Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay



dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

for preparing endoscopic sinus surgery, 34 males and 42

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

Kesehatan hidung masyarakat di komplek perumahan TNI LANUDAL Manado

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER. Tesis

RINOSINUSITIS KRONIS

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

PROFIL PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

Kesehatan Hidung pada Siswa-Siswi Sekolah Dasar Negeri 11 Manado

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Validitas dan reliabilitas kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia

KESEHATAN TENGGOROK PADA SISWA SEKOLAH DASAR EBEN HAEZAR 1 MANADO DAN SEKOLAH DASAR GMIM BITUNG AMURANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Hasma Idris Nohong, Abdul Kadir, Muh. Fadjar Perkasa

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014). Pneumonia pada geriatri sulit terdiagnosis karena sering. pneumonia bakterial yang didapat dari masyarakat (PDPI, 2014).

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bells Palsy adalah kelumpuhan atau kerusakan pada nervus facialis

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

Radiotherapy Reduced Salivary Flow Rate and Might Induced C. albicans Infection

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

PERBANDINGAN KUALITAS HIDUP ANTARA PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS TIPE DENTOGEN DAN TIPE RINOGEN DI RUMAH SAKIT SE-EKS KARESIDENAN SURAKARTA SKRIPSI

BAB 3 METODE PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

Efektivitas larutan cuci hidung air laut steril pada penderita rinosinusitis kronis

Transkripsi:

Laporan Penelitian Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay Jeanny Bubun, Aminuddin Azis, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar - Indonesia ABSTRAK Latar belakang: Tingginya prevalensi rinosinusitis kronik (RSK) di masyarakat memerlukan deteksi dini, karena berdampak terhadap kualitas hidup dan ekonomi. Gejala dan tanda RSK dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dan evaluasi terapi, terutama di tempat yang belum memiliki CT scan. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara gejala dan tanda RSK berdasarkan Task Force, menurut American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS), dengan gambaran CT scan sinus paranasal berdasarkan skor Lund-Mackay. Metode: Penelitian adalah suatu cross sectional study. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji assosiasi linier. Hasil: Dari 53 orang sampel penelitian diperoleh gejala mayor yang paling sering adalah rinore mukopurulen (83%), obstruksi nasi (81,1%), PND (81,1%), serta sekret di rongga hidung (67,9%) dan gejala minor yang paling sering adalah sakit kepala (90,6%). Berdasarkan hasil temuan CT scan, 7 orang (13,2%) tidak terdeteksi RSK dan yang paling banyak adalah multisinusitis (52,8%). Rata-rata skor gejala sinus adalah 1-22, dengan grading skor yang tertinggi 1 8, yaitu 32 orang (60,3%). Kesimpulan: Penelitian terdapat hubungan yang bermakna antara gejala dan tanda RSK berdasarkan Task Force, menurut AAOA dan ARS dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay dengan p=0,035. Kata kunci: rinosinusitis kronis, gejala, CT scan, skor Lund-Mackay ABSTRACT Background: The high prevalence of chronic rhinosinusitis in society required an early detection, because of its impact on quality of life and economic burden. Symptoms and sign of chronic rhinosinusitis could be used as a diagnosis and treatment evaluation, primarily in the setting where CT scan is not available. Purpose: This study was aimed to find out the relationship between symptoms and sign of chronic rhinosinusitis by using Task Force, according to the American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA) and American Rhinologic Society (ARS), with paranasal sinus CT scan image according to Lund-Mackay score. Methods: This is a cross sectional study. The collected data was analyzed with linier association test. Results: From 53 samples, the most common major symptoms including mucopurulent nasal discharge (83%), nasal obstruction (81.1%), 1

post nasal drips (81.1%), discharge in the nasal cavity (67.9%) and common minor symptom is headache (90.6%). Based on CT scan findings, 7 patients (13.2%) was not detected as chronic rhinosinusitis and the most common is multisinusitis (52.8%). Average sinus symptoms scores are 1-22, with highest grading scores are 1-8 about 32 patients (60.3%). Conclusion: There is a significant association between symptoms and sign of chronic rhinosinusitis based on Task Force according to AAOA and ARS with CT scan image based on Lund Mackay scores with p=0.035. Key words: chronic rhinosinusitis, symptoms, CT scan, Lund-Mackay score Alamat korespondensi: Jeanny Bubun, Bagian Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. E-mail: orlunhas@indosat.net.id PENDAHULUAN Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor. 1,2 Menurut perjalanan penyakit sesuai konsensus tahun 2004, rinosinusitis dibagi dalam bentuk akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 sampai 12 minggu dan kronik jika lebih dari 12 minggu. 3 Rinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup tinggi. Diperkirakan sebanyak 13,4-25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan dengan rinosinusitis atau akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai 10% 30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikitnya pernah mengalami episode rinosinusitis semasa hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan menderita RSK. Dari respiratory surveillance program, diperoleh data demografik mengenai rinosinusitis paling banyak ditemukan secara berturut-turut pada etnis kulit putih, Afrika Amerika, Spanyol dan Asia. 4,5,6 Di Indonesia, di mana penyakit infeksi saluran napas akut masih merupakan penyakit utama di masyarakat, angka kejadiannya belum jelas dan belum banyak dilaporkan. Insiden kasus baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang berkunjung di Divisi Rinologi Departemen THT RS Cipto Mangunkusumo, selama Januari Agustus 2005 adalah 435 pasien. 2 Di Makassar sendiri, terutama di rumah sakit pendidikan selama tahun 2003 2007, 2

terdapat 41,5% penderita rinosinusitis dari seluruh kasus rawat inap di Bagian THT. 7,8 Menurut Task Force yang dibentuk oleh the American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Sosiety (ARS), gejala klinik pada orang dewasa dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan minor. Rinosinusitis kronik dapat ditegakkan berdasarkan adanya dua gejala mayor atau lebih, atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor. Telah dilaporkan bahwa kriteria Task Force ini mempunyai sensitivitas yang tinggi, yaitu 87,7% dalam mendiagnosis rinosinusitis. 7,9-11 Hwang et al 12 pada tahun 2003, meneliti hubungan antara gejala rinosinusitis dengan derajat CT scan sinus paranasal sesuai skor Lund-Mackay. Hasil penelitian dari 125 sampel menunjukkan bahwa ingus purulen mempunyai nilai duga positif sebesar (75%), hiposmia (69%), nyeri wajah (67%), hidung tersumbat (67%) dan nyeri kepala (64%). Hwang menyatakan bahwa kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinik yang digunakan oleh Task Force mempunyai nilai sensitivitas yang cukup tinggi terhadap hasil CT scan, yaitu 89%. Bhattacharya et al 13 pada tahun 2004, melaporkan keakuratan CT scan dalam mendiagnosis RSK pada anak-anak berdasarkan skor Lund-Mackay mempunyai nilai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, yaitu 86% dan 85%. Amaruddin dkk. 14 pada tahun 2006, melakukan penelitian yang serupa dengan hasil dari 22 sampel, gejala yang paling sering adalah hidung tersumbat (100%), ingus purulen (95,5%), nyeri sinus (91%), fatigue (63,6%), gangguan penghidu (59,1%) dan gangguan tidur (54,5%). Hasil uji korelasi antara skor gejala dan skor CT scan menunjukkan adanya hubungan yang linier. Gejala yang timbul akibat RSK merupakan salah satu hal penting dalam menegakkan diagnosis, di samping pemeriksaan pencitraan seperti CT scan. Ada beberapa kriteria pengklasifikasian rinosinusitis berdasarkan gambaran CT scan, tetapi sistem staging CT scan Lund- Mackay lebih sering digunakan, karena dianggap lebih sederhana dan merupakan satu-satunya sistem yang direkomendasikan oleh Task Force untuk mendiagnosis rinosinusitis. 10,12 Di Indonesia, masih banyak rumah sakit dan pusat kesehatan yang belum memiliki fasilitas CT scan dan kalaupun tersedia, tidak semua pasien mampu membayarnya, sehingga penentuan diagnosis dan evaluasi hasil terapi berdasarkan gejala dapat digunakan sebagai salah satu alternatif. 14 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara gejala dan 3

tanda RSK berdasarkan Task Force, menurut AAOA dan ARS dengan gambaran CT scan sinus paranasal berdasarkan skor Lund-Mackay. Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar. METODE Penelitian dilakukan di RS Wahidin Sudirohusodo, selama periode waktu penelitian mulai Desember 2008 sampai April 2009. Populasi penelitian ini adalah semua penderita yang datang berobat di lokasi penelitian dengan keluhan pilek atau hidung tersumbat lebih dari 12 minggu. Sampel adalah semua penderita yang telah terdiagnosa sebagai tersangka RSK. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis diagnostik THT termasuk kriteria inklusi, serta tidak termasuk kriteria eksklusi. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling, yaitu setiap penderita yang berobat di poli THT yang memenuhi syarat inklusi sampel. Besar sampel adalah 53 orang berdasarkan distribusi normal dari Gauss. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah penderita yang didiagnosis tersangka RSK, dan akan menjalani CT scan sinus paranasal potongan koronal tanpa kontras dengan posisi prone, umur 15 tahun. Kriteria eksklusi adalah penderita dengan riwayat operasi hidung terdiagnosis polip nasi dan tumor sinonasal, terdapat riwayat trauma hidung dan maksilofasial. Bahan penelitian adalah subjek penelitian yang terdiagnosis tersangka RSK tanpa polip nasi, alat diagnostik set THT, rekaman foto hasil CT scan sinus paranasal potongan koronal tanpa kontras, lembar kuisioner, kamera digital Canon Power Shot A570 IS, 7,1 MP. Cara kerja penelitian adalah sebagai berikut: a) ditanyakan identitas, keluhan utama, lamanya, serta gejala lainnya berdasarkan kriteria Task Force yang terjadi akibat RSK dan dicatat dalam lembar kuisioner; b) pemeriksaan fisis THT; c) setelah dicurigai RSK, diberi penjelasan dan pengisian informed consent; d) terhadap sampel sebelum diberikan terapi langsung, dilakukan pemeriksaan CT scan sinus paranasal potongan koronal tanpa kontras dengan irisan 3 mm; e) print out CT scan didokumentasi dengan kamera digital, kemudian melalui komputer, CT scan sinus paranasal dinilai sesuai skor Lund- Mackay. Berdasarkan peran dan skalanya, variabel dalam penelitian ini dibagi atas: a) variabel bebas adalah gejala mayor dan gejala minor berdasarkan Task Force menurut AAOA dan ARS. Gejala dan 4

tanda rinosinusitis mayor-minor menurut Task Force, yang dibentuk oleh AAOA dan ARS adalah keluhan subjektif penderita yang dirasakan sebagai akibat adanya peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal. Gejala mayor berupa rinore, obstruksi nasi, nyeri wajah, sekret di rongga hidung (dengan rinoskopi anterior), post nasal drip, gangguan penghidu. Sedangkan gejala minor berupa sakit kepala, halitosis, rasa lelah, nyeri gigi, rasa nyeri/penuh telinga dan demam. Diagnosis rinosinusitis dapat ditegakkan berdasarkan dua gejala mayor atau lebih, atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor; 10,15 b) variabel tergantung adalah derajat RSK, yang diukur berdasarkan gambaran CT scan sinus paranasal potongan koronal tanpa kontras dan dinilai menurut skor Lund-Mackay. Skor CT scan sinus paranasal menurut Lund-Mackay, berdasarkan temuan setiap sinus di sisi kanan dan kiri serta diberi skor nomor 0= tidak ada kelainan, 1= perselubungan parsial, dan 2= perselubungan total. Sedangkan untuk setiap KOM diberi skor nomor 0= tidak ada obstruksi dan 2= obstruksi, sehingga skor total kemungkinan adalah 24; 10,16,17 c) variabel yang tidak diteliti adalah faktor-faktor predisposisi terjadinya suatu RSK, yaitu alergi, genetik, imunodefisiensi, lingkungan, tumor, mikroorganisme, kelainan anatomi. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini diolah uji assosiasi linier, untuk menilai hubungan antara gejala dan tanda RSK berdasarkan Task Force, menurut AAOA dan ARS dengan gambaran CT scan sinus paranasal berdasarkan skor Lund-Mackay. Hasil dianggap bermakna jika nilai p<0,05. HASIL Selama kurun waktu 5 bulan, yaitu dari bulan Desember 2008 sampai bulan April 2009, telah dilakukan pengambilan sampel pada penderita RSK yang telah menjalani pemeriksaan CT scan sinus paranasal potongan koronal tanpa kontras di Bagian Radiologi RS Wahidin Sudirohusodo, yang memenuhi kriteria penelitian dengan jumlah total sampel sebanyak 53 orang. Tersangka RSK terbanyak ditemukan pada kelompok umur 31 40 tahun, yaitu 18 orang (34%). Dan ditemukan lebih banyak pada laki-laki, yaitu 28 orang (52,8%) dibandingkan perempuan, yaitu 25 orang (47,2%). Distribusi jumlah gejala mayor pada tersangka RSK terdapat paling banyak 2 gejala, yaitu 15 orang (28,3%), kemudian 5 gejala, yaitu 14 orang (26,4%) disusul 3 gejala dan 4 gejala, masing-masing 11 orang (20,8%) dan paling sedikit 1 gejala, yaitu sebanyak 2 orang (3,8%). Sedangkan jumlah gejala minor pada penderita RSK 5

paling banyak adalah 2 gejala, yaitu 16 orang (30,2%) diikuti 1 gejala, yaitu 15 orang (28,3%), 3 gejala 12 orang (22,6%) dan 4 gejala, yaitu 6 orang (11,3%), dan yang paling sedikit yaitu tanpa gejala dan 6 gejala masing-masing 1 orang (1,9%). Dari keseluruhan sampel, ada 52 orang didiagnosis sebagai RSK menurut Task Force, dan satu lainnya yang mempunyai satu gejala mayor dan satu gejala minor dianggap sebagai suspek RSK. Gejala mayor pada tersangka RSK paling banyak adalah rinore mukopurulen, yaitu 44 orang diikuti obstruksi nasi dan PND, terdapat sekret di rongga hidung pada pemeriksaan rinoskopi anterior, nyeri wajah, serta paling sedikit gangguan penghidu. Gejala minor pada tersangka RSK yang paling banyak adalah sakit kepala, yaitu 48 orang (90,6%) dan paling sedikit gejala demam. Data selengkapnya terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi gejala mayor dan gejala minor pada tersangka RSK Gejala Mayor N % Gejala Minor N % Rinore mukopurulen 44 83 17 Sakit Kepala 48 90,6 Obstruksi nasi 43 81,1 Halitosis 13 24,5 Nyeri wajah 32 60,4 Lelah 26 49,1 Sekret pada RA 36 67,9 Sakit gigi 18 34,0 PND 43 81,1 Rasa nyeri/penuh telinga 9 17,0 Gangguan penghidu 16 30,2 Batuk 6 11,3 Demam 3 5,7 Distribusi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan CT scan sinus paranasal, menunjukkan bahwa temuan hasil CT scan sinus paranasal pada potongan koronal terbanyak sebagai multisinusitis, yaitu 28 orang (52,8%) diikuti pansinusitis, yaitu 7 orang (13,2%), satu sinus yaitu 6 orang (11,3%), dan yang paling sedikit melibatkan dua sinus, yaitu 5 orang (9,4%). Dari 53 sampel tersangka RSK, didapatkan ada 7 orang (13,2%) yang tidak terdeteksi sebagai sinusitis berdasarkan CT scan sinus paranasal. Lokasi kelainan masing-masing sinus paranasal dapat dideteksi dengan pemeriksaan CT scan sinus paranasal. Pada perselubungan parsial, paling banyak didapatkan di sinus maksila kanan, yaitu 32 orang (60,4%) dan sinus maksila kiri, yaitu 31 orang (58,5%) diikuti sinus etmoid anterior kanan, yaitu 22 orang (41,6%), sinus etmoid anterior kiri 20 orang (37,7%) dan paling sedikit adalah sinus sfenoid kiri, yaitu 5 orang (9,4%). Demikian juga pada perselubungan total, sinus yang paling banyak terlibat 6

adalah sinus maksila, baik kanan maupun kiri masing-masing 6 orang (11,3%) dan 5 orang (9,4%), diikuti berturut-turut sinus frontal kanan, yaitu 7 orang (13,2%), sinus etmoid anterior dan sinus frontal kiri masing-masing 4 orang (7,5%) dan yang paling sedikit sinus etmoid posterior, sinus sfenoid kanan dan kiri masing-masing 2 orang (3,8%). Kelainan pada KOM dapat dideteksi dengan pemeriksaan CT scan sinus paranasal, yaitu 29 orang (54,8%). Dari 53 orang yang mengalami obstruksi pada KOM, dengan perincian obstruksi kanan dan kiri 18 orang (34%), obstruksi KOM kanan 8 orang (15,1%) dan obstruksi KOM kiri 3 orang (5,7%) dan yang tidak obstruksi ada 24 orang (45,3%). Dari 47 sampel yang terdeteksi sebagai RSK berdasarkan temuan CT scan, skor Lund-Mackay berkisar antara 1-22, dengan skor 1 dan 3 yang terbanyak, masingmasing sebanyak 6 orang (11,3%) diikuti skor 6 dan 8, masing-masing 5 orang (9,4%), skor 4 dan 5 masing-masing 3 orang (5,7%), skor 2,7,10,13 dan 14 masing-masing 3 orang (5,7%) dan yang paling sedikit skor 9,11,15 sampai 22 gejala masing-masing 1 orang (1,9%). Dari 52 penderita yang terdiagnosis RSK menurut gejala klinik Task Force paling banyak dengan grading skor 1-8, yaitu sebanyak 32 orang (60,3%) dan paling sedikit di grading 17 24 dan 6 orang (11,3%) yang terdiagnosis sebagai RSK, tidak terdeteksi dengan CT scan. Selain itu yang masih tersangka RSK yaitu 1 orang (1,9%), memang tidak terdeteksi dengan CT scan. Hal ini terlihat jelas pada tabel 2. Tabel 2. Distribusi tersangka RSK dengan skor CT scan sinus paranasal Skor CT scan 0 1-8 9-16 17-24 Kriteria Task Force RSK Tersangka RSK N % N % 6 11,3 1 1,9 32 60,3 0 0 10 18,9 0 0 4 7,6 0 0 Jumlah 52 98,1 1 1,9 Tabel 3. Distribusi jumlah sinus yang terlibat dengan skor CT scan sinus paranasal Skor Jumlah sinus yang terlibat Jumlah 7

CT scan Nol Satu Dua Multi Pan N % N % N % N % N % N % 0 7 13,2 0 0 0 0 0 0 0 0 7 13,2 1-8 0 0 6 11,3 5 9,4 21 39,6 0 0 32 60,4 9-16 0 0 0 0 0 0 7 13,2 3 5,7 10 18,9 17-24 0 0 0 0 0 0 0 0 4 7,5 4 7,5 Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin banyak sinus yang terlibat semakin tinggi grading skor CT scan sinus paranasal. Sebagai contoh pada multisinusitis, paling banyak dengan grading 1 8 sebanyak 21 orang (39,6%), sedangkan pansinusitis banyak didapatkan pada grading 17 24, yaitu 4 orang (7,5%). Dengan menggunakan uji association linear, secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara gejala klinis menurut Task Force AAOA dan ARS, dengan CT scan sinus paranasal sesuai dengan skor Lund-Mackay, maka terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak sinus yang terlibat, maka semakin tinggi grading skor CT scan sinus paranasal. Dan semakin banyak gejala mayor dan minor yang didapatkan pada tersangka RSK, maka kemungkinan jumlah sinus yang terlibat semakin banyak.dengan p=0,035 (p<0,05). DISKUSI Berdasarkan hasil gejala klinis dan pemeriksaan fisis, menurut kriteria Task Force yang merupakan suatu kelompok kerja yang dibentuk oleh AAOA dan ARS yang menyatakan bahwa diagnosis RSK dapat ditegakkan berdasarkan dua gejala mayor atau lebih, atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor, maka hasil penelitian kami pada tabel 4 menunjukkan bahwa dari 53 orang dengan tersangka RSK, terdapat 52 orang yang didiagnosis dengan RSK dan 1 orang (1,9%) yang mempunyai hanya satu gejala mayor dan satu gejala minor dan dianggap sebagai tersangka RSK. Satu pasien yang masih tersangka RSK menurut Task Force dengan gejala mayor adalah rinore, dan gejala minor adalah rasa lelah. Hal ini terjadi karena pada saat pengambilan sampel, peneliti hanya berdasarkan adanya keluhan hidung berupa rinore yang berlangsung lebih dari 12 minggu tanpa melihat adanya keluhan lain yang menyertai. Kemungkinan pasien menderita rinitis alergi atau rinitis vasomotor yang merasa terganggu dengan adanya rinore saat terpapar dengan faktor pencetus. 8

Gejala mayor yang paling sering adalah rinore mukopurulen sebanyak 44 orang (83%), diikuti obstruksi nasi dan PND, sekret di rongga hidung pada pemeriksaan rinoskopi anterior, nyeri muka dan paling sedikit gangguan penghidu, yaitu sebanyak 16 orang (30,2%). Gejala minor yang paling banyak adalah sakit kepala sebanyak 48 orang (90,6%). Hasil penelitian ini serupa penelitian sebelumnya oleh Hwang et al 12 (2003) dan Amaruddin dkk. 14 (2006). Menurut Hwang et al, 12 gejala yang didapatkan berturutturut ingus purulen (75%), hiposmia (69%), nyeri wajah (67%), hidung tersumbat (67%) dan nyeri kepala (64%). Sementara Amaruddin dkk. 14 di Yogyakarta menyebutkan bahwa dari 22 sampel, gejala yang paling menonjol adalah hidung tersumbat (100%), diikuti ingus purulen (95,5%), nyeri sinus (91%), fatigue (63,6%), gangguan penghidu (59,1%) dan gangguan tidur (54,5%). Gangguan penghidu merupakan gejala mayor yang paling sedikit didapatkan pada penelitian kami, hal ini kemungkinan disebabkan karena gangguan penghidu merupakan gejala yang subjektif pada setiap sampel dan tidak dilakukan penilaian secara objektif, karena fasilitas dan waktu yang tidak memungkinkan. Sakit kepala walaupun bukan suatu gejala khas RSK, tetapi merupakan gejala yang sering ditemukan atau menyebabkan seseorang berobat ke dokter. Sakit kepala pada penderita RSK, kemungkinan besar disebabkan karena adanya edema atau kelainan anatomi rongga hidung yang menyebabkan terjadinya obstruksi di ostium sinus. 18 Sakit kepala pada RSK biasanya terasa pada pagi hari dan akan berkurang atau hilang pada siang hari. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan sekret dalam rongga hidung dan sinus, serta adanya stasis vena. 3 Pada pemeriksaan CT scan sinus paranasal potongan koronal berdasarkan jumlah sinus, maka multisinusitis paling banyak didapatkan, yaitu 28 orang (52,8%), diikuti berturut-turut pansinusitis, 1 sinus dan paling sedikit 2 sinus dan ada 7 orang (13,2%) lainnya yang tidak terdiagnosis sebagai RSK berdasarkan kriteria Lund-Mackay. Tujuh orang yang tidak terdeteksi sebagai RSK melalui CT scan sinus paranasal, dimungkinkan karena sebelumnya pasien sudah pernah berobat baik ke pusat kesehatan lainnya atau bahkan mengobati diri sendiri. Pada penelitian kami terlihat bahwa sampel yang tidak terdeteksi dengan CT scan hanya mempunyai beberapa gejala mayor dan minor saja. Selain itu kemungkinan pasien memang menderita rinitis kronis 9

baik karena alergi maupun vasomotor, tetapi belum disertai dengan sinusitis karena KOM masih terbuka, sehingga drainase dan ventilasi sinus masih tetap baik. Lokasi sinus yang terbanyak ditemukan sesuai dengan hasil CT scan, yaitu di sinus maksila kanan maupun kiri, diikuti secara berturut-turut sinus etmoid anterior dan posterior, sinus frontalis dan paling sedikit sinus sfenoid. Hasil serupa dengan penelitian Amaruddin dkk. 14 (2006) dan Tumbel 19 (2005). Lokasi sinus yang terbanyak ditemukan di sinus maksila, menandakan bahwa selain faktor rinogen atau tersumbatnya KOM, faktor dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis maksilaris kronis, di mana dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi premolar dan molar atas, sehingga jika terjadi infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal dengan mudah menyebar langsung ke sinus melalui pembuluh darah dan limfe. 3 Tingginya insiden sinusitis yang terjadi di sinus maksila dan sinus etmoid anterior dapat terjadi karena drainase sinus maksila, sinus etmoid dan sinus frontal melalui meatus nasi media, sehingga bila terjadi kelainan pada daerah ini akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi pada ketiga sinus ini yang kemudian akan berkembang menjadi sinusitis. Demikian pula untuk sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid, sinus yang bermuara melalui resesus sfenoetmoidalis dan keluar melalui meatus nasi superior. 3,10 Kelainan pada KOM dapat dideteksi dengan pemeriksaan CT scan sinus paranasal, yaitu 29 orang (54,8%) dari 53 orang mengalami obstruksi pada KOM dan 24 orang (45,3%) yang tidak obstruksi pada KOM. Hal ini menunjukkan bahwa selain faktor inflamasi, kelainan anatomi dalam rongga hidung dapat mempengaruhi terjadinya obstruksi pada KOM. Hal ini dijelaskan oleh Tumbel, 19 dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa kelainan anatomi yang dapat menyebabkan sinusitis maksilaris kronis adalah berturutturut deviasi septum (52,1%), konka bulosa (10,9%), konka paradoksal (6,8%) dan selebihnya akibat adanya sel Haller dan pneumatisasi prosessus unsinatus. Hal ini membuktikan bahwa CT scan sinus paranasal memiliki akurasi dalam menentukan kondisi anatomi dan patologi sinus paranasal yang lebih baik dibanding dengan foto polos sinus paranasal. Skor Lund-Mackay berkisar antara 1 22, dengan skor 1 dan 3 yang tertinggi masing-masing sebanyak 6 orang (11,3%), diikuti skor 6 dan 8 masing-masing 5 orang (9,4%), dan yang paling sedikit dengan skor 9, 11, 15 sampai 22 masingmasing 1 orang (1,9%). Skor CT scan 10

kemudian kami bagi dalam empat kelompok seperti pada tabel 2, dan menunjukkan bahwa dari 52 penderita yang terdiagnosis RSK berdasarkan gejala klinik Task Force menurut AAOA dan ARS, paling banyak ditemukan pada grading 1 8, yaitu 32 orang (61,5%) dan paling sedikit pada grading 17 24, yaitu 4 orang (7,7%) serta 6 orang (11,3%) yang tidak terdeteksi dengan CT scan. Yang masih tersangka RSK yaitu 1 orang (1,9%), yang mempunyai hanya satu gejala mayor dan satu gejala minor, memang tidak terdeteksi dengan CT scan. Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin banyak sinus yang terlibat, maka semakin tinggi grading skor CT scan sinus paranasal. Dan semakin banyak gejala mayor dan minor yang didapatkan pada tersangka RSK, maka kemungkinan jumlah sinus yang terlibat semakin banyak. Dengan menggunakan uji association linear, secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara gejala klinis (gejala mayor ditambah gejala minor), dan tanda RSK berdasarkan Task Force menurut AAOA dan ARS dengan CT scan sinus paranasal sesuai skor Lund-Mackay dengan p=0,035. Hasil serupa didapatkan Amaruddin dkk. 14 pada penelitian dengan menggunakan CT scan terbatas empat slice, didapatkan adanya korelasi antara beratnya gejala dengan skor Lund-Mackay (p=0,001). Menurut beberapa penelitian, kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinik yang digunakan oleh Task Force mempunyai nilai sensitivitas yang cukup tinggi terhadap hasil CT scan, yaitu 89%. 7,10,12 Bhattacharya et al 13 melaporkan keakuratan CT scan dalam mendiagnosis RSK pada anak-anak berdasarkan skor Lund-Mackay mempunyai nilai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, yaitu 86% dan 85%. Dengan melihat hasil penelitian kami dan berbagai penelitian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa gejala dan tanda RSK berdasarkan Task Force menurut AAOA dan ARS, terutama gejala mayor dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk menegakkan diagnosis RSK, serta mengevaluasi hasil terapi RSK bila tidak tersedia fasilitas CT scan atau bila CT scan tidak dapat digunakan dengan alasan tertentu. DAFTAR PUSTAKA 1. Benninger MS, Gottschall J. Rhinosinusitis: clinical presentation and diagnosis. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor and Francis Group; 2006. p. 39-52. 2. Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R. Functional 11

endoscopic sinus surgery di Indonesia pada panel ahli THT Indonesia. Jakarta: Yanmedic-Depkes; 2006. h. 1-52. 3. Mangunkusumo E, Soetjipto D, Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. h. 150-4. 4. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS Dr. Soetomo; 2004. h. 1-16. 5. Puruckher M, Byrd R, Roy T, Krishnaswany G. The diagnosis and management of chronic rhinosinusitis. Johnson City: Departement of Medicine East Tennesse State University; 2008. 6. File TM. Sinusitis: epidemiology. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor and Francis Group; 2006. p. 1-13. 7. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. Dalam: Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS Dr. Soetomo; 2004. h. 17-24. 8. Rahmi AD, Punagi Q. Pola penyakit Subbagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar periode 2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Universitas Hasanuddin. Dipresentasikan di PIT IV Bandung, Juli 2008. 9. Batra P. Radiologic imaging in rhinosinusitis, Cleveland. Clin J Med Cleveland 2004; 71(11):886-8. 10. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: classification, diagnosis and treatment. In: Bailey BJ, Johnson JT, eds. Head and neck surgery otolaryngology. 4 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 405-16. 11. Jebreel A, Wu K, Loke D, Stafford N. Chronic rhinosinusitis: role of CT scan in the evaluation of paranasal sinuses. The Internet Journal of Otorhinolaryngology [serial on the internet]. 2007 [cited 2009 Jan 29]; 6(2). Available from: http://www.ispub.com. 12. Hwang PH, Irwin SB, Griest SE, Caro JE, Nesbit GM. Radiologic correlates of symptom-based diagnostic criteria for chronic rhinosinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg 2003; 128:489-96. 13. Bhattacharya N, Jones DT, Hill M, Shapiro NL. The diagnostic accuracy of computed tomography in pediatric chronic rhinosinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 130:1029-32. 14. Amaruddin T, Kadriyan H, Iswarini AD, Oedono T, Yohanes, Asmoro. Hubungan antara derajat rinosinusitis berdasarkan gejala dan CT scan. ORLI 2005; 35(4):40-4. 15. Kennedy DW, Palmer JN. Revision endoscopic sinus surgery. In: Charles WC, ed. Cumming-otolaryngology head and neck surgery. 4 th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005. p. 1229-60. 12

16. Zeifer BA, Curtin HD. Sinus imaging. In: Bailey BJ, Johnson JT, eds. Head and neck surgery otolaryngology. 4 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 429-45. 17. Aygun N, Zinreich SJ, Uzuner O. Imaging sinusitis. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor and Francis Group; 2006. p. 55-90. 18. Ballenger JJ. Infeksi sinus paranasal. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. h. 232-45. 19. Tumbel REC. Kelainan anatomi rongga hidung pada sinusitis maksilaris kronis. Tesis. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2005. 13