BAB I PENDAHULUAN I.1.

dokumen-dokumen yang mirip
PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

JENIS CITRA

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Interpretasi Citra dan Foto Udara

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

IV. PENGINDERAAN JAUH

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

Gambar 1. Satelit Landsat

APA ITU FOTO UDARA? Felix Yanuar Endro Wicaksono

Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH. Pemahaman Peta Citra

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

BAB I PENDAHULUAN I.1.

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

III. METODE PENELITIAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri

Citra Satelit IKONOS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Model Citra (bag. 2)

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

METODE SURVEI DESKRIPTIF UNTUK MENGKAJI KEMAMPUAN INTERPRETASI CITRA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN GEOGRAFI FKIP UNIVERSITAS TADULAKO

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB II IDENTIFIKASI DAERAH TERKENA BENCANA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

III. BAHAN DAN METODE

SAMPLING DAN KUANTISASI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pembangunan yang terus berjalan setiap harinya menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara cepat. Apabila peristiwa ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menyebabkan ketidakseimbangan antara pembangunan dan ruang terbuka hijau. Ketersediaan peta tutupan lahan sebagai peta perencanaan di Indonesia masih kurang. Pemetaan tutupan lahan di Indonesia pada umumnya memanfaatkan citra satelit. Citra satelit yang digunakan beragam, dari yang memiliki resolusi sedang hingga tinggi. Citra resolusi sedang memiliki cakupan wilayah yang luas tetapi ketelitian yang rendah. Peta yang dapat dihasilkan dari citra resolusi sedang paling besar menghasilkan skala 1 : 25.000 dengan resolusi spasial sekitar 12,5 m, sedangkan citra resolusi tinggi dapat menghasilkan skala paling besar 1 : 2.000 dengan resolusi spasial sekitar 1 m (Tobler, 1998). Beberapa citra satelit yang sering digunakan yaitu Landsat, ASTER (citra resolusi sedang) dan WorldView-2, QuickBird, Ikonos (citra resolusi tinggi). Pemanfaatan citra satelit dapat menghemat waktu dan tenaga serta lebih murah, akan tetapi untuk keperluan peta skala besar citra satelit belum mampu memenuhinya maka dari itu foto udara dapat digunakan sebagai alternatif pembuatan peta skala besar. Foto udara merupakan solusi dari kebutuhan akan informasi geospasial yang lebih akurat daripada citra satelit. Apalagi dengan semakin berkembangnya teknologi foto udara saat ini tidak hanya menghasilkan foto udara pankromatik, tetapi juga foto udara multispektral sehingga foto udara tersebut dapat diperlakukan seperti citra satelit dalam hal melakukan komposit band. Foto udara multispektral yang digunakan pada penelitian ini dihasilkan dari kamera digital format medium dan memiliki 4 band yaitu red, green, blue dan near-infrared. Foto udara yang dihasilkan pun menawarkan ketelitian yang lebih tinggi dari pada citra satelit yaitu hingga orde sentimeter sesuai dengan tinggi terbang pesawat. Dengan ketelitian yang tinggi dan tinggi terbang yang rendah, foto udara multispektral akan dapat mengenali obyek

lebih banyak dibandingkan citra satelit sehingga untuk menghasilkan peta tutupan lahan skala besar sangatlah mungkin. Pembuatan peta tutupan lahan secara otomatis biasanya dilakukan menggunakan klasifikasi terbimbing. Klasifikasi terbimbing meliputi sekumpulan algoritma yang didasari pemasukan contoh obyek berupa nilai spektral oleh operator (Danoedoro, 1996). Contoh obyek disebut sebagai sample dan lokasi kelompok piksel sampel disebut sebagai training area. Klasifikasi terbimbing dapat dipisahkan menjadi klasifikasi parametrik dan klasifikasi non-parametrik. Algoritma klasifikasi parametrik berasumsi bahwa vektor ukuran pengamatan Xc yang diperoleh dari setiap kelas pada tiap band saat penentuan training area mengikuti distribusi statistik distribusi Gaussian (Jensen, 1996). Beberapa klasifikasi yang termasuk pada klasifikasi parametrik yaitu klasifikasi minimum distance, mahalanobis distance dan maximum likelihood. Klasifikasi non-parametrik tidak didasarkan dari nilai statistik maupun training area. Vektor ukuran pengamatan Xc juga tidak harus mengikuti distribusi Gaussian (Bharti, 2004). Beberapa klasifikasi yang termasuk kategori nonparametrik yaitu parallelepiped, Decision Tree dan neural network. Klasifikasi Decision Tree merupakan klasifikasi multistage yang menggunakan keputusan biner untuk melakukan klasifikasi obyek. Setiap keputusan dibuat menggunakan ekspresi atau perintah tertentu, kemudian akan membagi citra atau foto menjadi dua bagian, yaitu bagian yang memenuhi dan tidak memenuhi kriteria. Tiap-tiap hasil keputusan dapat dibagi kembali menjadi dua bagian menggunakan ekspresi yang lain dan begitu seterusnya. Decision Tree memiliki kelebihan lebih fleksibel dibandingkan dengan metode Maximum Likelihood, yaitu tiap cabang (leaf) dapat dipangkas (prune) dan diubah secara interaktif. Penambahan kelas dapat dilakukan tanpa harus mempengaruhi ekspresi yang telah dibuat sebelumnya dengan hasil yang berbeda dari sebelumnya. Mempertimbangkan fleksibilitas Decision Tree maka, peneliti menggunakan Decision Tree sebagai metode klasifikasi foto udara multispektral untuk aplikasi peta tutupan lahan.

I.2. Rumusan Masalah Penelitian ini menggunakan foto udara multispektral yang memiliki 4 buah band sehinga foto udara dapat diperlakukan seperti citra dalam hal komposit warna. Foto udara memiliki resolusi spasial yang tinggi hingga orde centimeter tergantung dari tinggi terbang pesawat, sehingga diharapkan dapat mengenali obyek tutupan lahan hinga level yang tinggi misalnya level tiga. Disisi lain teknik klasifikasi digital metode Decision Tree menawarkan fleksibilitas dalam hal penambahan obyek pada saat proses klasifikasi sedang berlangsung. Kinerja Decision Tree pada foto udara multispektral untuk melakukan klasifikasi tutupan lahan level tiga belum diketahui. Dari masalah yang telah teridentifikasi dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu bagaimanakah kemampuan Decision Tree dalam melakukan klasifikasi tutupan lahan level tiga pada foto udara multispektral. I.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan metode Decision Tree dalam melakukan klasifikasi foto udara multispektral secara digital untuk deteksi tutupan lahan level tiga. I.4. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu mengetahui kemampuan Decision Tree dalam melakukan klasifikasi obyek dan memberikan metode alternatif klasifikasi obyek. I.5. Batasan Masalah Penelitian ini menggunakan data foto udara multispektral kawasan Bayah, Banten, yang diambil pada tanggal 25 Maret 2012 menggunakan pesawat Pilatus Porter. Data diproses menggunakan metode klasifikasi Decision Tree menggunakan software ENVI 4.8. Klasifikasi obyek pada penelitian ini mengacu pada SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutupan Lahan. Pengolahan data menitik beratkan pada kemampuan Decision Tree untuk mengidentifikasi obyek sehingga koordinat foto udara belum tergeoreference. Klasifikasi obyek menggunakan level tiga yang dimodifikasi.

I.6. Tinjauan Pustaka Sharma dkk (2013) melakukan penelitian mengenai metode Decision Tree pada citra Landsat TM menggunakan software open source WEKA. Penelitian ini membandingkan hasil Decision Tree dengan klasifikasi maximum likelihood dan ISODATA clustering. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa metode Decision Tree memberikan ketelitian yang terbaik dengan 90 %. Al-Hameedawi dkk (2013) melakukan penelitian mengenai tutupan lahan dan penggunaan lahan di Irak menggunakan citra Cosmo-SkyMed dan Quickbird yang selanjutnya dilakukan fusi kedua buah citra masukan tersebut. Citra Cosmo-SkyMed dan citra fusi diklasifikasikan menggunakan metode object oriented classification (OCC) sedangkan data Quickbird diklasifikasikan menggunakan metode Decision Tree. Hasil ketelitian masing-masing klasifikasi dihitung menggunakan matriks kesalahan. Berdasarkan hasil matriks kesalahan citra fusi menghasilkan ketelitian 92%, citra Quickbird 88,28% dan Cosmo-SkyMed 86,50%. Bharti (2004) dalam penelitiannya menggunakan IRS P6 LISS-III sebagai data masukan klasifikasi dan software See5 data mining software. Pada penelitian ini pengetahuan peneliti dalam mengenali obyek dimasukkan kedalam algoritma Decision Tree untuk meningkatkan kemampuan citra dalam mengenali obyek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketelitian klasifikasi meningkat 10% setelah menggunakan pendekatan pengetahuan peneliti. Ghose dkk (2010) dalam penelitiannya mengembangkan algoritma Decision Tree pada penginderaan jauh menggunakan distribusi spektral tiap band. Citra yang digunakan adalah band red, green dan near-infrared pada citra IRS LISS III. Algoritma dibuat menggunakan program C++. Ketelitian klasifikasi obyek diuji menggunakan matriks konfusi dan dibandingkan dengan klasifikasi maximum likelihood. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketelitian keseluruhan Decision Tree sebesar 98% dan ketelitian klasifikasi maximum likelihood sebesar 94%. Matinfar dan Roodposhti (2012) dalam penelitiannya menggunakan metode Decision Tree untuk melakukan klasifikasi tutupan lahan dan penggunaan lahan. Data masukan yang digunakan adalah data satelit landsat tahun 1992 dan 2009 serta data SRTM tahun 2002. hasil klasifikasi digunakan utuk mendeteksi perubahan lahan pada daerah penelitian yaitu Khoram Abad. Hasil penelitian ini menunjukkan

ketelitian hasil klasifikasi Decision Tree citra landsat tahun 1992 sebesar 81,2% dan citra landsat tahun 2002 sebesar 84,4%. Pada penelitian sebelumnya mayoritas data masukan yang digunakan yaitu citra satelit, belum ada yang melakukan klasifikasi Decision Tree pada foto udara multispektral. Maka dari itu pada penelitian ini dilakukan klasifikasi Decision Tree pada foto udara multispektral utuk keperluan klasifikasi tutupan lahan. I.7. Landasan Teori I.7.1. Foto Udara Foto udara adalah rekaman fotografis obyek di atas permukaan tanah yang pengambilannya dilakukan dari udara. Foto udara dibedakan atas sumbu kamera dan kamera yang digunakan. Berdasarkan sumbu kamera pada saat pemotretan perekaman obyek atau exposure foto udara diklasifikasi menjadi dua macam foto udara vertikal (tegak) dan foto udara condong (Wolf, 1994). Foto udara vertikal dibuat dengan sumbu kamera yang arahnya dibuat setegak mungkin dengan datum. Sumbu kamera yang benar-benar tegak pada saat pemotretan, menyebabkan bidang foto akan sejajar bidang datum, tetapi karena adanya pergerakan pesawat sulit untuk mempertahankan sumbu kamera tetap vertikal. Maka dari itu diberikan toleransi kemiringan sumbu kamera maksimal 3 o agar foto udara tersebut dapat disebut foto udara vertikal (tegak)(wolf,1994). Sedangkan foto udara condong merupakan foto udara yang sumbu kameranya sengaja dibuat meyudut terhadap sumbu vertikal. Seperti ditunjukkan oleh Gambar I.1.

Gambar I.1. Ilustrasi foto udara tegak dan foto udara condong (Wolf, 1994) Selain sumbu kamera, foto udara juga terbagi berdasarkan ukuran sensornya. Ukuran sensor foto udara dibedakan menjadi dua yaitu foto udara format standard dan foto udara format kecil. Foto udara format standar dihasilkan dari kamera udara format standar yang memiliki format sensor (film) 23 cm x 23 cm serta memiliki fiducial mark pada tepi foto serta informasi tepi yang berisi tinggi terbang, panjang focus kamera terkalibrasi, tanggal dan waktu pemotretan, nivo serta nomer foto. Foto udara format kecil memiliki ukuran format film berkisar 24 mm x 36 mm untuk kamera dengan fokus 35 mm dan 55 mm atau ukuran film yang berkisar 60 mm x 60 mm dengan panjang fokus 70 mm. Diantara kedua ukuran foto udara tersebut, terdapat satu foto udara medium. Foto udara format medium merupakan foto udara yang sudah dalam bentuk digital. Sensornya tidak menggunakan film, melainkan menggunakan CCD (Charge Couple Device) atau CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor) untuk melakukan eksposure atau proses penyimpanan. Kegiatan fotogrameti yang mempelajari pengenalan dan identifikasi obyek serta menilai arti pentingnya obyek tersebut melalui suatu analisis sistematik dan cermat disebut fotogrametri intepretatif (Wolf, 1994). Fotogrametri intepretatif meliputi cabang intepretasi udara (pengkajian citra foto) dan penginderaan jauh. Penginderaan jauh meliputi analisis foto serta penggunaan data yang diperoleh dari

berbagai jenis piranti penginderaan jauh seperti : kamera multispektral, sensor inframerah, penyiaman (scanner), serta teknologi Unmanned Aerial Vehicle yang sedang berkembang saat ini. I.7.2. Foto Udara Multispektral Pada umumnya foto udara dihasilkan dalam warna pankromatik karena menggunakan saluran lebar. Foto udara multispektral merupakan foto daerah yang sama yang dibuat pada tempat dan ketinggian yang sama dengan menggunakan lebih dari satu spektrum elektromagnetik. Saluran yang umumnya digunakan empat kamera atau satu kamera berlensa empat dengan menggunakan saluran biru, hijau, merah dan inframerah dekat. Perekamannya dilakukan secara bersamaan sehingga pada setiap pemotretan dihasilkan empat foto yang saluran elektromagnetiknya berbeda. Keunggulan foto udara multispektral terletak pada kemampuannya untuk mempertajam beda rona antara dua obyek atau lebih. Penajaman rona pada foto udara multispektral dapat dimanfaatkan untuk pengamatan visual tanpa perubahan, pengamatan visual dengan pemotretan kembali, dan paduan warna aditif dengan alat pengamat (Liliesand dan Kiefer, 1990). Pada foto udara multispektral, tiap saluran mempunyai keunggulannya sendiri. Berikut ini dikemukakan keunggulan dan manfaat saluran biru, hijau, merah dan saluran inframerah menurut Rehder (1985). 1. Saluran biru (0,4 µm 0,5 µm). Saluran biru merupakan saluran yang peka terhadap pantulan air sehingga sering digunakan dalam mengindera kelembaban atmosfer, kedalaman air, kekeruhan air. 2. Saluran hijau (0,5 µm 0,6 µm) Salura hijau dapat digunakan untuk membedakan tanaman sehat dan tanaman sakit.

3. Saluran Merah (0,5 µm 0,6 µm) Saluran merah merupakan saluran yang baik untuk membedakan vegetasi dan bukan vegetasi. 4. Inframerah dekat (0,7 µm 1,1 µm) Saluran inframerah bermanfaat untuk mendeteksi tanaman ataupun hutan yang mengalami gangguan. Dengan saluran inframerah juga mudah untuk membedakan tanah dengan vegetasi, tanah dengan air, menggambarkan badan air dan mengidentifikasi tanaman pertanian. I.7.3. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Berbagai sensor pengumpul data dari jarak jauh, umumnya dipasang pada wahana berupa pesawat terbang, satelit atau wahana lain. Alat penginderaan jauh ditempatkan pada suatu wahana yang dioperasikan pada suatu ketinggian tertentu yang disebut sebagai platform. Sistem ini didasarkan pada prinsip pemanfaatan gelombang elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan obyek dan diterima sensor. I.7.4. Kamera Medium Format Leica RCD30 Leica RCD30 (Gambar I.2) merupakan kamera udara metrik format medium dengan penyimpanan menggunakan CCD (Charge Couple Device). Satu set perlengkapan terdiri dari operator controller, kamera dan camera controller. Kamera Leica RCD30 memiliki resolusi 60 MP dengan kemampuan untuk co-registered 4 band yaitu red, green, blue dan near infrared dalam satu kamera, dengan adanya kemampuan ini maka didapat informasi dari 4 band sehingga dapat dilakukan pengolahan fotogrametri sekaligus penginderaan jauh. Resolusi spasial yang dapat dihasilkan dari akuisisi data dengan camera ini mencapai 10 cm, tergantung tinggi terbang pesawat sesuai yang tercantum pada Tabel I.1.

Gambar I.2. Satu set perlengkapan kamera Leica RCD30 Tabel I.1. Spesifikasi Foto Udara Multispektral Leica RCD30 Item Foto Udara Jumlah Band 4 Panjang Gelombang Blue (0,47 0,53 µm) Green (0,53 0,59 µm) Red (0,59 0,69 µm) NIR (0,78 0,90 µm) Resolusi Spasial 10 cm (tinggi terbang 800 m) Lebar Cakupan 1074 m x 804 m (terbang 800 m) Bit Length 8 bits dan 16 bits Focus Length 53 mm I.7.5. Intepretasi Citra Intepretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan perbuatan mengkaji citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar dalam citra, dan menilai arti penting obyek tersebut. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur intepretasi sperti rona atau warna, bentuk, pola ukuran, letak dan asosiasi kenampakan onyek terhadap intepretasi ini dilakukan dua kegiatan utama yaitu peyadapan data untuk intepretasi penggunaan lahan dan penggunaan data untuk menilai kualitas lingkungan pemukiman (Sutanto, 1994). Intepretasi citra dibedakan menjadi dua macam yaitu, intepretasi secara digital dan intepretasi secara visual. Intepretasi digital adalah intepretasi dengan mengklasifikasikan piksel berdasarkan nilai spektralnya, klasifikasi ini biasanya dilakukan berdasarkan berbagai cara statistik. Intepretasi citra secara visual meliputi tahapan membaca, analisis, klasifikasi dan deduksi. Membaca citra meliputi kegiatan

deteksi, pengenalan dan identifikasi, kegiatan deteksi semata-mata hanya melihat secara umum ada tidaknya suatu obyek dalam citra. Lillesand dan Kieffer (1990) meyatakan karakteristik obyek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan 8 unsur-unsur intepretasi seperti bentuk, ukuran, pola, tone, bayangan, rona atau warna, tekstur dan asosiasi. Unsur - unsur intepretasi tersebut dapat dikelompokkan dalam empat tingkat kerumitan seperti pada Gambar I.3. Unsur Dasar RONA/ WARNA Premier Susunan Keruangan Rona UKURAN TEKSTUR BENTUK POLA TINGGI BAYANGAN Sekunder Tersier Tingkat Kerumitan SITUS ASOSIASI Lebih Tinggi Gambar I.3. Susunan hirarki unsur intepretasi citra (Sutanto, 1986) Unsur-unsur intepretasi citra tersebut meliputi : 1. Rona dan warna Rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek citra, sedangkan warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan sektrum sempit, lebih sempit dari spectrum tampak. 2. Bentuk Bentuk merupakan variable kualitatif yang memerlukan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk metupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. 3. Ukuran Ukuran adalah obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. Karena ukuran obyek pada citra merupakan fungsi skala, maka dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsure intepretasi harus selalu diingat

skalanya. Misal pada obyek lapangan dicirikan dengan bentuk persegi panjang ukuran 80 m x 100 m. 4. Tekstur Teksture adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok-kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individu yang sering dinyatakan dengan kasar dan halus. 5. Pola Pola merupakan situs/letak atau susunan keruangan merupakan cirri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah. 6. Bayangan Bersifat menyembunyikan detil obyek yang berada di daerah gelap. Obyek yang berbeda di daerah bayangan pada umumya tidak tampak sama sekali atau kadang kadang tampak samar samar. Meskipun demikian bayangan sering dijadikan kunci pengenal yang penting, bagi beberapa obyek justru lebih tampak dari bayangannya. Misalnya cerobong asap, menara, tangki minyak, dan bak air yang dipasang tinggi tampak dari bayangannya. 7. Situs Situs merupakan letak suatu obyek terhadap obyek lain disekitarnya. Situs bukan merupakan ciri obyek langsung melainkan dalam kaitannya dengan lingkungan disekitarnya. 8. Asosiasi Asosiasi diartikan sebagai keterikatan antara obyek yang satu dengan obyek yang lainnya, karena dengan adanya keterkaitan maka keberadaan suatu obyek pada citra sering sebagai petunjuk adanya obyek lain. I.7.6. Skema Klasifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) 7645:2010, merupakan SNI yang menjelaskan tentang standar klasifikasi tutupan lahan di Indonesia. SNI ini berisi kumpulan klasifikasi dan deskripsi tutupan lahan pada peta tematik tutupan lahan skala 1 : 1.000.000, 1 : 250.000, 1 : 25.000. Penetapan klasifikasi ini bertujuan untuk

menyeragamkan kelas penutup lahan. Standar ini mengacu pada Land Cover Classification System United Nation Food and Agriculture Organization (LCCS- UNFAO) dan ISO 19144-1 Geographic Information Classification System Part 1 : Classification system structure dan dikembangkan sesuai dengan fenomena yang ada di Indonesia. Pengkelasan obyek dalan standar ini terbagi menjadi 3 level. Pertama yaitu level satu obyek secara general kemudian level dua pengkelasan semakin spesifik dan level tiga kelas obyek sesuai dengan nama obyek biasa dikenal di masyarakat. I.7.7. Metode Klasifikasi Decision Tree Decision Tree adalah sebuah struktur pohon, dimana setiap node pohon merepresentasikan atribut yang telah diuji. Setiap cabang merupakan suatu pembagian hasil uji, dan node daun (leaf) merepresentasikan kelompok kelas tertentu. Level node teratas dari sebuah Decision Tree adalah node akar (root) yang biasanya berupa atribut yang paling memiliki pengaruh terbesar pada suatu kelas tertentu. Pada umumnya Decision Tree melakukan strategi pencarian secara topdown untuk solusinya. Pada proses mengklasifikasi data yang tidak diketahui, nilai atribut akan diuji dengan cara melacak jalur dari node akar (root) sampai node akhir (daun) dan kemudian akan diprediksi kelas yang dimiliki oleh suatu data baru tertentu (ENVI User s Guide,2004 ). Gambar I.4 merupakan contoh bentuk tree dari Decision Tree. Metode Decision Tree dapat diaplikasikan untuk melakukan klasifikasi citra. Citra yang menjadi input dapat berupa citra single band maupun multi band. Decision Tree untuk klasifikasi citra digital di bangun menggunakan kode biner untuk menentukan katagori yang tepat untuk tiap piksel citra. Citra diklasifikasikan dari obyek yang paling umum hingga yang paling khusus dengan mengidentifikasikan tiap piksel citra. Data yang telah diinput diproses dengan peraturan (rules) yang pengguna tentukan sendiri. Peraturan tersebut diekspersikan dengan kata-kata seperti greater than, equal, less than dan sebagainya.

Gambar I.4. Contoh Decision Tree I.7.8. Pehitungan Ketelitian Hasil Klasifikasi Perhitungan ketelitian klasifikasi ini dibutuhkan untuk menilai bagaimana kelayakan hasil dari klasifikasi. Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam melakukan perhitungan ketelitian. Dalam penelitian ini perhitungan ketelitian dilakukan dengan menyusun matriks kesalahan atau error matrix. Matriks kesalahan digunakan untuk menilai kesesuaian antara hasil klasifikasi dengan keadaan di lapangan. Menurut Short (1982), ketelitian klasifikasi dari data satelit dapat diuji menggunakan empat cara yaitu : 1. Melakukan cek lapangan pada titik-titik tertentu. Pada metode ini, perhitungan ketelitian dilakukan dengan membandingkan kondisi lapangan dengan hasil klasifikasi. Serta menilai apakah hasil klasifikasi sesuai dengan kondisi di lapangan. 2. Estimasi kesesuaian antara citra hasil klasifikasi dengan peta atau foto acuan. Pada metode ini dilakukan overlay antara citra hasil klasifikasi dengan peta acuan. Dari hasil overlay tersebut dapat dilihat kesesuaian antara citra hasil klasifikasi dengan peta acuan. 3. Analisis statistik. Analisi ini dilakukan dengan menggunakan nilai numerik dalam pengukuran, pengambilan sampel, dan pemotretan data sebagai data masukan. Termasuk dalam tes ini adalah RMS (Root Mean Square), standart error, analisis varian, dsb.

4. Perhitungan matriks kesalahan. Matriks kesalahan merupakan matriks persegi yang menunjukkan hubungan antara hasil klasifikasi dengan data acuan. Matriks acuan terdiri dari m baris dan kolom, dimana m menunjukkan jumlah kelas dalam klasifikasi. Kolom mempresentasikan data acuan, sedangkan baris merepresentasikan hasil klasifikasi. Matriks kesalahan disajikan seperti pada Table I.2. Tabel I.2. Matriks Kesalahan A B C D Jumlah Omisi (x 100 %) Komisi (x 100 %) A E x y z S ba Procedur Accuracy User Accuracy B a F b c S bb C j k G l S bc D p q r H S bd Jumlah S ka S kb S kc S kd S tot Sumber : Short (1982) Ketelitian klasifikasi = x 100%..(1.1) Keterangan : S ba, S bb, S bc, S bd : Jumlah sampel pada kelas (baris) A, B, C, D S ka, S kb, S kc, S kd : Jumlah sampel pada kelas (kolom) A, B, C, D S tot : Jumlah total sampel A, B, C, D : Klas klasifikasi E, F, G, H : Jumlah sampel yang benar a,b,c,j,k,l,p,q,r,x,y,z : Jumlah sampel yang salah I.8. Hipotesis Metode Decision Tree mampu melakukan klasifikasi tutupan lahan level tiga pada foto udara multispektral.