MONITORING EKOSISTEM PESISIR KAWASAN TELUK BUNGUS - PADANG, SUMATERA BARAT. Coastal Ecosystem Monitoring In Bungus Bay Area - Padang, West Sumatra

dokumen-dokumen yang mirip
KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI PESISIR BUNGUS TELUK KABUNG, SUMATRA BARAT TAHUN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

Parameter Fisik Kimia Perairan

STUDI EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR PANTAI KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG JURNAL

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

Perubahan Luasan Mangrove dengan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Di Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh:

POLA SPASIAL SEBARAN MATERIAL DASAR PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

STUDI TUTUPAN KARANG DI PULAU JANGGI KECAMATAN TAPIAN NAULI KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA

KUALITAS PERAIRAN TELUK BUNGUS BERDASARKAN BAKU MUTU AIR LAUT PADA MUSIM BERBEDA

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

ANALISIS PERUBAHAN LUASAN MANGROVE DI PANTAI TIMUR OGAN KOMERING ILIR (OKI) PROVINSI SUMATERA SELATAN MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT TM.

PEMODELAN DAYA DUKUNG PEMANFAATAN PULAU SAPUDI DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang


1. Pengantar A. Latar Belakang

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

Maspari Journal 03 (2011) 42-50

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

Karakteristik Pulau Kecil: Studi Kasus Nusa Manu dan Nusa Leun untuk Pengembangan Ekowisata Bahari di Maluku Tengah

ANALISIS PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN BARRU

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

CORAL BLEACHING DI TWP PULAU PIEH DAN LAUT DI SEKITARNYA TAHUN 2016

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

Valuasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Ekosistem Terumbu Karang Pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...


ANALYSIS OF CORAL S COVER AND CORAL S MORTALITY INDEX AROUND PAGAI STRAIT, MENTAWAI

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

ANALISI DAYA DUKUNG PEMANFAATAN PULAU GILI LABAK DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: ISSN :

STUDI TENTANG DINAMIKA MANGROVE KAWASAN PESISIR SELATAN KABUPATEN PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN DATA PENGINDERAAN JAUH

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

THE CORAL REEF CONDITION IN SETAN ISLAND WATERS OF CAROCOK TARUSAN SUB-DISTRICT PESISIR SELATAN REGENCY WEST SUMATERA PROVINCE.

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

I. PENDAHULUAN. batas air pasang dan surut (Murdiyanto, 2003). Asia Tenggara. Provinsi Lampung mempunyai potensi kawasan hutan seluas

ANALISIS LAJU DEFORESTASI HUTAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS PROVINSI PAPUA)

ABDUR RAHMAN. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Hasil dan Pembahasan

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

JAKARTA (22/5/2015)

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

Kata kunci : Mangrove, Nilai Penting, Desa Tanjung Sum, Kuala Kampar

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG, PROVINSI SUMATERA BARAT BERDASARKAN ANALISIS CITRA SATELIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRUKTUR VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN MERBAU KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI

Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2

Transkripsi:

MONITORING EKOSISTEM PESISIR KAWASAN TELUK BUNGUS - PADANG, SUMATERA BARAT Coastal Ecosystem Monitoring In Bungus Bay Area - Padang, West Sumatra Try Al Tanto 1*, Aprizon Putra 1 dan Ilham 1 1 Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP-KKP Jl. Raya Padang-Painan Km.16, Padang *email: try.altanto@gmail.com ABSTRACT Coastal ecosystems in Bungus Area is quite alarming, especially coral reefs because of conditions are getting damaged and many died. In addition, there are a lot of former mangrove tree felling. While the seagrass is not commonly found, but need to be monitored to maintain its existence. The purpose of the study was to determine the current condition of coastal ecosystems. Corals monitoring was conducted using LIT method, seagrass observations using transects square measuring 1 m x 1 m and a random sampling method. And observation mangrove transect squares measuring 10 m x 10 m, using a random sampling method. However, the analysis conducted on mangrove ecosystems along with the use of GIS to determine the extent of the ecosystem from several different years. Generally the condition of corals is quite alarming, coral cover on the Buo Waters - Bungus only by 19-45%. Even lower conditions on the Kasiak Island, with coral cover by 7-9%. For seagrass, recently discovered in a location that is Cindakir Waters. There is seagrass vegetation type that is only one (Thalassia) to cover an average of 20-30%. While the mangrove vegetation pretty much spread in the Bungus Bay Region. Overall from 2003 to 2008, covering an area of mangrove ecosystems have added 11.87 Ha. However, the area had been reduced to the observation in 2013, with a broad decline reaching 1.81 Ha. Keywords: Coastal Ecosystem, Coral Reef, Seagrass, Mangrove, Bungus Bay ABSTRAK Ekosistem pesisir di Bungus cukup memprihatinkan, terutama terumbu karang karena kondisinya semakin rusak dan banyak yang mati. Selain itu terdapat banyak bekas penebangan pohon mangrove. Sedangkan vegetasi lamun tidak banyak ditemukan, namun perlu pemantauan untuk mempertahankan keberadaannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi terkini ekosistem pesisir di kawasan Teluk Bungus. Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan metode LIT (Line Intersept Transect), pengamatan lamun menggunakan transek kuadrat berukuran 1 m x 1 m dan metode random sampling. Serta pengamatan mangrove dengan transek kuadrat berukuran 10 m x 10 m, dengan metode random sampling. Namun analisis yang dilakukan pada ekosistem mangrove disertai dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk mengetahui luasan ekosistem dari beberapa tahun berbeda. Umumnya kondisi terumbu karang cukup mengkhawatirkan, tutupan karang pada perairan Teluk Buo - Bungus hanya sebesar 19-45 %. Bahkan lebih rendah lagi kondisi pada Pulau Kasiak, dengan tutupan karang sebesar 7-9 %. Untuk kondisi ekosistem lamun, baru ditemukan pada satu lokasi yaitu perairan Pantai Cindakir. Jenis vegetasi lamun yang tumbuh hanya satu jenis (Thalassia) dengan tutupan rata-rata sebesar 20-30 %. Sedangkan vegetasi mangrove cukup banyak tersebar pada kawasan Teluk Bungus. Secara keseluruhan sejak tahun 2003 hingga tahun 2008, ekosistem mangrove mengalami pertambahan seluas 11.87 Ha. Namun area tersebut kembali berkurang pada pengamatan tahun 2013, dengan penurunan luas 1.81 Ha. Kata kunci : Ekosistem Pesisir, Terumbu Karang, Lamun, Mangrove, Teluk Bungus

I. PENDAHULUAN Ekosistem merupakan unit fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya tercakup organisme dan lingkungannya (biotik dan abiotik) dan diantara keduanya saling mempengaruhi (Odum, 1971 dalam Kordi, 2011). Ekosistem di daerah pesisir sangat beranekaragam, diantaranya terdapat tiga ekosistem penting yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Secara prinsipnya ada 4 fungsi pokok ekosistem tersebut bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Bengen, 2001). Perairan Teluk Bungus termasuk pada wilayah administrasi Kecamatan Bungus - Teluk Kabung, terletak pada bagian selatan Kota Padang - Sumatera Barat. Pada kawasan Teluk Bungus, ekosistem yang cukup menjadi perhatian besar adalah terumbu karang. Hal ini disebabkan karena kondisi ekosistem tersebut semakin rusak dan banyak yang mati (HU Kompas, 2012). Selain itu, ekosistem mangrove juga menjadi perhatian dengan banyaknya penebangan liar, terutama untuk pembukaan lahan. Sedangkan vegetasi lamun tidak banyak ditemukan, namun perlu dilakukan pemantauan untuk mempertahankan keberadaannya. Kegiatan penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kondisi ekosistem tersebut semakin parah seperti pemberitaan sebelumnya atau tidak. Informasi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pemegang kepentingan di kawasan ini. II. METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada kawasan perairan Teluk Bungus, Kecamatan Bungus - Teluk Kabung, Kota Padang - Sumatera Barat (Gambar 1). Survei monitoring Gambar 1. Peta lokasi pengamatan di Perairan Teluk Bungus

kondisi ekosistem dilaksanakan pada tanggal 1-4 Oktober 2013, serta pada tanggal 6-8 Desember 2013 untuk melengkapi data yang sudah ada. 2.2. Peralatan dan Data Peralatan: 1. Transek kuadrat, 2. Tali, 3. Meteran, 4. Buku identifikasi, 5. GPS, 6. Kamera digital, 7. Personal Computer (PC), 8. Perangkat pengolahan data (ArcView 3.3, ENVI 4.7, Global Mapper 14, GoogleEarth, dan Excel). Data: 1. Citra satelit QuickBird 2008, 2. Citra satelit Landsat 7 2003, Landsat 8 2013 path 127-128, Raw 60-61, 3. Peta RBI Bakosurtanal lembar 0714 6444_0714-6447 tahun 2008 skala 1:10.000. 2.3. Analisis Data Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan metode LIT (Line Intersept Transect), merupakan metode yang umum dilakukan dalam monitoring kondisi karang. Data monitoring karang diambil pada 2 lokasi, yaitu Teluk Buo yang berada pada bagian selatan kawasan Teluk Bungus dan sekitar Pulau Kasiak mewakili kondisi karang pada bagian utaranya. Pada lokasi Teluk Buo, pengamatan dilakukan pada 2 titik, pertama pada kedalaman 3 m dan 7 m dengan masing-masing 3 kali ulangan dan kedua hanya pada kedalaman 3 m (3 kali ulangan) dikarenakan topografi pada titik ini cukup terjal. Sedangkan pengamatan di Pulau Kasik hanya dilakukan satu titik pengamatan pada kedalaman 3 m dan 7 m yang masing-masing juga dengan 3 kali ulangan. Monitoring ekosistem lamun dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat ukuran 1 m x 1 m dan metode random sampling. Pengambilan sampling dilakukan pada 3 stasiun pengamatan yang terdiri dari 12 titik sampling, untuk menghitung tutupan vegetasi tersebut. Monitoring kondisi mangrove dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat dan metode random sampling. Ukuran transek adalah 10 m x 10 m, dengan jumlah titik tiap lokasi disesuaikan sehingga dapat mewakili kondisi mangrove di daerah tersebut. Analisis sistem informasi geografis yang dilakukan adalah analisis data spasial dengan memanfaatkan teknik tumpang susun (overlay) dan buffering. Masing-masing data yang telah ada di overlay sehingga menghasilkan unit data baru dengan informasi juga baru. Melalui proses pengolahan data 1) Citra satelit QuickBird 2008, 2) Citra satelit Landsat

4-5 - 8 TM 2003 dan 2013 path 127-128, Raw 60-61, dan 3) Peta Rupabumi Indonesia (RBI) tahun 2008 skala 1:10.000, sehingga diperoleh data sebaran hutan mangrove pada waktu tertentu. Luas vegetasi mangrove dapat diketahui dengan menggunakan rumus: L = p X r X 0.0001 Keterangan: L = Luas (ha) p = jumlah pixel r = Resolusi spasial, Landsat = 30 m x 30 m, QuickBird = 2.44 m x 2.44 m 0.0001 = konversi m 2 ke dalam ha Berikut prosedur pengolahan data citra dalam analisis penentuan luasan mangrove: 1. Citra Landsat 7 2003 2. Citra Landsat 8 2013 3. Citra QuickBird 2008 Pemotongan Citra (Cropping) Koreksi Radiometrik (Histogram Adjustment) Citra Terkoreksi Penajaman Citra (Band 453) Klasifikasi Supervised (Maximum likelihood) III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Ekosistem Terumbu Karang Luasan Spasial Mangrove 2003, 2008 dan 2013 Gambar 2. Flowchart penentuan luasan mangrove Berikut grafik hasil pengamatan terumbu karang di kawasan Teluk Bungus,

GRAFIK PERSENTASE TUTUPAN KARANG KAWASAN TELUK BUNGUS % tutupan karang 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 kedalaman 3 meter kedalaman 7 meter 0,0 Teluk Buo 1 Teluk Buo 2 Pulau Kasiak Lokasi pengamatan Gambar 3. Grafik tutupan terumbu karang kawasan Teluk Bungus Hasil pengamatan titik pertama Teluk Buo, diperoleh pertumbuhan karang pada daerah ini umumnya non-acropora dengan bentuk sebagian besarnya berupa padat (massive), bentuk lain sebagian kecilnya berupa encrusting, sub-massive, dan mushroom. Namun juga terlihat adanya pertumbuhan karang acropora pada kedalaman 3 m dengan bentuk bercabang (branching). Tutupan karang hidup secara rata-rata pada pengamatan pertama ini adalah sebesar 31.77 %, yang mana 19 % pada kedalaman 7 m dan 44.53 % pada kedalaman 3 m. Sedangkan hasil pengamatan kedua yang hanya dilakukan pada kedalaman 3 m, diperoleh hasil bahwa semua pertumbuhan karang berupa nonacropora dengan bentuk sebagian besarnya berupa massive. Bentuk lain dari pertumbuhan karang pada pengamatan kedua ini adalah branching, encrusting, dan submassive. Persentase tutupan karang pada titik kedua ini sebesar 30.67 %. Gambar 4. Pengamatan terumbu karang di Teluk Buo

Adapun genera karang yang ditemukan pada perairan Teluk Buo ini adalah Pavona, Pocillopora, Porites, Favia, Leptoseris, Acropora, Fungia, Sandalolitha, Goniastrea, Montipora, Pectinia, Astreopora, Euphylia, Cyphastrea, Echinopora, Favites, dan Galaxea. Karang yang cukup mendominasi pada perairan ini adalah Porites dan Pectinia. Sedangkan biota laut yang terlihat yaitunya teripang, trochus, diadema, lobster, kima, dan kuda laut. Dengan ditemukannya biota seperti kuda laut, biasanya ditandai dengan perairan yang cukup jernih. Tabel hasil monitoring ekosistem terumbu karang pada daerah Teluk Buo - Bungus adalah sebagai berikut, Tabel 1. Hasil pengamatan terumbu karang Teluk Buo LIFE FORM % tutupan (pengamatan 1) % tutupan (pengamatan 2) Hard corals (acropora dan non-acropora) 31.77 30.67 Dead scleractinia 4.65 1.20 Algae 14.03 54.23 Other fauna 2.08 2.57 Abiotic 47.47 11.33 Indeks mortalitas karang daerah Teluk Buo secara keseluruhan (pengamatan 1 dan 2) adalah sebesar 4.68 %. Hal tersebut menunjukkan cukup kecil kematian karang di wilayah ini, sehingga tidak terlihat perubahan berarti pada karang hidup. Karang mati yang terlihat umumnya disebabkan tertutup oleh sedimen. Tingginya sedimentasi daerah Teluk Bungus ini terjadi akibat sedimen dari sungai ataupun sedimen dari gerusan bukit di sekitar daerah Teluk Buo (Teluk Sirih). Namun terumbu karang yang ada tidak terlihat bagus akibat tutupan karang hidup yang ada juga kecil. Kebanyakan wilayah ini didominasi oleh abiotik berupa hamparan lanau yang luas, juga cukup banyaknya alga pada perairan ini. Kondisi terumbu karang yang ada di perairan Pulau Kasiak - Teluk Bungus bahkan lebih parah lagi. Tutupan karang secara rata-rata pada daerah ini hanya sebesar 7-9 %, yaitu 8.47 % pada kedalaman 3 m dan 7.6 % pada kedalaman 7 m. Pertumbuhan karang umumnya non-acropora dengan bentuk bercabang (branching), padat (massive), encrusting, sub-massive, dan berupa lembaran (foliose). Adapun pertumbuhan karang acropora juga terlihat dengan bentuk bercabang (branching), namun dengan jumlah sedikit. Genera karang yang ditemukan pada perairan ini adalah Favia, Pocillopora, Galaxea, Acropora, Porites, Montipora, Coeloseris, Cyphastrea, Fungia, Favites, Goniastrea, Pectinia, Sponge, Euphyllia, Seriatopora, dan Leptoseris. Dominasi karang pada perairan Pulau Kasiak ini dari urutan paling banyak ditemukan adalah Galaxea, Acropora, dan Porites.

Gambar 5. Pengamatan terumbu karang di P. Kasiak Berikut tabel hasil monitoring ekosistem terumbu karang pada perairan Pulau Kasiak - Bungus, Tabel 2. Hasil pengamatan terumbu karang P. Kasiak LIFE FORM % tutupan Hard corals (acropora dan non-acropora) 8.03 Dead scleractinia 0.27 Algae 45.15 Other fauna 4.57 Abiotic 41.98 Nilai indeks mortalitas karang pada perairan Pulau Kasiak adalah sebesar 1.66 %, artinya terumbu karang pada daerah ini terlihat cukup sehat. Namun, dengan nilai tutupan karang hidup yang juga sangat kecil sehingga kondisi karang tersebut lebih rendah, bahkan lebih tidak bagus dan mengkhawatirkan bila dibandingkan dari daerah Teluk Buo. Sehingga perlu dilakukan rehabilitasi karang pada perairan ini, yang dapat dilakukan berupa transplantasi karang buatan. Namun tidak melupakan pencegahan dari proses sedimentasi yang umumnya sebagai penyebab karang mati pada daerah ini. Selain itu, melihat cukup mendominasinya alga pada perairan ini, sehingga dapat menjadi pesaing besar kehidupan terumbu karang tersebut. 3.2 Ekosistem Lamun Hasil monitoring ekosistem lamun pada kawasan Teluk Bungus, menunjukkan bahwa kondisi vegetasi ini tidak cukup baik. Hal ini terlihat dari lokasi ditemukannya vegetasi

lamun hanya pada perairan Pantai Cindakir. Berikut tabel hasil monitoring lamun yang diperoleh dari data lapangan dan perhitungan, Tabel 3. Tutupan, kerapatan dan kerapatan relatif lamun Pantai Cindakir - Bungus Titik Tutupan (%) Kerapatan (ind/m²) Kerapatan Relatif (%) 1 10-20 132 3.71 2 - - - 3 - - - 4 30-40 608 17.10 5 40-60 720 20.25 6 60-70 1056 29.70 7 40-50 384 10.80 8 10-20 220 6.19 9 10-20 252 7.09 10 5-10 96 2.70 11 0-5 88 2.47 12 - - - Kondisi perairan di Pantai Cindakir cukup jernih untuk ditumbuhi oleh lamun, dengan tutupan secara rata-rata berkisar antara 20-30 %. Namun dari beberapa titik pengukuran, terdapat vegetasi lamun dengan tutupan cukup tinggi mencapai 60-70 %. Lamun yang ditemukan tersebut hanya satu jenis, yaitu Thalassia yang umumnya memang banyak tumbuh pada perairan Samudera Hindia. Untuk nilai kerapatan lamun, berbanding lurus dengan tutupannya dengan kerapatan tertinggi terdapat pada titik 6 sebesar 1056 ind/m2 atau 29.70 % dari jumlah tegakan lamun yang diukur. Gambar 6. Pengamatan lamun di Pantai Cindakir Walaupun perairan di sekitar tumbuhnya lamun jernih, akan tetapi vegetasi lamun yang ada umumnya tertutup oleh sedimen. Adapun sedimen yang terlihat tersebut kemungkinan berasal dari sungai yang cukup jauh di sebelah utara dari lokasi ini.

Dengan arus rata-rata yang terjadi menuju ke arah selatan, sehingga besar kemungkinan sedimen-sedimen yang berasal dari sungai tersebut dapat mencapai lokasi tersebut. 3.3 Ekosistem Mangrove Eksositem mangrove cukup banyak tersebar pada wilayah Teluk Bungus, diantaranya adalah daerah Teluk Buo, Teluk Pandan, Teluk Kaluang, Teluk Kabung, Dermaga Pertamina, Cindakir, Sako dan Karolin, serta Labuhan Tarok. Dari pengamatan di lapangan tahun 2013, serta didukung oleh pengolahan citra tahun 2003, 2008 dan 2013, diperoleh hasil luasan mangrove pada kawasan Teluk Bungus sebagai berikut, Tabel 4. Luasan mangrove pada kawasan Teluk Bungus Luas vegetasi mangrove (Ha) Lokasi Th 2003 Th 2008 Th 2013 Teluk Buo 2.25 2.48 0.00 Teluk Pandan 28.25 31.15 29.06 Teluk Kaluang 12.59 12.98 12.74 Teluk Kabung 4.20 5.77 4.14 Dermaga Pertamina 0.63 1.16 1.04 Cindakir 3.87 2.09 4.35 Sako+Karolin 9.41 17.46 20.07 Labuhan Tarok 2.12 2.11 1.99 Total 63.32 75.19 73.38 Secara keseluruhan pada kawasan Teluk Bungus sejak tahun 2003 hingga tahun 2008, ekosistem mangrove mengalami penambahan luas sebesar 11.87 Ha. Sebagian besar luas mangrove yang bertambah terlihat pada daerah Sako+Karolin dan Teluk Pandan dengan penambahan luas mencapai 10.95 Ha. Penambahan cukup besar luasan mangrove pada daerah Sako dan Karolin terjadi akibat semakin banyaknya lahan kosong dan bangunan hancur yang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove. Lahan kosong dan bangunan hancur tersebut terdapat di sekitar Pabrik Singkiong yang sudah tidak beroperasi lagi. Sebagian kecil penambahan luas mangrove juga terjadi pada daerah lainnya yang dianalisis, seperti daerah Teluk Buo, Teluk Kaluang, Teluk Kabung dan Dermaga Pertamina. Namun kondisi berbeda terjadi pada 2 daerah lain, yaitu daerah Cindakir dan Labuhan Tarok yang mengalami penurunan luasan mangrove hingga 1.80 Ha. Pada daerah tersebut, umumnya terjadi pembukaan lahan untuk pemukiman dan rumah makan. Sebaliknya, pada kondisi sekarang (pengamatan lapangan tahun 2013) terjadi penurunan luas mangrove pada kawasan Teluk Bungus sebesar 1.81 Ha. Semakin menurunnya luas ekosistem mangrove pada kawasan ini pada tahun 2013 umumnya terjadi akibat penebangan liar ataupun pembukaan lahan. Daerah Teluk Buo mengalami penurunan

vegetasi mangrove secara signifikan hingga tidak terlihat sama sekali pada tahun 2013 ini. Punahnya vegetasi mangrove pada daerah Teluk Buo dapat terjadi akibat pembukaan lahan, yang digunakan untuk pembangunan instalasi listrik (PLTU) di sana. Penurunan luasan mangrove juga terjadi pada daerah Teluk Pandan dan Teluk Kabung. Daerah Teluk Pandan merupakan daerah dengan persentase ekosistem mangrove terluas pada kawasan Teluk Bungus. Luas mangrove pada daerah Teluk Pandan saat ini (tahun 2013) mencapai 29.06 Ha, merupakan 39.6 % dari luasan mangrove di kawasan Teluk Bungus. Pada daerah ini terjadi sedikit perubahan luasan mangrove, naik dari tahun 2003 sampai tahun 2008, namun turun pada tahun 2013. Kerapatan mangrove terlihat cukup tinggi, berkisar antara 70-95 % yang menyebabkan cukup sulit untuk melakukan pengukuran mangrove di beberapa titik daerah ini. Gambar 7. Pengamatan mangrove di Teluk Pandan Jenis vegetasi mangrove yang ditemukan pada daerah Teluk Pandan didominasi oleh Rhizopora mucronata, selain itu juga terdapat Ceriops decandra, Bruguiera hainessii dan Terminalia catappa (Ketapang) serta vegetasi pantai Lampari (nama lokal). Pada daerah ini juga terlihat adanya bekas penebangan pohon mangrove, kemungkinan terjadi akibat penebangan liar oleh warga setempat. Kondisi hampir sama terlihat pada daerah Teluk Kabung, dengan penambahan luas mangrove dari tahun 2003 menuju tahun 2008 dan turun pada tahun 2013. Umumnya vegetasi mangrove daerah ini memiliki kerapatan yang tinggi, mencapai 90 %. Namun jenis mangrove yang ditemukan cukup sedikit, yaitu Sonneratia alba dan Rhizopora mucronata. Selain itu, beberapa daerah lain seperti Teluk Kaluang, Pelabuhan Pertamina dan Labuhan Tarok juga terjadi pengurangan luasan mangrove namun cukup kecil, yaitu berkisar antara 0.12-0.24 Ha. Pada daerah Teluk Kaluang, jenis mangrove didominasi oleh Rhizopora mucronata dengan kerapatan cukup tinggi yaitunya 90-95 %. Hal ini menyebabkan tidak bisa dilakukannya pengukuran, kecuali vegetasi yang berada pada bagian luar area. Namun juga ditemukan sebagian kecil dari jenis Sonneratia alba pada titik pengamatan 3.

Gambar 8. Vegetasi mangrove di Teluk Kaluang Berkurangnya luasan mangrove pada daerah Teluk Kaluang ini tidak terlalu kelihatan, kemungkinan hanya terjadi pada bagian ke arah daratan dari lokasi pengamatan. Sedangkan pada daerah Labuhan Tarok cukup terlihat berkurangnya area mangrove, dengan banyaknya bekas penebangan pohon. Pada daerah ini terjadi pembukaan lahan yang digunakan untuk permukiman dan pembangunan rumah makan. Ekosistem mangrove yang masih ada memiliki kerapatan yang cukup beragam, yaitunya 70-95 %. Pada beberapa titik pengamatan masih ditemukan mangrove dengan kerapatan yang tinggi. Vegetasi mangrove yang terdapat pada daerah ini didominasi oleh jenis nipah (Nypa fruticans). Selain itu juga terlihat jenis Aegiceras floridum, Sonneratia alba, dan Rhizopora apiculata. Gambar 9. Vegetasi mangrove di Labuhan Tarok

Kondisi cukup berbeda terjadi pada daerah Sako dan Karolin, dengan perubahan area mangrove yang cukup dinamis. Umumnya pada daerah ini terjadi peningkatan luas mangrove dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2013. Namun, mangrove yang ada tersebut bervariasi letak, pada tahun 2003 dan 2008 mangrove yang ada lebih banyak pada arah dalam area, dengan masih terlihatnya bekas bangunan pabrik. Menjelang tahun 2013 ini, rencana pembangunan industri kayu mencuat dengan dimulainya pembukaan lahan dan menghancurkan bekas-bekas bangunan pabrik sebelumnya. Hal tersebut terlihat dengan adanya vegetasi mangrove baru yang tumbuh di sekitar area pembukaan lahan tersebut, namun bekas penebangan pohon mangrove terutama jenis nipah pada titik lain daereh ini juga banyak terlihat. Gambar 10. Pengamatan mangrove di Karolin Gambar 11. Pengamatan mangrove di Sako

Pada daerah Sako dan Karolin ini banyak ditemukan vegetasi mangrove jenis Acanthus ilicifolius (jeruju), Nypa fruticans, dan Aegiceras floridum, serta sebagian jenis Xylocarpus granatum dan Soneratia. Selain itu juga terlihat adanya jenis mangrove ikutan seperti Pandanus odoratissima, Hibiscus tiliaceus (waru laut), dan Terminalia catappa (Ketapang). IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. KESIMPULAN Ekosistem terumbu karang pada perairan Teluk Buo - Bungus memiliki tutupan 19-45 %. Lebih rendah lagi kondisi pada Pulau Kasiak, dengan tutupan karang sebesar 7-9 %. Dengan nilai tutupan karang hidup yang rendah sehingga terumbu karang tersebut tidak cukup baik dan kurang cantik. Ekosistem lamun baru ditemukan pada perairan Pantai Cindakir - Bungus. Hanya satu jenis lamun yang ditemukan tersebut yaitu Thalassia, dengan tutupan rata-rata sebesar 20-30 %. Vegetasi mangrove cukup banyak tersebar pada kawasan Teluk Bungus, yaitunya daerah Teluk Buo, Teluk Pandan, Teluk Kaluang, Teluk Kabung, Dermaga Pertamina, Cindakir, Sako dan Karolin, serta Labuhan Tarok. Sejak tahun 2003 hingga tahun 2008, ekosistem mangrove mengalami pertambahan luas sebesar 11.87 Ha. Area tersebut kembali berkurang pada kondisi sekarang (pengamatan tahun 2013), dengan penurunan luas mencapai 1.81 Ha. 4.2. SARAN 1. Perlu dilakukan rehabilitasi terhadap ekosistem terumbu karang dan lamun pada kawasan Teluk Bungus, sehingga dapat memperbaiki ekosistem yang sudah ada tersebut. 2. Perhatian dari aparat pemerintah setempat dan masyarakat, terkait aktivitas penebangan pohon secara liar. Perlu sosialisasi secara menyeluruh terhadap masyarakat dan pihak-pihak yang melakukan aktivitas penebangan pohon mangrove serta penindakkan secara tegas aktivitas tersebut. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih diucapkan kepada Kepala LPSDKP, Bapak Gunardi Kusumah, MT yang telah mempercayakan pelaksanaan kegiatan penelitian ini kepada kami. Terimakasih kepada Ketua Kelti Kerentanan Pesisir, Bapak Dr-Ing. Semeidi Husrin, atas arahan dan ide awal kegiatan penelitian ini. Terimakasih juga kami ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc dan Ibu Dr. Nita Yuanita selaku Narasumber kegiatan. Masukan, saran dan arahan beliau sangat membantu sehingga menjadikan kami dapat menyelesaikan kegiatan penelitian ini. Ucapan terimakasih kami juga kepada instansi pemerintah daerah setempat, Dinas KP Kota Padang dan Dinas KP Provinsi Sumatera Barat, serta kepada anggota tim dari

Yayasan Minang Bahari Kota Padang yang telah membantu dalam kelancaran pelaksanaan kegiatan. Harapannya semoga hasil kegiatan ini berguna untuk kepentingan bersama terutama masyarakat. Selanjutnya juga dapat menjadi pembelajaran untuk kegiatan ke depannya dan pengalaman yang sangat berharga. DAFTAR PUSTAKA Bengen, Dietriech G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor. HU Kompas. 2012. Amdal Teluk Buo Dipersoalkan. http://sains.kompas.com. [Akses Bulan Maret 2012]. Kordi, K.M.G.H. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Rineka Cipta 2011. Ekosistem Lamun (Seagrass). Jakarta: Rineka Cipta Rusila Noor, Y., M. Khazali, I N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen. PHKA Kemenhut/WI-IP, Bogor. Yusri, Safran. Pengenalan Bentuk Pertumbuhan Karang dan Struktur Rangka Kapur Karang. The Indonesian Coral Reef Foundation (Yayasan Terangi). http://www.terangi.or.id/publications/pdf/bentukpertumb.pdf. [Akses Tanggal 19 Maret 2013].