Edu Physic Vol. 4, Tahun 213 KARAKTERISASI POLA CURAH HUJAN DI SUMATERA BARAT DENGAN MENGGUNAKAN NCEP/NCAR REANALYSIS Oleh : Eva Gusmira Jurusan Pendidikan Fisika, IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi e-mail : eva_gusmira@yahoo.com Abstrak Analisis dilakukan dalam penelitian ini terhadap beberapa variabel meteorologi di Sumatera Barat yaitu curah hujan dan suhu permukaan laut (SPL). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui variabilitas iklim di Sumatera Barat. Analisis yang dilakukan menggunakan metoda (i) analisis sifat hujan di Sumatera Barat pada saat DM, (ii) korelasi silang antara indeks DM dengan laju presipitasi pada tahun DM. Secara umum didapatkan bahwa fenomena DM berpengaruh kuat terhadap curah hujan di Sumatera Barat yaitu : pada saat DM(+) terjadi penurunan curah hujan dari curah hujan normal, sedangkan pada saat DM(-) terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di Sumatera Barat. Pengaruh DM sangat jelas terlihat pada periode JJA dan SON yang mengindikasikan bahwa kejadian DM(- ) menyebabkan musim hujan datang lebih cepat dan DM(+) merupakan gangguan yang memperparah serta memperpanjang musim kemarau di Sumatera Barat sehingga mengakibatkan keterlambatan musim hujan. Kondisi kering di Sumatera Barat berkorelasi kuat dengan DM(+) pada saat musim kemarau, ketika SPL di Wilayah Indonesia mengalami pendinginan. Kata Kunci : Dipole Mode, curah hujan, SPL 1. PENDAHULUAN Pemanasan global, efek monsun dan fenomena El Niño (La Niña) menyebabkan cuaca dan iklim ekstrim di Indonesia. Curah hujan ekstrim tinggi pada musim hujan akan menyebabkan bencana banjir dan ektrim rendah pada musim kemarau akan menyebabkan bencana kekeringan. Fenomena ini juga memiliki korelasi kuat dengan osilasi atmosfer skala luas atau Osilasi Selatan (OS). Gambaran keseluruhan OS dengan El Niño dikenal dengan El Niño- Southern Oscillation (ENSO) yang diidentifikasikan dengan berfluktuasinya 25
Eva Gusmira, Karakterisasi curah hujan, kecepatan dan arah angin, pola arus laut dan suhu permukaan laut di perairan Indonesia dan sekitarnya serta Samudera Pasifik ekuator. Belakangan ditemukan pula suatu fenomena lain yang menyerupai ENSO yang terjadi di Samudera Hindia yang disebut Dipole Mode Event (DME) yang memberikan dampak yang serupa dengan ENSO (Saji et.al.,1999; Webster et.al.,1999). Struktur Dipole Mode (DM) ditandai dengan adanya perbedaan anomali suhu permukaan laut (SPL) antara Samudera Hindia tropis bagian barat (5 E 7 E / 1 S 1 N) dengan Samudera Hindia tropis bagian timur (9 E 11 E / 1 S - ekuator) yang disertai dengan adanya anomali angin dan presipitasi. Pada saat anomali SPL Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya yang disebut DM (+) maka terjadi peningkatan curah hujan dari keadaan normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat sedangkan di Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari keadaan normalnya yang menyebabkan kekeringan. Fenomena yang berlawanan juga terjadi yang disebut sebagai DM (-). Proses interaksi atmosfer-laut ini bersifat unik dan melekat di Samudera Hindia dan terlihat tak bergantung pada ENSO (Saji et.al.,1999; Webster et.al.,1999; Ashok et.al.,21; Yamagata et.al.,2). Sumatera Barat merupakan daerah yang dilalui oleh garis Ekuator dan terletak di dekat Samudera Hindia sehingga adanya kemungkinan cuaca lokal dipengaruhi oleh DM di Samudera Hindia. Selama ini belum ada kajian secara rinci yang mempelajari tentang curah hujan di atas Wilayah Sumatera Barat. Walaupun Murata et.al., (22) telah menganalisa hubungan antara angin dan curah hujan di Sumatera Barat khususnya Kototabang, namun tidak menunjukkan perilaku angin zonal dan curah hujan yang dipengaruhi oleh DM. Bannu (23) dan Setiawan (22) juga telah menganalisa kaitan antara DM dengan curah hujan dan angin permukaan secara umum, yang meliputi Benua Maritim Indonesia (BMI). Dengan demikian diperlukan suatu penelitian yang dapat mempelajari curah hujan diatas wilayah Sumatera Barat akibat adanya DM secara spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku curah hujan di atas wilayah Sumatera Barat akibat adanya pengaruh dipole mode dan mengidentifikasikan parameter yang dapat dijadikan indikator dalam menganalisis pengaruh dipole mode di Sumatera Barat. 2. DATA DAN METODA ANALISIS 2.1 Data Data curah hujan bulanan (asimilasi dan observasi) yang meliputi lima stasiun pengamatan di Sumatera Barat, dua stasiun (Tabing dan Sicincin) mewakili daerah bagian selatan ekuator pada posisi berturut-turut yaitu 862 LS - 1 35 BT; 65 LS - 1 25 BT,. Dua stasiun (Petok dan Talu) mewakili daerah bagian utara ekuator pada posisi 294 LU - 1 1 BT; 23 LU - 26
Edu Physic Vol. 4, Tahun 213 99 88 BT dan satu stasiun (Sasak) mewakili daerah yang terletak di ekuator pada posisi 8 LS - 99 784 BT (Gambar 1). Data curah hujan observasi (Januari 1981 - Desember 2) diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jakarta, sedangkan data curah hujan asimilasi ditentukan dari data laju presipitasi bulanan (Januari 1981-Desember 2) di Sumatera Barat yang diperoleh dari NCEP/NCAR Reanalysis base period 1981-2 yang diperoleh melalui : http://www.cpc.ncep.noaa.gov) berdasarkan posisi lintang dan bujur masing-masing stasiun (Gambar 1) Gambar 1. Lokasi posisi stasiun pengamatan curah hujan di Sumatera Barat Indeks Dipole Mode (IDM) ditentukan dari perbedaan anomali SPL Samudera Hindia di lepas pantai Sumatera (9 11 BT / 1 LS ekuator, kotak B pada Gambar 2) dan anomali SPL Samudera Hindia bagian barat (5 7 BT / 1 LS 1 LU, kotak A pada Gambar 2). Data IDM bulanan (Januari 1981 Desember 2) diperoleh melalui http://w3.frontier.esto.or.jp. Gambar 2. Lokasi fenomena Dipole Mode (DM) yang didefinisikan berdasarkan Saji et.al (1999) di Samudera Hindia (Bannu, 23) 27
Eva Gusmira, Karakterisasi Data global dalam bentuk grid meliputi, data suhu permukaan laut (SPL) bulanan (Januari 1981 Desember 2) dan data laju presipitasi bulanan (Januari 1981 - Desember 2). Sumber data diperoleh dari data bulanan NCEP/NCAR Reanalysis pada http://www.cpc.ncep.noaa.gov. Resolusi spatial data ini adalah 2 x 2 atau 2 km (Kalnay et.al., 1996). Range waktu 1981-2 dipilih untuk memperoleh data yang lebih pasti karena data reanalysis menggunakan satelit sounder TOVS dimulai pada tahun 1979. 2.2 Metoda Analisis 2.2.1 Perhitungan Distribusi Curah Hujan Bulanan Lima Stasiun di Sumatera Barat Distribusi curah hujan bulanan masing-masing stasiun di Sumatera Barat didapatkan dengan cara merata-ratakan data curah hujan setiap bulannya sesuai panjang masing-masing data. Distribusi curah hujan bulanan diperlukan untuk melihat kebenaran tipe pola curah hujan di Sumatera Barat berdasarkan tiga kriteria yaitu : pola ekuator, pola monsun dan pola lokal (Bayong and Mustofa, 2). Disamping itu, perhitungan distribusi curah hujan dilakukan untuk menvalidasi data curah hujan asimilasi yang digunakan dalam penelitian ini. 2.2.2 Perhitungan Prosentase Curah Hujan Musiman Prosentase curah hujan musiman dihitung berdasarkan penetapan musim di Indonesia yaitu Juni-Juli-Agustus (JJA), September-Oktober-November (SON), Desember-Januari-Februari (DJF) dan Maret-April-Mei (MAM). Setiap stasiun dihitung curah hujan normalnya berdasarkan curah hujan rata-rata selama 2 tahun dengan perioda tahun 1981-2. Curah hujan normal ini digunakan untuk menentukan sifat hujan masing-masing daerah di Sumatera Barat. Prosentase curah hujan setiap musimnya dihitung berdasarkan persamaan : % JJA JJA 1% Normal( JJA) % SON SON 1% Normal( SON) (1) % DJF DJF 1% Normal( DJF) % MAM MAM 1% Normal( MAM ) Sifat hujan dikategorikan sebagai di atas normal, normal dan di bawah normal. Sifat hujan tersebut diartikan sebagai akumulasi curah hujan yang 28
Edu Physic Vol. 4, Tahun 213 terjadi dalam suatu musim. Sifat hujan normal artinya akumulasi curah hujan yang terjadi pada suatu musim di sekitar nilai rata-ratanya selama 2 tahun, sedangkan di atas normal diartikan bahwa akumulasi curah hujan lebih tinggi dari batas atas nilai normalnya, dan di bawah normal artinya akumulasi curah hujan pada suatu musim lebih rendah dari batas bawah nilai normalnya (BMG 2). Nilai perbandingan antara akumulasi curah hujan setiap musimnya dengan nilai rata-ratanya seperti yang tertera pada persamaan (1) ditetapkan oleh BMG Jakarta sebagai berikut : Di bawah normal : Jika nilai perbandingannya < 85% Normal : Jika nilai perbandingannya = 85% - 115% Di atas normal : Jika nilai perbandingannya > 115% 2.2.3 Pengolahan Data Grid Pengolahan data grid global dilakukan dengan menggunakan software Grid Analysis Display System (GrADS) versi 1.8SL8 yang diperoleh melalui http:/grads.iges.org/. Perhitungan korelasi silang dilakukan dengan memanfaatkan fungsi tcorr yang terdapat dalam dokumentasi GraDS sebagai berikut : Tcor(expr1, expr2, tdim1, tdim2) (2) dimana : - expr1 : ekspresi GrADS yang bervariasi dengan waktu - expr2 : ekspresi GrADS yang bervariasi dengan waktu serta lintang dan bujur - tdim1 dan tdim2 : waktu awal dan akhir dari expr1 dan expr2 Deret waktu expr1 dikorelasikan dengan deret waktu setiap titik grid pada expr2. Hasil korelasi berupa harga koefisien korelasi yang memiliki dimensi lintang dan bujur seperti expr2, dengan harga koefisien korelasi ditampilkan pada range (-,8) sampai (,8) dengan interval kontur,2 dan harga koefisien korelasi signifikan diambil untuk r,3 3. HASIL 3.1 Validasi Curah Hujan Observasi dan Asimilasi Distribusi curah hujan bulanan baik observasi maupun asimilasi diberikan pada Gambar 3. Curah hujan observasi lima stasiun yang mewakili daerah di Sumatera Barat yaitu dua stasiun (BMG Padang dan Sicincin) yang terletak di bagian selatan ekuator, dua stasiun (Petok dan Talu) terletak di bagian utara ekuator dan satu stasiun (Sasak) terletak di sekitar ekuator (Gambar 3) 29
Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) Eva Gusmira, Karakterisasi menunjukkan tipe hujan jenis ekuator dengan curah hujan yang relatif tinggi sekitar bulan Maret-April dan Oktober-November. Curah Hujan Talu Curah Hujan Petok 7 7 6 6 5 5 4 3 2 1 asimilasi observasi jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec 4 3 2 1 asimilasi observasi jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec Bulan Bulan 7 6 5 4 3 2 1 Curah Hujan Sasak asimilasi observasi jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec Bulan 7 6 5 4 3 2 1 Curah Hujan BMG Padang asimilasi observasi jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec Bulan Curah Hujan Sicincin 7 6 5 4 3 2 1 asimilasi observasi jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec Bulan Gambar 3. Distribusi Curah Hujan 5 (Lima) Stasiun di Sumatera Barat Observasi (garis putus-putus) dan Asimilasi (garis penuh) Hasil validasi curah hujan bulanan observasi dan curah hujan bulanan asimilasi dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3 dapat dikatakan bahwa curah hujan bulanan asimilasi yang dihasilkan sudah cukup baik. Hal ini diperkuat dengan nilai rata-rata korelasi.914, dimana nilai korelasi masingmasing stasiun Petok, Talu, Sasak, BMG Padang dan Sicincin adalah berturutturut.93771,.96386,.915472,.898799,.854758. Validasi curah hujan observasi dan asimilasi yang dilakukan dengan membandingkan secara langsung sangat bermanfaat dalam hal pengkajian intercomparison antar keduanya. Komparasi secara grafik (value to value) antara curah hujan observasi dan curah hujan asimilasi, pada dasarnya mampu memberikan gambaran mengenai kualitas data yang digunakan. 3.2 Pengaruh Dipole Mode terhadap Curah Hujan Analisis curah hujan di Sumatera Barat menunjukkan bahwa DM memberikan dampak terhadap curah hujan di Sumatera Barat (Gambar 4 s.d. Gambar 6). Pada saat DM(+), umumnya wilayah Sumatera Barat memiliki curah 3
Persentase (%) Persentase (%) Edu Physic Vol. 4, Tahun 213 hujan dibawah normal (Gambar 4 dan Gambar 5). Sedangkan pada saat DM(-) mengalami peningkatan curah hujan dari normalnya yang terjadi pada saat JJA dan SON. Adanya peningkatan curah hujan saat musim kemarau menunjukkan bahwa DM(-) mempercepat datangnya musim hujan dari biasanya. Sebaliknya, DM(+) merupakan gangguan yang menyebabkan musim kemarau lebih lama dan lebih parah. Persentase Curah Hujan 5 (Lima) Stasiun di Sum-Bar pada saat Dipole Mode (+) Persentase Curah Hujan 5 (Lima) Stasiun di Sum-Bar pada saat Dipole Mode (-) 14 12 1 8 6 4 2 TABING SICINCIN SASAK PETOK TALU Stasiun JJA SON DJF M A M 85% 115% 14 12 1 8 6 4 2 TABING SICINCIN SASAK PETOK TALU Stasiun JJA SON DJF M A M 85% 115% Gambar 4. Prosentase Curah Hujan Musiman (Observasi) 5 (Lima) Stasiun di Sum-Bar pada saat Dipole Mode, dimana batas kondisi normal (<85 %), normal (= 85 % - 115 %) dan di atas normal (> 85 %) DESEMBER JANUARI - MARET APRIL - JUNI JULI SEPTEMBER OKTOBER - Gambar 5. Prosentase Curah Hujan Musiman di Sum-Bar pada saat Dipole Mode positif, dimana batas kondisi normal (<85 %), normal (= 85 % - 115 %) dan di atas normal (> 85 %) 31
Eva Gusmira, Karakterisasi DESEMBER JANUARI - MARET APRIL - JUNI JULI SEPTEMBER OKTOBER - NOVEMBER Gambar 6. Persentase Curah Hujan Musiman di Sum-Bar pada saat Dipole Mode negatif, dimana batas kondisi normal (<85 %), normal (= 85 % - 115 %) dan di atas normal (> 85 %) Analisis curah hujan secara spasial dilakukan untuk mengetahui atau mengidentifikasi lebih jauh peningkatan (penurunan) curah hujan saat DM(+) dan DM(-) di Sumatera Barat. Tahun-tahun kejadian DM(+) dan DM(-) diperoleh dari hasil identifikasi yang dilakukan oleh Bannu (23), Saji et.al (1999), Ashok et.al (21) dan Saji and Yamagata (21), dimana diperoleh kejadian DM(+) meliputi tahun 1982-1983, 1994-1995 dan 1997-1998. Kejadian DM(-) pada tahun 1983-1984, 1988-1989, 1992-1993, 1995-1996 dan 1998-1999. Hasil analisis dilakukan secara spasial dan temporal dalam skala musiman sebagai berikut : 3.2.1 Juni-Juli-Agustus Pada periode ini, wilayah Sumatera Barat memiliki curah hujan di bawah normal saat DM(+). Sedangkan saat DM(-), terdapat curah hujan di atas normal di wilayah ini (Gambar 4, 5 dan Gambar 6). Daerah Sumatera Barat memiliki respon yang kuat terhadap kondisi DM. Hal ini diperlihatkan melalui korelasi silang antara indeks DM dengan laju presipitasi. Hasil korelasi silang antara IDM dengan laju presipitasi memperlihatkan bahwa daerah Sumatera Barat sudah mulai memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap DM(+) dengan nilai korelasi r,3. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya anomali positif Suhu Permukaan Laut (SPL) di 32
Edu Physic Vol. 4, Tahun 213 Samudera Hindia tropis bagian barat bersamaan dengan menurunnya laju presipitasi di Sumatera Barat (Gambar 7). DESEMBER JANUARI - FEBRUARI MARET APRIL - MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER - NOVEMBER Gambar 7. Korelasi Silang antara Indeks Dipole Mode (IDM) dengan Laju Presipitasi di Sum-Bar (1981-2) untuk Tahun Dipole Mode positif. Interval kontur,2 dengan koefisien korelasi signifikan r,3. DESEMBER JANUARI - FEBRUARI MARET APRIL - MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER - NOVEMBER Gambar 8. Korelasi Silang antara Indeks Dipole Mode (IDM) dengan Laju Presipitasi di Sum-Bar (1981-2) untuk Tahun Dipole Mode negatif. Interval kontur,2 dengan koefisien korelasi signifikan r,3. 33
Eva Gusmira, Karakterisasi Sementara itu, hasil korelasi silang antara IDM dengan laju presipitasi saat DM(-), diperoleh adanya korelasi negatif yang signifikan (r,3) di Sumatera Barat pada umumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya anomali negatif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia tropis bagian barat bertepatan dengan meningkatnya laju presipitasi di wilayah ini (Gambar 8). Rendahnya curah hujan saat DM(+) juga disebabkan karena pada periode ini wilayah Indonesia memasuki musim kemarau (JJA). 3.2.2 September-Oktober-November Pada periode ini saat DM(+), masih terlihat penurunan curah hujan seperti halnya pada periode JJA (Gambar 4 dan Gambar 5). Periode ini merupakan masa peralihan musim kemarau ke musim hujan. Sedangkan pada saat DM(-), umumnya wilayah Sumatera Barat memiliki curah hujan normal walaupun ada beberapa daerah yang memiliki curah hujan diatas normal (Gambar 4 dan Gambar 6). Hasil korelasi silang antara IDM dengan laju presipitasi saat DM(+), diperoleh adanya korelasi negatif yang cukup signifikan (r,3). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya anomali positif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia tropis bagian barat bersamaan dengan berkurangnya laju presipitasi di Sumatera Barat (Gambar 7). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Saji et.al (1999). Sementara itu, hasil korelasi silang antara IDM dengan laju presipitasi pada saat DM(-), diperoleh adanya korelasi negatif yang signifikan (r,7). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya peningkatan laju presipitasi bersamaan dengan terdapatnya anomali positif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia tropis bagian barat (Gambar 8). 3.2.3 Desember-Januari-Februari Pada periode ini saat DM(+), daerah Sumatera Barat sudah memiliki curah hujan normal, walaupun masih ada sebagian kecil daerah yang mempunyai curah hujan di bawah normal (Gambar 4 dan Gambar 5). Pada periode ini Indonesia sudah memasuki musim hujan. Berkurangnya wilayah yang memiliki curah hujan di bawah normal, menunjukkan adanya pelemahan pengaruh DM terhadap curah hujan di wilayah ini. Hal ini juga disebabkan karena fenomena DM telah mengalami puncaknya di akhir tahun, serta pada periode ini Indonesia telah memasuki musim hujan. Sedangkan pada saat DM(-), wilayah Sumatera Barat terlihat memiliki curah hujan normal (Gambar 4 dan Gambar 6), walaupun dari hasil prosentase grafiknya mendekati batas tepi atas garis normal. Hasil korelasi silang hubungan antara IDM dengan laju presipitasi pada saat DM(+) diperoleh nilai korelasi yang bervariasi. Sebagian kecil wilayah di bagian utara ekuator tidak memiliki korelasi yang signifikan, namun sebagian besar 34
Edu Physic Vol. 4, Tahun 213 wilayah memiliki korelasi positif (r,3). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya peningkatan laju presipitasi bersamaan dengan terdapatnya anomali positif Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia tropis bagian barat (Gambar 7). Ini memperlihatkan bahwa tidak adanya pengaruh DM terhadap curah hujan di wilayah ini pada periode DJF. Sementara itu, hasil korelasi silang hubungan antara IDM dengan laju presipitasi pada pada saat DM(-), diperoleh bahwa tidak semua wilayah Sumatera Barat berkorelasi dengan DM pada periode ini. Sebagian wilayah memiliki korelasi positif yang cukup signifikan (r,5), dan sebagian besar tidak memiliki korelasi dengan DM. Ini mengindikasikan bahwa wilayah Sumatera Barat pada periode ini tidak dipengaruhi oleh DM (Gambar 8). Hal ini sesuai dengan ungkapan Saji et.al (1999), dimana siklus ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November-Desember. 3.2.4 Maret-April-Mei Pada periode transisi ini, curah hujan di Sumatera Barat pada saat DM(+) umumnya normal (Gambar 4 dan Gambar 5). Pengaruh DM(+) di wilayah Sumatera Barat pada periode ini sudah tidak tampak lagi, konsisten dengan hasil korelasi silang antara IDM dengan laju presipitasi (Gambar 7). Sementara itu saat DM(-), Sumatera Barat juga memiliki curah hujan normal (Gambar 4 dan Gambar 6). Sedangkan hasil korelasi silang saat DM(-) diperoleh adanya korelasi positif yang cukup signifikan (r,3). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya anomali negatif SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat tidak menyebabkan curah hujan yang meningkat di Sumatera Barat. Diduga ada faktor lain yang mempengaruhi curah hujan pada periode ini. 4. PENUTUP Dalam penelitian ini, menggambarkan pengaruh fenomena Dipole Mode yang terjadi di Samudera Hindia selama Januari 1981 sampai dengan Desember 2. Validasi curah hujan bulanan baik observasi maupun asimilasi sudah menunjukkan tipe curah hujan ekuator yang mempunyai dua puncak maksimum yaitu sekitar bulan Maret-April dan bulan Oktober-November. Pada saat DM(+), wilayah Sumatera Barat memiliki curah hujan di bawah normal pada periode JJA dan SON. Sedangkan pada saat DM(-), Sumatera Barat memiliki curah hujan di atas normal saat musim kemarau. Sumatera Barat memiliki korelasi yang kuat terhadap fenomena DM, dimana pada saat DM(+) mengakibatkan pengurangan curah hujan selama JJA dan SON, tetapi memiliki korelasi yang lemah saat DJF dan MAM. Sebaliknya saat DM(-), mengakibatkan terjadinya peningkatan curah hujan. 35
Eva Gusmira, Karakterisasi Daftar Pustaka [1] Ashok, K.Z., Guan, and T. Yamagata, (21), Impact of the Indian Ocean Dipole on the Relationship between the Indian Monsoon Rainfall. (Accepted for Publication in Geophys. Res. Lett) [2] Bannu, (23), Analisis Interaksi Monsun, ENSO dan Dipole Mode serta Kaitannya dengan Variabilitas Curah Hujan dan Angin Permukaan di Benua Maritim Indonesia. Tesis Magister, Departemen GM, ITB [3] Bayong, Tj.H.K., and A.M. Mustofa, (2), Seasonal Rainfall Variation Over Monsoonal Areas. Jurnal Teknologi Mineral. Vol. VII, No.4/2 [4] BMG (2), Prakiraan Musim Kemarau di Indonesia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta [5] Kalnay.E, Kanamitsu, M., R. Kistler, Roy Jenne, Dennis Joseph, (1996), The NCEP/NCAR 4-Year Reanalysis Project. Bulletin of the American Meteorological Society, Amerika. Vol. 77, No. 3, pp. 437-472 [6] Murata, F., Yamanaka, M.D, Fujiwara, M., Ogino, S., Hashiguchi, H., Fukao, S., Kudsy, M., Sribimawati, T., Sriworo, and Kelana, E., (22), Relationship between Wind and Precipitation Observed with a UHF Radar, GPS Rawinsondes and Surface Meteorological Instruments at Kototabang, West Sumatera during September October 1998. Journal of the Meteorological Society of Japan, Vol. 8. No. 3.PP. 347-36 [7] Saji, N. H, B. N. Goswani, P. N. Vinayachandran, and T.Yamagata, (1999), A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean. Nature Vol. 41, 36-363 [8] Saji, N. H, and T.Yamagata, (21), The Tropical Indian Ocean Climate System from the Vantage Point of Dipole Mode Event. (Submitted to J. Climate) [9] Setiawan, Agus, (22), Analisis Variabilitas Parameter Meteorologi- Oseanografi di Benua Maritim Indonesia dalam Hubungannya dengan Interaksi antara Fenomena Monsun, ENSO dan Dipole Mode. Tesis Magister, Departemen GM, ITB [1] Vinayachandran, P.N., Lizuka, S. and Yamagata, T., (21), Indian Ocean Dipole Mode Events in an Ocean General Circulation Model. Preprint Submitted to Elsevier Science 36
Edu Physic Vol. 4, Tahun 213 [11] Webster, P. J., J.P. Loschnigg, A.M. Moore, and R.R. Leben, (1999), Coupled Ocean-Atmosphere Dynamics in the Indian Ocean during 1997-1998. Nature, 41, 356-359 [12] Yamagata, T., Lizuka, S, and Matsura, T, (2), Successful Reproduction of the Dipole Mode Phenomenon in the Indian Ocean Using a Model Advance toward the Prediction of Climate Change-. Geophysical Research Letter (GRL) 37