DEPARTEMEN KESEHATAN RI JAKARTA, Rancangan Final

dokumen-dokumen yang mirip
BENTUK DAN CARA PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KESEHATAN

BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL

SISTEMATIKA A. PERKEMBANGAN DAN MASALAH SKN B. PERUBAHAN LINGKUNGAN STRATEGIS A. DASAR PEMBANGUNAN KESEHATAN B. DASAR SKN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM KESEHATAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH

PENYUSUNAN PERENCANAAN SOSIAL DAN BUDAYA Kegiatan Penyusunan Masterplan Kesehatan Kabupaten Banyuwangi

Sistem Kesehatan Nasional

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

ffj$"*l"j..iilif,{i POKOK.POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA

Pengertian SKN. Maksud dan Kegunaan SKN 28/03/2016. BAB 9 Sistem Kesehatan Nasional (SKN)

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB VI INDIKATOR KINERJA PERANGKAT DAERAH YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja) Departemen Kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RENCANA STRATEGIS DEPARTEMEN KESEHATAN TAHUN

Kata kunci : Kebijakan Kesehatan, Jampersal, Angka Kematian Ibu (AKI)

BAB III PROFIL PERUSAHAAN

PENGEMBANGAN TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk

DEPARTEMEN KESEHATAN RI JAKARTA, Rancangan Final

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BAB III TUJUAN, SASARAN DAN KEBIJAKAN

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM KESEHATAN PROVINSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV VISI MISI, TUJUAN, SASARAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN

A. RENCANA STRATEGIS : VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Formulasi Penghitungan Sumber Data

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan ketertiban dunia yang

BAB IV VISI DAN MISI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG TAHUN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN

Daftar Isi. Bab 1 : Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Landasan Hukum 1.3 Maksud dan Tujuan 1.4 Sistematika Penulisan

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA

RechtsVinding Online

RENCANA AKSI KINERJA DAERAH (RAD) DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Target ,10 per 1000 KH

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

REVIEW INDIKATOR RENSTRA DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut :

Isu Strategis Kota Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengacu pada

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN

Bagian Kedua Kepala Dinas Pasal 159 (1) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 huruf a, mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerinta

ARAH KEBIJAKAN DAN PRIORITAS PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN TAHUN Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

RINGKASAN DOKUMEN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KABUPATEN PASURUAN TAHUN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

MATRIK TAHAPAN RPJP KABUPATEN SEMARANG TAHUN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Oleh SUHARDJONO, SE. MM. BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI

PENGUKURAN INDIKATOR KINERJA SASARAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

B A B I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III PEMBANGUNAN KESEHATAN PROVINSI GORONTALO

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BUPATI KETAPANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 1 TAHUN 2016

LAMPIRAN. Daftar Pertayaan No. Indikator Pertanyaan

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

FORMULIR RENCANA KINERJA TAHUNAN TINGKAT UNIT OEGANISASI ESELON I KL DAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAAH (SKPD)

Transkripsi:

DEPARTEMEN KESEHATAN RI JAKARTA, 2009 Rancangan Final

Rancangan Final BENTUK DAN CARA PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI JAKARTA, 2009

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI... I I. PENDAHULUAN 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. PENGERTIAN SKN... 2 C. MAKSUD DAN KEGUNAAN SKN... 3 D. LANDASAN SKN... 4 II. PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL... 6 A. PERKEMBANGAN DAN MASALAH SISTEM KESEHATAN NASIONAL. 6 B. PERUBAHAN LINGKUNGAN STRATEGIS... 12 III. ASAS SISTEM KESEHATAN NASIONAL... 15 A. DASAR PEMBANGUNAN KESEHATAN... 15 B. DASAR SISTEM KESEHATAN NASIONAL... 17 ] IV. BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL... 21 TUJUAN SKN... 21 KEDUDUKAN SKN... 21 SUBSISTEM SKN... 23 TATA HUBUNGAN ANTAR SUBSISTEM DAN LINGKUNGANNYA... 26 SKN 2009 i

V. CARA PENYELENGGARAAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL... 29 A. SUBSISTEM UPAYA KESEHATAN... 29 B. SUBSISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN... 43 C.SUBSISTEM SUMBERDAYA MANUSIA KESEHATAN... 49 D. SUBSISTEM SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN DAN MAKANAN MINUMAN... 58 E. SUBSISTEM MANAJEMEN DAN INFORMASI KESEHATAN... 66 F. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARA- KAT... 71 VI. DUKUNGAN PENYELENGGARAAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL... 79 A. PROSES PENYELENGGARAAN SKN... 79 B. TATA PENYELENGGARAAN SKN... 82 C. PENYELENGGARA SKN...... 83 D. SUMBERDAYA PENYELENGGARAAN SKN... 85 D. KERJASAMA INTERNASIONAL... 88 VII. PENUTUP... 90 LAMPIRAN Gambar 1: Gambar 2: KONTRIBUTOR SKN 2009 ii

A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Dalam mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan dalam dasawarsa terakhir masih menghadapi berbagai masalah yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Untuk itu diperlukan pemantapan dan percepatan melalui Sistem Kesehatan Nasional sebagai bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang disertai berbagai terobosan penting, seperti: pengembangan Desa Siaga, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Perubahan lingkungan strategis ditandai dengan berlakunya berbagai regulasi penyelenggaraan kepemerintahan, seperti Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), 1

dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangungan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Disamping itu secara global terjadi perubahan iklim dan upaya percepatan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), sehingga diperlukan penyesuaian dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2009 merupakan penyesuaian dari SKN 1982 dan SKN 2004. SKN 1982 terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Pemikiran dasar pembangunan kesehatan, 2) Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan, dan 3) Bentuk pokok SKN. Selanjutnya pada akhir 1999 ditetapkan Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat Tahun 2010. Rencana ini pada intinya mengandung Butir 1) dan 2) dari SKN 1982 yang lebih dikembangkan sesuai keperluannya. Pada 10 Februari 2004 ditetapkan SKN 2004 yang pada intinya mengandung Butir 1) dan 3) dari SKN 1982. SKN 2004 yang pada hakikatnya merupakan bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan, penting untuk dimutakhirkan menjadi SKN 2009 agar dapat mengantisipasi berbagai tantangan perubahan pembangunan kesehatan dewasa ini dan di masa depan. Dalam mengantisipasi ini, perlu mengacu terutama pada arah, dasar dan strategi pembangunan kesehatan yang ditetapkan dalam Undang-undang nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang kesehatan Tahun 2005-2025. B. PENGERTIAN SKN Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang 2

memadukan berbagai upaya Bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan berdasarkan pada: 1) Perikemanusiaan, 2) Pemberdayaan dan kemandirian, 3) Adil dan merata, serta 4) Pengutamaan dan manfaat. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) perlu dilaksanakan dalam konteks Pembangunan Kesehatan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan determinan sosial, seperti: kondisi kehidupan sehari-hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi kewenangan, keamanan, sumberdaya, kesadaran masyarakat, serta kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut. C. MAKSUD DAN KEGUNAAN SKN Penyusunan SKN 2009 ini dimaksudkan untuk menyesuaikan SKN 2004 dengan berbagai perubahan dan tantangan eksternal dan internal, agar dapat dipergunakan sebagai pedoman tentang bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan, baik oleh masyarakat, swasta maupun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pihak terkait lainnya. Tersusunnya SKN 2009 mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia, memperjelas penyelenggaraan 3

pembangunan kesehatan sesuai dengan visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) Tahun 2005-2025, memantapkan kemitraan dan kepemimpinan yang transformatif, melaksanakan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu, serta meningkatkan investasi kesehatan untuk keberhasilan pembangunan nasional. RPJPK Tahun 2005-2025 merupakan arah pembangunan kesehatan yang berkesinambungan. RPJPK 2005-2025 dan Sistem Kesehatan Nasional merupakan dokumen kebijakan pembangunan kesehatan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. SKN disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (primary health care) yang meliputi: 1) Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata, 2) Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak pada rakyat, 3) Kebijakan pembangunan kesehatan, dan 4) Kepemimpinan. Pendekatan pelayanan kesehatan primer secara global telah diakui sebagai pendekatan yang tepat dalam mencapai kesehatan bagi semua dengan mempertimbangkan kebijakan kesehatan yang responsif gender. D. LANDASAN SKN Landasan SKN meliputi: 1. Landasan Idiil yaitu Pancasila. 2. Landasan Konstitusional yaitu UUD 1945, khususnya: Pasal 28 A, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya; Pasal 28 B ayat (2), setiap anak 4

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang; 28 C ayat (1), setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; Pasal 28 H ayat (1), setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan ayat (3), setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; serta Pasal 34 ayat (2), Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan dan ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. 3. Landasan Operasional meliputi seluruh ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKN 5

BAB II PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL A. PERKEMBANGAN DAN MASALAH SISTEM KESEHATAN NASIONAL Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan telah berhasil meningkatkan status kesehatan masyarakat. Kinerja sistem kesehatan telah menunjukkan hasil yang baik, antara lain ditunjukkan dengan peningkatan status kesehatan yaitu: penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI 2007). Angka Kematian Ibu (AKI) juga mengalami penurunan dari 334 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Sejalan dengan penurunan angka kematian bayi, umur harapan hidup (UHH) meningkat dari 68,6 tahun pada tahun 2004 menjadi 70,5 tahun pada tahun 2007. Demikian pula telah terjadi penurunan prevalensi kekurangan gizi pada balita dari 25,8 % pada akhir tahun 2003 menjadi sebesar 18,4% pada tahun 2007 (Riskesdas, 2007). Namun penurunan indikator kesehatan masyarakat tersebut masih belum seperti yang diharapkan. Upaya percepatan indikator kesehatan dalam lingkungan strategis baru, harus terus diupayakan dengan perbaikan Sistem Kesehatan Nasional. 1. Upaya Kesehatan Akses pada pelayanan kesehatan secara nasional mengalami peningkatan, namun di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan pulau-pulau kecil terdepan dan terluar masih rendah. Jarak fasilitas pelayanan 6

kesehatan yang jauh disertai distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, dan pelayanan kesehatan yang mahal menyebabkan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Walaupun telah terjadi peningkatan jumlah Puskesmas yang ditandai dengan peningkatan rasio Puskesmas dari 3,46 per 100.000 penduduk pada tahun 2003 menjadi 3,61 per 100.000 pada tahun 2005 (Profil Kesehatan, 2005) namun belum dapat meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan. Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh penduduk meningkat dari 15,1% pada tahun 1996 menjadi 33,7% pada tahun 2006. Begitupula kunjungan baru (contact rate) ke fasilitas pelayanan kesehatan meningkat dari 34,4% pada tahun 2005 menjadi 41,8% pada tahun 2007. Disamping itu, masyarakat yang mencari pengobatan sendiri sebesar 45% dan yang tidak berobat sama sekali sebesar 13,3% (2007). Secara keseluruhan kesehatan ibu membaik dengan turunnya AKI, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan meningkat 20% poin dalam kurun 10 tahun, peningkatan yang besar terutama di daerah perdesaan, sementara persalinan di fasilitas kesehatan meningkat dari 24,3% pada tahun 1997 menjadi 46% pada tahun 2007. Namun masih ditemui disparitas Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan cakupan imunisasi antar wilayah masih tinggi. Cakupan pemeriksaan kehamilan tertinggi 97,1% dan terendah 67%, sementara itu cakupan imunisasi lengkap tertinggi sebesar 73,9% dan cakupan terendah 17,3% (Riskesdas 2007). Akses terhadap air bersih sebesar 57,7% rumah tangga dan sebesar 63,5% rumah tangga mempunyai 7

akses pada sanitasi yang baik (Riskesdas, 2007). Pada tahun 2007, rumah tangga yang tidak menggunakan fasilitas buang air besar sebesar 24,8% dan yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah sebesar 32,5%. Penyakit infeksi menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol terutama: TB Paru, Malaria, HIV/AIDS, DBD dan Diare. Namun penyakit seperti: Filariasis, Kusta, Framboesia cenderung meningkat kembali (neglected diseases). Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan adanya peningkatan kasus penyakit tidak menular (seperti: penyakit kardiovaskuler, kanker) secara cukup bermakna, hal ini menandakan adanya double burden. 2. Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan sudah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Persentase pengeluaran nasional sektor kesehatan pada tahun 2005 adalah sebesar 0.81% dari Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat pada tahun 2007 menjadi 1.09 % dari PDB, meskipun belum mencapai 5% dari (PDB) seperti yang dianjurkan WHO. Demikian pula dengan anggaran kesehatan, pada tahun 2004 jumlah APBN kesehatan adalah sebesar Rp 5,54 Triliun meningkat menjadi sebesar 18,75 Triliun pada tahun 2007, namun presentase terhadap seluruh APBN belum meningkat dan masih berkisar 2,6 2,8%. Pembelanjaan kesehatan masih didominasi pembelanjaan publik yaitu 49,6%, sedangkan pemerintah yaitu 50,4% (WHO, 2008). Proporsi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah belum mengutamakan upaya pencegahan dan promosi kesehatan. Cakupan jaminan kesehatan sekitar 46,5% dari keseluruhan penduduk pada tahun 8

2008 yang sebagian besar berasal dari program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin sebesar 76.4 juta atau 34,2%. 3. Sumber Daya Manusia Kesehatan Upaya pemenuhan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan belum memadai, baik jumlah, jenis maupun kualitas tenaga kesehatan yang dibutuhkan serta distribusinya belum merata. Jumlah dokter Indonesia masih termasuk rendah yaitu 19 per 100.000 penduduk bila dibandingkan dengan negara lain di ASEAN seperti: Filipina 58 per 100.000 penduduk, dan Malaysia 70 per 100.000 pada tahun 2007. Masalah strategis SDM Kesehatan yang dihadapi dewasa ini dan di masa depan adalah: a) pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan belum dapat memenuhi kebutuhan SDM untuk pembangunan kesehatan; b) perencanaan kebijakan dan program SDM Kesehatan masih lemah dan belum didukung sistem informasi SDM Kesehatan yang memadai; c) masih kurang serasinya antara kebutuhan dan pengadaan berbagai jenis SDM Kesehatan. Kualitas hasil pendidikan SDM Kesehatan dan pelatihan kesehatan pada umumnya masih belum memadai; d) dalam pendayagunaan SDM Kesehatan, pemerataan SDM Kesehatan berkualitas masih kurang. Pengembangan karier, sistem penghargaan dan sanksi belum sebagaimana mestinya. Regulasi untuk mendukung SDM Kesehatan masih terbatas; e) pembinaan dan pengawasan SDM Kesehatan dan dukungan sumber daya SDM Kesehatan masih kurang. 9

4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan Minuman Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi domestik, bahan baku impor mencapai 85% dari kebutuhan. Sementara itu di Indonesia terdapat 9.600 jenis tanaman berpotensi mempunyai efek pengobatan, dan baru 300 jenis tanaman yang telah digunakan sebagai bahan baku. Pemerintah telah berusaha untuk menurunkan harga obat, namun masih banyak kendala yang dihadapi. Upaya perlindungan masyarakat terhadap penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman telah dilakukan secara komprehensif. Penggunaan obat rasional belum dilaksanakan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, masih banyak pengobatan yang dilakukan tidak sesuai dengan formularium. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) telah disusun sejak tahun 1980 dan direvisi secara berkala sampai tahun 2008. DOEN digunakan sebagai dasar penyediaan obat di pelayanan kesehatan publik. Lebih dari 90% obat yang diresepkan di Puskesmas merupakan obat esensial generik. Namun tidak diikuti oleh sarana pelayanan kesehatan lainnya, seperti: di rumah sakit pemerintah kurang dari 76%, rumah sakit swasta 49%, dan apotek kurang dari 47%. Hal ini menunjukkan bahwa konsep obat esensial generik belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan. 10

5. Manajemen dan Informasi Kesehatan Perencanaan antara Pusat dan Daerah belum sinkron dan begitu juga dengan perencanaan jangka panjang/menengah belum menjadi acuan dalam menyusun perencanaan jangka pendek. Demikian juga dengan kebijakan yang belum banyak disusun berbasis bukti. Banyak kebijakan yang menimbulkan kesenjangan dan tidak sinergi baik di Pusat dan atau Daerah. Sistem informasi kesehatan setelah desentralisasi menjadi lemah. Data dan informasi kesehatan untuk perencanaan tidak tersedia tepat waktu. Sistem Informasi Kesehatan Nasional (Siknas) yang berbasis fasilitas sudah mencapai tingkat kabupaten/kota namun belum dimanfaatkan. Hasil penelitian kesehatan, seperti: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), belum banyak dimanfaatkan sebagai dasar perumusan kebijakan dan perencanaan program. Surveilans belum dilaksanakan secara menyeluruh. Hukum kesehatan belum tertata secara sistematis dan belum mendukung pembangunan kesehatan secara utuh, terutama dalam menghadapi desentralisasi dan globalisasi. Regulasi bidang kesehatan pada saat ini belum cukup, baik jumlah, jenis, maupun efektifitasnya. Pemerintah belum sepenuhnya dapat menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsipprinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance). 11

6. Pemberdayaan Masyarakat Rumah tangga yang telah melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) meningkat dari 27% pada tahun 2005 menjadi 36,3% pada tahun 2007 namun masih jauh dari sasaran yang harus dicapai pada tahun 2009 yakni dengan target 60%. Jumlah UKBM, seperti Posyandu dan Poskesdes semakin meningkat, tapi pemanfaatan dan kualitasnya masih rendah. Hingga tahun 2007 sudah terbentuk 33.910 Desa Siaga dimana terdapat 20.986 buah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). UKBM lainnya yang terus berkembang pada tahun 2007 adalah Posyandu yang telah berjumlah 269.202 buah, dan 600 Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Di samping itu, Pemerintah telah memberikan pula bantuan stimulan untuk pengembangan 229 Musholla Sehat. Sampai dewasa ini dirasakan bahwa masyarakat masih lebih banyak sebagai objek dari pada sebagai subjek pembangunan kesehatan. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa alasan utama rumah tangga tidak memanfaatkan Posyandu/Poskesdes walaupun sebenarnya sangat memerlukan adalah karena: pelayanannya tidak lengkap (49,6%), lokasinya jauh (26%), dan tidak tersedianya Posyandu/Poskesdes (24%). B. PERUBAHAN LINGKUNGAN STRATEGIS Perkembangan global, regional dan nasional saat ini merupakan faktor dinamis yang mengalami perubahan serta sangat menentukan proses pembangunan suatu negara, termasuk pembangunan kesehatan. Hal ini 12

merupakan faktor eksternal utama yang mempengaruhi penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Faktor lingkungan strategis dapat dibedakan atas tatanan global, regional, nasional dan lokal, serta dapat dijadikan peluang atau kendala bagi sistem kesehatan di Indonesia. 1. Tingkat Global dan Regional Globalisasi merupakan suatu proses perubahan interaksi manusia secara luas, yang mencakup ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, dan lingkungan. Proses ini dipicu dan dipercepat dengan berkembangnya teknologi, informasi, dan transportasi yang mempunyai konsekuensi pada fungsi suatu negara dalam sistem pengelolaannya. Era globalisasi dapat menjadi peluang sekaligus tantangan pembangunan kesehatan sehingga mengharuskan adanya suatu sistem kesehatan yang responsif. Komitmen Internasional seperti: MDGs, revitalisasi pelayanan kesehatan dasar, kesetaraan gender, climate change, ASEAN Charter, jejaring riset Asia Pasifik perlu menjadi perhatian dalam pembangunan kesehatan. Komitmen internasional tersebut harus dalam konteks mendukung pembangunan kesehatan nasional. 2. Tingkat Nasional dan Lokal Pada tingkat nasional terjadi proses politik, seperti: desentralisasi, demokratisasi, dan politik kesehatan yang berdampak pada pembangunan kesehatan, sebagai contoh: banyaknya peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang menggunakan isu kesehatan sebagai janji politik. 13

Proses desentralisasi yang semula diharapkan mampu memberdayakan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, namun dalam kenyataannya belum sepenuhnya berjalan dan bahkan memunculkan ephoria di daerah yang mengakibatkan pembangunan kesehatan terkendala. Secara geografis, sebagian besar wilayah Indonesia rawan bencana, di sisi lain situasi sosial politik yang berkembang sering menimbulkan konflik sosial yang pada akhirnya memunculkan berbagai masalah kesehatan, termasuk akibat pembangunan yang tidak berwawasan kesehatan yang memerlukan upaya pemecahan melalui berbagai terobosan dan pendekatan. Perangkat regulasi dan hukum yang terkait dengan kesehatan masih belum memadai, sementara itu kesadaran hukum masyarakat masih rendah, dan masih lemahnya penegakan hukum menyebabkan berbagai hambatan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai terobosan/pendekatan terutama pemberdayaan masyarakat yang memberikan penguatan kapasitas dan surveilans berbasis masyarakat, diantaranya melalui pengembangan desa siaga. Di bidang lingkungan, mekanisme mitigasi, adaptasi dan pengenalan resiko akan perubahan iklim menuntut kegiatan kerjasama antara pihak lingkungan dengan pihak kesehatan dan sektor terkait lainnya. 14

BAB III ASAS SISTEM KESEHATAN NASIONAL Sebagaimana dinyatakan dalam Bab I bahwa Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Sebagai bentuk dan cara, maka setiap pelaku pembangunan kesehatan harus taat pada asas yang menjadi landasan bagi setiap program dan kegiatan pembangunan kesehatan. A. DASAR PEMBANGUNAN KESEHATAN Sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional (RPJP-N) Tahun 2005-2025, pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Dalam Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan mendasarkan pada: 1. Perikemanusian Pembangunan kesehatan harus berlandaskan pada prinsip perikemanusiaan yang dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tenaga kesehatan perlu berbudi luhur, memegang teguh etika profesi, dan selalu menerapkan prinsip perikemanusiaan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. 15

2. Pemberdayaan dan Kemandirian Setiap orang dan masyarakat bersama dengan pemerintah berperan, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Pembangunan kesehatan harus mampu membangkitkan dan mendorong peran aktif masyarakat. Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan berlandaskan pada kepercayaan atas kemampuan dan kekuatan sendiri serta kepribadian bangsa dan semangat solidaritas sosial serta gotongroyong. Pembangunan kesehatan diarahkan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain: ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut dan keluarga miskin. 3. Adil dan Merata Dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang suku, golongan, agama, dan status sosial ekonominya. Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 4. Pengutamaan dan Manfaat Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan perorangan atau golongan. Upaya kesehatan yang bermutu diselenggarakan dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan 16

teknologi serta harus lebih mengutamakan pendekatan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pembangunan kesehatan diselenggarakan berlandaskan pada dasar kemitraan atau sinergi yang dinamis dan tata penyelenggaraan yang baik, sehingga secara berhasilguna dan secara bertahap dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan lingkungannya. Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa pembangunan kesehatan harus diupayakan secara terintegrasi antara Pusat dan Daerah dengan mengedepankan nilai-nilai pembangunan kesehatan, yaitu: a) Berpihak pada Rakyat, b) Bertindak Cepat dan Tepat, c) Kerjasama Tim, d) Integritas yang tinggi, serta e) Transparansi dan Akuntabel. B. DASAR SISTEM KESEHATAN NASIONAL Dalam penyelenggaraannya, SKN perlu mengacu pada dasar-dasar sebagai berikut: 1. Hak asasi manusia Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional dalam Pembukaan UUD 1945, untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan kesejahteraan rakyat, maka setiap penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip hak asasi manusia. Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1 antara lain menggariskan bahwa setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggitingginya tanpa membedakan suku, golongan, agama, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Setiap anak 17

dan perempuan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 2. Sinergisme dan Kemitraan yang Dinamis SKN akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila terjadi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisme (KISS), baik antar pelaku, antar subsistem SKN maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKN. Dengan tatanan ini, maka sistem atau sektor lain, seperti pembangunan prasarana, keuangan dan pendidikan, perlu berperan secara bersama-sama dengan sektor kesehatan untuk mencapai tujuan nasional. Pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan menggalang kemitraan yang dinamis dan harmonis antara pemerintah dan masyarakat termasuk swasta, dengan mendayagunakan potensi yang dimiliki masing-masing. Kemitraan tersebut diwujudkan dengan mengembangkan jejaring yang berhasilguna dan berdayaguna, agar diperoleh sinergisme yang lebih mantap dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. 3. Komitmen dan Tata Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) Agar SKN berfungsi baik, diperlukan komitmen yang tinggi dan dukungan serta kerjasama yang baik dari para pelaku untuk menghasilkan tata penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik (good governance). Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara demokratis, berkepastian hukum, terbuka (transparan), rasional, profesional, serta bertanggungjawab dan bertanggung-gugat (akuntabel). 18

4. Dukungan Regulasi Dalam menyelenggarakan SKN, harus ada dukungan regulasi berupa adanya berbagai peraturan perundangundangan yang mendukung penyelenggaraan SKN dan didukung pula oleh penerapannya (law enforcement). 5. Antisipatif dan Pro Aktif Setiap pelaku pembangunan harus mampu melakukan antisipasi atas perubahan yang akan terjadi, berdasarkan pengalaman masa lalu atau pengalaman yang terjadi di negara lain. Dengan mengacu pada antisipasi tersebut, pelaku pembangunan kesehatan perlu lebih proaktif terhadap perubahan lingkungan strategis baik yang bersifat internal maupun eksternal. 6. Responsif Gender Dalam penyelenggaraan SKN, setiap penyusunan rencana kebijakan dan program serta dalam pelaksanaan program kesehatan harus menerapkan kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan gender dalam pembangunan kesehatan adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan kesehatan dan kesamaan dalam memperoleh manfaat pembangunan kesehatan. Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan dalam pembangunan kesehatan. 19

7. Kearifan Lokal Penyelenggaraan SKN di daerah harus memperhatikan dan menggunakan potensi daerah yang secara positif dapat meningkatkan hasilguna dan dayaguna pembangunan kesehatan, yang dapat diukur secara kuantitatif dari meningkatnya peran serta masyarakat dan secara kualitatif dari meningkatnya kualitas hidup jasmani dan rohani. Dengan demikian kebijakan pembangunan daerah di bidang kesehatan harus sejalan dengan SKN, walaupun pelaksanaan praktisnya dalam rencana pembangunan daerah di bidang kesehatan, dapat disesuaikan dengan potensi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat di daerah terutama dalam penyediaan pelayanan kesehatan dasar bagi rakyatnya. 20

BAB IV BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL A. TUJUAN SKN Tujuan SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasilguna dan berdayaguna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. B. KEDUDUKAN SKN 1. Suprasistem SKN Suprasistem SKN adalah Ketahanan Nasional. SKN bersama dengan berbagai sistem nasional lainnya, diarahkan untuk mencapai Tujuan Bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, abadi dan keadilan sosial. Dalam kaitan ini, undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan merupakan kebijakan strategis dalam pembangunan kesehatan. 2. Kedudukan SKN dalam Sistem Nasional Lainnya Terwujudnya keadaan sehat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, melainkan juga tanggung jawab dari berbagai sektor lain terkait. Dalam penyelenggaraan 21

pembangunan kesehatan, SKN perlu menjadi acuan bagi sektor lain. Dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, SKN dapat bersinergi secara dinamis dengan berbagai sistem nasional lainnya seperti: Sistem Pendidikan Nasional, Sistem Perekonomian Nasional, Sistem Ketahanan Pangan Nasional, Sistem Hankamnas, dan Sistem-sistem nasional lainnya. 3. Kedudukan SKN terhadap Penyelenggaraan Pembangunan Kesehatan di Daerah Dalam pembangunan kesehatan, SKN merupakan acuan bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah. 4. Kedudukan SKN terhadap berbagai sistem kemasyarakatan termasuk swasta Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam berbagai sistem kemasyarakatan. Di pihak lain, berbagai sistem kemasyarakatan merupakan bagian integral dari SKN. Dalam kaitan ini SKN dipergunakan sebagai acuan bagi masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan. Keberhasilan pembangunan kesehatan juga ditentukan oleh peran aktif swasta. Dalam kaitan ini potensi swasta merupakan bagian integral dari SKN. Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan perlu digalang kemitraan yang setara, terbuka, dan saling menguntungkan dengan berbagai potensi swasta. SKN dapat mewarnai potensi swasta, sehingga sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan. 22

Dengan mengacu terutama pada kedudukan SKN diatas dan pencapaian tujuan nasional, dalam Gambar 1 dikemukakan alur pikir dari SKN termaksud. C. SUBSISTEM SKN Pendekatan manajemen kesehatan dewasa ini dan kecenderungannya dimasa depan adalah kombinasi dari pendekatan: 1) Sistem, 2) Kontigensi, dan 3) Sinergi yang dinamis. Mengacu pada substansi perkembangan penyelenggaraan pembangunan kesehatan dewasa ini serta pendekatan manajemen kesehatan tersebut diatas maka subsistem SKN meliputi: 1. Subsistem Upaya Kesehatan Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan. 2. Subsistem Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber yakni pemerintah, pemerintah daerah, swasta, organisasi masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil dan berkesinambungan memegang peran yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan dari pembangunan kesehatan. Diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses terhadap pelayanan yang berkualitas. 23

Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan public good yang menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat private, kecuali pembiayaan untuk orang miskin dan tidak mampu menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan kesehatan dengan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang pada waktunya diharapkan akan tercapai universal coverage sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). 3. Subsistem Sumber Daya Manusia Kesehatan Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumberdaya manusia kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta terdistribusi secara adil dan merata, sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, SKN juga memberikan fokus penting pada pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan, guna menjamin ketersediaan dan pendistribusian SDM Kesehatan. Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan meliputi: 1) perencanaan kebutuhan sumber daya manusia yang diperlukan, 2) pengadaan yang meliputi pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan SDM Kesehatan, 3) pendayagunaan SDM Kesehatan, dan 4) pembinaan serta pengawasan SDM Kesehatan. 4. Subsistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Makanan Minuman Subsistem kesehatan ini meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin aspek keamanan, khasiat/ kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman yang beredar; ketersediaan, 24

pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional; serta upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri. 5. Subsistem Manajemen dan Informasi Kesehatan Subsistem ini meliputi: kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, hukum kesehatan dan informasi kesehatan. Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasilguna dan berdayaguna, diperlukan manajemen kesehatan. Peranan manajemen kesehatan adalah koordinasi, integrasi, sinkronisasi serta penyerasian berbagai subsistem SKN. Dalam kaitan ini peranan informasi kesehatan sangat penting. Dari segi pengadaan data dan informasi dapat dikelompokkan kegiatannya sebagai berikut: 1) Pengumpulan, validasi, analisa dan desiminasi data dan informasi, 2) Manajemen sistem informasi, 3) Dukungan kegiatan dan sumber daya untuk unit-unit yang memerlukan, dan 4) Pengembangan untuk peningkatan mutu sistem informasi kesehatan. 6. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata-mata sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai subjek atau penyelenggara dan pelaku pembangunan kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan. Dalam pember- 25

dayaan masyarakat meliputi pula upaya peningkatan lingkungan sehat dari masyarakat sendiri. Pemberdayaan masyarakat dan upaya kesehatan pada hakekatnya merupakan fokus dari pembangunan kesehatan. D. TATA HUBUNGAN ANTAR SUBSISTEM DAN LINGKUNGANNYA Penyelenggaraan SKN memerlukan keterkaitan antar unsur-unsur SKN sebagai suatu tata hubungan yang efektif. Keterkaitan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Subsistem Upaya Kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk penyelenggaraan subsistem tersebut diperlukan berbagai upaya dengan menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia. Berbagai upaya tersebut memerlukan dukungan pembiayaan, SDM Kesehatan, ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, manajemen dan informasi kesehatan serta pemberdayaan masyarakat. 2. Subsistem pembiayaan kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan ketersediaan pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna untuk terselenggaranya upaya kesehatan secara merata, terjangkau, dan bermutu bagi seluruh masyarakat. Tersedianya pembiayaan yang memadai juga akan menunjang terselenggaranya subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, subsistem manajemen dan informasi kesehatan, serta subsistem pemberdayaan masyarakat. 26

3. Subsistem sumberdaya manusia kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan tenaga kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang mencukupi, terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna, sehingga upaya kesehatan dapat diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Tersedianya tenaga kesehatan yang mencukupi dan berkualitas juga akan menunjang terselenggaranya subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, subsistem manajemen dan informasi kesehatan serta subsistem pemberdayaan masyarakat. 4. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman diselenggarakan guna menjamin keamanan, khasiat, manfaat dan mutu semua produk sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman yang beredar; menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; serta penggunaan obat yang rasional, dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman saling terkait dengan subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya kesehatan, manajemen dan informasi kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat, sehingga upaya kesehatan dapat diselenggarakan dengan berhasilguna dan berdayaguna. 5. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan fungsi-fungsi kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, informasi kesehatan, dan hukum kesehatan yang memadai dan mampu menunjang penyelenggaraan upaya kesehatan 27

secara berhasilguna dan berdayaguna. Dengan manajemen kesehatan yang berhasilguna dan berdayaguna dapat diselenggarakan subsistem upaya kesehatan, subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, serta subsistem pemberdayaan masyarakat, sebagai suatu kesatuan yang terpadu dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. 6. Subsistem pemberdayaan masyarakat diselenggarakan guna menghasilkan individu, kelompok, dan masyarakat umum yang mampu berperan aktif dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Masyarakat yang berdaya akan berperan aktif dalam penyelenggaran subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, serta subsistem manajemen dan informasi kesehatan. Dalam kaitan ini, hubungan SKN dengan lingkungan strategisnya sangat penting artinya, mengingat pembangunan kesehatan tidak dapat mencapai tujuannya tanpa memperhatikan dengan seksama interaksi dengan lingkungan strategis tersebut, yang meliputi: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Lingkungan tersebut terdapat di tingkat lokal, nasional, regional maupun global. Selain itu, lingkungan termaksud dapat sebagai peluang maupun kendala. Untuk memperoleh kejelasan secara umum substansi berbagai unsur-unsur pembangunan kesehatan dan subsistem SKN serta tata hubungannya dengan lingkungan strategis yang lebih spesifik dan penting yang mempengaruhi SKN dapat dilihat pada skema di Gambar 2. 28

BAB V CARA PENYELENGGARAAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL A. SUBSISTEM UPAYA KESEHATAN 1. Pengertian Subsistem Upaya Kesehatan adalah bentuk dan cara penyelenggaraan upaya kesehatan yang paripurna, terpadu dan berkualitas, meliputi upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan, yang diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. 2. Tujuan Tujuan dari penyelenggaraan subsistem upaya kesehatan adalah terselenggaranya upaya kesehatan yang adil, merata, terjangkau, dan bermutu untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. 3. Unsur-unsur a. Upaya Kesehatan Pelayanan kesehatan meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan, baik pelayanan kesehatan konvensional maupun pelayanan kesehatan yang terdiri dari pengobatan tradisional dan komplementer melalui pendidikan dan pelatihan dengan selalu mengutamakan keamanan dan efektifitas yang tinggi. 29

Upaya kesehatan diutamakan pada berbagai upaya yang mempunyai daya ungkit tinggi dalam pencapaian sasaran pembangunan kesehatan utamanya penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan keluarga miskin. b. Sumber Daya Upaya Kesehatan Sumber daya upaya kesehatan terdiri dari SDM kesehatan, biaya, sarana dan prasarana, sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta sistem informasi kesehatan yang memadai guna terselenggaranya upaya kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan alat dan atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, baik peningkatan, pencegahan, pengobatan maupun pemulihan yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau masyarakat termasuk swasta. c. Pembinaan dan Pengawasan Upaya Kesehatan Pelayanan kesehatan harus diberikan berdasarkan standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan masukan dari organisasi profesi. Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan dilakukan secara berjenjang melalui standarisasi, sertifikasi, lisensi, akreditasi, dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah bersama dengan organisasi profesi dan masyarakat. 30

d. Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan 4. Prinsip Penelitian dan pengembangan dilakukan utamanya untuk mendukung peningkatan mutu upaya kesehatan yang berhasilguna dan berdayaguna. Penelitian dan pengembangan didasarkan pada masalah kesehatan prioritas, sumberdaya kesehatan, serta aspek terkait lainnya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai. a. Berkesinambungan dan paripurna Upaya kesehatan bagi masyarakat diselenggarakan secara berkesinambungan dan paripurna meliputi upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan hingga pemulihan, serta rujukan antara tingkatan upaya kesehatan. b. Bermutu, aman dan sesuai kebutuhan Pelayanan kesehatan bagi masyarakat harus berkualitas, terjamin keamanannya bagi penerima dan pemberi upaya, dapat diterima masyarakat, efektif, dan sesuai, serta mampu menghadapi tantangan globalisasi. c. Adil dan merata Pemerintah wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berkeadilan dan merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan di luar negeri dalam kondisi tertentu. 31

d. Non diskriminatif Setiap penduduk harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis, bukan status sosial ekonomi dan tidak membeda-bedakan suku/ras, budaya dan agama, dengan tetap memperhatikan pengarus-utamaan gender. e. Terjangkau Pelayanan kesehatan yang bermutu harus terjangkau dan mudah dijangkau oleh seluruh masyarakat, baik dari aspek akses maupun biaya. f. Teknologi tepat guna Upaya kesehatan menggunakan teknologi tepat guna yang berbasis bukti. Teknologi tepat guna berasas pada kesesuaian kebutuhan dan tidak bertentangan dengan etika, moral dan nilai agama. g. Bekerja dalam tim secara cepat dan tepat Upaya kesehatan dilakukan secara kerjasama tim, melibatkan semua pfihak yang kompeten, dilakukan secara cepat dengan ketepatan/presisi yang tinggi. 5. Penyelenggaraan a. Upaya Kesehatan Upaya kesehatan mencakup kesehatan fisik, mental termasuk intelegensia, dan sosial. Upaya kesehatan dilaksanakan dalam tingkatan upaya sesuai dengan kebutuhan medik dan kesehatan. Terdapat tiga tingkatan upaya yaitu upaya kesehatan primer, upaya kesehatan sekunder dan upaya kesehatan 32

tersier. Upaya kesehatan diselenggarakan secara berkesinambungan, terpadu, dan paripurna melalui sistem rujukan. Rujukan upaya kesehatan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab secara timbal balik baik horisontal maupun vertikal terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan. Rujukan dibagi dalam rujukan medik yang berkaitan dengan pengobatan dan pemulihan berupa pengiriman pasien (kasus), spesimen dan pengetahuan tentang penyakit; sedang rujukan kesehatan dikaitkan upaya pencegahan dan peningkatan kesehatan yang berupa sarana, teknologi dan operasional. Upaya kesehatan primer adalah upaya kesehatan dasar dimana terjadi kontak pertama secara perorangan atau masyarakat dengan pelayanan kesehatan sebagai awal dari proses pelayanan kesehatan langsung maupun pelayanan kesehatan penunjang, dengan mekanisme rujukan timbalbalik, termasuk penanggulangan bencana dan pelayanan gawat darurat. Upaya kesehatan sekunder dan tersier adalah upaya kesehatan tingkat rujukan maupun rujukan tingkat lanjut. Upaya kesehatan tersebut terdiri dari upaya kesehatan yang langsung dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dan upaya kesehatan penunjang yang mendukung upaya kesehatan langsung tersebut, seperti: sumber daya manusia, dana, sarana dan prasarana, advokasi, promosi kesehatan, penelitian dan pengembangan. 33

1) Upaya Kesehatan Primer Upaya Kesehatan Primer adalah upaya kesehatan dasar, yang terdiri dari pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan primer memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya peningkatan, dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style). Diselenggarakan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan mempunyai kompetensi yang ditetapkan sesuai ketentuan berlaku dan dapat dilaksanakan di rumah, tempat kerja maupun fasilitas kesehatan perorangan primer baik Puskesmas dan jaringannya, serta fasilitas kesehatan lainnya milik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Dilaksanakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan sekunder dalam sistem rujukan yang timbal balik. Diselenggarakan berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari organisasi profesi dan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan primer akan didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang, antara lain: Apotik, Optik, laboratorium dan lain sebagainya. 34

Dapat diselenggarakan sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap, dapat dikaitkan dengan tempat kerja seperti; klinik perusahaan, dapat disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra seperti: kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan, kesehatan wisata). Pemerintah wajib menyediakan pelayanan kesehatan perorangan primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai kebutuhan, terutama bagi orang miskin, daerah terpencil, perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati swasta. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk kelompok miskin dibiayai oleh pemerintah, sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh pemerintah. Dalam pelayanan kesehatan perorangan termasuk pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan dan khasiatnya. Upaya kesehatan masyarakat primer adalah pelayanan peningkatan dan pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan dengan sasaran keluarga, kelompok dan masyarakat. 35

Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat primer mendukung upaya kesehatan berbasis masyarakat dan didukung oleh upaya kesehatan masyarakat sekunder Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat primer menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat didelegasikan kepada Puskesmas. Masyarakat termasuk swasta dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat primer sesuai peraturan yang berlaku dan dapat berkerjasama dengan Pemerintah. Pembiayaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat primer ditanggung oleh pemerintah bersama dengan masyarakat. Pemerintah wajib membiayai pelayanan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk menangani masalah kesehatan masyarakat yang menjadi prioritas pembangunan. Pemerintah dapat membentuk fasilitas kesehatan yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat sesuai keperluan. Pemerintah wajib melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat primer yang berhubungan dengan prioritas pembangunan melalui kegiatan perbaikan lingkungan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif. Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat primer didukung upaya kesehatan penunjang seperti: surveilans, pencatatan dan pelaporan. 36

2) Upaya Kesehatan Sekunder Upaya kesehatan sekunder adalah upaya kesehatan rujukan spesialistik, yang terdiri dari pelayanan kesehatan rujukan perorangan, masyarakat dan upaya kesehatan penunjang. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder adalah pelayanan kesehatan spesialistik, menerima rujukan dari fasilitas kesehatan primer, yang meliputi rujukan kasus, spesimen dan Ilmu Pengetahuan. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan oleh dokter spesialis, atau dokter yang sudah mendapatkan pendidikan khusus dan mempunyai ijin praktek serta didukung sistem rujukan yang timbal balik. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder harus memberikan pelayanan kesehatan yang aman, sesuai, efektif, efisien dan berbasis bukti (evidence based medicine) serta didukung penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dapat dibantu dengan fasilitas kesehatan penunjang, antara lain: Apotik, Optik, laboratorium dan lain sebagainya. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder yang bersifat tradisional dan komplementer dilaksanakan dengan berafiliasi dengan atau di rumah sakit pendidikan. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder untuk kelompok miskin dibiayai oleh pemerintah, 37

sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh pemerintah. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dapat dijadikan sebagai tempat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan pelatihan. Standar dan peraturan perijinan ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari Pemerintah Daerah, Organisasi Profesi dan masyarakat. Upaya kesehatan masyarakat sekunder menerima rujukan kesehatan masyarakat berupa sarana, teknologi dan didukung oleh pelayanan kesehatan masyarakat tersier. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat rujukan menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan atau Provinsi sebagai fungsi teknisnya, yakni melaksanakan upaya kesehatan masyarakat yang tidak sanggup atau tidak memadai dilakukan di tingkat puskesmas Dalam penanggulangan penyakit menular, yang tidak terbatas pada suatu batas administrasi pemerintahan (lintas kabupaten/kota), maka tingkat yang lebih tinggi (lintas provinsi) yang harus menanganinya. Rujukan upaya kesehatan masyarakat dilakukan dalam bentuk rujukan sarana, rujukan teknologi dan operasional 38