BAB II KARAKTERISTIK PINJAM PAKAI PADA PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

Benda??? HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M.

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB III PERLINDUNGAN BAGI PEMILIK BENDA DAN KREDITUR PENERIMA GADAI APABILA OBJEK GADAI DIJAMINKAN OLEH PIHAK YANG BUKAN PEMILIK BENDA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

HUKUM KEBENDAAN PERDATA

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

Lex Crimen Vol. VI/No. 10/Des/201. HAK-HAK KEBENDAAN YANG BERSIFAT JAMINAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA 1 Oleh: Andhika Mopeng 2

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017

BAB I PENDAHULUAN. 1 Oetarid Sadino, Pengatar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta 2005, hlm. 52.

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

Pemanfaatan pembangkit tenaga listrik, baru dikembangkan setelah Perang Dunia I, yakni dengan mengisi baterai untuk menghidupkan lampu, radio, dan ala

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya..

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

BAB III PEMBAHASAN. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang diartikan buruk,

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA. 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan dan;

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

07/11/2016 SYARAT DALAM CESSIE. Pengalihan Hak dalam Kontrak (cessie) & Pengalihan Kewajiban (delegasi) CESSIE

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan II.1.1 Pengertian Jaminan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB II PENGATURAN GADAI DEPOSITO DALAM KERANGKA HUKUM JAMINAN. mungkin akan terhindar dari itikad tidak baik debitur pemberi jaminan kebendaan

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

BAB I PENDAHULUAN. patut, dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak. 1 Salah satu bidang hukum

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2

Dokumen Perjanjian Asuransi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

Hukum Perikatan. Defenisi 4 unsur: Hubungan hukum Kekayaan Pihak pihak prestasi. Hukum meletakkan hak pada 1 pihak dan kewajiban pada pihak lain

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Kebutuhan akan adanya lembaga jaminan, telah muncul sejak zaman romawi.

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Sistematika Siaran Radio

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

TINJAUAN YURIDIS PENGAKHIRAN SEWA MENYEWA RUMAH YANG DIBUAT SECARA LISAN DI KELURAHAN SUNGAI BELIUNG KECAMATAN PONTIANAK BARAT

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, PERJANJIAN KREDIT, HAK TANGGUNGAN, PEMBUKTIAN, AKTA OTENTIK, DAN LELANG

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sosialisasi yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB III KARAKTERISTIK DAN BENTUK HUBUNGAN PERJANJIAN KONSINYASI. A. Karakteristik Hukum Kontrak Kerjasama Konsinyasi Distro Dan

Transkripsi:

BAB II KARAKTERISTIK PINJAM PAKAI PADA PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK 1. Karakteristik Klausul Pinjam Pakai dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Perjanjian pinjam pakai merupakan salah satu perjanjian bernama yang diatur dalam Bab XII BW yaitu dalam Pasal 1740 sampai dengan Pasal 1753 BW. Definisi perjanjian pinjam pakai tercantum dalam Pasal 1740 BW, yaitu suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan (dalam tulisan ini, selanjutnya akan disebut Pemberi Pinjaman ) suatu barang kepada pihak lainnya (dalam tulisan ini, selanjutnya akan disebut Penerima Pinjaman ) untuk dipakai secara cuma-cuma (= gratis, pen.) dengan syarat setelah memakai atau setelah lewatnya waktu tertentu, si penerima akan mengembalikan. Klausul pinjam pakai berikut ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tanah yang akan dipakai untuk gardu distribusi diatur dalam Pasal 4 Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Daya 555 KVA (Perubahan daya 197 kva menjadi 555 kva) antara PT PLN (Persero) dengan PT XYZ, tertanggal 5 Februari 2015, dengan judul pasal Fasilitas Tanah dan Bangunan Gardu. Disampaikan oleh Staf Hukum PLN Distribusi Jawa Timur, Miftakhus Saidin, bahwa Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik tersebut merupakan perjanjian standar PLN yang dihasilkan dari pengisian database pelanggan pada Kantor Sub Unit Pelayanan PLN yang disebut sebagai Aplikasi Pelayanan Pelanggan Terpusat (AP2T). 25

26 Meskipun standar, dalam keadaan tertentu dapat direvisi sesuai kesepakatan antara PLN dan Pelanggan 22. Pasal 4 perjanjian tersebut hanya terdiri dari tujuh ayat, tanpa ada keterangan lebih lanjut mengenai pengaturan atau norma-norma pendukung pada pasal-pasal berikutnya atau di dalam lampiran perjanjian. Oleh sebab itu semua ketentuan yang terkait dengan tanah dalam perjanjian tersebut, hanya akan dirujuk pada pasal ini saja. - Penguasaan (Bezit) Perikatan Pinjam Pakai dengan objek tanah, dimana hak bezit atas tanah sudah tidak berlaku lagi, namun tetap akan sedikit dibahas sekilas mengenai bezit, karena bezit atas benda lain, masih berlaku menurut teorinya dan penulisan dalam bagian ini lebih pada perjanjian pinjam pakai pada umumnya. Teori bezit diperkenalkan oleh Von Savigny pada tahun 1803 dan diikuti oleh banyak penulis pada abad XIX. Pada perjanjian pinjam pakai terjadi pemindahan penguasaan atas benda atau terjadi perpindahan penguasaan atas benda. Penguasaan atas benda (bezit) diatur di dalam Pasal 529 BW, yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain dan mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu. Menurut ketentuan pasal tersebut, bezit adalah keadaan memegang atau menikmati suatu benda oleh orang yang menguasainya, baik sendiri maupun 22 Wawancara dengan Akmal Muhamad Gahan dan Miftakhus Saidin, tanggal 14 Juli 2015 di Kantor PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur, Surabaya.

27 dengan perantaraan orang lain seolah-olah itu kepunyaannya sendiri 23. Bezit yang umumnya banyak dibicarakan adalah bezit dari hak milik, meskipun tidak hanya hak milik yang dibayangi oleh bezit, sebaimana pendapat Pitlo yang dikutip oleh Sri Soedewi, disamping hak milik itu ada bezit dari hak milik, di samping hak piutang ada bezit dan sebagainya. 24. Pada teori Von Savigny tersebut di atas untuk mempunyai hak bezit atas suatu benda diperlukan penguasaan atas benda itu dan mempunyai kemauan untuk memilikinya 25. Dengan demikian bezit, mempunyai dua elemen yaitu adanya corpus atau harus adanya penguasaan bendanya, dan animus atau penguasaan tersebut dikehendaki oleh orang secara sempurna atau oleh orang yang berwenang dan cakap hukum. Meskipun dalam perkembangan pada hukum positif, pengubahan kemauan saja dari seseorang yang menguasi benda, tidak dapat mengubah sifat suatu hak, sebagaimana dalam Pasal 536 BW tentang sewa-menyewa 26. Bezit atau keadaan menguasai adalah keadaan tertentu karena tidak semua penguasaan adalah bezit., penguasaan juga harus dibedakan berdasarkan tujuan dan berdasarkan iktikadnya. - Penguasaan menurut tujuan Penguasaan menurut tujuan dibedakan menjadi dua, yaitu penguasaan yang bertujuan untuk memiliki benda dan penguasaan untuk detensi benda. 23 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Cetakan Revisi), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, h. 161 24 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda (cetakan ke-4), Liberty, Yogyakarta, 1981, h. 83. 25 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2007, h. 151. 26 Ibid., h. 159

28 Penguasaan untuk memiliki benda dapat terjadi karena undang-undang atau karena perjanjian. Penguasaan dengan tujuan memiliki berdasarkan undangundang misalnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1977 ayat 1 BW, dimana orang yang menguasai benda yang hilang atau temuan itu dianggap sebagai pemiliknya, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya dan itupun terbatas hanya dalam tenggang waktu tiga tahun untuk benda bergerak (Pasal 1977 ayat 2 BW) 27. Detensi atau houderschap adalah keadaan dimana penguasa benda tidak mempunyai kehendak untuk memiliki barang itu bagi dirinya sendiri. Pada keadaan ini, seseorang, (yang disebut juga detentor atau houder) menguasai barang tersebut berdasarkan hubungan hukum tertentu dengan orang lain, misalnya; karena disewanya, dipinjamnya, digadaikan, dan lain-lain. 28 Jadi dapat simpulkan sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh Tan Thong Kie bahwa: barangsiapa yang jelas menguasai suatu benda berdasarkan suatu hubungan hukum dengan orang lain, adalah hanya pemegang (detentor atau houder), dia bukanlah bezitter. Detentor adalah orang yang memegang benda saja untuk orang lain atau disebut juga bezit alamiah (natuurlijk bezit), sedangkan houder adalah pemegang saja, baik dengan maupun tanpa perjanjian 29. - Penguasaan menurut itikad Pembedaan penguasaan juga dapat dilihat dari itikadnya. Pembedaan menurut iktikad ini terdiri dari dua jenis itikad penguasaan. 27 Abdulkadir Muhammad, op. cit., h. 164 28 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit., h. 85 29 Tan Thong Kie, op.cit., h. 159

29 Pertama, penguasaan benda dengan itikad baik yang berarti kejujuran atau bersih (Bld.: tegoeder trouw, Ing.: in good faith, Prc.: de bonne foi) 30. Penguasaan benda yang jujur apabila penguasaan itu diperoleh berdasarkan caracara perolehan hak milik, sedangkan yang memperoleh itu tidak mengetahui kekurangan atau cacat yang terdapat pada benda itu (Pasal 531 BW). Setiap penguasaan benda selalu dianggap jujur, kecuali apabila dapat dibuktikan sebaiknya. Prinsip ini sejalan dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 533 BW. Sebagai contoh, seorang pembeli barang dianggap sebagai pembeli yang beritikad baik karena mempercayai penjual sebagai sungguh-sungguh pemilik sendiri dari barang yang dibelinya itu, meskipun sebenarnya si penjual bukan pemilik. Kedua, penguasaan benda yang tidak jujur atau beritikad buruk (Bld.: tekwader trouw), yang merupakan kebalikan dari yang pertama. Dirumuskan oleh Hoge Raad, penguasaan benda yang tidak jujur apabila orang yang menguasai benda itu mengetahui atau setidak-tidaknya seharusnya mengetahui bahwa dengan penguasaan benda itu, dia merugikan orang lain 31. - Fungsi sebagai Pemegang kuasa benda (bezitter) Dengan kapasitas sebagai bezziter, berlaku 2 fungsi sebagai pemegang bezit, yaitu fungsi yustisial (Pitlo; fungsi polisional) dan fungsi zakenrechtelijk. Fungsi yustisional adalah fungsi dimana seseorang yang menguasai benda dianggap sebagai pemilik yang berhak atas benda, sampai terbukti sebaliknya 30 Subekti, op.cit., h. 41 31 Abdulkadir Muhammad, op.cit., h. 165-166

30 (Pasal 1977 ayat 1 BW). Hukum melindungi keadaan ini tanpa mempersoalkan siapa sebenarnya yang mempunyai hak milik atas benda tersebut, sehingga siapapun yang merasa terganggu, dia dapat melalui pengadilan yang berwenang. Fungsi zakenrechtelijk, adalah fungsi penguasaan yang dapat mengubah status orang yang menguasai benda dapat berubah menjadi pemilik benda melalui lembaga daluwarsa (verjaring), jika penguasaan tersebut berlangsung terus meneus tanpa ada gugatan dari pemilik sebenarnya. Mengacu pada uraian di atas tentang penguasaan benda dalam perikatan pinjam pakai pada umumnya, maka dapat disimpulkan bahwa, Penerima Pinjaman pada perikatan pinjam pakai, bukanlah berkapasitas sebagai bezitter tetapi hanya berkapasitas sebagai houder saja, karena Penerima Pinjaman dalam menguasai benda, terikat dengan perjanjian khusus dengan pemilik sebenarnya. Terlebih dalam penulisan ini, di mana obyek Klausul Pinjam Pakai adalah tanah yang tidak dikenal hak bezit-nya dalam hukum positif Indonesia, maka pembahasan mengenai bezit tidak dibahas pada bagian setelah ini. a. Pinjam-Pakai Pada ayat (1) Pasal 4 perjanjian ini, dicantumkan dengan jelas mengenai status penyerahan tanah sebagaimana dikutip dalam ayat tersebut tercantum: Untuk keperluan penyaluran tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Perjanjian ini, PELANGGAN akan menyerahkan kepada PLN sebidang tanah lengkap dengan bangunan gedung Cubicle sesuai ketentuan PLN yang berlaku dengan status pinjam pakai seluas 4m x 6m = 24m 2 untuk jangka waktu selama diperlukan oleh PLN, guna

31 pembangunan / penempatan instalasi beserta perlengkapan milik PLN yang diperlukan dalam rangka penyaluran tenaga listrik. Pada ketentuan yang tercantum dalam ayat perjanjian tersebut dengan jelas digunakan istilah Pinjam Pakai sebagai status tanah yang dipergunakan PLN dan tanpa disertai pemindahan hak atas tanah sebagaimana dipertegas dalam ayat (3) pada pasal yang sama. - Karakteristik Perikatan Pinjam Pakai Lebih lanjut BW juga mengatur tentang ciri-ciri atau karakteristik perjanjian pinjam pakai sebagai berikut: - Pemindahan penguasaan barang pinjaman tidak memindahkan hak kepemilikan atas barang yang dipinjamkan (Pasal 1741 BW). - Perikatan yang terjadi akibat perjanjian pinjam pakai berpindah kepada ahli waris para pihak, kecuali perjanjian yang disebabkan alasan personal dan diberikan secara khusus kepada Penerima Pinjaman, maka para ahli waris Penerima Pinjaman tidak dapat menikmati barang pinjaman tersebut (Pasal 1743 BW). Mengenai kewajiban Penerima Pinjaman, BW mengatur sebagai berikut: - Penerima Pinjaman wajib menyimpan dan memelihara barang pinjaman sebagai bapak yang baik (Pasal 1744 ayat 1 BW) - Penerima Pinjaman wajib menggunakan barang pinjaman untuk keperluan yang selaras dengan sifat barang tersebut atau yang ditentukan dalam perjanjian, jika melanggar dikenakan ganti kerugian dan bunga (Pasal 1744 ayat 2 BW).

32 Mengenai tanggung jawab Penerima Pinjaman atas musnahnya barang pinjaman, sekalipun karena kejadian yang tidak disengaja, BW mengatur sebagai berikut: - Akibat pemakaian di luar sifat peruntukan barang pinjaman atau pemakaian yang lebih lama dari yang diperbolehkan (Pasal 1744 ayat 3 BW). - Akibat pemakaian barang pinjaman, padahal si Penerima Pinjaman bisa memakai barang serupa miliknya sendiri, - Akibat memilih menyelamatkan barang miliknya pada saat kejadian, dimana saat itu hanya mampu memilih 1 barang yang bisa diselamatkannya antara barang miliknya sendiri dan barang pinjaman (Pasal 1745 BW). Besaran tanggung jawab atas musnahnya barang pinjaman kepada Penerima Pinjaman dalam BW adalah sebesar taksiran pada waktu barang dipinjamkan, kecuali diperjanjikan lain (Pasal 1746 BW). Lebih lanjut BW juga mengatur mengenai beban tanggung jawab kepada para pihak bukan atas musnahnya barang, adalah sebagai berikut: a. Tanggung jawab seorang Penerima Pinjaman atau secara tanggung-renteng oleh para Penerima Pinjaman (Pasal 1749 BW) adalah biaya yang dikeluarkan agar barang pinjaman bisa dipergunakan (Pasal 1748 BW). b. Sedangkan tanggung jawab Pemberi Pinjaman adalah, sebagai berikut: - Berkurangnya / penyusutan nilai barang pinjaman akibat pemakaian yang benar (Pasal 1747 BW).

33 - Biaya(-biaya) besar yang terpaksa, perlu, dan mendesak sehingga tanpa sempat diberitahukan kepada Pemberi Pinjaman yang dikeluarkan oleh Penerima Pinjaman selama masa peminjaman (Pasal 1752 BW). - Akibat(-akibat) pemakaian yang ditimbulkan oleh cacat-cacat yang sudah diketahui oleh Pemberi Pinjaman namun tidak diberitahukan kepada Penerima Pinjaman (Pasal 1753 BW). Berdasarkan karakteristik perjanjian Pinjam-Pakai yang diatur dalam BW sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat ditemukan kesesuaian antara karakter tersebut dengan isi kesepakatan yang tertuang dalam Pasal 4 perjanjian tersebut, sebagai berikut: 1. Kesamaan istilah: Pinjam-Pakai ; ayat (1) Pasal 4 Perjanjian dengan Pasal 1740 BW. 2. Bersifat cuma-cuma, yakni pembangunan dan penempatan bangunan gardu distribusi tidak dikenakan biaya apapun, sesuai Pasal 1740 BW. 3. Terjadi penyerahan penguasaan atas benda yang menjadi objek Pinjam Pakai; ayat (1) Pasal 4 Perjanjian dengan Pasal 1740 BW. 4. Tidak terjadi perpindahan hak kepemilikan atas objek Pinjam-Pakai yakni tanah tempat didirikannya gardu distribusi; ayat (3) Pasal 4 Perjanjian dengan Pasal 1741 BW. 5. Objek berupa barang yang tidak musnah karena pemakaian, yaitu tanah; sesuai ketentuan Pasal 1742 BW. 6. Tanggung jawab biaya tetap berada di Pemberi Pinjaman; ayat (3) Pasal 4 Perjanjian dengan norma dalam Pasal 1744 juncto 1752 BW.

34 7. Larangan untuk meminta kembali yang diatur dalam Pasal 1750 BW terdapat dalam ketentuan ayat (5) Pasal 4 Perjanjian. Namun, dalam perjanjian tersebut juga ada beberapa perbedaan karakter antara ketentuan dalam perjanjian dan ketentuan BW, meskipun ketentuan dalam Buku III BW bersifat mengatur dan tidak memaksa. Terhadap perbedaan sebagaimana akan diuraikan sebagai berikut, timbul pertanyaan baru yaitu apakah klausul Pinjam Pakai yang terdapat dalam perjanjian tetap dapat dikategorikan sebagai perikatan Pinjam Pakai, karena perjanjian bernama dalam BW, termasuk perjanjian Pinjam-Pakai, merupakan perjanjiaan khusus yang diatur dalam undang-undang (BW), yang merupakan perjanjian yang paling dikenal dalam masyarakat pada waktu BW dibentuk 32. Sehingga perbedaan dengan apa yang telah diatur secara khusus, apakah dapat menggugurkan klausul Pinjam Pakai ini sebagai perikatan Pinjam Pakai yang sebenarnya? b. Berakhirnya Pinjam-Pakai Salah satu perbedaan yang paling terlihat adalah mengenai berakhirnya perjanjian. Pada Pasal 1740 BW terdapat syarat penerima pinjaman akan mengembalikan setelah selesai memakai atau setelah lewat suatu waktu tertentu. Karakter ini perlu menjadi perhatian khusus karena tidak ditemukan ketentuan berakhirnya status pinjam pakai dalam perjanjian tersebut. 32 Subekti, op.cit., h. 14

35 Bahkan perikatan pinjam-pakai itu sendiri dirancang untuk melewati masa berlakunya perjanjian itu sendiri. Hal tersebut nampak pada objek perjanjian tetap yang dapat dipergunakan oleh pihak Peminjam (PLN) walaupun terjadi peralihan kepemilikan dan/atau berakhirnya Perjanjian, sebagaimana diatur dalam ayat (4) Pasal 4 Perjanjian. Perikatan pinjam-pakai, meskipun dalam suatu perjanjian dapat dialihkan sesuai Pasal 1743 BW, tetapi konteks dalam aturan BW tersbut adalah peralihan akibat pewarisan. Hal itupun dibatasi jika objek tidak diberikan secara personal kepada Penerima pinjaman. Selain berbeda dengan maksud Pasal 1743 BW, ketentuan dalam perjanjian ini tidak sesuai dengan Pasal 1740 BW yang mensyaratkan ada batas untuk mengembalikan barang pinjaman. Selain tidak ada ketentuan tentang berakhirnya perikatan Pinjam Pakai, dalam perjanjian justru diperjanjikan bahwa objek perjanjian tetap dipinjamkan meskipun terjadi kepemilikan terhadap objek itu. Dengan kata lain, perjanjian ini dibuat untuk mengikat pihak ketiga yang menerima peralihan hak atas tanah objek perjanjian. Dengan berubahnya hak kepemilikan atau peralihan hak kepemilikan atas tanah secara otomatis, terjadi perubahan pihak dalam perjanjian. Pihak yang tadinya sebagai Peminjam tidak lagi memenuhi kapasitas sebagai pihak dalam perjanjian dan dengan demikian Pasal 1320 BW tidak lagi terpenuhi, khususnya pada syarat subjektifnya. Sehingga perjanjian tidak lagi sah, karena syarat subjektif yang sudah tidak terpenuhi. Perjanjian seperti ini dapat dibatalkan (vernietigbaar) di depan Pengadilan Negeri melalui dua cara, yaitu secara aktif dengan mengajukan gugatan dan dengan cara pasif untuk

36 digugat 33. Putusan pembatalan yang berkekuatan hukum tetap, akan menjadi cara untuk hapusnya perikatan sesuai Pasal 1381 BW, bagi perjanjian yang mencantumkan klausul tetap melanjutkan perikatan walaupun subyek perjanjian telah berganti. 2. Hubungan Hukum Hak Atas Tanah Objek dengan Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Dalam perjanjian jual beli tenaga listrik, terdapat hubungan hukum baik antara pemberi dan penerima objek perjanjian pinjam pakai maupun antara para subyek hukum dan objek perjanjian itu sendiri. a. Hubungan Hukum Para Pihak Hubungan hukum (Rechtsbetrekkingen) ialah hubungan antara dua atau lebih subyek hukum yang mempunyai wewenang. Dalam hubungan tersebut, hak dan kewajiban pihak yang satu akan berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Jadi setiap hubungan hukum mempunyai dua sisi, yaitu sisi kekuasaan / kewenangan / hak dan sisi kewajiban. Dengan demikian hukum sebagai himpunan peraturan yang mengatur hubungan sosial dengan memberikan suatu hak kepada subyek hukum untuk berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu yang diwajibkan oleh hak tersebut. Pada akhirnya terlaksananya hak dan kewajiban itu dijamin oleh hukum. 33 Abdulkadir Muhammad, op.cit., h. 286.

37 Unsur-unsur hubungan hukum setidaknya ada tiga hal, yaitu adanya para pihak, obyek, dan hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau adanya hubungan atas obyek yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum akan ada manakala adanya dasar hukum yang melandasi setiap hubungan dan timbulnya peristiwa hukum. Terhadap hubungan antar subyek hukum dalam suatu hubungan hukum dapat dibagi menjadi beberapa jenis hubungan hukum: 1. Hubungan hukum satu sisi, yaitu hanya satu pihak yang memiliki hak sedangkan lainnya hanya memiliki kewajiban. 2. Hubungan hukum dua sisi, yaitu kedua belah pihak masing-masing memiliki hak dan kewajiban. 3. Hubungan antara satu subyek hukum dengan beberapa subyek hukum lainnya, contoh dalam hal sewa-menyewa, maka si pemilik memiliki hak terhadap beberapa pihak / subyek hukum lainnya, yang menyewa di lahannya. Pada hakikatnya, perikatan pinjam pakai mempunyai hubungan hukum dua sisi yaitu para pihak memiliki hak dan kewajiban, namun dari segi kewajibannya pihak pemberi pinjamanlah yang sebenarnya lebih banyak daripada penerima pinjaman.

38 b. Hubungan Hukum antara Objek Perjanjian dengan Para Pihak Sebagaimana disampaikan oleh Tan Thong Kie 34, di dalam hukum perdata, benda dapat dibagi sebagai berikut: 1. benda bertubuh dan tidak bertubuh (Pasal 503 BW); 2. benda bergerak dan tidak bergerak (juga disebut benda tetap; Pasal 504 BW); 3. benda yang dapat dan tidak dapat diperdagangkan (Pasal 1332 BW); 4. benda yang dapat dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1163 BW); 5. benda yang dapat dan yang tidak dapat diganti (Pasal 1164 BW); 6. benda yang musnah dan yang tidak musnah dalam pemakaiannya (Pasal 505 BW); 7. benda yang sudah dan yang akan ada (Pasal 1131 BW); 8. benda utama dan benda tidak utama (hoofdzaak en bijzaak); 9. benda utama dan benda pembantu (hoofdzaak en hulpzaak); dan 10. suatu kelompok benda yang bersama-sama merupakan suatu harta kekayaan (algemeenheid van zaken) Di luar kesepuluh pembagian tersebut, dalam BW juga dikenal pembagian benda bertuan dan tidak bertuan (Pasal 519 BW). Dari jenis benda yang dikelompokkan di atas, objek perikatan Pinjam Pakai adalah segala yang dapat dipergunakan orang dan tidak musnah karena pemakaian sesuai Pasal 1742 BW. Oleh karena dalam perjanjian tersebut adalah tanah yang menjadi objek perjanjiannya, maka objek tersebut dapat dikelompokkan sebagai benda yang tidak musnah karena pemakaian. Jadi dapat 34 Tan Thong Kie, op.cit., h. 151-152

39 disimpulkan, jenis objek di dalam klausul pinjam-pakai sesuai dengan karakter perikatan pinjam-pakai. Menurut Subekti 35, selain bentuk perikatan yang sederhana hukum perdata mengenal berbagai macam perikatan yang agak lebih rumit, yaitu: 1) Perikatan bersyarat, yang pelaksanaannya (perikatan dengan suatu syarat tangguh) atau batalnya (perikatan dengan suatu syarat batal) digantungkan pada peristiwa tertentu; 2) Perikatan dengan ketetapan waktu, yang pelaksanaannya ditentukan pada suatu waktu di masa mendatang atau menentukan lama waktu berlangsungnya perikatan; 3) Perikatan mana suka (alternatif), dimana debitur bebas menyerahkan satu dari dua barang yang disebut dalam perjanjian dan tidak boleh memaksa kreditur menerima sebagian-sebagian dari kedua barang tersebut. 4) Perikatan tanggung-menanggung, dimana satu pihak terdapat beberapa orang yang jika sebagai debitur maka tiap-tiap orang dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang, dan jika kreditur maka pembayaran pada salah satu kreditur dianggap telah melakukan pembayaran kepada seluruh kreditur. 5) Perikatan yang dapat dan yang tidak dapat dibagi, adalah perikatan yang jika dilihat pada prestasinya dapat dibagi atau tidak, dimana pembagian prestasi tersebut tidak menghilangkan hakikat sifat objek perjanjian. 35 Subekti, op.cit., h. 4-11

40 6) Perikatan dengan ancaman hukuman, dimana debitur untuk menjamin terlaksananya prestasi, diwajibkan melakukan sesuatu jika perikatannya tidak terpenuhi. Hal ini dilakukan agar menjadi pendorong bagi debitur, dan membebaskan kreditur untuk membuktikan besaran ganti kerugian. Dari uraian jenis perikatan di atas, tidak disinggung bagaimana suatu perikatan yang tetap berlangsung meskipun telah berganti subjek hukumnya. Ada beberapa kondisi yang perlu diantisipasi agar objek perjanjian tetap dipertahankan sesuai kebutuhan penerima pinjaman, dalam hal ini PLN, yaitu kondisi: 1) Objek perikatan atau hak atas tanah berpindah kepemilikan, namun tetap memerlukan bangunan gardu distribusi. 2) Objek perikatan atau hak atas tanah tidak berpindah kepemilikan, namun bangunan gardu distribusi tidak lagi diperlukan secara langsung oleh pemilik hak atas tanah, tetapi diperlukan oleh peminjam-pakai (PLN) untuk melayani daerah sekitar objek. Meskipun dalam kondisi pertama dapat diselesaiakan di Pengadilan Negeri dimana pemilik objek perikatan mengajukan gugatan sebagaimana diterangkan di atas, sebaiknya langkah ini tidak perlu diambil karena sudah bisa diprediksi pada saat awal dibuatnya perjanjian yaitu dengan adanya kewajiban bagi para pihak untuk melakukan pembaharuan perjanjian dengan para pihak yang baru. Namun untuk kemungkinan kedua yang agak rumit dan besar kemungkinan harus melibatkan pengadilan, karena tidak ada lagi kepentingan pemberi pinjaman yang nota bene telah berganti. Kepentingan kehadiran gardu

41 distribusi hanya murni dimiliki oleh penerima pinjaman (PLN). Pada situasi ini, perjanjian sudah bukan lagi sebagai sumber hukum.