BAB I A. Latar Belakang Keamanan pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi setiap negara. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi internasional yang sejak tahun 1995 memiliki peran sentral dalam dinamika perundingan isu-isu pertanian. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara telah tergabung dalam WTO dan merepresentasikan 97.1% perdagangan dunia. [1] Negara-negara tersebut tidak dapat membuat peraturan, termasuk aturan pertanian, tanpa memperhatikan batasan-batasan yang telah disepakati melalui WTO. Meskipun ada alternatif berupa Regional Trade Agreement (RTA) dan Free Trade Area (FTA), negara tidak dapat meninggalkan negosiasi multilateral karena ada isu-isu, khususnya isu pertanian, yang secara fundamental hanya dapat diatur melalui kesepakatan di dalam WTO. Salah satu negara yang terlibat dengan sangat aktif dalam perundingan isu-isu pertanian di WTO adalah India. Kepentingan besar India dalam isu-isu pertanian didasari oleh populasi yang besar dan produktivitas pertanian yang belum dapat mencukupi kebutuhan domestik. Negara ini memiliki populasi sebesar 1,2 miliar jiwa, dimana sektor pertanian menyerap tenaga kerja hingga hampir 50%, namun sumbangannya terhadap PDB hanya sebesar 17.4% (The World Factbook, 2014, dan International Monetary Fund, 2014). Idealnya ketika produktivitas pertanian sudah tinggi, tenaga kerja akan memilih untuk migrasi dari pekerjaan bertani menjadi bukan bertani (Snodgrass & Wallace, 1964:77). Premis yang dapat ditarik adalah perkembangan pekerjaan bukan bertani di India terhambat oleh produktivitas pertanian yang masih rendah. Dengan demikian, bidang pertanian menjadi masalah utama dalam pembangunan India. Selama putaran Doha, diplomasi India dapat dilihat sejak pembuatan Paket Juli 2004 dimana India menuntut negara maju untuk menghapus subsidi mereka serta menuntut agar negara berkembang mendapat perlakuan khusus. Diplomasi tersebut berlanjut hingga tahun 2012, dimana India melalui koalisi G-33 mengajukan proposal Public Stockholding (PSH). Menuju KTM WTO ke-ix di Bali pada tahun 2013, India terus memperjuangkan proposal PSH guna membuat pemerintah di negara berkembang dapat membeli pangan pokok sebagai simpanan negara tanpa perlu mendapatkan hambatan hukum apabila pembelian tersebut menyebabkan jumlah subsidi domestik melampaui batas maksimal yang sudah ditetapkan. 1 Dengan masuknya Yaman pada 26 Juni 2014, kini ada 160 negara anggota WTO (WTO, 2014).
Konsistensi diplomasi India yang aktif ini mengundang ketertarikan penulis untuk mengkajinya sebagai studi diplomasi perdagangan, yakni untuk mengetahui bagaimana strategi negosiasi India dapat menghasilkan keuntungan bagi negara tersebut. Penulis menyakini bahwa penelitian ini menjadi penting karena setelah KTM IX, solusi yang dicapai untuk isu PSH baru interim solution, sementara proses pembuatan permanent solution masih berlangsung selama 4 tahun hingga nanti dirundingkan pada tahun 2017. Karena negosiasi isu PSH masih berlanjut maka negara berkembang perlu memberikan lebih banyak perhatian dan penekanan untuk isu pertanian agar akselerasi pembangunan mereka dapat terwujud dalam tata kelola perdagangan dunia yang adil. Karena itu, sudah sewajarnya kemampuan diplomasi yang ditunjukkan India dalam KTM IX dapat diteladani oleh negara-negara berkembang lain, khususnya Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana strategi negosiasi India dalam memperjuangkan proposal public stockholding koalisi G-33 pada KTM WTO IX? C. Landasan Konseptual Diantara pilihan interaksi lain, negosiasi memberikan lebih banyak keuntungan karena selain keuntungan substansi, didapat pula keuntungan hubungan (Fisher dan Ury, 1991:14). Keuntungan hubungan tersebut dapat memperkuat soft power negara. Odell mendefinisikan proses negosiasi internasional sebagai rangkaian aksi dimana dua atau lebih negara membahas tuntutan dan proposal satu sama lain dalam rangka mencapai sebuah kesepakatan dan mengubah perilaku dari setidaknya salah satu pihak. Dalam proses negosiasi internasional tersebut negara memerlukan strategi, yakni suatu rangkaian perilaku atau taktik yang dapat diamati dan pada dasarnya ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu melalui negosiasi (Odell, 2006:2-3). Dalam mengamati strategi negosiasi sesuai yang disebutkan dalam rumusan masalah diatas, penulis mendasarkan analisa pada beberapa landasan konsep terkait tipe negosiasi, strategi negosiasi dan prinsip negosiasi dalam WTO. 1
1. Tipe Negosiasi Ada dua tipe negosiasi yang dibedakan berdasarkan bentuk interdependensi para partisipan negosiasi, yakni negosiasi distributif dan negosiasi integratif. [2] Pada negosiasi distributif, bentuk interdependensi tiap negara adalah zero-sum. Dalam negosiasi tipe ini, keuntungan yang didapat suatu negara berdampak pada tidak adanya keuntungan bagi negara lain. Pada negosiasi integratif, tidak ada konflik fundamental dalam bentuk interdependensi tiap negara sehingga keuntungan menjadi mungkin untuk diperoleh bersama. Perilaku negara yang mempersepsikan suatu negosiasi sebagai negosiasi distributif tentunya berbeda dengan negara yang mempersepsikannya sebagai negosiasi integratif. Urutan langkah negara dalam negosiasi distributif adalah opening offer, opening stance, initial concessions, role of concessions, pattern of concession making, dan final offer (Lewicki, Saunders & Minton, 2001:67-73). Selain berdasarkan bentuk interdependensi, negosiasi juga dapat dibedakan berdasarkan isunya. Negosiasi perdagangan adalah negosiasi internasional dimana tuntutan dan proposal yang dibahas berkaitan dengan kepentingan negara dalam isu perdagangan. Menurut Odell, negosiasi perdagangan dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan fungsinya (Odell, 2006:3). Negosiasi perdagangan tipe pertama bertujuan menulis aturan baru dalam sistem perdagangan dunia, misalnya dalam mengatur akses pasar. Negosiasi perdagangan tipe kedua bertujuan menyelesaikan sengketa yang disebabkan aturan-aturan yang sudah dibuat dalam tipe pertama tersebut. Diantara kedua tipe ini, tipe pertama adalah yang lebih rumit dalam pembahasan isu, lebih banyak jumlah partisipannya dan dampaknya dirasakan seluruh anggota. 2. Strategi negosiasi Dalam melakukan negosiasi, negara memerlukan strategi negosiasi. Odell mendefinisikan strategi negosiasi sebagai suatu rangkaian perilaku atau taktik yang dapat diamati dan pada dasarnya ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu melalui negosiasi (Odell, 2006:15). Berikut adalah beberapa konsep strategi negosiasi yang relevan dengan tipe negosiasi distributif dan negosiasi perdagangan tipe pertama: 2 Tipe negosiasi distributif dan negosiasi integratif diperkenalkan oleh Walton dan McKersie pada tahun 1965. Klasifikasi ini turut digunakan Fisher dan Ury (1983) serta Lewicki, Saunders dkk. (2001). Lihat R. Walton & R. McKersie, A Behavioral Theory of Labor Negotiations: An Analysis of a Social Interaction System, McGraw- Hill, 1965, p. 4. 2
a. Permainan Koalisi Dalam negosiasi multilateral seperti negosiasi perdagangan tipe pertama terdapat permainan koalisi yang merupakan model interaksi para perumus kebijakan. Para perumus kebijakan ini fokus pada perilaku kelompok-kelompok yang disebut sebagai koalisi. Interaksi melalui koalisi seperti ini digunakan negara untuk memudahkan perjuangan kepentingannya, terutama ketika upaya tersebut sulit untuk dilakukan secara individual (Osborne, 2004:235). Koalisi menawarkan manfaat berupa external balancing dan membantu negara dalam menghimpun riset, daya tawar serta kemampuan negosiasi (Narlikar, 2003:14). Melalui koalisi, negara dapat memasukkan kepentingannya sebagai agenda koalisi yang diperjuangkan bersama-sama dengan sesama anggota koalisi. b. Perilaku distributif-campuran. Perilaku distributif suatu negara dalam negosiasi dicirikan dengan upaya mengklaim keuntungan sendiri. Dalam perilaku distributif-campuran yang diperkenalkan Odell, negara tidak hanya mengklaim keuntungan sendiri namun juga memberikan kesempatan bagi lawan untuk mengklaim beberapa keuntungan, atau setidaknya lebih memperhatikan kepentingan lawan. Perilaku distributif campuran membuat negosiasi menjadi cenderung tidak berakhir buntu. Negara yang menerapkan perilaku distributif-campuran dalam Putaran Dillon dan Kenedy terbukti mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada negara yang pasif (Odell, 2006:17). Dalam negosiasi distributif, tahapan negosiasi yang dapat diamati terdiri dari penawaran awal, pernyataan pembuka, konsesi awal, urutan konsesi, pola pembuatan konsesi serta penawaran akhir (Lewicki, Saunders & Minton, 2001:67-73). Perilaku distributif-campuran pada tahap penawaran awal, pendirian awal dan pembuatan konsesi adalah mengeluarkan tuntutan yang tinggi, melebih-lebihkan kebutuhan dan prioritas utama mereka, menolak semua konsesi, menahan isu lain sebagai sandera, dan mengeluarkan ancaman. Menjelang tahap penawaran akhir, sikap ini berubah menjadi lebih lebih mendengarkan kepentingan negara lain dan melepaskan isu yang disandera tersebut agar tetap ada kesepakatan yang dicapai. 3
c. Pengkaitan Isu Pengkaitan isu adalah membahas banyak isu dalam suatu negosiasi yang bersamaan, sehingga proses interaksinya memungkinkan suatu negara untuk berhasil competing di satu isu dengan menjadi accomodating di isu yang lain. Kemudahan yang dibawa oleh strategi ini ada tiga, yakni menawarkan keuntungan tambahan dan alasan untuk setuju (1), menambah anggota koalisi sehingga dapat menandingi koalisi lawan (2) dan dapat menggeser fokus institusional organisasi ke bagian lain dimana implementasi persetujuan akan lebih mudah (3) (Susskind, 1994: 133-134). 3. Prinsip Negosiasi dalam WTO WTO bertujuan untuk meningkatkan arus perdagangan antarnegara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Untuk mencapai tujuan ini WTO memiliki 5 fungsi, yakni implementasi dari persetujuan WTO (1), forum untuk perundingan perdagangan (2), penyelesaian sengketa (3), mengawasi kebijakan perdagangan (4) dan kerjasama dengan organisasi lainnya (5). Untuk forum perundingan perdagangan, WTO memerlukan konsensus dalam pengambilan keputusan. Upaya negosiasi menuju pencapaian konsensus tersebut harus ditempuh melalui cara-cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip WTO (Bossche, 2008:38). Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: a. Prinsip resiprositas, yang berarti bahwa dalam memperjuangkan kepentingannya, para negara anggota WTO harus bersedia melakukan konsesi dengan menyambut upaya negara lain dalam memperjuangkan kepentingan mereka. b. Prinsip transparan, yang berarti negosiasi dalam WTO dilakukan melalui caracara transparan yang membuatnya dapat diketahui oleh semua anggota guna mendorong partisipasi efektif dari semua anggota tersebut. c. Prinsip single undertaking, yakni kesepakatan atas suatu isu dalam WTO tidak dapat dilakukan apabila belum ada kesepakatan atas isu yang lain. Nothing is agreed until everything is agreed. d. Prinsip non-diskriminasi, yang terdiri dari Most Favorite Nation (MFN) dan National Treatment. MFN berarti dalam perdagangan, negara harus memberikan 4
perlakuan yang sama terhadap seluruh negara. National treatment berarti negara harus memberikan perlakuan yang sama antara produk impor dengan produk lokalnya. D. Argumen Utama Negosiasi proposal PSH dalam KTM IX yang melibatkan seluruh negara anggota WTO tergolong sebagai negosiasi distributif. Hal ini dikarenakan keuntungan yang akan didapat negara-negara pendukung proposal tersebut tidak turut membawa keuntungan bagi negara lainnya. Oleh karenanya terjadi saling klaim atau perebutan nilai antara para perunding. Sebagai negara yang diyakini paling berkepentingan, India perlu mempraktekkan strategi negosiasi yang sesuai dengan karakteristik-karakteristik negosiasi distributif tersebut. Dalam penelitian ini penulis menyakini bahwa ada tiga strategi negosiasi yang digunakan India. Ketiga strategi tersebut tidak ditujukan untuk menjadi penjelasan sebabakibat terhadap hasil yang didapat India dari KTM IX, melainkan menjadi penjelasan atas proses yang dilakukan India dalam KTM tersebut. Pada strategi pertama, India menerapkan strategi permainan koalisi melalui koalisi G-33 agar mendapat banyak dukungan sehingga program PSH berhasil menjadi salah satu agenda negosiasi KTM IX. Pada strategi kedua, India menerapkan strategi perilaku distributif-campuran guna menekan lawan untuk menyetujui tuntutan India. Pada strategi ketiga, India menerapkan strategi pengkaitan isu yang menempatkan proposal PSH dibahas bersamaan dengan proposal-proposal lain termasuk proposal fasilitasi perdagangan yang padat akan kepentingan negara maju. E. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah kurun waktu 13 bulan sejak Koalisi G-33 mengajukan proposal PSH pada bulan November 2012 hingga penyelenggaraan KTM WTO IX pada bulan Desember 2013. Selama kurun waktu tersebut telah terselenggara beberapa kali pertemuan Trade Negotiation Committee (TNC) dalam rangka menuju KTM IX serta pertemuan KTM IX sendiri yang berlangsung selama 5 hari sejak 3 Desember hingga 7 Desember 2013. 5
F. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi literatur dari buku, penelitian ilmiah, dan dokumen yang bertemakan upaya diplomasi negara berkembang dalam WTO serta strategi negosiasi yang lazim digunakan. Untuk isu PSH sendiri, penulis menggunakan metode studi literatur dari halaman website resmi institusi terkait dan opini serta penelitian ilmiah yang disajikan para peneliti/praktisi ekonomi politik internasional di internet. G. Sistematika Penulisan Bab I Bab II Bab III Bab IV Bab V Dalam bab ini, penulis memberikan penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan pertanyaan, landasan konseptual yang digunakan dalam melakukan analisis dan menjawab rumusan masalah, ruang lingkup penulisan serta asumsi sementara yang penulis yakini. Dalam bab ini, penulis memberikan penjelasan mengenai proposal PSH yang diajukan oleh koalisi G-33. Bahasannya adalah praktek PSH di India yang merefleksikan kepentingan India dalam proposal ini (1), regulasi PSH dalam WTO yang menjelaskan bagaimana regulasi ini menyulitkan negara berkembang (2), lalu muatan-muatan dalam proposal PSH koalisi G-33 yang merefleksikan tuntutan India (3). Dalam bab ini, penulis memberikan penjelasan mengenai jalannya negosiasi yang berlangsung menuju dan selama pelaksanaan KTM. Bahasannya adalah dinamika upaya negosiasi pertanian India dalam perundingan-perundingan WTO (1), pemetaan kepentingan atas proposal PSH (2), upaya negosiasi India sebelum KTM (3) dan upaya negosiasi India selama KTM (4). Dalam bab ini, penulis mencoba mengelaborasikan 3 konsep strategi yang dianggap relevan yakni strategi permainan koalisi, sikap distributif-campuran dan pengkaitan isu. Kesimpulan dari skripsi ini adalah ketiga strategi yang diterapkan India telah memberikan banyak kemudahan dalam memperjuangkan kepentingannya, namun ada tiga hambatan taktis yang menghalangi pencapaian hasil lebih maksimal. 6