BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

dokumen-dokumen yang mirip
KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Jl. Jend. Ahmad Yani No.30 KARAWANG Telp. (0267) Fax. (0267) P U T U S A N

BAB VII PERADILAN PAJAK

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN LEASING KENDARAAN BERMOTOR MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) Supriyanto & Triwanto ABSTRAK

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821, ps. 6 huruf a. Perlindungan hukum..., Dea Melina Nugraheni, FHUI, 2009 Universitas Indonesia

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti turut mendukung perluasan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PENGATURAN UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

JURNAL. Peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen Melalui Proses Mediasi di Yogyakarta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tanggal 23 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG

MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Oleh : Made Dwi Pranata A.A. Sri Indrawati Dewa Gede Rudy Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. efektif hanya dalam kondisi jika Pelaku Usaha dan Konsumen mempunyai

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Buka, Informasi Publik!

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen Konsumen yang merasa hak-haknya telah dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen ke sekretariat BPSK. 32 Pelaku usaha juga dapat melakukan hal yang sama. Surat permohonan tersebut dapat berupa permohonan secara tertulis atau secara lisan. Permohonan yang diajukan oleh ahli waris dan kuasanya dilakukan bilamana: a. Konsumen yang bersangkutan telah meninggal dunia; b. Konsumen sakit atau telah lanjut usia, sehingga tidak dapat diajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP); c. Konsumen belum dewasa sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; d. Konsumen warga negara asing. 33 32 Pasal 15 ayat (1) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 33 Pasal 15 ayat (3) sub d, Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan

Permohonan yang dibuat secara tertulis diberikan bukti tanda terima oleh sekretariat BPSK kepada pemohon. 34 Sedangkan permohonan yang dibuat secara tidak tertulis harus dicatat oleh sekretariat BPSK dalam suatu formulir yang disediakan dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima. 35 Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik yang tertulis maupun tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. 36 Pengaduan konsumen dapat dilakukan di tempat BPSK yang terdekat dengan domisili konsumen. 37 Permohonan penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya memang diajukan secara tertulis dengan memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan, karena dapat dijadikan tanda bukti bahwa permohonan sudah diajukan. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen harus memuat secara benar dan lengkap mengenai: a. nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri; b. nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c. barang atau jasa yang diadukan; d. bukti perolehan (bon, faktur, kuitansi dan dokumen bukti lain); 34 Pasal 15 ayat (4), Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK 35 Pasal 15 ayat (5) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK 36 Pasal 15 ayat (6) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 37 Pasal 2 Keppres No. 90 tahun 2001.

e. keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut; f. saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh; g. foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan (jika ada). 38 Terhadap formulir pengaduan penyelesaian sengketa konsumen konsumen dilakukan penelitian yang meliputi penelitian kelengkapan formulir pengaduan dan bukti-bukti pendukung. 39 Data pengaduan yang diterima secara benar dan lengkap diajukan oleh kepala sekretaiat kepada ketua BPSK, selanjutnya ketua BPSK membuat surat panggilan kepada tergugat dan pengguagat agar hadir pada sidang pertama. Ketua BPSK juga harus membentuk majelis dan menunjuk panitera, hal ini harus dilakukan sebelum sidang pertama. Bagi pengaduan yang tidak lengkap, pengaduan tersebut dikembalikan kepada pengadu untuk dilengkapi. 40 Pasal 17 Kepmenprindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa ketua BPSK menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen, apabila permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Kepmenperindag RI No. 350 Tahun 2001 atau permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK. Ketentuan Pasal 17 tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Pedoman Operasional BPSK yang dikelurkan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan, yaitu menjadi: 41 a. Setiap permohonan secara tertulis tidak dapat diterima, apabila tidak disertai dengan bukti-bukti secara benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Kepmenperindag RI No. 350 Tahun 2001. 38 Pasal 16 Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. 39 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 153. 40 Ibid., 41 Ibid.,

b. Setiap permohonan pengaduan secara lisan tidak dapat diterima bilamana tidak mengisi dan menyerahkan formulir pengaduan pada angka 1 di atas. Formulir dibuat dalam rangkap 4. c. Pengaduan yang bukan merupakan kewenangan BPSK tidak dapat diterima meskipun penggugatnya konsumen akhir, adalah: 1) Tergugatnya adalah lembaga atau instansi pemerintah baik sipil maupun militer (contohnya dalam masalah SIUP, KTP, sertifikat, penyalahgunaan kekuasaan, dan lain-lain). 2) Barang atau jasa yang dikonsumsi, secara hukum dilarang untuk dikonsumsi atau diperdagangkan (contohnya dalam masalah narkoba, barang purbakala, jasa kenikmatan yang dilarang, dan lain-lain). 3) Kasus pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha. d. Pengadu yang bukan konsumen akhir atau gugatan joinder tidak dapat diterima oleh BPSK. e. Pelaku usaha tidak boleh mengajukan gugatan kepada konsumen melalui BPSK.

SKEMA 2.1 Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK B. Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa Konsumen Diaturnya ketentuan mengenai pembatasan jangka waktu dalam UUPK yang menyangkut tentang penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK merupakan solusi yang cukup baik untuk menghindari proses penyelesaian sengketa yang berlarut-larut atau mengendap di lingkungan BPSK. Pasal 55 UUPK menyebutkan bahwa BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat

dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Namun berdasarkan wawancara 42 dengan Ibu Dana yang merupakan anggota sekretariat BPSK Kota Medan, menyatakan bahwa penerapan jangka waktu ini tidak selalu dapat terlaksana sebagaimana mestinya karena dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja BPSK belum dapat mengeluarkan putusan dikarenakan dalam beberapa perkara sengketa konsumen, para pihak tidak selalu telah siap dengan alat bukti. Pada Pasal 56 Ayat (1) ditentukan bahwa dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UUPK pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut, Pasal 56 Ayat (2) menentukan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Ketentuan Pasal 56 Ayat (1) yang menetapkan jangka waktu pelaksanaan putusan 7 (tujuh) hari, lebih singkat daripada jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) yaitu 14 (empat belas) hari, merupakan suatu kekeliruan. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin pelaku usaha melaksanakan putusan jika secara hukum belum dapat dianggap menerima putusan, karena belum habis masa untuk mengajukan keberatan, yaitu 14 (empat belas) hari. 43 Pasal 41 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa: 42 Wawancara pada tanggal 8 Agustus 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 11.00 WIB. 43 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (PT. RajaGrafindo Persada), Jakarta, 2004, hal.262.

(1) Ketua BPSK memberitahukan putusan majelis secara tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. (2) Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK. (3) Konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambatlambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan. (4) Pelaku usaha yang menyatakan menerima keputusan BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK. (5) Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) setelah batas waktu dalam ayat (4) dilampaui, maka dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui. (6) Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud ayat (5), maka BPSK menyerahkan putusan

tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Pasal 56 Ayat (2) UUP K para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan BPSK. Atas pengajuan keberatan dimaksud, Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. 44 Atas putusan Pengadilan Negeri tersebut, para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari. 45 Mahkamah Agung RI wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. 46 C. Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Kepaniteraan Susunan majelis BPSK adalah ganjil yaitu minimal 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud Pasal 54 ayat (2) UUPK yang salah satu anggotanya wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum. 47 Pasal 54 ayat (4) UUPK memberikan kewenangan kepada menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk membuat ketentuan teknis tentang 44 Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 45 Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 46 Pasal 58 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 47 Pasal 18 Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

Pelaksanaan Tugas Majelis BPSK di mana ketentuan yang dimaksud ialah Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2002. Setiap penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dilakukan oleh majelis yang dibentuk berdasarkan keputusan ketua BPSK dan dibantu oleh panitera. Jumlah anggota majelis BPSK harus ganjil dan minimal 3 (tiga) orang yang mewakili unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha yang salah satu anggotanya wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum. Ketua majelis BPSK ditetapkan dari unsur pemerintah. Jadi anggota majelis BPSK harus ada yang berpendidikan Sarjana Hukum (S.H) tidak peduli asal unsur yang diwakilinya, sedangkan ketua majelis BPSK harus dari unsur pemerintah, meskipun tidak berpendidikan Sarjana Hukum. 48 Dalam menjalankan tugasnya, majelis dibantu oleh seorang panitera. Panitera berasal dari anggota sekretariat BPSK yang ditunjuk dengan surat penetapan ketua BPSK. 49 Tugas panitera meliputi: 50 a. Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen. b. Menyimpan berkas laporan. c. Menjaga barang bukti. d. Membantu majelis menyusun putusan. e. Membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha. f. Membuat berita acara persidangan. g. Membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa konsumen. 48 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukumnya (PT. Citra Aditya Bakti), Jakarta, 2003, hal.31-32. 49 Pasal 19 ayat (1) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 50 Pasal 19 ayat (2) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan

Terdapat kewajiban pada ketua majelis BPSK atau anggota majelis BPSK atau panitera untuk mengundurkan diri, baik atas permintaan ataupun tanpa permintaan ketua majelis BPSK atau anggota majelis BPSK atau pihak yang bersengketa, jika terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami-istri meskipun telah bercerai, dengan pihak yang bersengketa. Khusus panitera, diminta ataupun tidak mengundurkan diri oleh ketua majelis BPSK atau anggota majelis BPSK atau pihak yang bersengketa, sudah pada tempatnya ia mengundurkan diri karena alas an tersebut, apalagi sudah ditegaskan adanya kewajiban tersebut. Jadi, diminta ataupun tidak oleh pihakpihak yng telah ditentukan secara limitatif itu, panitera harus tetap mengundurkan diri jika dipenuhinya alasan tersebut. 51 D. Proses Pengambilan Keputusan Sengketa Konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK tidak berjenjang. Para pihak dibebaskan untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang mereka inginkan. Setelah para pihak menyetujui cara apa yang akan digunakan, maka para pihak wajib mengikutinya. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara yang ada di BPSK, maka majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan yang ada. 51 Yusuf Shofie, Op.cit., hal. 32-33.

SKEMA 2.2 Proses Pemilihan Metode Penyelesaian Sengketa 1. Melalui Cara Konsiliasi Dalam Pasal 1 butir 9 Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/KEP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK mendefinisikan Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Konsiliasi adalah suatu bentuk proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pada proses tersebut dilibatkan pihak lain di luar pihak yang sedang bersengketa, pihak lain tersebut bertindak sebagai konsiliator yang bersikap pasif.

Pada sengketa konsumen, yang bertindak sebagai konsiliator adalah majelis yang telah disetujui oleh BPSK. Tujuan dilibatkannya konsiliator adalah agar dapat dengan mudah tercapai kata sepakat atas pemasalahan yang terjadi. Adanya konsiliator yang memilliki latar belakang pengetahuan mengenai konsumen tentunya akan dapat mempermudah para pihak untuk mencapai kata sepakat. 52 Konsiliator dapat mengusulkan solusi penyelesaian sengketa, tetapi tidak berwewenang memutus perkaranya. Dalam hal ini majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya. Terhadap usulan konsiliator, para pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa. Proses dan tahapan yang harus dilalui oleh para pihak yang telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui konsiliasi, sebagai berikut: a. Konsumen yang merasa dirugikan atau ahli waris atau kuasanya atau wali, terlebih dahulu harus mengajukan pengaduan untuk menyelesaikan sengketa kepada BPSK, baik secara lisan maupun secara tertulis; b. Setelah segala persyaratan untuk membuat pengaduan dipenuhi oleh konsumen, Sekretariat BPSK melaporkan pengaduan tersebut kepada ketua BPSK; c. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari, ketua BPSK memanggil pelaku usaha secara tertulis dengan melampirkan salinan pengaduan; 53 52 Jimmy Joses Sembiring, Op.cit., hal. 181. 53 Ibid.,

d. Surat panggilan yang ditujukan kepada pelaku usaha berisikan tentang hari, jam, tanggal dan tempat persidangan sengketa konsumen dan terhadap panggilan tersebut, pelaku usaha wajib untuk memberikan surat jawaban atas aduan tersebut dan menyampaikan surat jawaban tersebut pada hari sidang pertama; e. Acara pemeriksaan dilakukan oleh majelis yang terdiri atas tiga orang yang merupakan unsur dari pemerintah, pelaku usaha dan konsumen dengan dibantu oleh seorang panitera; f. Pada pemeriksaan tersebut, majelis bersikap pasif dan hanya memberikan pendapat atas pertanyaan dari para pihak yang bersengketa mengenai peraturan-peraturan dan ketentuan perundangn-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen; g. Pelaku usaha harus dapat mengajukan alat-alat bukti untuk memperkuat argument masing-masing. Alat-alat bukti tersebut dapat berupa barang, keterangan dari para pihak, keterangan saksi dan/atau saksi ahli, surat maupun dokumen lain yang berhubungan dengan sengketa; h. Proses persidangan diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang bersengketa sehingga para pihaklah yang menentukan bentuk maupun jumlah dari ganti rugi. Apabila tercapai kesepakatan di antara para pihak, maka majelis akan membuat keputusan selambat-lambatnya 21 (dua puluh satu) hari sejak permohonan diterima;

i. Para pihak harus membuat perjanjian penyelesaian sengketa secara tertulis apabila tercapai kesepakatan di antara para pihak. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh seluruh majelis dan ketua majelis. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut. 54 Keputusan yang dibuat oleh majelis tersebut tidak memuat sanksi administratif. 55 2. Melalui Cara Mediasi Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. 56 Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya. Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peran penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi, jika 54 Pasal 37 Ayat (1) dan Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001. 55 Pasal 37 Ayat (3) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 56 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hal. 109.

pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi, dalam proses mediasi ini, mediator bertindak lebih aktif dengan memberikan nasihat, petunjuk,saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. 57 Pengalaman dan kemampuan mediator diharapkan dapat mengefektifkan proses mediasi di antara para pihak yang bersengketa. Seperti halnya dalam konsiliasi, pada proses mediasi ini, atas permintaan para pihak, mediator dapat meminta diperlihatkan bukti baik surat dan/atau dokumen lain yang mendukung dari kedua belah pihak. Atas persetujuan para pihak atau kuasanya, mediator dapat mengundang seorang atau lebih saksi atau saksi ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang terkait dengan sengketanya. 57 Kaukus: proses penyelesaian sengketa melalui mediasi di mana dalam hal-hal tertentu para pihak baik konsumen atau pelaku usaha masing-masing dimediasikan secara terpisah. Hal ini diperlukan jika para pihak sulit untuk didamaikan, lihat Ibid., hal. 110.

Jika proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. 58 Peran majelis BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi secara deskripsi, meliputi tugas sebagai berikut: a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b. Memanggil saksi dan saksi ahli apabila diperlukan; c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d. Secara aktif mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa; e. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut mengikat kedua belah pihak. Keputusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif. 58 Ibid.,

3. Melalui Cara Arbitrase Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa, adalah bentuk alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa sebelum berlitigasi. Dalam proses ini pihak bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan. 59 Dalam Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK mendefinisikan Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Dengan cara arbitrase ini, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Proses pemilihan majelis BPSK dalam cara arbitrase ditempuh melalui 2 (dua) tahap, yaitu: 60 a. Para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsure pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis BPSK; 59 Ibid., hal. 114. 60 Pasal 32 Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

b. Arbiter yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK dari unsure pemerintah sebagai ketua majelis BPSK. Jadi unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi ketua majelis. Prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dilakukan dengan 2 (dua) persidangan, yaitu persidangan pertama dan persidangan kedua. Prinsip-prinsip pada persidangan pertama, yaitu: a. Kewajiban majelis BPSK memberikan petunjuk tentang upaya hukum bagi kedua belah pihak. 61 b. Kewajiban majelis BPSK untuk mendamaikan kedua belah pihak. 62 Dalam hal tercapai perdamaian, maka hasilnya wajib dibuatkan penetapan perdamaian oleh majelis BPSK. 63 c. Pencabutan gugatan konsumen dilakukan sebelum pelaku usaha memberikan jawaban, dituangkan dengan surat penyataan, disertai kewajiban majelis mengumumkan pencabutan gugatan tersebut dalam persidangan. 64 d. Kewajiban majelis BPSK untuk memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak 65, yaitu: 61 Pasal 33 Ayat (1) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 62 Pasal 34 Ayat (1) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 63 Pasal 35 Ayat (3) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 64 Pasal 35 Ayat (1) dan Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 65 Pasal 34 Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan

1) Kesempatan yang sama untuk mempelajari berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya. 66 2) Pembacaan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha, jika tidak tercapai perdamaian. 67 Prinsip-prinsip pada persidangan kedua, yaitu: a. Kewajiban majelis BPSK untuk memberikan kesempatan terakhir sampai persidangan kedua disertai kewajiban para pihak membawa alat bukti yang diperlukan, bila salah satu pihak tidak hadir pada persidangan pertama. 68 b. Persidangan kedua dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak hari persidangan pertama. c. Kewajiban sekretariat BPSK untuk memberitahukan persidangan kedua dengan surat panggilan kepada para pihak. d. Pengabulan gugatan konsumen, jika pelaku usaha tidak datang pada persidangan kedua (verstek), sebaliknya gugatan digugurkan, jika konsumen yang tidak datang. 69 Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran akibat mengonsumsi barang yang diperdagangkan, 66 Pasal 33 Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 67 Pasal 34 Ayat (1) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 68 Pasal 36 Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan 69 Pasal 36 Ayat (3) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan

dan/atau kerugian konsumen atas jasa yang dihasilkan. 70 Manakala gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa pemenuhan: a. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam putusan dapat berupa: 1) Pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan. 2) Pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Ganti kerugian tersebut dapat pula ditujukan sebagai penggantian kerugian terhadap keuntungan yang akan diperoleh apabila tidak terjadi kecelakaan, atau kehilangan pekerjaan atau penghasilan untuk sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik yang diderita, dan sebagainya. b. Sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). 72 71 Sanksi administratif dapat dibebankan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap: 73 a. Tidak dilaksanakannya pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian 70 Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 71 Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 72 Pasal 40 Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001,, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. 73 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen (PT. Gramedia Pustaka Utama), Jakarta, 2003, hal.84.

barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen; b. Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan; c. Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketentuan ini berlaku baik terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa. Sanksi administratif yang pernah diputus oleh majelis BPSK Kota Medan adalah maksimal sebesar Rp. 5.000.000,-(lima juta rupiah). 74 Gugatan ganti kerugian secara perdata, tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan dari pelaku usaha. 75 Ganti kerugian yang dapat digugat oleh konsumen maupun yang dapat dikabulkan oleh majelis BPSK adalah ganti kerugian yang nyata/riil yang dialami oleh konsumen. Ganti kerugian berupa sanksi administratif adalah berbeda dengan ganti kerugian yang nyata/riil yang dialami konsumen yang digugat melalui BPSK. Majelis BPSK selain mengabulkan gugatan ganti kerugian yang nyata yang dialami konsumen juga berwenang menambahkan ganti kerugian berdasarkan sanksi administrasi tersebut. Besarnya ganti kerugian tersebut tergantung pada 74 Wawancara dengan Ibu Dana yang merupakan anggota Sekretariat BPSK Kota Medan tanggal 8 Agustus 2011 di Sekretariat BPSK Kota Medan pukul 11.00 WIB. 75 Pasal 19 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

nilai kerugian konsumen akibat memakai, menggunakan, atau memanfaatkan barang dan/atau jasa produsen atau pelaku usaha. Selama proses penyelesaian sengketa, alat-alat bukti barang atau jasa, surat dan dokumen keterangan para pihak, keterangan saksi dan/atau saksi ahli dan bukti-bukti lain yang mendukung dapat diajukan kepada majelis. Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK beban pembuktian ada pada pelaku usaha, namun pihak konsumen juga harus mengajukan bukti-bukti untuk mendukung gugatannya. Setelah mempertimbangkan pernyataan dari kedua belah pihak mengenai hal yang dipersengketakan dan mempertimbangkan hasil pembuktian serta permohonan yang diinginkan para pihak, maka majelis BPSK memberikan putusan.

SKEMA 2.3 Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Arbitrase