BAB I PENDAHULUAN. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 44.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BAB III HASIL PENELITIAN & ANALISIS

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

DAFTAR PUSTAKA. Hardjasoemantri, Koesnadi.1995.Hukum Perlindungan Lingkungan: Koservasi

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

Transnational Organized Crime (TOC)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN

Oleh A.A. Alit Mas Putri Dewanti Edward Thomas Lamury Hadjon Program Kekhususan Hukum Internasional ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

URGENSI PERLINDUNGAN SPESIES LANGKA BERDASARKAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 447/Kpts-II/2003 TENTANG TATA USAHA PENGAMBILAN ATAU PENANGKAPAN DAN PEREDARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, untuk itu perlu diadakan suatu usaha untuk melindungi satwa-satwa liar tersebut, salah satu

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 04/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMANFAATAN JENIS IKAN DAN GENETIK IKAN

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transnational Organized Crime

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN BOGOR

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR *)

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)


I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Genetik serta Scientific Access bagi Peneliti Asing

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 165 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. ( 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

PP 8/1999, PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam penyidikan tindak pidana kehutanan. Kewenangan adalah. kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daer

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya kayu, tetapi juga sebagai salah satu komponen lingkungan hidup. 1 Hutan

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG

BAB II BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

Persyaratan untuk Cakupan Sertifikat Menurut APS

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Wacana lingkungan hidup dan pelestarian alam dewasa ini merupakan salah satu isu penting di dunia Internasional, tapi pembahasan mengenai lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana lingkungan saja. Padahal persoalan lingkungan tidak hanya masalah pencemaran dan bencanabencana lingkungan semata, masih banyak aspek lain pada lingkungan yang terkait dengan keperluan vital manusia. Salah satu masalah lingkungan yang patut mendapat sorotan dewasa ini adalah laju penurunan populasi dan kepunahan beberapa spesies. Perdagangan spesies langka beserta bagian-bagian tubuh dan produk olahannya tampaknya telah menjadi bisnis yang menguntungkan sekaligus penting di dunia internasional. Sejumlah besar spesies spesies langka secara rutin telah ditangkap dari alam dan dikirim ke seluruh penjuru dunia. Para ahli konservasi mengemukakan bahwa beberapa spesies spesies langka yang diperdagangkan telah mengalami kelangkaan. Perdagangan hidupan liar eksotik di dunia mencapai angka minimum 5 miliar dolar AS per tahun atau sekitar 10 triliun rupiah. Di dalamnya termasuk perdagangan 40.000 ekor jenis-jenis primata, gading dari setidaknya 90.000 gajah Afrika, sedikitnya 1 juta anggrek, 4 juta burung hidup, 10 juta kulit hewan melata (reptilia), 15 juta mantel yang berasal dari burung liar, 350 juta ikan tropis, dan berbagai bentuk kerajinan yang terbuat dari kulit kangguru, hingga hiasan dari cangkang penyu. 1 Kontribusi perdagangan spesies langka di beberapa negara tidak dapat dikatakan sedikit, misalnya dalam menyediakan kesempatan kerja dan 1 Fachruddin M. Mangunjaya, Hidup Harmonis dengan Alam: Esai-Esai Pembangunan Lingkungan, Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 44.

meningkatkan pendapatan lokal. Namun di lain pihak telah terdapat indikasi terhadap penurunan populasi berbagai spesies langka akibat perdagangan internasional, sehingga mendorong masyarakat internasional untuk mengatur perdagangan dan pemanenan spesies langka. 2 Untuk melindungi kepunahan berbagai spesies satwa dan fauna liar di alam perlu dilakukan upaya perlindungan yang diperkuat dengan regulasi yuridis yang mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan pemberlakuannya bagi pelanggar ketentuan dalam regulasi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, mengingat begitu pentingnya untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna di tataran Internasional maupun di Indonesia, maka penulis memilih judul: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SPESIES LANGKA FLORA DAN FAUNA LIAR DALAM RANAH HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. B. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis populasi flora dan fauna liar. Meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan permukaan bumi, keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya luar biasa tinggi, meliputi 11 persen spesies tumbuhan dunia, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung. 3 Ancaman kepunahan dan penurunan populasi flora dan fauna liar di Indonesia terus berlangsung. Penyebab utama terus terjadinya ancaman kepunahan flora dan fauna liar adalah kehilangan, kerusakan, serta terfragmentasinya habitat tempat hidup, pemanfaatan secara berlebihan dan perburuan serta perdagangan ilegal. Untuk menyelamatkan aneka spesies satwa dan fauna liar diperlukan upaya perlindungan hukum baik secara internasional maupun dalam skala nasional. 2 Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia, Jakarta: Japan International Cooperation Agency, 2003, hal. 9. 3 FWI/GFW, Keadaan Hutan Indonesia, Bogor: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch, 2001, hal 1.

Kehilangan atau berkurangnya salah satu komponen flora atau fauna akan menyebabkan sistem dalam suatu lingkungan akan terganggu atau mengalami ketidakseimbangan. Perlindungan hukum terhadap jenis flora maupun fauna merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan hidup. Upaya perlindungan hukum terhadap satwa dan fauna liar secara internasional diatur dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah, merupakan suatu pakta perjanjian yang disusun pada suatu konferensi diplomatik di Washington DC pada tanggal 3 Maret 1975 dan dihadiri oleh 88 negara sehingga konvensi ini disebut juga Washington Convention. Konvensi ini merupakan tanggapan terhadap Rekomendasi No. 99.3 yang dikeluarkan pada saat Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972. CITES ditandatangani oleh 21 negara dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1975. Naskah kesepakatan CITES (Teks Konvensi) terdiri dari Pembukaan (5 paragraf), Batang tubuh (25 pasal) dan appendiks (CITES Listed species). CITES merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat (treaty) global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Misi dan tujuan konvensi ini adalah melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Keppres No.43 tahun 1978. Walaupun sudah diratifikasi dalam waktu cukup lama, tetapi peraturan CITES belum dapat diimplementasi secara optimal. Perdagangan satwa liar dan bagian-bagiannya merupakan bisnis yang sangat menguntungkan di masa sekarang ini. Banyak pebisnis satwa liar rela melakukan

apapun untuk melancarkan bisnisnya tersebut dan tidak segan-segan bersikap anarkis kepada pihak yang menggangu bisnisnya tersebut. Walaupun sejak tahun 1975 di dunia Internasional telah ada kesepakatan yang disebut dengan konvensi CITES (Convention on International Trade in Endengered Spesies of Wild Fauna and Flora/Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Fauna dan Flora liar yang Terancam Punah). Konvensi ini menjadi alat untuk mengontrol perdagangan satwa liar sehingga diharapkan dapat menekan angka kepunahan satwa. Negara anggota CITES sekarang berjumlah kurang lebih 160 negara dan Indonesia termasuk di dalamnya sejak tahun 1978. Namun dalam pelaksanaannya hanya efektif di atas kertas karena faktanya banyak pedagang yang masih melakukan aktifitasnya secara tidak sah karena lemahnya pengawasan internasional terhadap perdagangan. Tujuan dan sasaran CITES sendiri adalah untuk memantau perkembangan dan memastikan bahwa perdagangan internasional satwa tidak akan mengancam satwa dari kepunahan. 4 Regulasi CITES ini diformulasikan pada tingkat internasional, tetapi implementasinya pada tingkat nasional. Jika diuraikan, maka didapati ada empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES, yaitu: 5 1. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia; 2. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia; 3. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi; 4. Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol 5. Perdagangan internasional. 4 CITES, Artikel III, Washington DC, 3 Maret 1973 5 CITES, KONVENSI INTERNASIONAL PERDAGANGAN TSL, diakses dari world wide web: http://www.ksda-bali.go.id/?p=314 pada tanggal 9 September 2011

Negara-negara yang menandatangani Konvensi disebut sebagai Parties dengan meratifikasi, menerima dan menerapkan Konvensi CITES. Pada akhir tahun 2003, semua negara penandatangan menjadi Parties. Negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi tersebut dapat menjadi Parties dengan acceding Ketentuan Umum peredaran specimen CITES untuk kegiatan komersial & non komersial diatur melalui sistem permit/sertificate (antara lain : export permit, reexport sertificate, import permit dan sertificate of origin). Perdagangan masih diperbolehkan asal mengikuti ketentuan dalam CITES. Kemudian dalam CITES ada pengecualian dan perlakuan khusus dapat diberikan bila: 1. spesies dalam keadaan transit atau transhipment yang melalui atau di dalam teritori suatu pihak selama spesimen tersebut masih dalam kontrol pabean, 2. Otorita pengelola dari negara pengekspor yakin bahwa suatu spesimen diperoleh sebelum ketentuan konvensi berlaku bagi spesimen tersebut, 3. Spesimen milik pribadi atau barang rumah tangga (kekecualian ini tidak berlaku bila spesimen appendix I diperoleh dari luar negara tempat biasanya dia tinggal dan diimpor ke negara tersebut, dan spesimen appendix II yang diperoleh dari luar negara dimana pemilik biasanya bermukim dan disuatu negara dimana terjadi pengambilan dari alam, diimpor kedalam negara tempat dia tinggal dan peraturan dinegara asal spesimen yang menyatakan bahwa sebelum spesimen tersebut diekspor maka harus ada ijin ekspor terlebih dahulu) 4. Spesimen appendix I hasil penangkaran atau propagasi diperlakukan seperti spesimen Appendix II 5. Spesimen hasil penangkaran atau propagasi buatan dan turunannya dapat menggunakan sertifikat dari Otorita pengelola. 6. Spesimen untuk peminjaman non komersial, sumbangan atau tukar menukar antar ilmuwan atau lembaga ilmiah yang diregister Otorita Pengelola di negaranya

7. Spesimen yang merupakan bagian dari kebun binatang keliling, sirkus, menagerie, pameran tanaman atau pameran keliling dengan syarat pemilik sudah diregister oleh otorita pengelola, spesimen termasuk dalam kategori pada poin b dan e serta untuk spesimen hidup pengangkutannya memenuhi standar kesejahteraan spesimen. Dalam ranah hukum nasional, flora dan fauna liar dilindungi dalam seperangkat peraturan yang antara lain UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru, serta PP No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam rangka melaksanakan kewajibannya, Indonesia telah menunjuk Managemen Authority dan Scientific Authority. Sesuai dengan PP no.8 Tahun 1999, Ps 66 : Departemen yang bertanggung jawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai otoritas Pengelola (Management Authority) dan LIPI ditetapkan sebagai otoritas keilmuan (scientific authority). Selanjutnya dalam KepMenhut No.104/Kpts-II/2003, Direktur Jenderal PHKA ditetapkan sebagai pelaksana otoritas pengelola (Management Authority) CITES di Indonesia dan dalam Keputusan Ketua LIPI no. 1973 tahun 2002, Pusat Penelitian Biologi ditetapkan sebagai Pelaksana Harian Dalam pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia, ada beberapa kendala yang masih sangat sering dihadapi, yaitu wilayah Indonesia relatif luas dengan aksesibilitas yang rendah sehingga peredaran TSL lintas batas negara sulit dikontrol. Dalam pelaksaan ketentuan CITES, semua Otorita CITES malakukan kerja sama dengan berwagai institusi yang berkaitan antara lain bea dan cukai, kepolisian, karantina, kejaksaan, pengadilan dan LSM serta pihak-pihak lain yang terkait. 6 6 Septi. 2009. CITES, KONVENSI INTERNASIONAL PERDAGANGAN TSL. http://www.ksdabali.go.id/?p=314

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam melalui analisa ilmu hukum mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum nasional dan hukum Internasional. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum nasional? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum internasional? 3. Apakah Hukum sudah memberikan perlindungan yang memadai atas spesies langka Flora dan Fauna Liar di Indonesia? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum nasional. 2. Mengetahui perlindungan terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum internasional. 3. Mengetahui apakah Hukum sudah memberikan perlindungan yang memadai atas spesies langka Flora dan Fauna Liar di Indonesia. E. Manfaat Penelitian Penulisan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai perlindungan

hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. 2. Secara Praktis Untuk menambah pengetahuan dan wawasan akademisi di bidang ilmu hukum khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. F. Metode Penelitian 1. Jenis Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 7 Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif digunakan untuk menjelaskan perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. Maka untuk menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis akan menggunakan dua pendekatan: a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. Selain itu dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundangundangan. 8 Dengan demikian, pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan legislasi dan regulasi mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. 7 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media, 2011, hal. 57. 8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 96.

b. Pendekatan konsep (conseptual approach) Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. 9 Dalam penelitian ini, maka penulis akan menggali konsep perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang. 10 Jadi konsep-konsep hukum tersebut akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun argumen-argumen hukum dalam memecahkan isu mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya mengandung kegiatan interprestasi. 11 Dalam penelitian ini yang diinterprestasikan yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional 3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini yaitu bahan primer yang meliputi peraturan perundang-undangan yang relevan dengan isu hukum penelitian ini. Di samping bahan hukum primer, sumber penelitian lainnya adalah bahan hukum sekunder, misalnya: publikasi ilmiah dari pakar-pakar di bidang Hukum terkait isu penelitian yang dapat ditemukan dalam buku-buku teks, opini koran, jurnal, juga terbitan berkala. Berikut rincian bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan: 9 Ibid, hal 137. 10 Ibid, hal 138. 11 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 149-150.

a. Bahan Hukum Primer: 1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 4. Undang - undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan 5. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 6. Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. 7. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 8. PP No 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. 9. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah publikasi ilmiah dari pakar-pakar di bidang hukum yang terkait dengan isu penelitian. 4. Metode Pengumpulan Data Metode yang pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa bahan-bahan tertulis seperti perundang-undangan mengenai, karya ilmiah dari pakar-pakar dan buku-buku literatur yang berkaitan dengan isu penelitian. 5. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif yaitu setelah mendapatkan berbagai data dan informasi dari sumber data yang ada maka data tersebut akan disajikan dalam bentuk uraian

keterangan mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional 6. Analisis Data Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu suatu metode analisis yang dilakukan dengan cara mengumpulkan semua bahan yang diperoleh, ditelaah dan dianalisa berdasarkan peraturan perundang-undangan dan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan. Dengan demikian seorang peneliti terutama bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang ditelitinya. 12 Selanjutnya penulis akan menyimpulkan dan memberikan saran berkaitan dengan isu penelitian yang dikaji oleh penulis. 12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, hal.32.