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kebijakan tersebut secara sistematis telah menekan eksistensi tembakau. Bukti nyata dari berkurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap pengembangan tembakau nasional adalah diubahnya Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat menjadi Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat. Eliminasi kata tembakau pada nama lembaga tersebut, secara implisit menyiratkan berkurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan tembakau nasional di masa depan. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah diduga berdampak terhadap terjadinya perubahan struktur biaya produksi tembakau virginia krosok. Perubahan struktur biaya

produksi berdampak pada pendapatan dan efisiensi usahatani tembakau yang akhirnya bermuara pada besaran insentif ekonomi yang diterima petani dan daya saing tembakau virginia. Besaran insentif ekonomi yang diterima petani dan daya saing tembakau virginia sangat menentukan keberlanjutan usahatani tembakau di tingkat petani. Besaran insentif ekonomi yang diterima petani dan daya saing tembakau virginia juga diduga terkait dengan peranan perusahaan mitra. Petani tembakau dalam mengoperasikan usahataninya menjalin kemitraan dengan beberapa perusahaan mitra, diantaranya perusahaan Gudang Garam (GG) dan Beringin Bali (BB). Perusahaan mitra menyediakan sebagian sarana produksi yang diperlukan dan mengendalikan proses produksi untuk menghasilkan tingkat dan kualitas produksi tertentu. Standar kualitas tembakau virginia krosok ditetapkan oleh perusahaan mitra dan seluruh output tembakau virginia krosok dibeli oleh perusahaan mitra. Berkenaan dengan hal tersebut diduga bahwa kemampuan manajerial perusahaan mitra berkontribusi terhadap daya saing tembakau virginia, sehingga daya saing yang tercipta merupakan daya saing tembakau virginia dalam kerangka kemitraan. Daya saing tersebut mencerminkan kemampuan sumberdaya domestik yang digunakan dalam proses produksi tembakau virginia untuk menghemat satu satuan devisa. 1.2 Rumusan Masalah Secara spesifik permasalahan yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah efisiensi finansial dan ekonomi usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan? 2. Apakah petani pelaku usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali menerima insentif ekonomi berdasarkan kemitraan?

3. Bagaimanakah daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan? 4. Bagaimanakah dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai daya saing tembakau virginia pasca kebijakan pencabutan subsidi bahan bakar terhadap usahatani tembakau. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis: 1. Efisiensi finansial dan ekonomi usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan. 2. Insentif ekonomi yang diterima petani pelaku usahatani tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan. 3. Daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali berdasarkan kemitraan. 4. Dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing tembakau virginia di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali. 1.4 Manfaat Penelitian Temuan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut.

(1) Menambah khazanah ilmu pengetahuan terutama dalam bidang teori daya saing. (2) Menambah referensi bagi para peneliti lainnya yang akan melakukan penelitian lanjutan. 2. Manfaat praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut. (1) Bermanfaat bagi pemerintah sebagai masukan dalam mengambil kebijakan pemberdayaan petani terkait dengan pengembangan usahatani tembakau. (2) Bermanfaat bagi petani sebagai sumber informasi yang menyangkut penguatan daya saing tembakau virginia untuk merespon dinamika persaingan global.