PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR MINGGU

dokumen-dokumen yang mirip
(PRODUCTIVITY OF Two LOCAL DUCK BREEDS: ALABIO AND MOJOSARI RAISED ON CAGE AND LITTER HOUSING SYSTEM) ABSTRACT ABSTAAK PENDAHULUAN

KUALITAS TELUR ITIK ALABIO DAN MOJOSARI PADA GENERASI PERTAMA POPULASI SELEKSI

Performans Produksi Telur Itik Talang Benih pada Fase Produksi Kedua Melalui Force Moulting

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (MA): Masa Pertumbuhan sampai Bertelur Pertama

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

Pola Rontok Bulu Itik Betina Alabio dan Mojosari serta Hubungannya dengan Kadar Lemak Darah (Trigliserida), Produksi dan Kualitas Telur

INTERAKSI ANTARA BANGSA ITIK DAN KUALITAS RANSUM PADA PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR ITIK LOKAL

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal

Performan Pertumbuhan dan Produksi Karkas Itik CA [Itik Cihateup x Itik Alabio] sebagai Itik Pedaging

PRODUKSI TELUR ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN

TINGKAT KEPADATAN GIZI RANSUM TERHADAP KERAGAAN ITIK PETELUR LOKAL

ANALISIS KELAYAKAN USAHA ITIK ALABIO DENGAN SISTEM LANTING DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

PROGRAM VILLAGEBREEDING PADA ITIK TEGAL UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI TELUR: SELEKSI ITIK TEGAL GENERASI PERTAMA DAN KEDUA ABTRACT ABTRAK

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

PENGARUH BANGSA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI TERHADAP PERFORMAN REPRODUKSI (REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF ALABIO AND MOJOSARI DUCKS) ABSTRACT ABSTAAK

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ITIK BALI SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH TERNAK (GROWTH CHARACTERISTICS OF BALI DUCK AS A SOURCE OF GERMPLASM) ABSTRACT

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik

KERAGAAN PRODUKSI TELUR PADA SENTRA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITAS UNGGULAN (SPAKU) ITIK ALABIO DI KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA, KALIMANTAN SELATAN

PERFORMA PRODUKSI ITIK BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal

PELUANG DAN POTENSI USAHA TERNAK ITIK DI LAHAN LEBAK ABSTRAK

PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas Terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari x Alabio (MA): 2. Masa Bertelur Fase Kedua Umur Minggu

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik

Kususiyah, Urip Santoso, dan Rian Etrias

ANALISIS FEASIBILITAS USAHA TERNAK ITIK MOJOSARI ALABIO

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBERIAN PAKAN TERBATAS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERFORMA AYAM PETELUR TIPE MEDIUM PADA FASE PRODUKSI KEDUA

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

ABSTRAK. Kata kunci: Morfologi, korelasi, performans reproduksi, itik Tegal, seleksi ABSTRACT

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

Kususiyah, Urip Santoso, dan Debi Irawan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler

MATERI DAN METODE. Materi

PEMANFAATAN BEKICOT SAWAH (TUTUT) SEBAGAI SUPLEMENTASI PAKAN ITIK UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS ITIK PETELUR DI DESA SIMOREJO-BOJONEGORO

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (Ma): 1. Masa Bertelur Fase Pertama Umur Minggu

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TERBATAS TERHADAP PENAMPILAN ITIK SILANG MOJOSARI X ALABIO (MA) UMUR 8 MINGGU

PERBAIKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN MUTU PAKANUNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI TELUR TERNAK ITIK LOKAL DI KABUPATEN MERAUKE, PAPUA

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2

PENGARUH PENAMBAHAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL

MATERI DAN METODE. Materi

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

PERBANDINGAN PRODUKTIVITAS ITIK MOJOSARI DAN ITIK LOKAL PADA PEMELIHARAAN SECARA INTENSIF DI DKI JAKARTA

KELENTURAN FENOTIPIK SIFAT-SIFAT REPRODUKSI ITIK MOJOSARI, TEGAL, DAN PERSILANGAN TEGAL-MOJOSARI SEBAGAI RESPON TERHADAP AFLATOKSIN DALAM RANSUM

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN FINISHER PERIOD

SELEKSI AWAL BIBIT INDUK ITIK LOKAL

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

KARAKTERISTIK UKURAN ORGAN DALAM KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI

Keterkaitan Kejadian dan Lamanya Rontok Bulu terhadap Produksi Telur Itik Hasil Persilangan Peking dengan Alabio

PENGARUH PENGGUNAAN IKAN PIRIK (LEIOGNATHIDAE) KERING DAN SEGAR TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL PADA PEMELIHARAAN INTENSIF

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

Bibit niaga (final stock) itik Alabio dara

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2)

OPTIMALISASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TERNAK AYAM LOKAL PENGHASIL DAGING DAN TELUR

Model Regresi Pertumbuhan Dua Generasi Populasi Terseleksi Itik Alabio

PRODUKTIVITAS ITIK TEGAL DI DAERAH SENTRA PENGEMBANGAN PADA PEMELIHARAAN INTENSIF

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari dara

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

Performa Produksi Telur Turunan Pertama (F1) Persilangan Ayam Arab dan Ayam Kampung yang Diberi Ransum dengan Level Protein Berbeda

KERAGAAN PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL DITINGKAT PETERNAK DAN UPAYA PENINGKATANNYA DALAM MENDUKUNG KECUKUPAN PANGAN HEWANI

Bibit induk (parent stock) itik Alabio meri

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak cukup tinggi, nutrisi yang terkandung dalam lim

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di

Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda

Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak yang Iebih besar. Selain itu jumlah bagian dagingnya lebih banyak d

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik

[Evaluasi Hasil Produksi Ternak Unggas]

Sudjatinah, H.T. Astuti dan S. S. Maryuni Fakultas Peternakan Universitas Semarang, Semarang ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

PEMANFAATAN LIMBAH RESTORAN UNTUK RANSUM AYAM BURAS

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari meri

Yosi Fenita, Irma Badarina, Basyarudin Zain, dan Teguh Rafian

Bibit niaga (final stock) itik Alabio meri umur sehari

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. minggu dengan bobot badan rata-rata gram dan koefisien variasi 9.05%

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower.

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

Performa, Persentase Karkas dan Nilai Heterosis Itik Alabio, Cihateup dan Hasil Persilangannya pada Umur Delapan Minggu

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(4): , November 2016

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BEBAS PILIH (Free choice feeding) TERHADAP PERFORMANS AWAL PENELURAN BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda terhadap tingkah laku burung puyuh petelur, dilaksanakan pada bulan

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari meri umur sehari

BAB III MATERI DAN METODE. hijau terhadap bobot relatif dan panjang organ pencernaan itik Magelang jantan

PENGARUH PENGGUNAAN DEDAK DAN SAGU FERMENTASI TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

RINGKASAN. sifat dengan itik Tegal, itik Mojosari, dan itik Alabio. Di daerah asalnya, itik

Transkripsi:

PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR 20 60 MINGGU (Productivity of Alabio and Mojosari Ducks for 40 Weeks from 20-60 weeks of Age) MAIJON PURBA 1, L.H. PRASETYO 1, PENI S. HARDJOSWORO 2 dan RITA D. EKASTUTI 3 1 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 2 Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 3 Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor ABSTRACT A study was conducted in Balitnak Ciawi to study the dynamics of egg production of Alabio and Mojosari for 40 weeks. Each breed consists of 40 female ducks, chosen by randomization and placed on individual cages. The average age of the ducks was 20 to 22 weeks respectively for Alabio and Mojosari. Commercial feed was given based on the standard of Balai Penelitian Ternak with protein dan EM composition of 18% and 2700 kcal/kg. Feed was given 140 g/head/day, and water were given ad libitum. The traits observed were: age of the first laying, body weight at first laying, weight of first egg and egg production (duck day production). The results showed that the average age of first laying of Alabio and Mojosari ducks were 142,12 and 151,85 days respectively. The average body weight at first laying and weight of first egg for both ducks were not different (P>0.05). The average body weight at first laying of Alabio and Mojosari were 1621,75 and 1610,75 g/head, and the average weight of first egg were 50,54 and 52,45 g respectively. During 40 weeks, the average egg production of Alabio and Mojosari ducks were not different (P>0.05) except egg production on week-2, 10, 19 and 20 which were different (P<0.05), the average egg production of Alabio was higher than Mojosari ducks. The range of egg production of Alabio and Mojosari ducks before molting were 2,98 6,00 and 2,95 5,53 eggs/head/weeks for 22 weeks. During molting for 11 weeks, the egg production of Alabio was lower (1,57-2,75 eggs/head/week) than Mojosari ducks (2,13-3,40 eggs/head/week). Egg production of Alabio and Mojosari ducks after molting for 7 weeks were 3,33-4,90 and 3,68-4,54 eggs/head/week respectively. Key words: Egg production, molting, Alabio and Mojosari ducks ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) untuk mengetahui dinamika produksi telur selama 40 minggu pada itik Alabio dan Mojosari. Sebanyak 40 ekor itik Alabio dan 40 ekor Mojosari dipilih secara acak lalu dipelihara dalam kandang individu. Rata-rata umur kedua jenis itik adalah sekitar 20-22 minggu. Pakan yang diberikan selama penelitian adalah pakan komersial yang disusun berdasarkan standar Balai Penelitian Ternak dengan kandungan Protein 18% dan EM 2700 kkal/kg. Pakan diberikan sekali dalam sehari dengan rata-rata 140 g/ekor/hari, air minum diberikan ad libitum. Parameter yang diukur adalah umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur, bobot telur pertama dan produksi telur (duck day production). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari masing-masing dicapai selama 142,12 dan 151,85 hari. Berdasarkan hasil analisis statistik umur pertama bertelur kedua jenis itik berbeda nyata (P<0,05), rataan umur pertama bertelur itik Alabio lebih awal dibandingkan dengan Mojosari. Rataan bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama kedua jenis itik tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan bobot badan pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari masing-masing 1621,75 dan 1610,75 g/ekor, sedangkan bobot telur pertama kedua jenis itik masing-masing 50,54 dan 52,45 g/ekor. Selama masa produksi 40 minggu, rataan produksi telur yang dicapai itik Alabio dan Mojosari berdasarkan analisis statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) kecuali pada minggu ke-2, 10, 19 dan 20 berbeda nyata (P<0,05). Rataan produksi telur itik Alabio pada minggu-minggu tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan itik Mojosari. Kisaran produksi telur itik Alabio dan Mojosari sebelum rontok bulu adalah 2,98-6,00 dan 2,95-5,53 butir/ekor/minggu selama 22 minggu. Kisaran produksi telur saat rontok bulu selama 11 minggu pada itik Alabio dan Mojosari adalah (1,57 2,75 dan 2,13 3,40 butir/ekor/minggu), 639

sedangkan setelah rontok bulu selama produksi 7 minggu adalah antara (3,33 4,90 dan 3,68 4,54 butir/ekor/minggu). Kisaran produksi telur itik Alabio selama masa rontok bulu lebih rendah dibandingkan dengan itik Mojosari. Kata kunci: Produksi telur, rontok bulu, Alabio dan Mojosari PENDAHULUAN Kebutuhan masyarakat terhadap telur sebagai salah satu bahan konsumsi sehari-hari cenderung semakin meningkat. DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN (2001) melaporkan bahwa jumlah konsumsi masyarakat terhadap telur di Indonesia mengalami peningkatan, tahun 1999 sebesar 2,82 kg/kapita/tahun, sedangkan pada tahun 2000 meningkat menjadi 3,48 kg/kapita/tahun (naik sebesar 23,40%). Peningkatan tersebut dimungkinkan karena telur adalah merupakan sumber makanan yang mengandung gizi tinggi dan harganya relatif terjangkau dari berbagai lapisan masyarakat. Diantara berbagai jenis itik yang ada di Indonesia, itik Alabio dan Mojosari merupakan dua jenis itik lokal yang potensial untuk dipelihara maupun dikembangkan sebagai penghasil telur guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Walaupun itik Alabio berasal dari daerah Amuntai, Kalimantan Selatan dan itik Mojosari berasal dari daerah Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, akan tetapi, kedua jenis itik tersebut memiliki daya adaptasi yang baik bahkan dapat hidup dan berkembang biak di luar daerah asalnya. Itik lokal yang ada di Indonesia menurut HARDJOSWORO (1995), adalah jenis itik yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan karena itik lokal tersebut sudah mengalami seleksi secara alami. Keberhasilan itik lokal sebagai ternak pendatang yang mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungan di Indonesia, membuat ternak tersebut dapat hidup dan berkembang biak dimana saja (HARDJOSWORO et al., 2002). ROSE (1997) menyatakan bahwa kelebihan ternak itik bila dibandingkan dengan hewan unggas lainnya adalah memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan, tahan terhadap penyakit dan dapat hidup, berkembang biak meskipun dalam kondisi ketersediaan pakan yang terbatas. Rontok bulu adalah salah satu keadaan biologis yang selalu dapat terjadi pada setiap spesies unggas. Pengaruh rontok bulu terhadap hewan unggas misalnya itik sangat berhubungan terhadap jumlah produksi telur yang dihasilkan. Rontok bulu pada hewan unggas menurut PALMER (1972) maupun PAYNE (1972) adalah suatu kejadian alami pada hewan unggas, bahkan menurut PALMER (1972) rontok bulu pada hewan unggas adalah sangat penting, karena melalui rontok bulu terjadi regenerasi pergantian bulu lama dengan tumbuhnya bulu-bulu baru. ETCHES (1996) maupun BEYER (1998) juga menyatakan bahwa rontok bulu pada hewan unggas, selain regenerasi pergantian bulu maupun jaringan reproduksi (ovarium dan oviduk) juga merupakan periode istirahat bertelur. Selama periode rontok bulu pada itik produksi telur menjadi menurun bahkan berhenti bertelur. Rontok bulu pada itik petelur yang berkualitas baik umumnya terjadi setelah menjalani periode bertelur selama 1 tahun dan dalam jangka waktu rontok bulu yang singkat. Menurut NORTH dan BELL (1990), ternak unggas petelur yang baik memiliki masa produksi yang lama dan masa rontok bulu yang singkat. Sebaliknya, apabila itik petelur yang dipelihara berkualitas rendah, kejadian rontok bulu lebih awal dan dalam jangka waktu yang lama. Ketersediaan bibit itik lokal yang bermutu baik hingga saat ini masih sulit didapatkan sehingga upaya-upaya pembentukan sentra pembibitan itik yang digunakan sebagai usaha budidaya itik baik secara tradisional dan komersial sangat dibutuhkan. Keragaman dalam produktivitas itik lokal hingga saat ini juga masih sangat tinggi, karena itik yang memiliki kemampuan berproduksi tinggi dengan yang rendah di tangan peternak mendapat kesempatan yang sama (HARDJOSWORO, et al. 2002). Pendekatan secara genetis melalui seleksi induk terhadap aspek prouktivitas pada ternak itik merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki mutu genetik itik petelur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan produktivitas 640

itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu dari umur 20 60 minggu. MATERI DAN METODE Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 10 bulan dari bulan Nopember 2002-Agustus 2003, Balai Penelitian Ternak. Materi yang digunakan adalah dua jenis itik betina lokal yakni itik Alabio dan Mojosari hasil penetasan Balai Penelitian Ternak. Masing-masing jenis terdiri atas 40 ekor berumur antara 20-22 minggu. Kedua jenis itik dipelihara di dalam kandang individu (battery) berbentuk single deck terbuat dari bahan kawat dengan ukuran: panjang 40 cm, lebar 35 cm, tinggi depan 55 cm dan tinggi belakang 50 cm. Peralatan kandang yang digunakan adalah tempat pakan, tempat minum, lampu penerangan. Untuk membantu mempermudah pengamatan, seluruh itik yang diamati diberi nomor sayap (wing band). Pakan diberikan sekali dalam sehari (pagi) setelah kandang dibersihkan dari kotoran, dan air minum diberikan ad libitum. Ransum yang diberikan adalah ransum itik petelur sesuai standar Balai Penelitian Ternak dengan kadar protein 18% dan EM 2700 Kkal/kg. Komposisi ransum itik petelur untuk 100 kg bahan pakan (Tabel 1). Jumlah ransum yang diberikan kepada kedua jenis itik selama penelitian berlangsung sebanyak 140 g/ekor/hari. Tabel 1. Bahan komposisi ransum ternak itik untuk 100 kg bahan pakan Bahan pakan Jumlah (kg) Dikalsium fosfat 1,00 Tepung ikan 8,50 Kalsium karbonat 6,00 Jagung giling 30,20 Garam halus 0,20 Minyak sayur 4,00 Premix-A 0,60 Polar 17,00 Bungkil kedelai 14,45 Dedak 18,00 Metionin 0,05 Jumlah 100,00 Kandungan protein: 18% Energi Metabolis (EM): 2700 Kkal/kg Sumber: BALAI PENELITIAN TERNAK, Bogor Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu arah dengan membandingkan kedua jenis itik. Peubah yang diamati selama penelitian berlangsung adalah produksi telur (duck day production). Produksi telur dihitung berdasarkan jumlah rata-rata telur dalam mingguan. Untuk mendukung peubah produksi telur juga dilakukan perhitungan terhadap umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur, dan bobot telur pertama. Umur pertama bertelur dihitung dari tanggal menetas sampai tanggal pertama kali bertelur. Bobot badan pertama bertelur diperoleh melalui penimbangan pada saat itik tersebut mulai pertama bertelur. Bobot telur pertama diperoleh dengan cara menimbang masing-masing telur yang dihasilkan saat pertama kali kedua jenis itik bertelur. Produksi telur, umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama dianalisis dengan prosedur Analysis of Variance (ANOVA) satu arah dan bila terdapat perbedaan antar jenis dilanjutkan dengan uji Duncan dengan bantuan program Statistical Analysis System (SAS, 1997). HASIL DAN PEMBAHASAN Umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama Umur pertama bertelur atau umur masak kelamin, bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari (Tabel 2). Rataan umur pertama bertelur itik Alabio 144,13 ± 7,51 hari sedangkan itik Mojosari 151,85 ± 13,60 hari. Berdasarkan hasil analisis statistik, rata-rata umur pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari berbeda nyata (P<0.05). Rataan umur pertama bertelur itik Alabio lebih awal dibandingkan dengan itik Mojosari. Rataan umur pertama bertelur hasil pengamatan lebih awal bila dibandingkan dengan hasil penelitian PRASETYO dan SUSANTI (2000) yang melaporkan bahwa rataan umur pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari masing-masing 24,27 minggu (169,84 hari) dan 24,53 minggu (171,71 hari). 641

Tabel 2. Rata-rata umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari Parameter Umur pertama bertelur (hari) Bobot badan pertama bertelur (g) Bobot telur pertama (g) Jenis Alabio ± Std 144,13 ± 7,51 a 1621,75 ± 91,23 a 50,53 ± 5,43 a Mojosari ± Std 151,85 ± 13,60 b 1610,75 ± 119,92 a 52,44 ± 8,82 a Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Superskrip sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05) Std = Standard deviasi Bobot badan pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari masing-masing 1621,75 dan 1610,75 g/ekor. Berdasarkan hasil analisis statistik, bobot badan pertama bertelur kedua jenis itik tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan bobot badan pertama bertelur itik Mojosari hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian PRASETYO dan SUSANTI (2000) yaitu sebesar 1616 g/ekor, akan tetapi rataan bobot badan pertama bertelur itik Alabio yang dilaporkan PRASETYO dan SUSANTI (2000) lebih tinggi yaitu sebesar 1906 g/ekor bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan. Rataan bobot telur pertama kedua jenis itik secara statistik juga tidak berbeda nyata (P>0,05). Rata-rata bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari masing-masing 50,53 dan 52,44 g/ekor. PURBA et al. (2002) juga melaporkan bahwa rataan bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari yang dipelihara dengan sistem kandang battery dan litter masing-masing 57,62 dan 59,42 g/ekor, dan secara statistik juga tidak berbeda nyata (P>0,05). PRASETYO dan SUSANTI (2000) melaporkan bahwa rataan bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari berbeda nyata (P<0,05). Dilaporkan bahwa rataan bobot telur pertama kedua jenis itik yang diamati masing-masing 56,39 dan 53,69 g/ekor. Bobot telur tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini. Perbedaan tersebut diduga adalah pengaruh kandungan protein dan EM yang berbeda. Kandungan protein yang diberikan dalam penelitian PRASETYO dan SUSANTI (2000) adalah 20% dan EM 3000 kkal/kg, sedangkan dalam penelitian ini kandungan protein sebesar 18% dan EM 2700 kkal/kg. Produksi telur Rata-rata produksi telur itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu disajikan dalam Gambar 1. Rataan produksi telur itik Alabio dan Mojosari masing-masing sebesar 4 butir/ekor/minggu (56,78%) dan 3,77 butir/ekor/minggu (53,41%). Rataan produksi telur kedua jenis itik selama pengamatan berlangsung tidak jauh berbeda, bahkan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) kecuali produksi telur pada minggu ke-2, 10, 19 dan 20 berbeda nyata (P<0.05). Rataan produksi telur itik Alabio pada minggu-minggu tersebut adalah 6,00 ± 1,36; 5,10 ± 2,66; 4,67 ± 2,70 dan 2,45 ± 2,95 butir/ekor, sedangkan itik Mojosari 5,03 ± 2,32 butir/ekor; 3,16 ± 2,90 butir/ekor; 3,21 ± 2,94 dan 3,30 ± 3,00 butir ekor. Rataan produksi telur itik Alabio pada minggu-minggu tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan itik Mojosari. Perbedaan tersebut diduga adalah sebagai faktor genetik dan lingkungan. Rataan produksi telur itik Alabio yang diamati lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian ROHAENI dan SETIOKO (2002) maupun SETIOKO dan ROHAENI (2002). ROHAENI dan SETIOKO (2002) melaporkan bahwa rataan produksi telur itik Alabio selama 10 bulan produksi yang dibagi dalam 3 kelompok (kelompok A, B dan C) masingmasing sebesar 58,92; 61,96 dan 64,63%. Selanjutnya, hasil penelitian SETIOKO dan ROHAENI (2002) melaporkan rataan produksi 642

Produksi Telur (butir) 7 6 5 4 3 2 1 0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 Minggu Alabio Mojosari Gambar 1. Dinamika produksi telur itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu telur itik Alabio selama 12 bulan produksi yang juga dibagi dalam 3 kelompok (kelompok A, B dan C) dengan jumlah kandungan protein dan energi dari ketiga kelompok tersebut 18,89% dan 2250 kkal/kg; 18,93% dan 2250 kkal/kg; 19,17% dan 2250 kkal/kg, masingmasing sebesar 66,86%; 60,07% dan 48,09%. Perbedaan rataan produksi telur tersebut diduga adalah pengaruh lokasi dan sistem kandang yang berbeda maupun bahan pakan serta kandungan protein dan energi yang diberikan juga berbeda. Rataan produksi telur itik Mojosari selama produksi 12 minggu pengamatan adalah sebesar 4,58 butir/ekor (65,39%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian ANDAYANI et al. (2001) yang melaporkan bahwa rataan produksi telur itik Mojosari selama 12 minggu sebesar 62,44%. Puncak produksi itik Alabio dicapai pada minggu ke-2 yaitu rata-rata 6 butir/ekor sedangkan itik Mojosari dicapai pada minggu ke-1 rata-rata 5,53 butir/ekor. Kisaran produksi telur itik Alabio dan Mojosari sebelum periode rontok bulu selama periode 22 minggu yaitu dari produksi telur minggu ke-1 hingga minggu ke-22 masing-masing adalah (2,98 6,00 butir/ekor) dan (2,95 5,53) butir/ekor. Walaupun rataan produksi telur kedua jenis itik yang diamati selama periode sebelum rontok bulu tidak berbeda nyata (P>0,05), namun bila dilihat pada Gambar 1 tampak bahwa jumlah produksi telur itik Alabio sebelum rontok bulu lebih baik dibandingkan dengan itik Mojosari. Penurunan produksi telur dari kedua jenis itik yang diamati terjadi pada produksi telur minggu ke-23 33. Kisaran produksi telur itik Alabio selama masa rontok bulu adalah 1,58 ± 2,81 sampai dengan 2,45 ± 2,95 butir/ekor, sedangkan itik Mojosari antara 2,08 ± 2,82 sampai dengan 3,38 butir/ekor. Kisaran produksi telur itik Mojosari selama masa rontok bulu tampak lebih tinggi dibandingkan dengan itik Alabio. Kisaran produksi telur itik Alabio dan Mojosari periode setelah rontok bulu masingmasing sebesar 3,33 4,90 butir/ekor dan 3,30 4,54 butir/ekor. Rataan produksi telur periode setelah rontok bulu pada itik Alabio tampak kembali mendekati normal yaitu pada produksi minggu ke-36 sebesar 4,80 ± 2,96 butir/ekor, sedangkan itik Mojosari dicapai pada produksi minggu ke-34 sebesar 4,54 ± 2,18 butir/ekor dan merupakan puncak produksi telur pada itik Mojosari periode setelah rontok bulu. Puncak produksi telur setelah periode rontok bulu pada itik Alabio yaitu pada minggu ke-40 sebesar 4,90 ± 1,74 butir/ekor. Puncak produksi telur yang dicapai kedua jenis itik setelah periode rontok bulu tampaknya tidak dapat menyamai puncak produksi yang dicapai sebelum periode rontok bulu. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan kedua jenis itik untuk menghasilkan produksi telur sebelum masa rontok bulu lebih tinggi dibandingkan dengan 643

produksi telur sesudah rontok bulu. Hal tersebut sejalan dengan pendapat DAMME dan PIRCHNER (1984) mengemukakan bahwa puncak maupun persentase produksi telur ayam yang mengalami rontok bulu tidak dapat menyamai produksi telur sebelum periode rontok bulu. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Umur masak kelamin (pertama bertelur) itik Alabio lebih awal bila dibandingkan dengan itik Mojosari, akan tetapi bobot badan pertama bertelur maupun bobot telur pertama kedua jenis itik hampir sama. 2. Produksi telur itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu hampir sama yaitu masing-masing sejumlah 4 butir/ekor/ minggu dan 3,77 butir/ekor minggu. 3. Produksi telur dari kedua jenis itik mengalami penurunan selama periode rontok bulu. Kisaran produksi telur itik Alabio selama periode rontok bulu lebih rendah bila dibandingkan dengan itik Mojosari. DAFTAR PUSTAKA ANDAYANI, D., M. YANIS dan B. BAKRIE. 2001. Perbandingan produktivitas itik Mojosari dan itik lokal pada pemeliharaan secara intensif di DKI Jakarta. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm. 533 541. BEYER, R.S. 1998. Molting and other causes of feather loss in small poultry flocks. Kansas State University Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service. http://www.oznet.ksu.edu. DAMME, K. and F. PIRCHNER. 1984. Genetic differences of feather-loss in layers and effects on production traits. Archiv. Fur. Geflugelk. 48(6): 215 222. DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI PETERNAKAN. 2001. Buku Statistik Peternakan. hlm. 114 115 & 127. ETCHES, R.J. 1996. Reproduction In Poultry. Departement of Animal Science and Poultry Science University of Guelph. Guelph Ontario Canada N1G 2W1. Cab International. hlm. 286 297. HARDJOSWORO, P.S. 1995. Peluang pemanfaatan potensi genetik dan prospek pengembangan unggas lokal. Pros. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. hlm. 17 23. HARDJOSWORO, P.S., A.R. SETIOKO, P.P. KETAREN, L.H. PRASETYO, A.P. SINURAT dan RUKMIASIH. 2002. Perkembangan teknologi peternakan unggas air di Indonesia. Pros. Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Fakultas Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak. hlm. 22 41. NORTH, M.O. and DONALD. D. BELL., 1990. Commercial Chicken Production Manual. Forth Edition. An Avi Book Published by Van Nostrand Reinhold, New York. PALMER, R. S. 1972. Patterns of molting. Avian Biology. Vol. II. Edit. DONALD, S. FARNER, JAMES R. KING and KENNETH C. PARKES. (Eds.). Academic Press New York San Francisco London. hlm. 65 102. PAYNE, R.B. 1972. Mechanisms and control of molt. Avian Biology. Vol. II. DONALD, S. FARNER, JAMES R. KING and KENNETH C. PARKES. (Eds.). Academic Press New York San Francisco London. hlm.:103-147. PRASETYO, L.H., Y.C. RAHARDJO, T. SUSANTI dan W.K. SEJATI. 1998. Persilangan timbal balik antara itik Mojosari dan Tegal: II. Produksi dan kualitas telur. Kumpulan hasil-hasil penelitian peternakan APBN T.A. 1996/1997. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. hlm. 205 211. PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: Periode awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 5(4): 210 214. PURBA, M., L.H. PRASETYO dan BRAM BRAHMANTYO. 2002. Produktivitas dua bangsa itik lokal: Alabio dan Mojosari pada system kandang battery dan litter. Pros. Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Fakultas Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak. hlm. 157 162. ROHAENI. E. S. dan A. R. SETIOKO. 2002. Keragaan produksi telur pada sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan (SPAKU) itik 644

Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Pros. Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Fakultas Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak. hlm. 139 145. ROSE, S.P. 1997. Principles of Poultry Science. Cab International. SAS. 1997. SAS/STAT Guide for Personal Computers. Ver:6.12 Edit. SAS Institute Inc. Cary, NC. SETIOKO. A.R. dan E.S. ROHAENI. 2002. Pemberian bahan pakan lokal terhadap produktivitas itik Alabio. Pros. Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Fakultas Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak. hlm. 129 138. DISKUSI Pertanyaan: Mengapa produksi minggu ke 2, 10, 19, 20 berbeda? Jawaban: Dari 40 minggu yang diamati pada minggu tersebut secara statistik berbeda nyata, akan dikonsultasikan kembali dengan DR. HARDI. Produksi telur di daerah Banjarwangi lebih rendah karena pakannya beli (SDA nya kurang baik untuk dijadikan pakan). Produksi telur itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu tidak berbeda nyata (p<0,05) kecuali pada minggu ke-2, minggu ke 10, minggu ke-14 dan minggu ke-20. Produksi itik Alabio pada minggu-minggu tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan itik Mojosari, hal tersebut diduga pengaruh faktor lingkungan. 645