BAB V PENUTUP. Tradisi penjualan anak adalah suatu tradisi masyarakat di pulau Timor dengan tujuan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV TRADISI PENJUALAN ANAK DALAM PANDANGAN SOSIO-TEOLOGIS KRISTEN

TAHUN B - Pesta Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yusuf 28 Desember 2015

Pembaptisan Air. Pengenalan

KEBENARAN SEDERHANA untuk yang BARU PERCAYA. (Pertanyaan dan Jawaban)

Dalam pelajaran ini saudara akan mempelajari... Nama-namanya Peraturannya Tugasnya Masa depannya

LANGKAH-LANGKAH MENUJU PERTUMBUHAN ROHANI

Lesson 1 for April 4, 2015

PARTISIPAN : (Yang menjual anak) Nama : Alamat : Umur : Pekerjaan : Pendidikan : Jabatan dalam gereja/masyarakat :

2

Seri Kedewasaan Kristen (3/6)

Ragi orang Farisi & Saduki penyebab kebutaan dan ketimpangan pertumbuhan rohani kita

Kitab Mazmur : Kumpulan Tulisan Nubuatan

GEREJA KRISTEN NAZARENE PASAL-PASAL TENTANG IMAN

LANGKAH-LANGKAH MENUJU PERTUMBUHAN ROHANI

Bab Sembilan-Belas (Chapter Nineteen) Realitas dalam Kristus (In-Christ Realities)

Lesson 2 for October 14, 2017

7 Februari 2013 IBADAH PENYEMBAHAN. Written by Administrator Thursday, 07 March :33 - Last Updated Thursday, 07 March :36

KEBENARAN SEDERHANA untuk ORANG PERCAYA BARU (Pertanyaan dan Jawaban)

PENGENALAN AKAN ROH KUDUS

Tahun C Pesta Pembaptisan Tuhan LITURGI SABDA. Bacaan Pertama Yes. 40 :

SENIN, 01 JANUARI 2018 PK & WIB

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. dalam keluarga dengan orang tua beda agama dapat dipahami lebih baik.

Siapakah Yesus Kristus? (3/6)

Petrus mengajarkan bahwa berdusta kepada Roh Kudus juga berdusta kepada Allah.

Level 3 Pelajaran 5. PENGANIAYAAN Oleh Don Krow

Dikutip dari ALKITAB Terjemahan Baru (TB) LAI 1974

Man of God Transformation 2 Transformasi Manusia Allah 2 Holy Spirit Measures

Tujuan langsung dari penatalyanan adalah untuk memenuhi misi Allah dan menebus dunia. Allah ingin membuat prinsip penatalayanan menjadi suatu

1 Tesalonika 1. 1 Tesalonika 2

BAPTISAN ROH KUDUS. Yohanes 4 : 23 24

Siapakah Yesus Kristus? (2/6)

Belajar Dari Yesus Dan Masyarakat-Nya

Saya Dapat Menjadi Pekerja

OTORITAS ORANG PERCAYA

Siapakah Yesus Kristus? (5/6)

Level 3 Pelajaran 3. MUKJIZAT MEMULIAKAN ALLAH Oleh Andrew Wommack

BERDOA MENGGUNAKAN BAHASA ROH

oleh Gereja Iuhan Apayang Dilakukan untuk Allah

Pertanyaan Alkitab (24-26)

Seri Kedewasaan Kristen (2/6)

Kematian Yahushua: Membatalkan Hukum?

Siapakah Yesus Kristus? (4/6)

Dengarkan Allah Bila Saudara Berdoa

PELAYANAN ANAK. PELAYANAN ANAK Sesi 1: Menjangkau Anak-anak

GKI MENGALAMI PEMBARUAN BUDI Roma 12:1-2

Rela Menjadi Pekerja Kristus Matius 9:35 10:8

Seri Kedewasaan Kristen (6/6)

Level 2 Pelajaran 14

A. JEMAAT BERHIMPUN TATA IBADAH MINGGU, 30 JULI 2017 (MINGGU BIASA) POLA HIDUP KERAJAAN ALLAH

BAB IV ANALISA DATA. A. Analisa Makna Pernikahan di Gereja Bethany Nginden Surabaya. untuk menghasilkan keturunan. kedua, sebagai wujud untuk saling

LITURGI SABDA Bacaan pertama (Kej 9 : 8-15) Perjanjian Allah dengan Nuh sesudah ia dibebaskan dari air bah. Bacaan diambil dari Kitab Kejadian

Written by Administrator Wednesday, 09 February :45 - Last Updated Thursday, 10 February :12

Doa Bapa kami ( Matius 6 : 9 13 )

Seri Iman Kristen (6/10)

Revelation 11, Study No. 38 in Indonesian Language. Seri Kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No.38, oleh Chris McCann

IMAN YANG SUPERNATURAL IMAN YANG SUPERNATURAL Sesi 1: Bagaimana Bertumbuh Dalam Iman

LITURGI BULAN KELUARGA GMIT JEMAAT BET EL OESAPA TENGAH MINGGU, 01 OKTOBER 2017 TEMA: MENJADI KELUARGA YANG MENGGARAMI DAN MENERANGI

Tahun C Hari Minggu Biasa III LITURGI SABDA. Bacaan Pertama Neh. 8 : 3-5a

Rencana Allah untuk Gereja Tuhan

Imbuhanpatrick.wordpress.com

MARILAH KITA PELAJARI RENCANA KESELAMATAN MENURUT ALKITAB. Kasih Allah Untuk Orang Berdosa

KAJIAN SOSIO-TEOLOGIS TERHADAP TRADISI PENJUALAN ANAK DI JEMAAT GEREJA MASEHI INJILI TIMOR KODYAKUPANG SKRIPSI. Diajukan Kepada Fakultas Teologi

Menolak Roh Kudus. Mendukakan Roh Kudus. Memadamkan Roh Kudus. Menghujat Roh Kudus.

#10DAYSPRAYANDFAST18

Gereja Tunduk Kepada Roh Kudus

Revelation 11, Study No. 39 in Indonesian Language. Seri Kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 39, oleh Chris McCann

Bagaimana Berjalan Dalam Roh Bagian ke-3

BAB 4. Refleksi Teologis. dan kehidupan rohani setiap anggota jemaatnya tidak terkecuali anak-anak yang adalah

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya

TATA IBADAH HARI MINGGU XVI SESUDAH PENTAKOSTA

1Pet.5:1-4; Yeh.34:1-6; Yoh.10:11. Pdt. DR. Stephen Tong

A. JEMAAT BERHIMPUN TATA IBADAH MINGGU, 24 JUNI 2018 (MINGGU BIASA - HIJAU) DALAM BADAI TUHAN BERTINDAK

Jemaat EKKLESIA di DKI JAKARTA Jl. Kalibata Timur I No.41 Jakarta Selatan 12740

Tahun C Pesta Keluarga Kudus : Yesus, Maria, Yusuf LITURGI SABDA. Bacaan Pertama 1 Sam. 1:

Kalender Doa Oktober 2016

TATA GEREJA PEMBUKAAN

Bisa. Mengajar. Merupakan Pelayanan

Lesson 4 for January 28, 2017

BAB 27 Berdiam Diri dalam Pertemuan- Pertemuan Jemaat

Seri Iman Kristen (7/10)

Pakailah Firman Allah Bila Saudara Berdoa

Apakah Allah Akan Mengatakan Kepadaku Apa yang Harus Kulakukan Selanjutnya?

LITURGI MINGGU GEREJA KRISTEN INDONESIA JATIMURNI MINGGU, 3 SEPTEMBER 2017 Tema: MENYELAMI PEMIKIRAN ALLAH JEMAAT BERHIMPUN

Peperangan Rohani dan Kenakanlah Seluruh Senjata Allah XXII. Berdoa Di Dalam Roh II. Efesus 6: Lukas 18:9-13. Khotbah oleh Ev Peter Yoksan

Level 2 Pelajaran 11

o Menerangkan bagaimana sikap anak-anak terhadap kekuasaan mempunyai akibat yang luas di luar rumah.

Roh Kudus. Penolong dan Penghibur HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

Minggu, 27 Oktober 2013

MARILAH KITA PELAJARI RENCANA KESELAMATAN MENURUT ALKITAB GEREJA YANG YESUS DIRIKAN

GEREJA PROTESTAN di INDONESIA bagian BARAT (G P I B) TATA IBADAH HARI KENAIKAN YESUS KRISTUS

*MAKNA PERJAMUAN KUDUS. Pdm. Freddy Siagian,

A. JEMAAT BERHIMPUN TATA IBADAH MINGGU, 14 JANUARI 2018 (MINGGU SESUDAH EPIFANI II - HIJAU) MERESPON PANGGILAN TUHAN, BERSAKSI BAGI-NYA

Jemaat EKKLESIA di DKI JAKARTA Jl. Kalibata Timur I No.41 Jakarta Selatan TATA IBADAH HARI MINGGU

MARILAH KITA PELAJARI RENCANA KESELAMATAN MENURUT ALKITAB BANGUNLAH, BERILAH DIRIMU DIBAPTIS (2)

Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 2, oleh Chris McCann. Selamat malam dan selamat datang di Pemahaman Alkitab EBible

ROH KUDUS, FIRMAN DAN DOA

Apa yang Seharusnya Kita Doakan?

Surat 2 Yohanes (Bagian 14) Sunday, February 14, 2016

HUBUNGAN HUKUM TAURAT DENGAN ORANG PERCAYA PERJANJIAN BARU

Transkripsi:

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Tradisi penjualan anak adalah suatu tradisi masyarakat di pulau Timor dengan tujuan memperoleh kesehatan dan keselamatan bagi anak dan orang tua yang memiliki kemiripan wajah dengan sang anak. Masyarakat Timor yang melakukan tradisi ini percaya bahwa kemiripan wajah yang identik antara anak dengan salah satu orang tua menyebabkan sakit yang tak kunjung hilang dan dapat mengakibatkan kematian khususnya bagi orang tua, juga percekcokan atau ketidakharmonisan hubungan anak dan orang tua karena watak yang bertolak belakang. Penjualan disini bukanlah sebuah transaksi bisnis, tetapi hanya memberikan sejumlah nominal uang sebagai tanda bahwa pembelian atau penjualan anak syah secara adat. Setelah mengkaji pandangan Alkitab tentang makna anak dan hati Tuhan terhadap seorang anak untuk menyoroti tradisi penjualan anak dari sudut pandang sosio-teologis, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa tradisi penjualan anak adalah salah satu bentuk perwujudan kasih dan tanggung jawab keluarga terhadap kesehatan dan keselamatan sang anak dan orang tua, juga suatu bentuk penghormatan pada tradisi leluhur yang telah terlebih dahulu melaksanakan adat kebiasaan ini turun temurun. Sebagai suatu perwujudan kasih dan tanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan keluarga, peran orang tua yang melakukan penjualan anak dapat dilihat sebagai bentuk etika tanggung jawab, sedangkan peran orang tua dalam menjalankan tradisi penjualan anak sebagai tanda penghormatan dan ketaatan kepada tradisi para leluhur sebelumnya, dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk peran dalam etika kewajiban.

Perwujudan rasa kasih, tanggung jawab dan rasa hormat ini adalah sebuah sikap hati yang dikehendaki Tuhan, akan tetapi rasa kasih, tanggung jawab dan hormat itu diwujudkan dalam adat yang bercirikan naturalistis-panteistis di mana yang menjadi pikiran inti bukanlah Tuhan yang hidup, yang dikenal dan dimuliakan bukanlah Tuhan sang Pencipta, tetapi alam dan makhluk ciptaan yang dimuliakan : bapa suku, kepalakepala suku, tradisi suku, roh-roh orang yang mendirikan kampung dan sebagainya. Dengan demikian, secara esensi atau pada intinya, tradisi penjualan anak bukanlah sebuah bentuk ketaatan pada kehendak Tuhan Allah yang hidup, tetapi ketaatan dan penundukkan diri kepada tradisi dan pemenuhan janji kepada para leluhur. Sehubungan dengan makna seorang anak, Firman Allah mengajarkan bahwa buah kandungan adalah suatu upah, dan setiap anak berharga di mata Tuhan. Yesus Kristus menghargai anak-anak dan menyambut anak-anak datang kepada-nya dan memberkati mereka. Setiap anak mempunyai arti penting di hadapan Tuhan sehingga Yesus meminta orang-orang dewasa menjadi seperti seorang anak untuk masuk ke dalam kerajaan Sorga. Pemikiran di balik tradisi penjualan anak bahwa kemiripan wajah yang identik akan membawa sakit penyakit, percekcokan, bahkan kematian sehingga anak harus disingkirkan atau dijual; benar-benar bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan. Alkitab mengajarkan bahwa tidak ada seorang anakpun yang dirancangkan untuk menjadi penyebab sakit, sial atau kematian dan ketidakharmonisan. Setiap anak dirancangkan Allah untuk sebuah masa depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11). Kemiripan wajah anak dengan salah satu orang tua terjadi karena kehendak Allah. Allah yang menciptakan wajah yang mirip antara anak dan orang tua, dan kemiripan ini tidak dimaksudkan untuk mendatangkan malapetaka atau kecelakaan di dalam keluarga. Karena itu pemikiran di balik tradisi penjualan atau penyingkiran anak bukanlah pemikiran yang berasal dari Tuhan yang hidup, tetapi berasal dari kepercayaan para

leluhur yang hidup dalam masa kegelapan sebelum mengenal Injil Yesus Kristus. Terhadap pemikiran ini, orang Kristen tidak perlu hidup di dalamnya dan mempertahankannya, karena dengan hidup dan melaksanakan tradisi ini, berarti orang Kristen atau gereja mempertahankan dan melestarikan pemikiran-pemikiran kegelapan yang jauh dari Injil kebenaran. Pemikiran yang bertentangan dengan Firman Allah dibangun oleh Iblis untuk menentang pengenalan akan Allah. Terhadap pemikiranpemikiran ini Rasul Paulus mengatakan, Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus (2 Korintus 10:5). Setelah mengkaji esensi tradisi penjualan anak dan mengacu pada kebenaran Firman Tuhan yang menyoroti tradisi ini, penulis memberikan pandangan bahwa tradisi penjualan atau penyingkiran anak pada prinsipnya tidak sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan. Alkitab tidak memberikan dukungan tentang perlunya seorang anak dijual atau disingkirkan demi keselamatannya, sebaliknya tradisi ini dapat meninggalkan luka psikologis dalam diri si anak dalam masa pertumbuhan hingga dewasa. Karena itu orang Kristen atau gereja perlu bersikap kritis dengan melihat konsep-konsep pemikiran yang terkandung di balik tradisi penjualan anak yang sifatnya menentang pengenalan akan Allah, dan mematahkan setiap siasat di balik pemikiran-pemikiran tersebut, merobohkan kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia dalam tradisi ini untuk menentang pengenalan akan Allah dan menawan serta menaklukkan konsep-konsep pemikiran itu kepada Kristus. Implikasi praktis yang perlu dilakukan berkaitan dengan tradisi penjualan atau penyingkiran anak adalah menguduskan tradisi ini dalam pelaksanaan yang murni tidak bertentangan dengan Firman Allah. Pengudusan bisa dilakukan dengan cara membaharui

atau mengalihkan tradisi penjualan atau penyingkiran anak menjadi penyerahan anak kepada Tuhan secara Kristiani. Secara kontekstual, masyarakat lokal dan jemaat dapat mengonsumsi tradisi ini setelah dikuduskan dan dibaharui dalam esensi dan cara-caranya. Dalam pengertian bahwa istilah dan konsep penjualan atau penyingkiran tidak dipakai, tetapi dipakai istilah dan konsep penyerahan anak kepada Tuhan, yang dilakukan di gereja diteguhkan oleh pendeta dan penatua dan disaksikan oleh jemaat. Penulis lebih menyarankan memakai konsep penyerahan dari pada konsep penjualan, dengan pemikiran bahwa dalam konsep penjualan pada dasarnya berkonotasi jual beli karena motif ekonomi. Dalam konsep penjualan, sebelumnya sang anak adalah milik penuh pihak penjual dan diserahkan kepada pembeli dengan motivasi penjual menerima sesuatu sebagai barter dari anak yang dijualnya, sedangkan dalam konsep penyerahan anak kepada Tuhan, pada hakekatnya anak sendiri adalah milik Tuhan, bukan milik orang tua dalam arti yang hakiki. Sebagaimana dibahas dalam kajian tentang makna anak, anak adalah upah atau pemberian dari Tuhan, sehingga jika orang tua menyerahkan atau mendedikasikannya kepada Tuhan, berarti orang tua mengembalikan milik Tuhan, sehingga konsep penjualan di sini tidak tepat. Konsep penyerahan anak memperkuat pengertian bahwa sebelumnya anak tersebut memang adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan, karena itu, tidak mungkin dijual kembali kepada pemiliknya, tetapi yang lebih tepat adalah diserahkan kembali kepada pemiliknya. Selain itu, dengan memakai konsep penyerahan akan memberikan sebuah perbedaan yang tegas dengan konsep penjualan yang telah dipakai dalam tradisi penjualan anak. Jika tradisi yang telah dikuduskan ini memakai istilah konsep yang sama yaitu penjualan, maka tidak terlihat diferensiasi atau perbedaan dengan istilah konsep penjualan yang telah dipakai dalam tradisi lama yang belum dikuduskan.

Dasar Biblis dari konsep penyerahan anak dalam Perjanjian Lama tersirat dalam Mazmur 127:3, Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah. Dalam ayat ini tersirat bahwa orang tua bukanlah pemilik hakiki, para leluhur juga bukanlah pemilik, tetapi hanya Tuhan saja pemilik sesungguhnya dari anak laki-laki dan anak perempuan, karena itu kepada pemilik yang syah ini, anak-anak harus diserahkan. Sebuah contoh dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan konsep penyerahan anak kepada Tuhan adalah contoh yang dilakukan oleh Hana, dalam 1 Samuel 1:1-28. Hana berdoa dan meminta anak laki-laki dari Tuhan, di tengah kepedihan hatinya. Tuhan mengabulkan permintaannya, Hana mengandung dan melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Samuel. Sekalipun baru saja dikarunia seorang anak yang sangat diidamidamkan, Hana berkeputusan untuk menyerahkannya kepada Tuhan. 1 Samuel 1:11 mengatakan, Kemudian bernazarlah ia, katanya: "TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya dan pisau cukur tidak akan menyentuh kepalanya." Hana kemudian menepati janjinya kepada Tuhan, ia mendedikasikan Samuel yang masih kecil itu kepada Tuhan, menyerahkannya dalam pengasuhan Nabi Eli. 1 Samuel 1-27-28, Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan TUHAN telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari pada-nya. Maka akupun menyerahkannya kepada TUHAN; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada TUHAN." Kisah Hana menyerahkan Samuel adalah sebuah contoh orang tua yang rela menyerahkan atau mendedikasikan anaknya dalam pengaturan dan pengasuhan Tuhan. Hana mendapatkan anak itu dari Tuhan dan menyerahkannya kembali kepada Tuhan,

pemilik hidupnya. Terserahlah ia kiranya kepada TUHAN, demikian penyerahan Hana. Penyerahan yang tanpa ragu dan bimbang kepada Tuhan, Sang Pemberi dan Pemilik hidup, itulah yang seharusnya dilakukan oleh para orang tua. Dasar Biblis untuk penyerahan anak dalam Perjanjian Baru didasarkan pada perkataan Yesus yang meminta anak-anak datang kepada-nya, dalam Matius 19:14, Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga." Contoh yang dapat dilihat dalam Perjanjian Baru adalah dari teladan Yusuf dan Maria yang membawa bayi Yesus ke Yerusalem, ke Bait Allah untuk diserahkan kepada Tuhan, sebagaimana dikisahkan dalam Lukas 2:22-24. Dan ketika genap waktu pentahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untukmenyerahkan-nya kepada Tuhan, seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: "Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah, dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati. Dalam dua kisah ini, baik kisah Hana dalam Perjanjian Lama yang menyerahkan Samuel kepada Tuhan, maupun kisah Yusuf dan Maria dalam Perjanjian Baru yang menyerahkan Yesus ke Bait Allah, terdapat hamba Tuhan atau nabi Tuhan, yang turut hadir atau ada dan menyaksikan, meneguhkan dan memberkati penyerahan tersebut. Hana menyerahkan Samuel kepada Tuhan di bawah pengasuhan imam Eli, sedangkan dalam penyerahan bayi Yesus di Bait Allah, hadir Simeon, seorang tua yang saleh dan benar yang menyambut dan memberkati Yesus, juga nabiah Hana yang mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Yesus yang hari itu diserahkan kepada Allah (Luk.2:25-38).

Dalam kisah-kisah yang dipaparkan di atas, sama sekali tidak terlihat konsep penjualan. Sang anak tidak dipandang sebagai pembawa sial atau malapetaka, sebaliknya sang anak dipandang dalam makna yang positif sebagai berkat yang disyukuri, yang datangnya dari Allah, pemilik dan sumber hidup, dan kepada-nya, orang tua melakukan penyerahan kembali. Sama sekali berbeda dengan konsep penjualan dalam tradisi penjualan anak yang dilakukan oleh para leluhur di pulau Timor. Di sinilah pentingnya peran geraja untuk menyingkapkan kepada jemaat, inti dan perbedaan konsep penjualan anak kepada roh-roh leluhur dan konsep penyerahan anak kepada Tuhan. Secara khusus bagi yang melakukan tradisi penjualan anak, gereja berperan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang sejarah dan latar belakang tradisi ini disertai dengan pemahaman Alkitabiah yang menyoroti tradisi ini. Selanjutnya menuntun jemaat untuk melakukan upacara penyerahan anak dengan dua langkah ini : 1. Meminta pendeta atau hamba Tuhan untuk berdoa memutuskan ikatan janji atau sumpah yang pernah diikrarkan dengan para leluhur dan memutuskan adat kebiasaan menjual atau menyingkirkan anak. Kemudian mengikrarkan janji antara keluarga, anak-anak dan keturunan hanya dengan Tuhan yang hidup di dalam nama Yesus Kristus. 2. Selanjutnya sebagai ganti penjualan atau penyingkiran anak, sekarang setiap anak diserahkan kepada pemeliharaan dan perlindungan Tuhan, dengan didoakan oleh pendeta atau para penatua jemaat. Di depan jemaat, sang anak diserahkan kepada Tuhan. Sakit penyakit atau kematian yang terjadi adalah dalam kehendak Tuhan, jiwa dan roh sang anak telah berada dalam pemeliharaan dan perlindungan-nya. Tuhan memberikan keselamatan dan kesehatan kepada sang anak dan perubahan hati dan karakter kepadanya seiring dengan penyerahan hidupnya pada Tuhan.

Dengan memutuskan ikatan perjanjian penjualan anak atau sumpah yang pernah diirarkan orang-orang tua sebelumnya dengan para leluhur, dan mengikat perjanjian baru dengan Allah yang hidup, tradisi ini tidak lagi merupakan satu tuntutan yang harus dilakukan oleh keluarga ketika terjadi percekcokan atau sakit penyakit dalam keluarga. Dengan menyerahkan sang anak dalam perlindungan dan pemeliharaan Tuhan, keluarga telah mewujudnyatakan kasih dan tanggung jawab dan rasa hormat kepada sang anak, orang tua dan terutama kepada Tuhan. Sang anak diserahkan kepada Penguasa yang benar, yaitu Pencipta, Pemelihara dan Pemilik hidupnya, sumber kesehatan, keselamatan dan karakter yang baik. B. SARAN Dari penelitian ini dapat dipahami bahwa tradisi penjualan atau penyingkiran anak mengandung nilai-nilai hidup yang berkualitas, antara lain kasih, tanggung jawab dan penghormatan, namun tradisi ini perlu dikuduskan dari unsur panteistis yang melatarbelakanginya, dan diperbarui ke dalam sebuah cara penyerahan atau pendedikasian anak kepada Tuhan yang hidup sebagai sumber keselamatan. Karena itu penulis memberikan beberapa saran berkaitan dengan pelaksanaan tradisi ini : 1. Untuk institusi dan fakultas Mengingat banyak sekali tradisi-tradisi warisan dari agama suku di berbagai tempat di Indonesia yang bisa dikaji untuk pengembangan keilmuan dan kemajuan pelayanan gereja dan masyarakat Indonesia, maka penulis menyarankan institusi atau fakultas dapat bekerja sama dengan gereja-gereja atau suku-suku di Indonesia untuk memobilisir penelitian dan pengkajian tradisi-tradisi tersebut sehingga dapat menghasilkan informasi dan kepustakaan yang berguna bagi dunia keilmuan dan

pelayanan. Informasi yang terkumpulkan dari penelitian dan pengkajian akan menolong gereja dan para pelayan Tuhan dalam usaha pengudusan kebudayaan dalam masyarakat yang masih kental dengan tradisi-tradisi yang tidak memuliakan Tuhan. 2. Untuk gereja dan pelayanan Gereja dapat membentuk sebuah tim peneliti yang mengkaji lebih dalam esensi, makna dan dampak tradisi-tradisi yang masih diberlakukan dalam jemaat termasuk tradisi penjualan atau penyingkiran anak; dan mengevaluasi tradisi-tradisi tersebut dengan pandangan alkitabiah lalu menyikapi dengan objektif dan selektif. Jika ada tradisi yang secara esensial masih mempraktikkan nilai-nilai panteistis, maka gereja mengambil langkah untuk usaha pengudusan kebudayaan. Misalnya dalam contoh tradisi penjualan anak, gereja dapat mengkaji esensi dan makna tradisi ini dan tetap mempertahankan nilai-nilai kasih, tanggung jawab dan rasa hormat dalam tradisi ini tetapi diperbarui dengan cara melakukan upacara penyerahan anak atau mendedikasikan anak di gereja, disaksikan oleh jemaat. Saran lain bagi gereja adalah mengembangkan sebuah pelayanan pastoral keluarga, yang dijalankan secara efektif oleh pendeta, penatua dan para majelis, agar dapat lebih mengenal masalah-masalah yang dihadapi secara spesifik oleh para anggota jemaat atau keluarga-keluarga dalam jemaat. Konsep tentang makna anak, penjualan anak dalam tradisi dan konsep penyerahan anak kepada Tuhan juga dapat dijadikan bahan percakapan dan pembelajaran bagi para calon mempelai pada saat konseling pra nikah untuk membekali pasanganpasangan dengan pemahaman yang benar tentang konsep-konsep di atas. Dengan demikian, ketika dikaruniakan anak, para orang tua dapat mengambil sikap yang sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, yakni menyerahkan anak-anak kepada Tuhan, bukan kepada roh-roh leluhur dalam kepercayaan tradisi.

3. Untuk masyarakat lokal dan keluarga yang melaksanakan tradisi penjualan anak Bagi masyarakat lokal yang memegang teguh adat-istiadat dan tradisi, juga bagi keluarga-keluarga yang melaksanakan tradisi penjualan dan penyingkiran anak turuntemurun, agar mengembangkan sikap objektif dan selektif berdasarkan Firman Tuhan. Sikap ini dapat dibangun melalui keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan pendalaman Alkitab, diskusi-diskusi, dan membangun sikap hormat terhadap adat dan tradisi tanpa melanggar nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan. 4. Untuk diri personal Saran bagi pribadi adalah mengembangkan sikap kasih, tanggung jawab dan hormat terhadap keluarga, termasuk anak-anak dan menetapkan rencana mendedikasikan atau menyerahkan setiap anak yang dipercayakan dalam keluarga dalam perlindungan dan pemeliharaan Tuhan. C. REKOMENDASI Untuk penelitian selanjutnya bagi kepentingan dan pengembangan keilmuan dan pelayanan, penulis merekomendasikan beberapa hal : 1. Partisipan dalam penelitian ini hanya dipilih dari orang-orang yang mendukung dan melaksanakan tradisi penjualan atau penyingkiran anak, seperti ketua adat yang menjadi moderator dan orang-orang tua yang melaksanakan tradisi ini. Dalam penelitian selanjutnya, untuk mendapatkan informasi yang kolektif dan seimbang, partisipan yang dipilih bisa diambil secara bervariasi, tidak saja dari orang-orang yang mendukung atau yang melaksanakan tradisi ini, tetapi juga dari pihak-pihak yang tidak setuju atau menentang, ditambah data atau wawancara dengan sang anak yang dijual atau disingkirkan. Bila partisipan yang mengalami pengalaman dijual telah bertumbuh dewasa, informasi yang diberikannya akan sangat membantu untuk

memahami kondisi psikologisnya sebagai seorang anak yang pernah dijual atau disingkirkan. 2. Penelitian ini hanya dilakukan di kota Kupang, di mana masyarakat lebih berciri heterogen dan telah mengalami pencampuran budaya kota yang lebih modern. Agar bisa mendapatkan data yang komprehensif dan majemuk, dalam penelitian selanjutnya bisa dilakukan dalam masyarakat di tempat yang berbeda-beda, misalnya di desa di mana ikatan adat istiadat masih terasa kuat dan kental.