PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN ANCAMAN TERHADAP RUANG PRIVAT: TINJAUAN ATAS KASUS PEREDARAN VIDEO SEKS SELEBRITIS DI INTERNET Dewi Yuri Cahyani Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana E-mail : dewi@fisip.unud.ac.id Abstract: Public failure in addressing the rampant circulation of celebrity sex tapes on the internet, the inability to utilize advances in information technology, and blurred boundaries between public and private domains are serious issues that threaten not only the rights of personal liberty but also the freedom of expression. Mass media should perform their role as agents for the public good by delivering news and information which are beneficial for public interest, and not exploit one s private life to fulfill market demands. Keywords: Information technology, private domain 1. Pendahuluan Kasus peredaran video porno yang melibatkan para artis papan atas Indonesia yang merebak pada pertengahan tahun 2010 sempat menjadi perbincangan publik yang cukup panas. Video seks yang melibatkan Ariel Peterpan, Luna Maya, Cut Tari, dan sejumlah artis lain yang beredar di internet menjadi isu hangat yang mengisi ruang-ruang publik media, tidak hanya di internet, tetapi merambah ke media cetak dan televisi. Hampir setiap hari berita di tv (infotainment) menyajikan perkembangan kasus ini, dilengkapi dengan liputan mengenai sisi kehidupan pribadi sang selebritis. Pro dan kontra pun berkembang seputar persoalan etika dan moral serta substansi hukum terkait peredaran materi pornografi tersebut. Meskipun persoalan merebaknya video pribadi ke ruang publik ini bukan yang kali pertama terjadi. Beberapa tahun yang lalu, publik di Indonesia juga pernah digegerkan ketika video panas Maria Eva dan Yahya Zaini, seorang anggota DPR RI beredar luas di internet. Di masa datang, potensi terjadinya kasus-kasus serupa cukup besar karena teknologi komunikasi dan informasi dewasa ini sangat mudah digunakan (ramah pakai/user friendly) dan media publik seperti internet sangat mudah untuk diakses. Melalui medium ini, setiap orang bisa menjadi pewarta dan sumber berita. Jika regulasi tidak secara ketat dibangun, serta tidak secara rigid membedakan mana domain publik dan mana yang privat, maka perkembangan teknologi dan media komunikasi seperti internet dapat mengancam eksistensi ruang-ruang pribadi tersebut. Dalam diskusi yang terjadi sekitar peredaran video seks para artis itu, ada dua ranah perdebatan yang selama ini masih tumpang tindih pembahasannya. Pertama, terkait hak atas pribadi, termasuk di dalamnya hak atas seksualitas, yang merupakan domain privat subjek dari ranah etika dan moral. Kedua, terkait peredaran materi pornografi secara luas melalui media massa, yang merupakan domain publik dan tercakup sebagai subjek dari ranah hukum. Tumpang tindihnya perspektif etika dan moral dengan perspektif hukum, serta tidak jelasnya mana diskursus yang seharusnya menjadi domain publik dan privat dalam membaca kasus ini akan berpotensi melanggar hak-hak asasi dari pihak-pihak yang terlibat karena apa yang seharusnya menjadi domain privat dan bukan dimaksudkan untuk menjadi konsumsi dan penilaian publik menjadi kabur.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ketika seseorang membuat materi terkait seksualitas tanpa bermaksud untuk menyebarluaskannya (misalnya dimaksudkan untuk koleksi pribadi), apakah itu bisa dijadikan sebagai konsumsi dan penilaian publik? Jika tanpa sengaja materi tersebut disebarluaskan oleh pihak-pihak yang bermaksud mengambil keuntungan dari peredaran materi tersebut, apakah sanksi pidana bisa dikenakan kepada mereka (pelaku hubungan seks di video tersebut)? Jika ya, pasal-pasal apa yang bisa menjerat mereka? Peredaran materi pornografi jelas merupakan tindakan pidana yang bisa dijerat dengan beberapa undangundang yang berlaku di Indonesia, misalnya dengan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi di luar masih plastisnya definisi pornografi dalam UU tersebut. Ketika itu terjadi, seharusnya yang menjadi fokus penyelidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh polisi adalah oknum yang mengunggah dan menyebarkan video tersebut. Jika tak ada cukup bukti yang mengarahkan bahwa para pelaku adegan dalam video seks artis tersebut adalah juga orang yang dengan sengaja membuat dengan tujuan untuk mengedarkan video tersebut, maka secara hukum tidak ada tuntutan pidana yang bisa dikenakan kepada mereka (pelaku adegan seks). Perzinahan salah satu tuduhan yang dikenakan dalam kasus video seks Ariel-Luna dalam hukum pidana Indonesia adalah delik aduan. Artinya, pasal pidana hanya bisa dikenakan ketika ada pengaduan dari suami atau istri yang bersangkutan. 2. Ruang Publik versus Ruang Privat Maraknya peredaran materi pribadi (termasuk video seks artis) ke dalam ruang-ruang publik media massa sehingga kemudian menjadi diskursus atau wacana publik disebabkan karena kaburnya atau tidak jelasnya batas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik, seperti disyaratkan Habermas, adalah ruang kehidupan sosial dimana sesuatu yang mendekati atau menyerupai opini publik dapat dicapai ada jaminan bagi kemerdekaan individu untuk berserikat dan berkumpul, jaminan bagi kebebasan untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat mengenai masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama atau umum. (http: habermas.htm). Merujuk pada konsepsi di atas, merebaknya video seks selebritis yang meresahkan dan berpotensi mengganggu ketertiban umum merupakan persoalan publik mengenai masalahmasalah yang menjadi kepentingan bersama atau umum yang harus didiskusikan dalam konteks kemaslahatan atau kepentingan bersama. Diskusi ini harus memastikan adanya kesempatan dan akses yang sama dari semua pihak. Oleh karenanya, penghakiman (khususnya secara moral) sebelum seseorang terbukti secara hukum bersalah adalah hal yang tak boleh dilakukan. Namun, situasi komunikasi ideal ini seringkali tidak tercapai karena persoalan etika dan moralitas adalah persoalan sensitif yang mudah memancing reaksi publik, yang dalam diskursus industri media dianggap sebagai memiliki nilai berita dan nilai jual. Media, sebagai sebuah ruang publik, kemudian cenderung tidak peduli apakah informasi yang mereka sampaikan akan berguna untuk kepentingan publik atau tidak. Padahal, diskursus yang seharusnya berlangsung di ruang publik media adalah diskursus yang menyangkut domain publik, bukan domain privat. Maraknya pemberitaan media mengenai video seks selebritis yang kemudian dikaitkaitkan dengan kehidupan pribadi mereka, bisa memunculkan suatu kondisi yang dikenal sebagai judgment by the press (penghakiman yang diterima oleh seseorang akibat pemberitaan media yang tidak seimbang mengenai diri mereka). Seseorang bisa dinyatakan bersalah secara sosial sebelum ada pembuktian di pengadilan bahwa dia benar-benar bersalah, akibat opini yang berkembang mengenai tindakan maupun karakternya. Meskipun seseorang punya hak jawab maupun hak untuk melakukan klarifikasi, news room atau redaksi media memiliki kekuatan yang
cukup besar untuk membentuk opini publik sesuai dengan kerangka yang mereka inginkan yang pada umumnya mengikuti logika pasar. Oleh karena itu, logika ruang publik media akan mengikuti logika pasar. Beredarnya video pribadi (khususnya jika materinya menyangkut pornografi) di ruangruang publik media jelas merupakan wacana publik yang harus diselesaikan bersama jika keberadaannya dianggap meresahkan dan berpotensi merusak moral bangsa. Inilah yang seharusnya menjadi diskusi dalam wacana publik, bukan persoalan karakter individual si pribadi dengan cara mengulik setiap detil aspek kehidupannya. Berbeda dengan ruang publik yang dicirikan oleh tidak adanya kedekatan emosional antara aktor-aktor yang terlibat di dalamnya (detachment) atau yang dicirikan dengan adanya jarak sosial, ruang privat dicirikan dengan adanya intimasi atau kedekatan di antara aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Menurut Dawn Oliver (2008), ruang privat adalah tempat di mana seseorang dapat membebaskan atau melepaskan diri dari ruang publik yang impersonal. Ruang privat memungkinkan kita melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukan di ruang publik, untuk mengalami atau merasakan, dan melakukan refleksi diri, ruang privat melindungi kita dari tekanan mayoritas/publik, memungkinkan kita untuk mengontrol siapa saja yang dapat mengaksses diri kita dan mendapatkan informasi mengenai diri kita, dan untuk membuat keputusan kritis yang akan berpengaruh pada kehidupan kita. Ruang privat tidak dimaksudkan untuk pemisahan diri atau memisahkan diri dari tekanan sosial, tetapi untuk membantu keterlibatan individu dalam kehidupan sosial. Hak atas pribadi sepenuhnya dijamin di dalam kerangka ini, termasuk kebebasan individu untuk mengekspresikan dirinya secara seksual. Firliana Purwanti dalam esainya yang berjudul Video Artis dan Hak Atas Pribadi (2010) mengatakan bahwa kenikmatan seksual warga negara adalah salah satu hak yang termasuk sebagai hak atas pribadi tersebut. Menurutnya, kenikmatan seksual tiap orang sangat berbeda. Ada yang menikmati seks dengan cara konvensional, ada yang dengan pasangan sesama jenis, ada juga yang perlu menonton video rekamannya sendiri untuk mendapatkan orgasme. Undang-undang tentang Pornografi sekalipun mengatakan pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) bahwa membuat film seks untuk dirinya dan kepentingannya sendiri tidak melanggar UU Anti-Pornografi. Pada prinsipnya, kenikmatan seksual harus diserahkan kepada individu. Apa yang terjadi di kamar tidur warga negara adalah hak atas pribadi yang harus dihormati oleh negara. Negara hanya diperkenankan untuk melakukan intervensi ketika ada kekerasan, pemaksaan, dan diskriminasi (Koran Tempo, 2010). Hal ini penting, karena menurut Dawn Oliver (2008), privasi adalah suatu cara untuk memastikan indidivu mampu membuat keputusan-keputusan penting bagi aktivitas sosialnya (aktivitasnya di ruang publik) tanpa paksaan dari siapa pun. Jika ruang privat sepenuhnya hilang di antara kekaburan batas-batas antara yang publik dan yang privat, kedaulatan seseorang sebagai individu juga akan hilang. Di ruang ini, relasi antar individu dan berbagai ekspresi yang menyertainya mendapatkan tempatnya, termasuk ekspresi dan hubungan seksual seperti yang telah dijelaskan di atas. Di sini setiap individu memiliki kedaulatan penuh atas ruang privat dan hak atas pribadi yang menyertainya. Di negara kita, hak atas kebebasan pribadi ini dijamin di dalam konstitusi negara (UUD 1945) Pasal 28 butir (g) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Selain konstitusi, jaminan hak atas pribadi diperkuat oleh Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005.
Dalam instrumen ini dikatakan bahwa setiap orang berhak perlindungan atas pribadi dan keluarga dari serangan terhadap kehormatan serta reputasi. Dengan adanya jaminan tersebut, seharusnya negara (melalui pembuatan dan implementasi aturan-aturan hukum yang dibuatnya), media massa, maupun masyarakat umum tidak diperbolehkan melakukan intervensi ke dalam ranah tersebut. Kemajuan teknologi informasi dan munculnya media baru seperti internet, yang memungkinkan akses individu secara luas terhadap ruang publik tersebut, juga tidak semestinya memasuki ruang-ruang privat dan mengancam hak atas pribadi. 3. Penutup Melalui paparan di atas, bisa disimpulkan bahwa diskursus publik mengenai peredaran video seks artis yang belakangan ini banyak beredar dan dianggap berpotensi merusak moral bangsa merupakan wacana yang pada tempatnya. Namun, berita yang mengulik sisi kehidupan artis dan penghakiman terhadap moralitasnya merupakan hal yang tidak pada tempatnya, termasuk kemungkinan seseorang dikenakan pasal pidana akibat seseorang tersebur melakukan tindakan yang dijamin sebagai hak pribadinya. Kegagapan publik dalam menyikapi persoalan ini, kurangnya kearifan dalam memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, serta kaburnya batas-batas antara domain yang publik dan yang privat adalah persoalan serius yang dapat mengancam tidak hanya kebebasan atas hak atas pribadi, namun juga memasung kebebasan berekspresi. Di sini, media massa bisa menempatkan perannya sebagai kontrol publik dengan mengedepankan berita atau informasi yang terkait dengan diskursus publik atau yang berguna bagi kepentingan umum, bukan alih-alih mengeksploitasi sisi kehidupan pribadi seseorang atas nama tuntutan pasar.
Daftar Pustaka Holmes, David. 2005. Communication Theory: Media, Technology, and Society, Sage. Oliver, Dawn. 2008. Human Rights and The Private Sphere, UCL Human Rights Review. Purwanti, Firliana. 28 Juni 2010. Video Artis dan Hak atas Pribadi, Koran Tempo. Website Does the Internet Provide The Basis for A Public Sphere That Approximates to Habermas Vision? dalam http://www.jakeg.co.uk/essays/habermas.htm