PENGKAJIAN PEMANFAATAN TEPUNG DAUN PISANG TERHADAP PERFORMAN AYAM BURAS DI JAYAPURA Usman dan Batseba M.W. Tiro Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua ABSTRAK Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan tepung daun pisang terhadap pertumbuhan ayam buras. Pengkajian ini dilaksanakan di Nimbokrang 2, Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan, masing-masing perlakuan terdiri atas a) R1 = Jagung 45%, Dedak padi 15%, Pakan pabrik 39%, Tepung daun pisang 0%, Kapur 0,5%, dan Probiotik 0,5%, R2 = Jagung 45%, Dedak padi 15%, Pakan pabrik 36%, Tepung daun pisang 3%, Kapur 0,5%, dan Probiotik 0,5%, R3 = Jagung 45%, Dedak padi 15%, Pakan pabrik 33%, Tepung daun pisang 6%, Kapur 0,5%, dan Probiotik 0,5%, R4 = Jagung 45%, Dedak padi 15%, Pakan pabrik 30%, Tepung daun pisang 9%, Kapur 0,5%, dan Probiotik 0,5%, R5 = Kontrol Negatif (cara petani) Variabel yang diamati yaitu pertambahan bobot badan (PBB), konsumsi ransum, konversi ransum, dan persentase mortalitas. Dari hasil penelitian diperoleh pertambahan bobot badan (PBB) : R1(1.150,0 g/ekor), R2 (1.075,6 g/ekor), R3 (1.062,2 g/ekor), R4 (1.597,8 g/ekor) dan R5 (1.029,9 g/ekor); konsumsi ransum : R1(6.833,3 g/ekor), R2 (6.835,6 g/ekor), R3 (6.830,0 g/ekor), dan R5 (6.851,1g/ekor); konversi ransum : R1(5,0), R2 (6,2), R3 (6,8), dan R4 (4,1). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan pada perlakuan R1, R2, R3, dan R4 berbeda nyata dengan perlakuan R5 (cara petani). Konsumsi ransum tidak berbeda nyata antar perlakuan. Namun terhadap konversi ransum antara perlakuan R1 dan R4 berbeda nyata dengan R2 dan R3. Untuk mortalitas hanya terjadi pada perlakuan R5 (cara petani) sebesar 15%. Kata kunci: ayam buras, pakan, tepung daun pisang PENDAHULUAN Prospek pengembangan ayam buras di Indonesia memiliki kecenderungan yang positif dari dampak yang ditimbulkan oleh serangan penyakit flu burung (avian influenza). Keistimewaan ayam buras adalah tahan terhadap pemeliharaan dan lingkungan seadanya, tidak membutuhkan pakan berkualitas tinggi serta tidak mudah stress sehingga sangat ekonomis untuk dipelihara sebagai penghasil telur dan daging. Secara turun temurun ayam buras telah dipelihara oleh masyarakat, umumnya yang berada di pedesaan. Peran ayam buras di pedesaan tersebut cukup strategis, mulai dari yang bersifat kesenangan sebagai hewan piaraan sampai tabungan keluarga. Selain itu pemeliharaan ayam buras ada yang dilakukan secara komersial 524
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013 untuk memperoleh penghasilan pokok. Dalam pengembangannya ayam buras mengalami banyak permasalahan diantaranya sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, pemberian pakan seadanya, dan tidak dilakukan vaksinasi serta pencegahan penyakit. Menurut Iskandar (2005) pengembangan cara pemeliharaan ayam lokal sangat dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti keragaman karakteristik fenotipe, karakteristik reproduksi, dan karakteristik penurunan sifat-sifat khas pada turunannya. Populasi ayam buras tersebar diseluruh tanah air, dan keberadaannya sangat terkait erat dengan keberadaan penduduk di pedesaan. Di daerah pedesaan yang penduduknya padat, umumnya keberadaan unggas ini juga banyak. Oleh sebab itu keberadaan ayam lokal sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat pedesaan sehari-hari, dan peranannya dalam menambah pendapatan keluarga petani cukup signifikan. Ayam lokal juga merupakan salah satu kekayaan hayati bangsa Indonesia yang telah lama dibudidayakan sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan alam pedesaan. Mengingat populasinya yang besar, mudah dipelihara, tersebar diseluruh wilayah dan dipelihara oleh hampir seluruh masyarakat pedesaan, maka unggas lokal memiliki peran yang penting dalam pembangunan, khususnya masyarakat di pedesaan. Berdasarkan Laporan Diretorat Jenderal Peternakan (2006), populasi ayam lokal sekitar 298,4 juta ekor dan menghasilkan 180.100 ton telur per tahun, sedangkan ayam ras petelur jumtahnya hanya 85 juta ekor mampu menghasilkan telur 701.200 ton per tahun. Rendahnya produktivitas ayam lokal yang dipelihara secara ekstensif telah dilaporkan oleh beberapa penetiti antara lain Mansjoer (1989) yang menyampaikan bahwa pemeliharaan ayam lokal yang sederhana hanya 11,3 butir per periode bertelur (sekitar 70 butir/tahun). Namun dengan sistem intensif produksi meningkat menjadi 84 butir per tahun. Pernyataan serupa juga dilaporkan oleh Prasetyo (1989); Gultom et al. (1989); Mugiyono et al. (1989); Gunawan (2002); Prasetyo et al. (1985) dan Mufti dan Riswantiyah (1993), Gunawan et al. (2003). Mansjoer (1989) melaporkan bahwa bobot badan ayam lokal umur lima butan mencapai 1.122 g pada jantan dan 916 g pada betina. Ayam lokal mulai bertetul pada umur 6,4 bulan dengan bobot telur 41,6 g dan jarak antara periode bertelur sekitar tiga bulan. Namun dengan pemeliharaan yang intensif, bobot badan unsex umur lima bulan mencapai 1.385 g dan mulai bertelur pada umur 139 hari. Produktivitas ayam lokal pada kondisi peternakan rakyat sangat rendah karena sistem pemeliharaannya yang masih tradisionil yaitu diumbar untuk mencari pakan sendiri disekitar pekarangan. De Boer et al. (1986) melaporkan bahwa produksi ayam lokal hanya 10-12 butir/clutch 525
selama 15-18 hari berturut-turut, kemudian berhenti bertelur setama sekitar 21 hari, dan siklus ini berulang sebanyak tiga kali dalam setahun. Oleh sebab itu produktivitas ayam lokal yang dipelihara di wilayah pedesaan hanya dapat mencapai sekitar 30 36 butir dalam satu tahun. Sebagian dari jumlah tersebut ditetaskan oleh pemiliknya, sedangkan sisanya dikonsumsi atau dijual. Survai yang dilakukan di lima desa di Jawa Barat oleh Kingston dan Creswell (1982) menunjukkan bahwa produksi telur rata-rata sebanyak 72 butir/ekor/tahun dimana 87% dari jumlah tersebut ditetaskan oleh pemiliknya. Dengan kondisi lingkungan pedesaan yang ada, tingkat produktivitas dan mortalitas untuk ayam dewasa dapat dipertahankan. Namun demikian, hal ini tidak terjadi pada anak ayam khususnya yang berumur beberapa minggu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian dan meningkatkan produktivitas ayam buras/ayam lokal diantaranya melaksanakan pemeliharaan secara intensif dan semi intensif, perbaikan pakan lokal dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal secara optimal, dan menerapkan program vaksinasi yang tepat. Salah satu sumber bahan baku pakan yang memiliki potensi di Papua untuk dimanfaatkan sebagai pakan alternatif adalah tanaman pisang. Tanaman pisang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia. Selain buahnya, bagian tanaman yang lainpun dapat dimanfaatkan mulai dari bonggol sampai daun. Bagian tanaman pisang yang dapat dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak adalah umbi, batang, jantung pisang dan daun pisang. Pemanfaatannya dapat langsung diberikan kepada ternak, dapat juga dibuat dalam bentuk tepung terlebih dahulu. Daun pisang merupakan salah satu bagian limbah tanaman pisang yang mempunyai potensi cukup besar sebagai pakan ternak ayam buras baik dari segi ketersediaannya maupun dari nilai nutrisinya. Kandungan nutrisi tepung daun pisang terdiri dari energi metabolisme (2.573 kkal), bahan kering (88,93%), protein kasar (14,76%), serat kasar (17,91%), lemak (7,79%), dan abu (5,60%) (Trisaksono, 1994). Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pertambahan bobot badan ayam buras melalui pemberian tepung daun pada taraf pemberian yang berbeda. METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di Nimbokrang I Kabupaten Jayapura pada bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2011. Pengkajian ini dilaksanakan secara On Farm Research di lahan petani dengan melibatkan kelompok tani, penyuluh dan peneliti bidang peternakan. Perlakuan dirancang dengan menggunakan rancangan 526
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013 acak kelompok, yang terdiri atas lima perlakuan dengan 15 ulangan. Setiap kelompok perlakuan diberikan perlakuan pakan yang berbeda seperti disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Perlakuan pakan yang diberikan selama pengkajian Uraian R1 R2 R3 R4 R5 Jagung 45 45 45 45 cp Dedak 15 15 15 15 cp Pakan BR 511 39 34 29 24 cp Tp. Daun Pisang 0 3 6 9 cp Kapur (CaCO3) 0,5 0,5 0,5 0,5 cp Probiotik 0,5 0,5 0,5 0,5 cp Keterangan : cp = cara petani Cara pembuatan tepung daun pisang yaitu daun segar dipotong dari pohonnya dan dipisahkan dari pelepahnya. Kemudian daun pisang dikeringkan dengan sinar matahari selama empat sampai tujuh hari dan akhirnya digiling. Setelah itu tepung daun pisang ditambahkan dengan bahan baku pakan lainnya yang telah disediakan yaitu jagung giling, dedak, pakan BR 511, kapur, dan probiotik sesuai dengan komposisi yang telah disusun sebelumnya (Tabel 1) dengan tujuan untuk memperbaiki nilai gizi tepung daun pisang. Selanjutnya pakan yang sudah dicampur dapat langsung diberikan kepada ternak ayam buras. Pemberian pakan dilakukan sesuai dengan standar kebutuhan hidup pokok ayam buras perhari dan pemberiannya dapat dilakukan dua kali atau tiga kali sehari. Pada tahap awal pemberian pakan dilakukan masa adaptasi selama satu minggu, agar ternak ayam tidak mengalami stress saat pengkajian dimulai. Untuk pemberian air minum dilakukan secara adlibitum. Untuk mengetahui pertambahan bobot badan ayam buras maka dilakukan penimbangan berat badan ayam setiap dua minggu sekali. Formula yang digunakan untuk mengetahui pertambahan berat badan ayam adalah sebagai berikut : PBB (g/ekor) = BAK (g/ekor) BAW (g/ekor). Dimana : PBB = Pertambahan bobot badan (g/ekor) BAK = Bobot Akhir (g/ekor) BAW = Bobot Awal (g/ekor) 527
HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan pertambahan bobot badan ayam buras setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pertambahan Bobot Badan Ayam Buras Uraian Perlakuan Ransum R1 R2 R3 R4 R5 (g/ekor) N1 1.076,7 1.026,7 1.083,3 1.153,3 983,3 N2 1.220,0 1.093,3 1.113,3 1.183,3 973,0 N3 1.153,3 1.106,7 990,0 1.256,7 1.133,3 Jumlah 3.450,0 3.226,7 3.186,6 3.593,3 3.089,6 Rataan 1.150,0 a 1.075,6 a 1.062,2 a 1.197,8 a 1.029,9 b Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (P<0,05) Pada Tabel 2, terlihat bahwa pertambahan bobot badan ayam buras tertinggi diperoleh pada perlakuan R4 (1.197,8 g/ekor/12 mg) kemudian berturut-turut diikuti oleh R1 (1.150,0 g/ekor/12 mg), R2 (1.075,6 g/ekor/12 mg), R3 (1.062,2 g/ekor/12 mg), dan terendah R5 (1.029,9 g/ekor/12 mg). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara perlakuan. Dari hasil uji LSD diperoleh bahwa antara perlakuan R5 (kontrol negatif) dengan perlakuan R1, R2, R3, dan R4 terdapat perbedaan yang nyata. Tetapi antara perlakuan R1(kontrol positif) dengan R2, R3, dan R4 tidak terdapat adanya perbedaan yang nyata. Ini berarti dengan pemberian tepung dau pisang dalam ransum ayam buras pada periode pertumbuhan (grower) tidak memberikan adanya pengaruh negatif yang nyata terhadap pertambahan bobot badan ayam buras, bahkan terlihat adanya kecenderungan peningkatan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol positif. Terjadinya perbedaan pertambahan bobot badan ayam buras antara perlakuan R4 (9% tepung daun pisang) dengan R1 (0% tepung daun pisang), R2 (3% tepung daun pisang), dan R3 (6% tepung biji buah merah) diduga penyebab utamanya adalah keseimbangan kandungan gizi dari formula ransum yang digunakan. Pada perlakuan R4 kandungan gizi berupa energi dan protein memiliki imbangan energi dan protein yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya sehingga peningkatan bobot badan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Menurut Scott et al. (1976), Wahyu (1978), Siregar et al. (1980), dalam Usman et al. (2002), bahwa 528
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013 keseimbangan antara energi dan protein serta zat-zat makanan lainnya yang terkandung didalam ransum sangat berperan terhadap kecepatan pertumbuhan. Konsumsi Ransum Rataan konsumsi ransum selama pengkajian dapat dilihat pada Tabel 3. Uraian Tabel 3. Konsumsi Pakan Ayam Buras Perlakuan Pakan R1 R2 R3 R4 R5 (g/ekor) N1 6,843.3 6,826.7 6,780.0 6,853.3 td N2 6,813.3 6,823.3 6,856.7 6,856.7 td N3 6,843.3 6,856.7 6,853.3 6,843.3 td Jumlah 20,499.9 20,506.7 20,490.0 20,553.3 td Rataan 6,833.3 a 6,835.6 a 6,830.0 a 6,851.1 a td Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (P<0,05) td = tidak ada data Pada Tabel 3, terlihat bahwa konsumsi ransum tertinggi pada perlakuan R4 (6.851.1 g/ekor/12 mg), kemudian berturut-turut diikuti oleh R2 (6.835,6 g/ekor/12 mg), R1 (6.833,3 g/ekor/12 mg), dan R3 (6.830,0 g/ekor/12 mg). Hasil analisis statistik (Anova) menunjukkan bahwa konsumsi ransum tidak berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan R1, R2, R3, R4, dan R5. Tidak terjadinya perbedaan konsumsi ransum sangat erat kaitannya dengan cara pemberian ransum, dimana pemberian ransum dilakukan 2 kali sehari dengan jumlah ransum yang diberikan sama pada semua perlakuan. Namun tingkat konsumsi ransum pada ayam dapat disebabkan oleh beberapa fakor menurut Sturkie (1976) dalam Usman et al. (2002) bahwa konsumsi ransum bukan hanya dipengaruhi oleh kadar energi, palatabilitas, kecepatan pertumbuhan dan bentuk fisik dari ransum, akan tetapi kapasitas tembolok juga erat hubungannya dengan keambaan ransum yang pada gilirannya turut menentukan konsumsi ransum. Oleh sebab itu meskipun kebutuhan energi sudah terpenuhi tetapi kapasitas tembolok belum mencapai rasa kenyang, ternak akan terus mengkonsumsi ransum yang masih ada. Selanjutnya dilaporkan oleh Scott et al. (1976), Wahyu (1978), Siregar et al. (1980), dalam Usman et al. (2002) bahwa konsumsi ransum selain dipengaruhi temperatur juga dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan dan bobot badan ayam. 529
Konversi Ransum Nilai konversi ransum (FCR) ayam buras periode grower selama 12 minggu penelitian disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Konversi Pakan Ayam Buras Perlakuan Pakan Uraian R1 R2 R3 R4 R5 N1 5,4 6,3 5,8 4,0 td N2 4,7 6,4 7,5 4,1 td N3 4,9 5,9 7,1 4,3 td Jumlah 15,0 18,6 20,4 12,4 td Rataan 5,0 a 6,2 b 6,8 b 4,1 a td Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (P<0,05) td = tidak ada data Pada Tabel 4, terlihat bahwa nilai konversi ransum tertinggi di peroleh pada perlakuan R3 (6,8), kemudian berturut-turut diikuti oleh R2 (6,2), R3 (6,1), dan terendah R4 (4,1). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai konversi ransum ayam buras berbeda nyata (P< 0,05) antara perlakuan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa antara perlakuan R2, dan R3, dengan perlakuan R1 dan R4 berbeda nyata, tetapi antara perlakuan R2 dengan R3 tidak berbeda nyata. Demikian pula antara perlakuan R1 dengan R4. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun pisang terhadap konversi ransum pada taraf 9% dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap nilai konversi ransum ayam buras. Namun nilai konversi ransum R4 lebih rendah, hal ini berarti R4 lebih efisien dalam memanfaatkan ransum dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nilai konversi ransum sangat dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan ayam buras. Nilai konversi ransum yang tinggi terjadi disebabkan karena konsumsi ransum mengalami peningkatan tampa diimbangi dengan pertambahan bobot badan ayam buras. Nilai konversi ransum yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian pemanfaatan daun gamal dan lamtoro yaitu 3,46 dan 3,53 (Usman et al. 2002). 530
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 2013 KESIMPULAN 1. Pertambahan bobot badan ayam buras tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian tepung daun pisang sebanyak 9% (R4) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan R1, R2, dan R3, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan R5 yaitu kontrol negatif (cara petani). 2. Konsumsi ransum tidak berbeda nyata antara perlakuan. Namun pada konversi ransum antara perlakuan pemberian tepung daun pisang 3% (R2) dan 6% (R3) berbeda nyata dengan kontrol positif R1 dan 9% (R4). DAFTAR PUSTAKA Creswell, D.C dan B. Gunawan. 1982. Ayam-ayam lokal Indonesia: Sifat-sifat produksi pada lingkungan yang baik. Laporan Balai Penelitian Ternak Bogor, Indonesia No.2. DeBoer, A.J., Yazman, J., Tilman, A.D., Banks, D., Campbell, R., Thalauw, J., Knipscher, H.C., and Rao, B.R. 1986. A Review of the livestock sector in Mansjoer, S.S. 1989. Pengembangan ayam lokal di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional tentang Unggas Lokal. Fakultas Peternakan UNDIP, Semarang. Direktorat Jenderal Peternakan, 2006. Laporan Diretorat Jenderal Peternakan. Jakarta. Gunawan. 2002. Evaluasi model pengembangan usaha ternak ayam buras dan upaya perbaikannya (kasus di Jawa Timur). Disertasi. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Gunawan, B., D. Zainuddin, K. Diwyanto dan S Iskandar. &%J03. Seteksi kurlerasi keempat (G4) terhadap produksi telur untuk mengurangi sifat mengeram dan meningkatkan produksi tetur ayam lokal. Laporan Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Gunawan, B., D. Zainuddin, S. Iskandar, H. Resnawati dan E. Juarini. 2004. Pembentukan ayam lokal petelur unggul Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2003. Buku II Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Gunawan. 2005. Evaluasi model pengembangan ayam buras di Indonesia: kasus di Jawa Tirnur. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayum Lukal. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan. Iskandar, S. 2005. Strategi pengembangan ayam lokal. Wartwoa, 16(4): 191-19I Mansjoer, S.S. 1989. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam kampung serta persilangannya dengan ayam Rhode Island Red. Disertasi Doktor, Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Mufti, M. dan Riswantiyah. 1993. Perbandingan ayam lokal pada kelompok INTAB aktif dan pasif. Laporan Hasit Penelitian. Fakultas Peternakan UNSOED. 531
Mugiyono S., Sukardi, dan Triyanti E. 1989. Perbandingan pemeliharaan ayam buras secara tradisional dan intensif. Seminar Nasional tentang Unggas Lokal. Fak. Peternakan, UNDIP, Semarang. Nataamijaya, 2000. The native of chicken of Indonesia. Buletin Plasma Nutfah, vol 6, No 1, Badan Litbang Pertanian. Noor RR. 1996. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. Prasetyo T, Subiharta dan Sabrani M.1985. Pengaruh pemisahan anak ayam dari induknya terhadap kapasitas produksi telur. Proceedings : Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggasdan Aneka Ternak. Ciawi, Bogor. Prasetyo, T. 1989. Keragaan ayam kampung yang dipelihara dengan system pemisahan anak. Proceeding Seminar Nasional ten tang Unggas Lokal. Fak. Peternakan, UNDIP, Semarang. Santoso, U., 1987. Limbah Bahan Ransum Unggas yang Rasional. Bhratara Karya aksara. Jakarta. Trisaksono, A., 1994. Pengaruh tepung daun pisang (musa paradisiaca) dan penambahan enzim sellulase dalam ransum terhadap konsumsi dan konversi pakan itik Mojosari jantan. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang. 532