EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INTISARI. Madaniah 1 ;Aditya Maulana PP 2 ; Maria Ulfah 3

MAKALAH FARMASI SOSIAL

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INTISARI STUDI DESKRIPTIF PEMBERIAN INFORMASI OBAT ANTIHIPERTENSI KEPADA PASIEN DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

6. Dalam Praktek Kerja Profesi di apotek pro-tha Farma sebaiknya diwajibkan calon apoteker melakukan Home Care yaitu kunjungan terkait pelayanan

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPADA PASIEN OLEH TENAGA KEFARMASIAN DI APOTEK RUMAH SAKIT TNI AU SJAMSUDIN NOOR BANJARBARU

4. Praktek kerja profesi apoteker memberi kesempatan bagi para calon apoteker untuk dapat terjun langsung ke dunia kerja dan menerapkan segala ilmu

INTISARI. Rahminati ¹; Noor Aisyah, S.Farm., Apt ²; Galih Kurnianto, S.Farm., Apt³

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Kesimpulan

TINJAUAN ASPEK LEGALITAS DAN KELENGKAPAN RESEP DI 5 APOTEK KABUPATEN KLATEN TAHUN 2007 SKRIPSI

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN MERTOYUDAN KABUPATEN MAGELANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ABSTRAK. Kata Kunci : Pelayanan, Informasi Obat.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (1994), apoteker mempunyai peran profesional dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INTISARI. Ahmad Rajidin 1 ; Riza Alfian 2 ; Erna Prihandiwati 3

HUBUNGAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pelayanan kefarmasiaan saat ini telah berubah orientasinya dari

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI

Kata Kunci : Medication Error, skrining resep, persentase ketidaklengkapan administrasi resep

ABSTRAK. Hairun Nisa 1 ;Erna Prihandiwati,S.F.,Apt 2 ;Riza Alfian,M.Sc.,Apt 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA BARAT. Erik Darmasaputra, 2014

Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol : 20-27

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

OPINI APOTEKER DAN PASIEN TERHADAP PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MERAUKE DEASY ABRAHAM THOE, 2013

EVALUASI KELENGKAPAN FARMASETIK RESEP UMUM POLI ANAK RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN PERIODE JANUARI - MARET TAHUN

RELEVANSI PERATURAN DALAM MENDUKUNG PRAKTEK PROFESI APOTEKER DI APOTEK

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

resep, memberikan label dan memberikan KIE secara langsung kepada pasien. 4. Mahasiswa calon apoteker yang telah melaksanakan PKPA di Apotek Kimia

d. Mahasiswa calon Apoteker memiliki gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di apotek, seperti masih sulitnya untuk berkomunikasi

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No.2, 2012, halaman 137-146 ISSN : 1410-0177 EVALUASI KETERSEDIAAN PELAYANAN INFORMASI OBAT RESEP GLIBENKLAMID SEBAGAI ANTI DIABETES ORAL DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KABUPATEN SLEMAN DIY Ipang Djunarko dan Iryana Butar-Butar Faculty of Pharmacy Sanata Dharma University Yogyakarta ipang@usd.ac.id ABSTRACT This study aimed at describing glibenclamide prescription service profile which includes the availability of glibenclamide prescription information services provided by pharmacist at the pharmacy as well as the availability and completeness of the prescription copies and the drug label. This study was non-experimental study or observational descriptive study design through Participatory observation Partial. The data obtained included type of drug information provided, copy of prescription, drug label, and the status of prescribing provider,which were analyzed by descriptive statistics. From 124 sample of pharmacies, 3 (2,43%) pharmacies refused to serve prescription. Profil of prescription service given : 30 (24,19%) pharmacies returned the prescription, 4 (3,23%) refused making copy of prescription, 1 (0,81%) pharmacy didn t provide medicine appropriately with prescription, 21 (16,94%) didn t attach drug label, 8 (6,45%) didn t provide drug information service, and 53 (42,74%) pharmacies didn t conduct the prescription service by competent pharmacist. From the amount of 113 which provide drug information service, there was no pharmacy give drug information service completely based on Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004. Keywords : drug information service, glibenclamide prescription, pharmacies PENDAHULUAN Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian adalah suatu praktek yang dilakukan dengan tanggung jawab kepada kebutuhan obat individu pasien. Tanggung jawab tersebut dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu : (1) menjamin semua terapi yang diterima oleh individu pasien sesuai (appropriate), paling efektif (the most effective possible), paling aman (the safest available), dan praktis (convenient enough to be taken as indicated); (2) mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah permasalahan berhubungan terapi dengan obat yang menghambat pelaksanaan tanggung yang pertama (Strand, Morley, Cipolle, 2004). Program pharmaceutical care dapat menurunkan kejadian merugikan pada penggunaan obat, terutama obat untuk pengobatan jangka panjang. Dilaporkan pharmaceutical care meningkatkan kesadaran pasien akan efek merugikan dari obat (Fischer et. al, 2002). Sesuai Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, pelayanan kefarmasian telah bergeser orientasi, dari obat ke pasien (patient oriented) yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan 137

pasien. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah melaksanakan pemberian informasi. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar pelayanan. Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu sub sistem pelayanan kesehatan, mengarahkan pasien tentang kebiasaan/pola hidup yang mendukung tercapainya keberhasilan pengobatan, memberi informasi tentang program pengobatan yang harus dijalani pasien, memonitor hasil pengobatan dan bekerja sama dengan profesi lainnya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal bagi pasien. Menurut Permenkes No. 922 tahun 1993, pasal 15 ayat 4, Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan (1) penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan (2) penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, telah disusun dan mulai diberlakukan Kepmenkes No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang bertujuan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi; untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional; dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Pelayanan informasi obat menurut WHO (2004) harus diberikan kepada pasien dengan bahasa yang familiar dan mudah dimengerti. Informasi yang diberikan meliputi beberapa hal, antara lain frekuensi pemberian obat, waktu penggunaan obat, lama penggunaan obat, cara penggunaan obat, cara penyimpanan, anjuran untuk tidak membagikan penggunaan obat kepada orang lain, dan peringatan untuk menjauhkan obat dari jangkauan anakanak. Praktik kefarmasiaan menurut Undangundang Kesehatan No. 36 tahun 2009 meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan. Dalam hal ini peran Apoteker di apotek untuk memberikan pelayanan informasi obat dan edukasi kepada pasien sangat penting mengingat telah terjadi perubahan gaya hidup yang menyebabkan perubahan pola penyakit di masyarakat berdampak kepada meningkatnya prevalensi penyakit kronik dan degeneratif. Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kronik dan degeneratif memerlukan terapi seumur hidup selain perubahan pola hidup. Glibenklamid sebagai anti diabetes oral golongan obat keras yang harus dibeli di apotek dengan resep Dokter sebagai permintaan tertulis kepada Apoteker, akan meningkatkan risiko adanya efek samping obat dan interaksi dengan obat penyakit lain atau obat lain yang mungkin digunakan jika pemberian informasi kepada pasien tidak dilakukan sesuai standar pelayanan kefarmasian di apotek. Berdasarkan data profil kesehatan tahun 2010 dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, jumlah apotek terbanyak di Provinsi DIY berada di wilayah Kabupaten 138

Sleman dengan rata-rata tingkat kenaikan jumlah apotek dari tahun 2002-2010, tiap tahun sebesar 10,35%. Data-data di atas mendorong peneliti memilih apotek di Kabupaten Sleman DIY sebagai tempat penelitian dan secara khusus mengevaluasi ketersediaan pelayanan informasi obat resep Glibenklamid sebagai antidiabetes oral berdasarkan standar peraturan Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004. Permasalahan 1. Bagaimanakah profil pelayanan resep obat Glibenklamid di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY? 2. Berapa besarkah tingkat ketersediaan pelayanan informasi obat resep Glibenklamid menurut Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek? Tujuan 1. Mengetahui profil pelayanan resep obat Glibenklamid di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY. 2. Memperoleh besar tingkat ketersediaan pelayanan informasi obat resep Glibenklamid menurut Kepmenkes No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. METODE PENELITIAN Bahan, Alat, dan Cara Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian non-eksperimental atau observasional dengan rancangan penelitian yang bersifat deskriptif. Berdasarkan setting tempat, penelitian ini dilakukan di komunitas apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY. Berdasarkan setting waktu, penelitian ini termasuk dalam penelitian prospektif. Berdasarkan cara dan waktu pengambilan sampel, penelitian ini termasuk dalam penelitian cross-sectional yaitu tiap subyek diobservasi hanya satu kali saja dan tidak berarti harus dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005). Bahan penelitian yang digunakan data jumlah apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Sleman pada tanggal 25 Maret 2011. Sedangkan alat yang digunakan adalah daftar cek (check list), resep obat glibenklamid, skenario penelitian, dan protokol penelitian. 1. Tahap pra penelitian Tahap awal dilakukan proses perizinan ke Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, diteruskan kepada Kepala Dinkes Kabupaten Sleman DIY guna memperoleh data jumlah apotek. Selain itu dilakukan pemohonan kerja sama dengan dokter umum untuk membuatkan resep obat Glibenklamid sebagai instrumen penelitian. Penentuan sampel dilakukan secara pengambilan acak sederhana secara undian (simple random sampling lottery technique). Penetapan jumlah sampel yang ingin diteliti, untuk populasi kecil atau lebih kecil dari 10.000 menurut Notoatmodjo (2005) dengan rumus 1. n = Keterangan : N = besar Populasi; n= besar Sampel; d = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (0,05) (Notoatmodjo, 2005). Dalam penelitian ini sampel yang akan terlibat sebesar : n = = 120,3 = 120 apotek N = besar populasi atau jumlah apotek yang ada di wilayah Kabupaten Sleman DIY pada tahun 2010 yang diperoleh dari Dinas Kesehatan 139

Kabupaten Sleman DIY pada 25 Maret 2011 n = besar sampel penelitian atau apotek sampel d = ketepatan yang diinginkan (0,05) Jumlah sampel ditambahkan 3% untuk mewakili apotek-apotek baru yang sekiranya muncul pada saat penelitian ini sedang dilakukan, menjadi = 3% x 121 = 3,63 sampel = 4 sampel. Jumlah apotek sampel keseluruhan menjadi 124 apotek. Kemudian dilakukan pembuatan daftar cek yang isinya terkait jenis-jenis informasi yang harus diberikan oleh staf apotek dalam pelayanan obat resep menurut Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Selanjutnya dilakukan observasi posisi apotek sampel dan latihan skenario penelitian oleh peneliti. 2. Tahap pengumpulan data Jenis pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Observasi Partisipatif Partiil (pengamatan terlibat sebagian), dimana pengamat (observer) benar-benar mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sasaran pengamatan (observee/target observation) dan hanya mengambil bagian pada kegiatan tertentu saja. (Notoatmodjo, 2005). 3. Tahap pengolahan data Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah hasil proses pelayanan resep obat yaitu daftar cek, salinan resep, dan etiket obat. Data diolah dan disajikan menggambarkan tingkat ketersediaan informasi obat resep Glibenklamid menurut Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan kelengkapan salinan resep dan etiket berdasar syarat yang seharusnya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Profil Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Berdasarkan data dari Dinkes Kabupaten Sleman tahun 2011 yang diambil pada tanggal 25 Maret 2011, terdapat 172 apotek yang tersebar di 17 Kecamatan, kecuali Kecamatan Minggir dan Cangkringan yang tidak memiliki apotek. Oleh karena itu sampel yang diperoleh merupakan 124 apotek yang mewakili populasi apotek di Kabupaten Sleman DIY. Analis data yang diperoleh terkait jenisjenis pelayanan informasi yang diberikan sesuai dengan Kepmenkes 1027 tahun 2004 sebagai berikut : Gambar 1. Perbandingan Jumlah Apotek yang Melayani Resep dan Tidak Melayani Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Dari sebanyak 124 apotek sampel yang ada, diketahui bahwa tiga diantaranya menolak melayani resep (Gambar 1). Ketiga apotek tersebut menolak dengan cara menyarankan untuk menebus obat di apotek lain sambil memberikan alamat apotek lain yang terdekat. 140

n = 121 apotek Gambar 2. Profil Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Dari 124 apotek sampel yang ada, terdapat sebesar 121 apotek yang dapat dilihat profil pelayanan resepnya. Definisi obat keras menurut Permenkes RI Nomor 949/Menkes/ Per/IV/2000 adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Obat Glibenklamid adalah termasuk dalam obat keras, yang berarti Glibenklamid pada dasarnya harus dibeli menggunakan resep dokter. Namun pada data hasil penelitian tampak bahwa 30 (24,8%) apotek mengembalikan resep obat pada saat pelayanan resep (Gambar 2). Padahal dalam Permenkes No.922 tahun 1993 pasal 17 ayat 2 resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 4 apotek dari 121 apotek menolak membuatkan salinan resep. Beberapa diantaranya mengatakan alasannya bahwa obat glibenklamid dapat dibeli tanpa resep, cukup dengan menunjukkan contoh kemasan obat kepada staf apotek. Bahkan ada diantaranya yang memberikan alasan bahwa obat Glibenklamid merupakan obat golongan bebas yang tidak memerlukan resep. 10 tablet, namun apotek yang bersangkutan menyerahkan obat sejumlah 50 tablet. Hal ini jelas sangat tidak sesuai dengan resep yang diberikan. Berikut diperoleh bahwa dari 91 apotek yang tidak mengembalikan resep, sebanyak 87 apotek bersedia memberikan salinan resep dan sebanyak 4 apotek tidak bersedia memberikan salinan resep (Gambar 3). Gambar 3. Perbandingan Jumlah Apotek yang Bersedia dan Tidak Bersedia untuk Memberikan Salinan Resep di Apotek-Apotek Wilayah Sleman DIY Perlu diingat bahwa salinan resep harus memuat bagian-bagian antara lain nama, alamat apotek, nama APA, nomor surat izin APA, tanda det/nedet (obat telah ditebus), nomor resep, dan tanggal peresepan. Perlu juga dipastikan bahwa keterangan pada salinan resep harus sama dengan yang ada pada resep. Dari gambar 4, dapat disimpulkan bahwa rata-rata tingkat kelengkapan dari 87 salinan resep yang ada adalah 93,2%. Hasil ini menunjukkan bahwa salinan resep termasuk cukup lengkap isinya. Bagian yang paling sedikit dicantumkan dalam salinan resep adalah nomor resep, yaitu sebanyak 56 apotek dari 87 apotek sampel yang memberikan salinan resep. Ditemukan 1 apotek dari 121 apotek menyerahkan obat tidak sesuai dengan yang tertulis pada resep. Pada resep tertulis jumlah obat yang harus ditebus sebanyak 141

Gambar 4. Kriteria Kelengkapan Format dan Isi Salinan Resep yang Diberikan pada Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Biasanya apoteker akan menanyakan alamat pasien dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Data ini digunakan untuk kelengkapan administrasi yang dibutuhkan oleh apotek. Diketahui dari data bahwa apotek yang menanyakan alamat hanya 45% atau sebanyak 41 apotek dari 91 apotek sampel (Gambar 5). Gambar 5. Jumlah Apotek yang Menanyakan Alamat dan Nomor Telepon Pasien yang dapat Dihubungi pada saat Pelayanan Resep Obat Glibenklamid di Wilayah Kabupaten Sleman DIY Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 21 apotek dari 121 sampel apotek tidak mecantumkan etiket pada obat yang diserahkan pada pasien (Gambar 6). Obat hanya diserahkan begitu saja kepada pasien tanpa disertakan etiket. Bahkan ada yang menyerahkan tanpa kemasan yang sesuai, sehingga pelayanan yang terjadi nampak sama seperti jika membeli obat golongan bebas. Gambar 6. Ketersediaan Etiket Obat pada Kemasan Obat yang Diserahkan Gambar 7. Kriteria Kelengkapan Format dan Isi dari Etiket Obat Resep Glibenklamid Menurut WHO tahun 2004 Etiket obat yang disertakan pada obat resep yang akan diserahkan kepada pasien harus berisikan beberapa hal yaitu tanggal penyerahan obat, nama pasien, aturan pakai dalam bahasa yang mudah dimengerti, nama generik obat, kekuatan obat, jumlah obat, cautionary label atau peringatan dan nama apotek (WHO, 2004). Dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa kekuatan obat sangat jarang dicantumkan dalam etiket. Di samping itu nama generik obat, jumlah obat, dan peringatan pun masih sedikit yang mencantumkan. Sebesar 43,80% atau sebanyak 53 apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY yang dalam pelayanan resep obat dilakukan bukan oleh apoteker. Hasil ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/Menkes/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik yang mengatakan bahwa pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (APA). Dari 53 apotek yang dalam 142

pelayanannya bukan oleh apoteker, diketahui sebanyak 32 apotek dilayani oleh Asisten Apoteker (AA), sisanya 21 apotek oleh petugas lain di luar apoteker maupun AA (Gambar 10). Gambar 9. Ketersedian Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid di Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Gambar 8. Perbandingan Pelayanan Resep oleh Asisten Apoteker dan Petugas Lain pada Saat Kunjungan ke Apotek-Apotek Wilayah Kabupaten Sleman DIY Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid Ketersediaan informasi obat yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yaitu pada Bab II No. 1.2.5 meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Idealnya, keempat macam informasi tersebut harus disampaikan kepada pasien pada saat penyerahan obat. Tujuan pemberian informasi obat pada dasarnya adalah untuk meningkatkan efektifitas terapi dan melindungi pasien dari kesalahgunaan obat yang diterima. Data terkait pelayanan informasi obat resep glibenklamid dalam penelitian ini adalah informasi yang diberikan secara lisan oleh pihak apotek tanpa diminta terlebih dahulu atau atas kesadaran dari pihak apotek tersebut. Dari data yang ada ditunjukkan bahwa hanya sebanyak 93% atau 113 apotek dari 121 apotek sampel memberikan pelayanan informasi obat resep Glibenklamid. Terkait kelengkapan ketersediaan informasi obat resep Glibenklamid, diperoleh bahwa kombinasi informasi yang diberikan adalah sebanyak 5 macam, yaitu cara pemakaian saja; cara pemakaian dan jangka waktu pengobatan; cara pemakaian dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari; jangka waktu pengobatan saja; serta cara pemakaian, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman terkait penggunaan obat resep glibenklamid belum bisa dikatakan lengkap (Gambar 10). Gambar 10. Profil Ketersediaan Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid Menurut Kepmenkes RI No. 1027 Tahun 2004 Keterangan : A = Cara pemakaian obat B = Cara penyimpanan obat C = Jangka waktu pengobatan D = Aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari 143

Sebagian besar apotek memberikan informasi hanya terkait cara pemakaian obat. Selain itu, tidak ada satupun dari apotek-apotek sampel di Kabupaten Sleman DIY yang memberikan pelayanan informasi obat berupa cara penyimpanan obat. Cara penyimpanan Glibenklamid adalah disimpan pada suhu kamar. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan peundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Untuk ujian apoteker, berisi materi tentang aspek Keprofesian, Peraturan Perundangundangan, Perkembangan Praktek Kefarmasian, Farmakoterapi dan Jaminan mutu (ISFI-APTFI, 2009). Dari itu, pastinya seorang apoteker akan lebih berkompetensi dalam pekerjaan kefarmasian dibandingkan dengan yang bukan apoteker. Dari 113 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat, sebanyak 66 apotek oleh Apoteker, 30 apotek oleh Asisten Apoteker, dan 17 apotek oleh petugas lain. Masih banyak apotek yang menyampaikan informasi obat yang salah. Data yang dikategorikan menjadi informasi yang salah adalah informasi yang pada dasarnya tidak sesuai dengan literatur atau tidak lengkap. Penyampaian informasi cara pemakaian obat sangat berpengaruh terhadap informasi cara pemakaian yang dituliskan di etiket obat. Apabila informasi yang disampaikan salah, maka yang dituliskan pada etiket obat pun pasti salah. Gambar 11. Profil Pelayanan Informasi Obat Resep Glibenklamid terkait Pihak Apotek yang Memberikan Pelayanan Informasi Obat dan Benar atau Salah Informasi yang Diberikan Cara penggunaan obat merupakan informasi yang paling banyak disampaikan oleh apotek-apotek di Kabupaten Sleman DIY. Dari sebanyak 113 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat, diketahui bahwa sebanyak 112 memberikan informasi terkait cara pemakaian obat. Acuan yang digunakan terkait cara penggunaan obat Glibenklamid yang sesuai dan benar adalah Drug Information Handbook (Lacy et al, 2009). Dalam buku itu dikatakan bahwa cara pemakaian obat Glibenklamid yang benar adalah 2,5-5 mg/hari, diminum bersama sarapan atau saat makan pertama pada hari itu. Obat Glibenklamid harus diminum bersamaan dengan makan. Jadi, jika obat glibenklamid yang akan diberikan adalah yang berkekuatan 5 mg, maka cara pemakaian yang benar adalah sekali sehari 1 tablet diminum pada pagi hari bersamaan dengan makan. Terdapat 5 apotek dari 113 apotek sampel yang memberikan informasi terkait jangka waktu pengobatan. Secara garis besar isi dari informasi yang disampaikan adalah menyarankan untuk kembali memeriksakan diri ke dokter setelah obat habis. Selain itu, ada 2 apotek dari 113 apotek sampel memberikan informasi tentang aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari yaitu anjuran untuk mengurangi konsumsi 144

makanan dan minuman yang manis sebagai bagian dari aksi diet dalam terapi non farmakologis. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Profil pelayanan resep obat glibenklamid apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY adalah terdapat 3 apotek (2%) dari 124 apotek sampel menolak melayani resep. Dari 121 apotek yang bersedia melayani diperoleh profil pelayanan resep yang diberikan yaitu apotek yang mengembalikan resep (24,80%), menolak memberikan salinan resep (3,30%), menyerahkan obat tidak sesuai resep (0,80%), tidak mencantumkan etiket pada kemasan obat (17,40%), tidak memberikan informasi obat (6,60%), dan pelayanan dilakukan bukan oleh Apoteker (43,80%). 2. Tingkat ketersediaan pelayanan informasi obat yang diberikan oleh apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman DIY berdasarkan Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, diketahui sebanyak 113 apotek dari 121 apotek yang memberikan pelayanan informasi obat resep gibenklamid, tidak terdapat apotek yang memberikan pelayanan informasi secara lengkap berdasarkan Kepmenkes 1027 tahun 2004. Saran 1. Informasi hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam membantu pengadaan pengawasan terkait pelaksanaan pelayanan resep dan informasi obat di apotek-apotek wilayah Kabupaten Sleman DIY berdasar Kepmenkes 1027 tahun 2004. 2. Dilakukan penelitian tentang tingkat kemampuan apoteker dalam memberikan informasi obat yang benar kepada pasien. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011, Profil Kesehatan Kabupaten Sleman Tahun 2010, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, DIY. Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027 Menkes SK IX 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Fischer, L.R., Defor T.A., Cooper S., Scott, L.M., Boonstra, D.M., Eelkema, M.A., Goodman, M.J., 2002, Pharmaceutical Care and Health Care Utilization in an HMO, Effective Clinical Practice, http://www.acponline.org/journals/ecp/ marapr02/fischer.htm, diakses pada tanggal 03 Oktober 2010. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), 2009, Surat Keputusan Bersama Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia dan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia tentang Program Pendidikan Profesi Apoteker (P3A), Jakarta. Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2009, Drug Information Handbook, seventeenth edition, ApHA, USA. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 922/Menkes/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Notoatmodjo, S., 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta, 84-101. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2009, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia, 2009, Undang-undang Republik Indonesia No. 145

36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Jakarta World Health Organization, 2004, Management of Drugs at Health Centre Level, WHO, Brazzaville. 146