BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar

Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA (TUN) PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) Oleh : Bernat Panjaitan, SH, M.Hum Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

PERATURAN PRESIDEN. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 24 November 2008

ISTILAH, PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 95. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 18

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

INSTRUMEN PEMERINTAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam berita AIPI (1997) mengatakan bahwa pelaksanaan berasal dari kata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan perspektif sejarah, ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara

KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA H. Ujang Abdullah, SH., M.Si *

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH INVESTOR. Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking (keputusan tata

11/16/2015 F A K U L T A S HUKUM ADMINISTRASI NEGARA INSTRUMEN PEMERINTAH. By. Fauzul H U K U M FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JAWA TIMUR

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

BAB IV PENUTUP. investor asing yang menjadi pokok kajian skripsi ini. khusus Polisi Resort Demak untuk menyelesaikan sengketa dengan melibatkan

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

BAB III KEWENANGAN HAKIM TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004

PERATURAN KEDINASAN * Oleh: Anang Priyanto

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

Peraturan Presiden. Istilah, Wewenang, Materi dan Penyusunannya

HUKUM KEPEGAWAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul: Kompetensi Absolut PTUN dalam Memutus

LAMPIRAN II : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 600/PRT/M/2005 Tanggal : 23 Desember 2005

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kegiatannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tidak

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM DEMOKRASI

BAB II KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMBATALKAN PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS PUSAT

KEDUDUKAN JABATAN DAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. jabatannya, Notaris berpegang teguh dan menjunjung tinggi martabat

BAB I. Pendahuluan. Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Perbuatan hukum Administrasi Negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

HAN Sektoral Pertemuan Pertama Tindakan Administrasi Negara Sumber: Pak Harsanto Nursadi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Uqubat dalam perkara jinayah, memiliki substansi yang sama dengan Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum A

BAB I PENDAHULUAN. Belanda yaitu sejak tahun 1908 pada saat Vendu Reglement diumumkan dalam

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

keseragaman kebijaksanaan seringkali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. dibentuklah suatu lembaga yang dikenal dengan nama Lembaga Ombudsman

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean)

TINJAUAN YURIDIS PERMASALAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA ATAS KEPUTUSAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS SEBAGAI OBJEK GUGATAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara. Terbentuk Pengadilan Tata Usaha Negara

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

PRINSIP DAN TEKNIK PENYUSUNAN KEPUTUSAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengidentifikasikan

BAB III PROSEDUR PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 77/PMK.01/2008 TENTANG BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN

PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.2 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, tujuan Negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB II TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Singkat Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun

BAB I PENDAHULUAN. beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di

BAB 1 PENDAHULUAN. ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan

BAB I PENDAHULUAN. merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Pada dasarnya

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA. Oleh: H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM )

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Oleh:

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Instrumen Pemerintahan 1. Regeling Perbuatan pemerintah yang dilakukan dalam bentuk mengeluarkan peraturan atau regling, dimaksudkan dengan tugas hukum yang diemban pemerintah dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum. Maksud perkataan umum dalam pengertian regling atau peraturan, berarti bahwa pemerintah atau pejabat tata usaha negara sedang dalam upaya mengatur semua warga masyarakat tanpa terkecuali, atau dengan perkataan lain peraturan ini ditujukan kepada semua warga masyarakat tanpa terkecuali, dan bukan bersifat khusus. Peraturan adalah merupakan hukum yang in abstracto atau generale norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (generale). 5 Secara teoritik, istilah perundang-undangan mempunyai dua pengertian, yaitu; pertama, perundang-undangan merupakan proses pembentukan/ proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik ditingkat Pusat maupun ditingkat Daerah; kedua, perundang-undangan 5 SF. Marbun & M. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm.94 14

adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat Pusat maupun ditingkat Daerah. 6 Sifat suatu peraturan ialah mengikat semua penduduk sesuatu wilayah. Peraturan itu berlaku umum. Peraturan dibuat untuk menyelesaikan beberapa hal yang (dalam garis besarnya) mengandung kesamaan dan yang akan dan mungkin terjadi. 7 Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. 2) Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwaperistiwa yang akan datang yang belum jelas betuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja. 3) Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik 6 Ridwan, HR. Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 98 7 E, Utrecht. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1990, hlm.42 15

di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga mengikat umum. Peraturan dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum dapat diketahui terlebih dahulu dan mungkin akan terjadi (hal umum). Peraturan ditujukan kepada hal-hal yang abstrak. 8 Berkenaan dengan perundang-undangan, Ridwan, HR. mengutip yang disampaikan oleh A. Hamid S. Attamimi: Istilah perundang-undangan (wettelijkeregels) secara harafiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di Negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari padanya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan Menteri yang berisi peraturan, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintahan Non-Departemen yang berisi peraturan, Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang dibentuk dengan Undang-undang yang berisi peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat I, Peraturan 8 ibid, hlm.71 16

Daerah Tingkat II, dan Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat II. 2. Beschikking Perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh badan administrasi Negara diberi nama KETETAPAN kalau bahasa asingnya beschikking dan perbuatan membuat ketetapan ini disebut penetapan. 9 Berbeda dengan regeling atau tugas pemerintah membuat peraturan, tugas pemerintah di bidang penerbitan keputusan atau beschikking, bersifat lebih spesifik atau khusus. Dalam tugasnya mengeluarkan keputusan, maka dalam hal ini pemerintah sedang melakukan pengaturan untuk orang-orang dengan identitas tertentu, alamat tertentu. Istilah beschikking sudah sangat tua dan dari segi kebahasaan digunakan dalam berbagai arti. Meskipun demikian, dalam pembahasan ini istilah beschikking hanya dibatasi dalam arti yurudis. Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, ketetapan merupakan keputusan pemerintah untuk hal yang bersifat konkeret dan individual (tidak ditunjuk untuk umum) dan sejak dulu telah terjadi instrumen yuridis pemerintahan yg utama. Menurut P. De Haan dan kawan- 9 Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm 83 17

kawan, De administratieve beschikking is de meest voorkomende en ook meest bestudeerde bestuurshandeling, (ketetapan administrasi merupakan (bagian) dari tindakan pemerintahan yang paling banyak muncul dan paling banyak dipelajari). Oleh karena itu tidak berlebihan jika F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menganggapnya sebagi konsep inti dalam hukum administrasi (een kernbegrip in het administratief recht). 10 Ada beberapa unsur yang terdapat dalam beschikking,yaitu: a) pernyataan kehendak sepihak b) dikeluarkan oleh organ pemerintahan. c) didasarkan pada kewenangan hukum publik. d) ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan idividual. e) dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang administrasi. 3. Perbedaan Regeling dan Beschikking Perbedaan antara peraturan (Regeling) dan ketetapan (Beschikking) ialah pada umumnya yang dapat dikatakan bahwa ketetapan itu dibuat untuk menyelesaikan suatu hal konkrit yang telah diketahui terlebih dahulu oleh administrasi Negara. Sedangkan peraturan dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum dapat 10 Ridwan,op. cit, hlm.107 18

diketahui terlebih dahulu dan mungkin akan terjadi (hal umum). Peraturan ditujukan kepada hal-hal yang masih abstrak. 11 Peraturan adalah merupakan Hukum yang in abstracto atau General Norms yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general).untuk menuangkan hal-hal yang bersifat umum tersebut kedalam peristiwaperistiwa konkret/nyata, maka dikeluarkan ketetapan-ketetapan yang akan membawa peristiwa umum itu sehingga dapat dilaksanakan. Dengan demikian, ketetapan itu tugasnya melaksanakan peraturan kedalam peristiwa konkret tertentu, sehingga sifatnya menjadi mengikat subyek hukum tertentu itu. Sekalipun peraturan itu ditujukan pada hal-hal yang abstrak, sedang keputusan ditujukan untuk hal-hal yang konkret, tetapi kadang-kadang perbedaan ini tidak begitu nyata seperti dengan adanya SLAPENDE REGELING, yaitu suatu peraturan yang pada waktu setelah pengundangannya belum berlaku dibeberapa daerah tertentu (berlakunya ditunda). Penetapan berlakunya diserahkan pada administrasi Negara, dengan membuat suatu keputusan yang bersifat ketetapan. Akibatnya keputusan yang berakibat ketetapan itu tidak berakibat seperti ketetapan, tetapi sama dengan akibat peraturan. Jadi keputusan ini dapat merupakan peraturan. 12 11 Utrecht, op. cit, hlm.71 12 Marbun, loc. cit 19

B. Kompetensi PTUN 1. Kekuasaan Absolut (Kompetensi Absolut) Peradilan Tata Usaha Negara Kekuasaan Absolut dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. 13 Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 merumuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara, baik dipusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.dengan demikian, keputusan tata usaha Negara merupakan dasar lahirnya sengketa tata usaha Negara. 14 Tindakan hukum tata usaha Negara tidaklah sama maknanya dengan tindakan pejabat atau tindakan badan tata usaha Negara. Tidak setiap tindakan pejabat adalah tindakan hukum tata usaha Negara. 2. Sengketa Tata Usaha Negara Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau 13 R. Wiyono,Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 6 14 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, UGM Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 318 20

badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 15 Oleh karena itu, R.WIYONO lalu memberi penjelasan sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut: 1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara 2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara 3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara Sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demikian tidak mungkin sampai terjadi sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang- Undang Nomer 5 Tahun 1986: 1. Orang atau badan hukum perdata dengan orang atau badan hukum perdata, atau 2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 15 H. Rochmat Soemitro, Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama, Bandung, 1998, hlm. 6 21

3. Keputusan Tata Usaha Negara a. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 16 Jika di urai, apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, akan ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Penetapan tertulis Unsur ini menentukan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 harus merupakan penetapan tertulis. Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengankatan dan sebagainya. 16 R. Soegijatno Tjakranegara,Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 88 22

2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Unsur ini menentukan bahwa penetapan tertulis tersebut harus dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 2 dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan kata lain, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Dengan demikian, ukuran atau criteria agar suatu Badan atau Pejabat dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalahberdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Badan atau Pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk melaksanankan urusan pemerintahan. 3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan Dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum 23

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Atau dengan perkataan lain, tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dilakukan atas dasar peraturan perundangundangan yang berlaku, yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintah terhadap seseorang atau badan hukum perdata. Karena tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut atas dasar peraturan perundang-undangan menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintah, maka dapat dikatakan tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu selalu merupakan tindakan hukum sepihak. Perlu untuk diperhatikan bahwa tidak selalu tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara, tetapi hanya tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan saja yang merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara. 4. Bersifat konkret, individual dan final Apa yang dimaksud dengan bersifat konkret, individual, dan final adalah sebagai berikut: 24

a. Bersifat konkret, artinya obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. b.bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Akan tetapi, dari hasil diskusi pada Pelatihan Teknis Yusrtisial Hakim Peradilan Tata Usaha Negara antara lain dapat diketahui bahwa Keputusan Tata Usaha yang bersifat umum sepanjang masih dapat diindividualisasikan, maka dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. c. Bersifat final, artinya definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau intansi lain belum bersifat final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. 5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata Yang dimaksud dengan menimbulkan akibat hukum adalah menimbulkan akibat hukum Tata Usaha Negara, karena 25

penetapan tertulis uang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. 17 b. Pengecualian Setelah diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomer 9 Tahun 2004, Pasal 2 menentukan bahwa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut. 1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. Penjelasan Pasal 2 huruf a menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata, misalnya, keputusan yang menyangkut masalah jual beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata. Untuk dapat mengerti atau memahami ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 huruf a, hendaknya diingat bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu, disamping dapat melakukan perbuatab hukum publik atas dasar jabatannya, juga dapat melakukan perbuatan hukum perdata, karena mewakili Negara, Provinsi, Departemen dan seterusnya sebagai badan hukum perdata. 17 Wiyono, op. cit, hlm. 17 26

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. Tidak semua keputusan yang memenuhi syarat/ciri-ciri seperti tertuang di dalam pasal 1 angka 3 bisa dijadikan obyek sengketa di depan Peradilan Tata Usaha Negara, sebab ada beberapa jenis keputusan Tata Usaha yang memenuhi syarat-ciri tersebut tetapi tidak termasuk keputusan Tata Usaha Negara menurut pasal 1 angka 3, sehingga tidak bias dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara. Tepatnya ada pengecualian-pengecualian atau pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh UU No.5 tahun 1986 yaitu pembatasan-pembatasan yang dimuat di dalam pasal 2, pasal 48, pasal 49, Penjelasan Umum dan pasal 142. 18 Sebagaimana ternyata, tidak semua peraturan perundangundangan dibuat badan kekuasaan legeslatif, pemerintah pusat, dan badan-badan pembuat peraturan pada pemerintah daerah di tingkat I dan II. Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1986 merumuskan bahwa peraturan perundangundangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh badan perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah, yang 18 Marbun, op. cit, hlm. 188 27

juga mengikat secara umum. Dari rumusan penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1986 dimaksud, dapat disimpulkan bahwa keputusan dari badan atau pejabat tata usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum (besluit van algemene strekking) termasuk peraturan perundangundangan (algemeen verbindende voorschriften). Bentuk keputusan tata usaha Negara (besluiten van algemene strekking) demikian, tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan (dalam arti beschikkingsdaad van de administratie), tetapi termasuk perbuatan tata usaha Negara dibidang pembuatan peraturan (regelend daad van de administratie). Pasal 2 huruf b dari Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1986 secara tegas menentukan bahwa keputusan tata usaha Negara yang merupakan pengaturan bersifat umum (besluit van algemene strekking) tidak termasuk keputusan tata usaha Negara dalam arti beschikking, yang berarti bahwa terhadap perbuatan badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang merupakan pengaturan bersifat umum tidak dapat digugat dihadapan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Pada umumnya, badan-badan tata usaha Negara, seperti halnya departemen, lembaga pemerintahan non-departemen, pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II menetapkan bentuk tertentu yang membedakan keputusan tata usaha Negara yang merupakan 28

pengaturan bersifat umum dengan keputusan tata usaha Negara dalam arti beschikking, misalnya keputusan tata usaha Negara yang merupakan pengaturan bersifat umum disebut dengan judul keputusan, seperti halnya keputusan menteri, keputusan direktur jenderal, keputusan gubernur, sementara keputusan tata usaha Negara dalam arti beschikking disebut dengan judul surat keputusan, seperti halnya surat keputusan menteri, surat keputusan gubernur/kdh, dst. Keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara (dalam arti beschikking) harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasari keputusan yang bersangkutan. 19 Penjelasan Pasal 2 angka 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian yang bersifat umum adalah pengaturan yang memuat normanorma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat umum atau semua orang. Melihat pada nama keputusan Tata Usaha Negara dan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan, bahwa keputusan angka 2 tersebut akan berupa suatu keputusan Tata Usaha Negara, artinya dikeluarkan oleh suatu Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara sendiri atas dasar wewenang pemerintah yang 19 Hadjon, op. cit, hlm.151 29

dimilikinya. Jadi bukan produk yang dihasilkan karena suatu wewenang legeslatif baik yang original maupun yang delegeted. Tidak ada salahnya kalau produk legeslatif itu kita namakan peraturan perundangan dan produk tersebut angka 2 ini kita namakan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat umum. Nama yang dapat mencakup kedua macam peraturan tersebut lalu kita sebut peraturan perundang-undangan, seperti yang sering digunakan dalam hampir setiap pasal dalam undangundang ini. Selanjutnya karena keputusan Tata Usaha Negara angka 2 tersebut merupakan pengaturan yang bersifat umum, maka ia bukan merupakan Penetapan Tertulis. Dan keputusan Tata Usaha Negara yang bukan Penetapan Tertulis itu dapat saja berupa suatu: Norma Kongkret, suatu rencana, suatu perundangundangan semu atau suatu keputusan bersama. Ketiga macam keputusan Tata Usaha Negara tersebut memiliki jangkauan yang bersifat umum. Karena ketiga keputusan Tata Usaha Negara dapat dikelompokkan dalam sebutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat umum. Kata pengaturan yang bersifat umum dalam hal ini mempunyai arti mengandung penetapan norma-norma hukum yang berlaku bagi setiap orang yang terkena oleh keputusan Tata Usaha Negara tersebut. 30

Undang-undang mengartikan dalam hal ini berlaku bagi setiap orang. Jadi, pengertian bersifat umum itu tidak harus diartikan secara kumulatif, artinya menurut waktu, tempat, setiap orang dan dapat diterapkan beberapa kali terhadap orang atau hal yang masuk dalam rumusan yang bersangkutan. Sebab undangundang pun dapat juga berlaku hanya untuk masa waktu tertentu atau untuk satu daerah tertentu atau golongan orang-orang tertentu. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang biasanya mengandung pengaturan yang bersifat umum, yaitu Peraturan Kebijaksanaan, Rencana-rencan, Norma Konkret dan Keputusan Bersama. Peraturan kebijaksanaan atau perundang-undangan semu, yang dalam bahasa asing disebut beleidsregels, spiegelsrecht, pseudowetgeving (Belanda) atau policy rules (Inggris) yang bentuknya dapat berupa Surat Keputusan atau Keputusan, Surat Edaran, Instruksi, Pengumuman atau Petunjuk Pelaksanaan (JURLAK), dan lain-lain. 20 Ada kalanya keputusan ini masih abstrak sifatnya, artinya masih bersifat umum, jadi masih perlu dilaksanakan oleh ketetapan ke 20 Wiyono, op. cit, hlm. 42 31

dalam suatu peristiwa konkrit tertentu. Dalam hal demikian, maka keputusan ini sama dengan peraturan. 21 3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. Terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 huruf c tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut. - Oleh karena Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 antara lain harus merupakan keputusan yang bersifat final, maka sudah dengan sendirinya jika Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 huruf c tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3. - Penjelasan Pasal 2 huruf c menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan adalah keputusan yang untuk dapat berlaku masih memerlukan persetujuan atasan atau instansi lain. 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikelurkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana. 21 Y.W. Sunindhia,Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm.87 32

Dari ketentuan yang dapat dalam Pasal 2 huruf d dengan penjelasannya, dapat diberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: - Yang dimaksud dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah Wetboek van Strafrecht sebagaimana dimaksud dalam Pasal VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dengan semua perubahan dan tambahannya. - Yang dimaksud dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang sudah termasuk pula peraturan-peraturan pelaksanaannya. - Didalam penjelasan Pasal 2 huruf d disebutkan: Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana ualah umpamanya pertintah Jaksa Ekonomi untuk melakukan penyitaan barang-barang terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi. 5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: - Yang dimaksud dengan hasil pemeriksaan badan peradilan dalam perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 33

huruf e adalah hasil pemeriksaan dari penyelenggara kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi. - Jika yang digunakan sebagai dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara adalah berupa putusan dari badan peradilan, maka dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dapat berasal atau diambil dari pertimbangan hukum yang terdapat dalam putusan badan peradilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan atau amar putusan dari badan peradilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. - Agar suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus sesuai dengan atau tidak boleh menyimpang dari pertimbangan hukum atau amar putusan dari putusan badan peradilan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud. 34

Yang dimaksud dengan hasil pemeriksaan bukan sidang badan peradilan tersebut adalah hasil pemeriksaan badan peradilan dengan tidak mempergunakan hukum acara yang berlaku untuk pengadilan masing-masing lingkungan Peradilan. 6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia. Didalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Penjelasannya tidak terdapat ketentuan atau disebutkan apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 menentukan bahwa Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dengan demikian yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasioanal Indonesia adalah Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, sehingga tidak termasuk lagi Keputusan Tata Usaha Negara mengenai urusan Tata Usaha Kepolisian Negara. Dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 huruf f ini, maka Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia tidak sampai dapat menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 35

angka 4 yang menjadi kompetensi absolute dari pengadilan dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya. Akan tetapi, Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia tersebut dapat menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang menjadi kompetensi absolute dari peradilan dilingkungan Peradilan Militer untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya. 7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik dipusat maupun didaerah mengenai hasil pemilihan umum. Yang dimaksud dengan Komisi Pemilihan Umum pada saat sekarang adalah Komisi Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yaitu lembaga yang bersifat nasional, tetap dan madiri untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum. Keputusan Komisi Pemilihan Umum yang tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 hanya terbatas pada Keputusan Komisi Pemilihan Umum mengenai hasil Pemilihan Umum, baik dipusat maupun didaerah saja. 36

Jika hasil pemilihan umum yang diputus oleh Komisi Pemilihan Umum tersebut sampai menimbulkan perselisihan atau sengketa, maka sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang mempunyai wewenang untuk memutus adalah Mahkamah Konstitusi. 22 22 Wiyono, op. cit, hlm. 54 37