A. Gambaran Umum Tentang Kompetensi Absolut peradilan Agama. kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut. Kekuasaan relatif berkaitan dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan konflik, konflik ini adakalanya dapat di selesaikan secara damai, tetapi

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dinilai cukup marak, terbukti

I. PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia, ada

BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI AH MENURUT PASAL 55 UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI AH

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

Oleh : Karmuji 1. Abstrak PENDAHULUAN

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

BAB I PENDAHULUAN. diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-

IS BAT WAKAF SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM ATAS

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BANK SYARI AH DENGAN NASABAH MELALUI PENGADILAN AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH

RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR AGAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 03 S/D 05 MEI

BAB I PENDAHULUAN. Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk. peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN. Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1. Abstraksi. Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

Aji Damanuri. PENDAHULUAN. Perkembangan lembaga keuangan shari ah, khususnya perbankan, 1 yang cukup luas dewasa ini juga diiringi dengan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UPAYA PENYELESAIAN PERKARA MELALUI PERDAMAIAN PADA PENGADILAN AGAMA, KAITANNYA DENGAN PERAN BP4 1. Oleh. Wahyu Widiana 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PASANG SURUT UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA: PROBLEM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

Masalah PERMA RI No. 14 Tahun 2016 Tentang : Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syari ah :

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENYELESAIAN SENGKETA PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA TESIS. Oleh

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN DAN TUGAS MEDIATOR DAN HAKAM DALAM TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM


SKRIPSI. Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta)

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

Makalah Rakernas MA RI

BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB I PENDAHULUAN. dalam malakukan perekonomian. Ekonomi syariah sendiri merupakan. perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

BAB IV. A. Analisa terhadap Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bangkalan. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi, bila didasarkan pada

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.

Pada prinsipnya asas pada Hukum Acara Perdata juga berlaku di PA Asas Wajib Mendamaikan Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, kec.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan. wewenang yang dimiliki Pengadilan Agama yaitu memeriksa, mengadili,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan

Positive. Personality. OLEH-OLEH DARI MEDAN hal. 4. Disiplin Tanpa Batas

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51

BAB III GAMBARAN UMUM POLEMIK DALAM ORGANISASI ADVOKAT DAN DESKRIPSI SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG NO. 73/HK.01/IX/2015 TENTANG ADVOKAT

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

PENGADILAN AGAMA POLEWALI

BAB I PENDAHULUAN Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, pengangkatan anak merupakan cara untuk mempunyai

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

PREDIKSI SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER IV TAHUN 2016/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM SENGKETA EKONOMI SYARIAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

A. Proses Mediasi dalam Pembatalan Pekawinan di Pengadilan Agama Lamongan (Studi Kasus Putusan Nomor 1087/Pdt.G/2012/Pa.Lmg)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

Transkripsi:

38 BAB III HAK OPSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI AH MENURUT PASAL 55 UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008 MENGENAI KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA A. Gambaran Umum Tentang Kompetensi Absolut peradilan Agama Secara umum, kekuasaan peradilan dapat dibedakan menjadi dua: kekuasaan relatif dan kekuasaan absolut. Kekuasaan relatif berkaitan dengan wilayah, sementara kekuasaan absolut berkaitan dengan orang (kewarganegaraan dan keagamaan seseorang) dan perkara. 54 Setelah pemberlakuan UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perluasan kompetensi absolut peradilan agama dilakukan. Dari segi susunan undangundang, ketentuan mengenai kekuasaan absolut peradilan agama dijelaskan dalam dua tempat, yaitu ketentuan yang bersifat umum yang ditetapkan pada bagian dua tentang kedudukan peradilan agama, dan ketentuan rincian yang ditetapkan pada bagian kekuasaan pengadilan. Dalam ketentuan mengenai kekuasaan absolut peradilan agama yang bersifat umum ditetapkan bahwa peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai 54 M. Yahya Harahap Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama. h. 139 39

39 perkara perdata tertentu. Sementara dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 ditetapkan bahwa peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Perubahan klausul (dari perkara perdata tertentu menjadi perkara tertentu) menunjukkan bahwa peradilan agama memiliki potensi untuk memeriksa dan memutus perkara perdata yang lebih luas. Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa hak milik benda secara umum adalah kekuasaan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Akan tetapi, apabila obyek yang disengketakan berkaitan dengan sengketa (seperti perkara wakaf dan waris) yang diajukan ke peradilan agama seperti diatur dalam pasal 9, UU Nomor 3 Tahun 2006, peradilan agama berwenang untuk menetapkan status kepemilikan benda yang disengketakan. 55 Dalam penjelasan UU tersebut ditetapkan bahwa: pertama, peradilan agama berhak mengadili dan memutus sengketa kepemilikan suatu benda sekaligus sengketa perdata lain, apabila obyek yang disengketakan berkaitan dengan sengketa ekonomi syariah yang diajukan ke peradilan agama, dan jika pihak-pihak yang bersengketa memeluk agama Islam; dan kedua, pemberian kewenangan tersebut berkaitan dengan prinsip penyelenggaraan peradilan; yaitu 55 Dadan Muttaqien. Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia terhadap Perbankan Syari ah Pasca Disahkannya UU. 21 tahun 2008,h. 23

40 agar dapat menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan sengketa milik atau sengketa keperdataan lainnya. 56 Sedangkan kekuasaan peradilan agama yang rinci yang terdapat dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 adalah bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan, b. waris, c. wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat, g. infaq, h. shadaqah, dan i. ekonomi syariah. 57 Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang- Undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama dalam bidang ekonomi syariah. Berdasarkan pasal 49 huruf (1) UU No. 3 Tahun 2006 56 Ibid, h. 24 57 Ibid, h. 25

41 ditegaskan bahwa, Peradilan Agama memiliki kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk ekonomi syariah. Dengan adanya kewenangan dalam memutuskan perkara syariah, maka peran dari Peradilan Agama akan bertambah luas. Karena ekonomi syariah berhubungan dengan disiplin ilmu ekonomi, sehingga para hakim di Peradilan Agama harus menguasai tentang ilmu ekonomi syariah disamping ilmu hukum formil yang dimiliki selama ini. Hal tersebut sangat rasional sebab ketika diterapkan UU tersebut dalam lingkungan Peradilan Agama masih ada para Hakim yang belum memahami dan mengetahui hukum ekonomi syariah. Selain itu implikasinya adalah dalam klausal akad-akad pembiayaan bank syariah harus dilakukan pendataan.sehingga Bank Syariah tidak lagi menyebutkan Pengadilan Negeri (PN) sebagai tempat penyelesaian perkara sengketa dalam bisnis syariah. 58 Dalam hal ini Bank Syariah agar mengubah klausal akad-akad pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah selama ini. Sehingga mengenai ketentuan perkara dalam ekonomi syariah bisa diselesaikan melalui Peradilan Agama bukan Pengadilan Negeri sebagai eksekusinya. Tetapi dengan adanya UU tersebut menjadikan polemik tentang keberadaan Basyarnas (Badan Abritase Syariah Nasional) yang selama ini bertugas dalam menyelesaikan perkara-perkara tentang ekonomi syari ah. 58 Abdul Gani Abdullah. Solusi Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari ah Menurut Pasal 49 UU no. 3 tahun 2006.h. 21

42 Apakah lembaga tersebut tetap eksis atau dibubarkan. Fenomena Abritase dengan keberadaan UU tersebut hingga kini masih dalam perdebatan yang sangat panjang. Bagi mereka yang sepakat tetap eksisnya Basyarnas mengusulkan sebuah mekanisme yang harus dibicarakan secara langsung kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga yang mendirikan Basyarnas. B. Gambaran Umum Badan Arbitrase Syari ah Nasional Pada tahun 1993 Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang sekarang BASYARNAS dibentuk sebagai salah satu upaya untuk melakukan penyelesaian sengketa di bidang mu amalat khususnya perekonomian syariah. Berdirinya BAMUI ini dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap permasalahan hukum yang mungkin timbul akibat penerapan hukum mu amalah oleh LKS yang pada waktu itu telah berdiri. 59 Meskipun telah ada lembaga peradilan, sering kali lembaga arbitrase menjadi alternatif untuk menyelesaikan suatu sengketa. pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di situ dinyatakan, Salah satu wewenang PA adalah menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Yang termasuk bidang ekonomi syariah tak hanya perbankan syariah, tapi juga lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah dan banyak bidang 59 Andi Syamsu Alam. Kebijakan Mahkamah Agung Terkait Dengan Kompetensi Peradilan Agama, h. 13

43 lainnya. Pendapat tersebut direspon positif dari berbagai kalangan terutama dari pihak Basyarnas, bahkan mengusulkan kelak ada pengadilan niaga syariah yang khusus menangani masalah kepailitan yang menghimpit perbankan dan lembaga ekonomi syariah. Selain itu MA perlu membuat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) soal wewenang PA dalam mengeksekusi putusan Basyarnas. Pada awalnya para wakil rakyat di Senayan merevisi UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lalu lahirlah UU No. 3 Tahun 2006. Dengan UU Peradilan Agama yang baru ini, ada banyak hal yang berubah. Namun perubahan yang paling mencolok terjadi pada Pasal 49. Dengan pasal itu, sejak Maret 2006 lalu, Peradilan Agama punya garapan baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi syariah. C. Kebijakan Mahkamah Agung Terkait dengan Kompetensi PengadilanAgama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari ah Salah satu ketentuan yang disorot adalah Pasal 55 Ayat (1) yang mengatur tentang tempat penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pasal itu menyebutkan Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun, ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal tersebut membuka peluang penyelesaian sengketa di tempat lain. Syaratnya tempat penyelesaiannya telah diperjanjikan oleh para pihak sebelumnya dalam akad.

44 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyebutkan secara operasional penyelesaian sengketa yang bisa dipilih oleh para pihak, Yakni: 1. Musyawarah 2. Mediasi perbankan 3. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/atau 4. Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan huruf d ini dianggap bias menjadi persoalan di kemudian hari. 60 Hakim Agung Abdul Gani Abdullah menyadari betul hal tersebut. Pasal itu contradictio in terminis (berlawanan arti), ujarnya kepada hokum online, Rabu (29/4). Di satu sisi, seluruh sengketa diselesaikan di pengadilan agama (PA), tapi di sisi lain membuka kesempatan kepada pengadilan negeri (PN). Padahal keduanya memiliki kompetensi absolut berbeda. Abdul Gani memprediksi persoalan ini bisa menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga peradilan. Kemungkinan akan terjadi sengketa wewenang. Di satu sisi kewenangan PA. Tapi karena akad yang mereka perjanjikan, bisa menjadi kewenangan PN, Meski mengakui ada dualisme, Abdul Gani meminta agar para stakeholders (Pengambil Keputusan) tak perlu panik. Itu bisa diserahkan ke MA, tuturnya. Salah satu kewenangan MA dalam UU Mahkamah Agung adalah 60 Dadan Muttaqien. Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia terhadap Perbankan Syari ah Pasca Disahkannya UU. 21 tahun 2008.h. 12

45 memutus bila ada sengketa kewenangan antar peradilan. Peranan inilah yang akan dimainkan oleh MA. Hakim MA bisa menetapkan hukum. Yang benar yang mana. Nanti bisa jadi yurisprudensi. 61 Sampai saat ini memang belum ada perkara sengketa perbankan syariah yang masuk ke MA. Namun, Abdul Gani berpendapat seharusnya penyelesaian sengketa perbankan syariah hanya berada di tangan pengadilan agama. Mantan Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Perbankan Syariah Harry Azhar menyadari adanya kesalahan. Namun, ia buru-buru mengklarifikasi bahwa yang mempunyai kekuatan hukum adalah isi pasal, bukan penjelasan. Yang mempunyai kekuatan hukum adalah bunyi pasal, bukan penjelasan. Jangan anda balik-balik begitu, tegasnya. Bila penjelasan Harry seperti ini, berarti yang berhak menangani sengketa perbankan syariah hanya pengadilan agama. Memenuhi harapan masyarakat pasca disahkannya UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syari ah mengenai kompetensi absolute peradilan agama. Maka berikut ini di upayakan bagaimana kebijakan Mahkamah Agung terkait dengan kompetensi absolut peradilan agama. Mengapa masalah ini timbul? Hal ini biasa dijawab, adalah akibat dari bunyi pasal 55 UU no 21 tahun 2008 tentang perbankan syari ah, yakni Pasal 55 sebagai berikut: (1) Penyelesaian sengketa perbankan syari ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama 61 ibid

46 (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syari ah. Menurut panitia seminar sosialisasi undang-undang no.21 tahun 2008 tentang perbankan syari ah, hal ini sangat substansial untuk mendapat pemecahan dari pihak yudikatif(mahkamah Agung),regulator perbankan syari ah (bank Indonesia), dan akademisi sebagai pencetak SDM, maka panitia menjalin kerjasama dengan pihak Mahkamah Agung, dan hal ini disambut baik. D. Kebijakan Mahkamah Agung Salah satu yang sangat krusial pada saat berlangsungnya rakernas Mahkamah Agung pada bulan September tahun 2008 yang lalu di Jakarta adalah masalah ini,sehingga di agendakan untuk di bahas. Oleh wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Ibu Mariana Sutadi, SH. sebagai pejabat yang berkompeten mengenai masalah ini, dihadapan forum rakernas meminta diberi waktu berdo a untuk mendapat petunjuk dari Allah swt, agar dapat diselesaikan secara tepat. Pada forum rakernas ini ketua muda perdata, bapak Atja Sonjaya SH mendesak agar persoalan ini segera diselesaikan, sebab akan menjadi bom waktu yang akan menyulitkan Mahkamah Agung.

47 Pada forum rapat bulan oktober 2008 tersebut, muncul satu hal lagi soal pendaftaran dan eksekusi putusan Basyarnas (badan arbitrase syari ah nasional),sebab menurut ketentuan undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa, yang berwenang untuk melakukan pendaftaran dan eksekusi adalah lingkungan peradilan umum. 62 Hal ini menjadi amat penting sebab fatwa-fatwa Dewan Syari ah Nasional (DSN) selalu ditutup dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa mengenai hal ini diselesaikan melalui musyawarah dan jika melalui musyawarah tidak berhasil maka akan diselesaikan oleh Basyarnas. Oleh karena pendaftaran dan eksekusi sifatnya adalah hukum acara yang diatur oleh undang-undang No. 30 tahun 1999, maka menurut pasal 54 undangundang No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.3 tahun 2006, hukum acara yang berlaku pada peradilan agama adalah hukum acara yang berlaku pada peradilan umum. Karena itu kata peradilan umum pada hukum acara dimaksud harus dibaca peradilan agama. Bagaimana supaya hal ini dapat diketahui dan dilaksanakan oleh peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung, maka di sepakati untuk mengeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung). Pada tanggal 10 Oktober tahun 2008 keluarlah SEMA No. 8 tahun 2008 yang satu minggu sesudah lahirnya langsung disosialisasikan ke seluruh Indonesia 62 Syamsu Alam, Kebijakan Mahkamah Agung Terkait Kompetensi Peradilan Agama, UII Press, hal 30, tahun 2009.

48 dengan menggunakan anggaran yang telah disiapkan oleh Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag). Adapun tim yang mensosialisasikan hal-hal diatas ke seluruh Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Mariana Sutadi, SH 2. H. Atja Sonjaya, SH 3. H. Iskandar Kamil, SH 4. H. Bahauddin Qoudri, SH 5. Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH (dari tim k) 6. Dr. H. Abdurrahman, SH, MH 7. Para Hakim Agung dari Tim E Pasal 79 undang-undang No. 14 tahun 1985 menetapkan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Agung mempunyai sekelumit kekuasaan legislative yang dapat dianggap sebagai suatu pelimpahan kekuasaan dari pembuat undang-undang, yaitu kekuasaan untuk membuat aturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk melengkapi hukum acara.tapi masih diperlukan tambahan untuk melengkapinya agar supaya peradilan berjalan dengan baik.hal ini disebut fungsi mengatur (regelende functie) Mahkamah Agung.

49 Pada buku cetak biru pembaharuan Mahkamah Agung RI, ditegaskan ada enam fungsi Mahkamah Agung Menurut tap MPR No. III/1978 dan undangundang No. 14 tahun 1985, Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi yaitu: 1. Fungsi mengadili, yaitu memeriksa dan memutus perkara permohonan kasasi dan peninjauan kembali, dan mengadili sengketa perampasan kapal asing. 2. Fungsi menguji peraturan perundang-undangan, yaitu untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 3. Fungsi pengaturan, yaitu untuk mengisi kekosongan hukum. 4. Fungsi memberi nasihat dan pertimbangan hukum,yaitu memberikan nasihat hukum kepada presiden dalam pemberhentian dan penolakan grasi dan rehabilitasi serta memberi pertimbangan hokum ke lembaga tinggi Negara lain. 5. Fungsi membina dan mengawasi, yaitu membina dan mengawasi peradilan dan hakim di bawahnya serta mengawasi notaris dan penasihat hokum. 6. Fungsi administrasi, yaitu mengelola administrasi, keuangan dan organisasinya sendiri. 63 E. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari ah 63 Kumpulan makalah hasil seminar parahakim agama di jogjakarta, 7februari 2008.seminar tentang solusi penyelesaian sengketa ekonomi syari ah, di UII.

50 Karena belum ada hukum materiil untuk menjadi dasar dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari ah maka Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2008 tanggal 10 September 2008 tentang kompilasi hukum ekonomi syari ah. Buku kompilasi hokum ekonomi syari ah ini telah disebarkan ke seluruh Indonesia pada saat berlangsungnya rakernas Mahkamah Agung di Jakarta pada bulan September 2008. Pada setiap pengadilan agama dan Mahkamah syari ah telah disiapkan satu majelis yang setiap saat siap untuk menyelesaikan jika muncul perkara ekonomi syari ah. demikian pula pada pengadilan tinggi agama dan Mahkamah syari ah propinsi telah disiapkan satu majelis untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari ah di tingkat banding. Di berbagai daerah telah masuk sengketa ekonomi syari ah termasuk perbankan syari ah dan telah diputus dengan baik. mungkin penyelesaiannya sudah diterima dengan baik, sebab diantar puluhan perkara itu hanya satu perkara yang dikuasai yakni dari Pengadilan Agama Tinggi Sumatera Barat. F. Sengketa Ekonomi Syari ah Hal ini juga dipersoalkan, apakah sengketa pada lembaga keuangan syari ah saja yang disebut sengketa ekonomi syari ah? tentang hal ini dijawab oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH, Sip, M. Hum bahwa yang dimaksud sengketa ekonomi syari ah dan menjadi kewenangan pengadilan agama adalah

51 1. Sengketa di bidang ekonomi syari ah antar lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari ah dengan nasabahnya. 2. Sengketa di bidang ekonomi syari ah antara sesame lembaga keuangan dan lembaga pembiyaan syari ah. 3. Sengketa dibidang ekonomi syari ah antara orang-orang yang beragama islam,yang akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari ah. Sengketa perbankan syari ah untuk menyongsong masa depan penyelesaian sengketa perbankan syari ah dipandang perlu adanya pertemuan antar pihak Mahkamah Agung dengan kalangan perbankan syari ah, Basyarnas dan kalangan notaries. Diharapkan pertemuan ini difasilitasi oleh Ditjen Badilag dalam waktu yang tidak lama, agar semua pihak mempunyai persepsi yang sama tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari ah. Pihak peradilan agama sendiri agar mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk memikul tanggung jawab ini. Masalah sengketa ekonomi seringkali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga masalah warisan masalah ini sering kali muncul karena adanya salah satu ahli waris yang merasa tidak puas dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia

52 yang berkeinginan untuk selalu mendapatkan yang lebih dari apa yang telah diperolehnya. 64 Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, para ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan guna mencapai tujuannya, baik melalui jalan hukum maupun dengan jalan melawan hukum. Jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan melawan hukum, sudah tentu ada sanksi hukum yang menanti para pihak yang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan. Masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Terutama di dalam masalah warisan, sering kali putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain. Hak opsi diperbolehkan dalam masalah pembagian warisan, sebab ada dua sistem hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menentukan pembagian warisan, yaitu hukum Islam dan hukum adat. Dua sistem hukum itu mempunyai perbedaan yang prinsip, oleh karena itu ada dua lembaga yang berwenang untuk memutus apabila terjadi sengketa waris. Untuk hukum Islam yang berwenang 64 Dadan Muttaqien, Politik Hukum Pemerintah Republik Indonesia terhadap Perbankan Syari ah,uii press, hal 23, tahun 2009.

53 adalah Pengadilan Agama, sedang untuk hukum adat yang berwenang adalah Pengadilan Negeri. Ketentuan pembagian warisan dari dua sistem hukum tersebut seringkali mempunyai perbedaan, maka terjadi pilihan hukum yang bisa digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah pembagian warisan. Masalah hak opsi ini bisa menjadi masalah baru dalam pembagian harta warisan, sebab para pihak cenderung memilih hukum sesuai dengan kepentingannya sendiri, yaitu hukum yang bisa memberikan peluang untuk mendapatkan pembagian warisan yang lebih menguntungkan dirinya. Jika para pihak berpendapat dengan sadar, nilai-nilai hukum peninggalan Hindia Belanda lebih adil, itulah yang akan diterapkan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Jika hukum waris Islam yang dipandang lebih adil, undangundang tidak melarang. Sepenuhnya terserah kepada mereka untuk menentukan pilihan. Hakim tidak berwenang untuk memaksakan pilihan hukum tertentu. Pemaksaan dari pihak hakim adalah tindakan yang melampaui batas kewenangan dan dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan undang-undang. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan serta meminta agar pembagian dinyatakan batal dan tidak mengikat. Persoalan pilihan hukum (hak opsi) itu timbul dalam kaitan dengan adanya peluang bagi masyarakat pencari keadilan yang ingin menyelesaikan perkara warisan. Peluang ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum dan Pasal 49 UU No. 7 Th. 1989, bisa menimbulkan dua akibat, yaitu berupa pada

54 waktu yang sama para pihak dapat mengajukan gugatan atau bisa juga para pihak sepakat untuk memilih satu sistem hukum untuk menyelesaikan masalah warisannya. Dalam pilihan hukum ini, tidak akan menjadi masalah jika semua pihak sepakat untuk memilih salah satu hukum yang akan dijadikan dasar dalam memecahkan masalah kewarisan, dan mereka juga mau menerima dengan sadar konsekuensi yang timbul dari pilihan hukum yang mereka lakukan. Akan tetapi akan menjadi masalah, bila masing-masing pihak memilih hukum yang berbedabeda. Menurut agama yang dianut oleh masing-masing pihak, maka Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan masalah warisan ada dua, yaitu bagi pihak yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama, sedangkan bagi pihak yang beragama selain Islam adalah Pengadilan Negeri. Pihak yang beragama Islam ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Agama, yang berarti menggunakan dasar Hukum Islam, sedangkan pihak yang beragama selain Islam ingin masalah warisannya diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, yang berarti menggunakan dasar Hukum Perdata. Ada misal dua orang yang satu beragama Islam dan satunya lagi beragama non Islam, yang beragama non Islam sudah mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri, akan tetapi oleh Pengadilan Negeri tidak diterima dengan alasan bahwa pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Agama.

55 Untuk menentukan siapa yang berwenang mengadili kasus ini adalah wewenang Pengadilan Negeri. Oleh karena itu pertama kali para pihak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri. Setelah Pengadilan Negeri memutuskan Pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan perkara itu, barulah masalah waris itu diselesaikan. 65 Berdasarkan data pra penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa Pengadilan Negeri memutuskan bahwa masalah sengketa warisan tersebut merupakan wewenang Pengadilan Agama, karena adanya surat wasiat yang telah dibuat berdasarkan syariat Islam. Putusan diberikan sesuai dengan ketentuan Pasal 176 KHI, yang menentukan bahwa..bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu anak perempuan. Upaya membangun hukum nasional Indonesia yang mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, menuju tercapainya keadilan hukum dilandasi oleh asas kegunaan (doelmatigheid) dan landasan hukum (rechmatigheid) yang jelas diharapkan tercapai apa yang menjadi cita-cita hukum yakni keadilan (Gerechtigheid), kegunaan (Zwechmassigheid) dan kepastian hukum (Rechsicherheid). 66 Realitas perubahan terhadap tuntutan terhadap pencari keadilan yang bersumber pada ketentuan normative/formalistic, seiring dengan kebutuhan hukum yang hidup di tengah masyarakat yang plural di Indonesia harus kita terima dan dicarikan jalan keluarnya untuk dapat terwujud keadilan tersebut. 65 Ibid 66 Abd. Ghani, Solusi Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari ah,uii press, hal 32

56 Apresiasi masyarakat dan political will penguasa mempunyai dampak yang signifikan terhadap eksistensi dan perkembangan pengadilan (baik sebagai institusi hukum maupun sebagai institusi sosial)pengadilan Agama pasca Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dari sekian terobosan dan perubahan yang dibawa oleh UU No. 3/2006, kewenangan terhadap sengketa ekonomi syari ah mendapat perhatian extra dari warga pengadilan agama. Kesiapan aparat pengadilan agama untuk menyambut kewenangan baru tersebut cukup optimal. Malah tidak berlebihan jika dikatakan telah terjadi demam ekonomi syariah. Hal tersebut dapat dimaklumi sebagai respons warga pengadilan agama terhadap keraguan sementara pihak tentang kesiapan aparat pengadilan agama menangani sengketa ekonomi syari ah. Akan tetapi, kewenangan terhadap sengketa milik yang juga merupakan kewenangan baru pengadilan agama berdasarkan UU No. 3/2006, kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Dalam pengamatan penulis, masih ada di antara hakim yang belum memahami sengketa milik secara benar. Mereka belum dapat mengaplikasikan perbedaan pengertian sengketa milik versi UU No. 7/1989 dengan sengketa milik versi UU No. 3/2006. Akibatnya terjadi kesalahan dalam penerapan hukum.