I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum. dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat.

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan dalam bahasa Belanda disebut Strafbaar feit atau delik. Kejahatan atau perbuatan

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

PEMECATAN PRAJURIT TNI

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

I. PENDAHULUAN. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

TINDAK PIDANA DESERSI DALAM KUHPM. Oleh : Kolonel CHK (Purn) JACOB LUNA SUMUK, SH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara yang berdasarkan atas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu:

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

II. TINJAUAN PUSTAKA

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

P U T U S A N NOMOR : PUT / 45-K / PM.II-10 / AD / VI / 2009

PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN DESERSI 1 Oleh : Devit Mangalede 2

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

P U T U S A N Nomor : 53-K / PM I-07 / AD / VII / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Penyidikan Perkara Militer

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

P U T U S A N NOMOR: PUT / 61-K / PM.II-10 / AD / IX / 2009

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

Tempat tinggal : Jl. Gajah Mada Kab. Kutai Barat Kalimantan Timur

P U T U S A N Nomor : 33 - K/PM I-07/AD/ VI / 2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 60 -K/PM I-07/AD/ IX / 2012 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara manapun di dunia ini, militer merupakan organ yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang kedaulatan suatu Negara ada pada kekuatan militer yang dimilikinya. Ancaman terhadap kedaulatan Negara tersebut secara umum bisa datang dari luar maupun dating dari dalam negara itu sendiri. Selain menjaga kedaulatan negara, militer juga digunakan untuk memperluas wilayah atau pengaruh suatu negara dengan melakukan hal terbalik dengan fungsi yang pertama sebagai penjaga kedaulatan negara, sehingga dengan demikian fungsi militer adalah bertahan atau menyerang. Banyak orang yang kurang mengerti tentang betapa pentingnya hukum militer pada suatu negara. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar, tetapi orang hendaknya jangan lupa bahwa salah satu unsur untuk menegakkan disiplin itu adalah hukum. Maka hukum itu secara tidak langsung menyelenggarakan pemeliharaan disiplin militer. Hukum militer sebagaimana hukum-hukum lainnya terdapat hampir diseluruh negara, namun demikian keberadaan hukum militer disetiap negara tentu akan berbeda-beda sesuai dengan kepentingan yang juga berbeda untuk masing-masing negara. Kesamaan yang terdapat dalam hukum militer adalah sama-sama dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan pertahanan negara. Militer adalah orang yang dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa

reserve pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan yang pelaksanaannya diawasi dengan ketat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer Indonesia (KUHPM) merupakan turunan dari Wetbooek van Militair Strafrecht (WvMS) dari Negara Belanda. WvMS berlaku di Indonesia berdasarkan Asas Konkordansi Pasal 132 I.S ( Indische Staatsregeling) yang menentukan: pelaksanaan Hukum Pidana Militer dicantumkan dalam ordonansi-ordonansi yang sejauh mungkin bersesuaian dengan undang-undang yang ada di negeri Belanda (Tri Andrisman, 2009: 16) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947, diadakan perubahan, pengurangan, dan penambahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947, ditentukan tentang nama KUHPM, yaitu: 1. Nama Wetbook van Militair Strafrecht voor Nederland Indie (Staatdblad 1934 Nomor 167) diubah menjadi Wetbook van Militair Strafrecht. 2. Kitab itu dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara. Jadi, KUHPM Indonesia yang asli sebenarnya masih dalam bahasa Belanda dan bernama Wetbook van Militair Strafrecht serta teks aslinya dalam Bahasa Belanda. Sedangkan terjemahan KUHPM bukan terjemahan yang resmi. Demikian pula penyebutan nama WvMS ini dalam bahasa Indonesia dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, namun dalam perkembangan zaman, kata Tentara sudah jarang digunakan, sehingga terjadi perubahan penyebutan terhadap WvMS menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), tertuang mengenai tindak pidana yang khusus dibuat untuk para anggota TNI. Salah satu tindak pidana yang diatur dalam KUHPM yaitu mengenai tindak pidana desersi yang tercantum dalam Pasal 87 KUHPM: (1) Diancam karena desersi, militer : 1. Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. 2. Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidak hadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. 3. Yang dengan sengaja melakukan ketidak hadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan tugas sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2. (2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan. (3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan. Perbuatan yang melanggar hukum tersebut membawa konsekuensi bagi anggota TNI untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum pidana militer yang berlaku. Ankum (Atasan yang berhak menghukum), yaitu atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang. Sedangkan Papera (Perwira Penyerah Perkara), yaitu pejabat di lingkungan TNI yang berdasarkan perundangundangan diberi kewenangan untuk menyerahkan perkara prajurit bawahannya kepada peradilan militer atau peradilan lain yang berwenang. Namun, dalam prakteknya ada beberapa pejabat di lingkungan TNI yang melakukan kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi prajurit TNI.

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2008, terdapat salah satu contoh perkara yang menimbulkan kerugian yang besar pada kasus yang menimpa seorang anggota TNI yaitu Serda Nasir, di Batam. Ia didakwa telah melakukan tindak pidana militer desersi dimasa damai di Kesatuan Korem 023/KS Sibolga, Tapanuli Tengah. Di dalam putusan Mahkamah Militer I-02 Medan tanggal 24 Maret 2003 Nomor: PUT/67-K/MM.I-02/AD/III/2003, Serda Nasir dijatuhi hukuman pidana pokok yaitu pidana penjara selama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan pidana tambahan yaitu dipecat dari Dinas TNI AD. Hukuman Pidana yang dijatuhkan tersebut sesuai dengan ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal 87 KUHPM. Di dalam perkara ini Serda Nasir melakukan upaya hukum sampai ketingkat PK, karena ia merasa tidak pernah melakukan tindak pidana militer yang didakwakan kepadanya tersebut. Ternyata telah terjadi kekhilafan yang nyata dari judex facti, bahwa sebenarnya Serda Nasir tidak pernah melakukan tindak pidana desersi dimasa damai. Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tindak pidana Militer yang kemudian di tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Analisis Yuridis Tindak Pidana Militer Mengenai Desersi Dimasa Damai yang Diputus Bebas pada Tingkat Peninjauan Kembali. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

A. Bagaimanakah tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Serda Nasir di kesatuan Korem 023/KS Sibolga berdasarkan keputusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali (Putusan Nomor 03 PK/Mil/2005)? B. Apakah dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas pada tingkat peninjauan kembali (Putusan Nomor 03 PK/Mil/2005)? 2. Ruang Lingkup Untuk memfokuskan dan mempermudah penelitian serta keterbatasan peneliti maka ruang lingkup permasalahan hukum pidana dalam skripsi ini dibatasi pada dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas di tingkat peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana militer mengenai desersi dimasa damai. Lokasi penelitian penulisan skripsi ini dilakukan pada tahap penyidikan yaitu dilingkungan Polisi Militer dan Oditur Militer. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan Pokok bahasan, tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Serda Nasir di kesatuan Korem 023/KS Sibolga berdasarkan keputusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas pada tingkat peninjauan kembali. 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis, untuk memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan memperluas wawasan keilmuan penulis bagi penerapan dan pengembangan ilmu hukum yang dipelajari. b. Secara praktis, dapat memberikan masukan dan sumbangan pikiran bagi aparat penegak hukum, dalam masalah pemeriksaan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana dalam peradilan militer agar tidak terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam penuntutan perkara. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai dari suatu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan (Abdulkadir Muhammad, 2004:73) Dalam hukum pidana dikenal adanya Asas Kesalahan, yaitu Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld). Walaupun asas ini tidak secara tegas tercantum dalam KUHP maupun peraturan lainnya, namun berlakunya asas tersebut dewasa ini sudah tidak diragukan lagi. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu hukum pidana itu sendiri, yang semula menitikberatkan pada perbuatan ( Daadstrafrecht) kemudian berkembang kearah hukum pidana yang menitikberatkan kepada orang yang melakukan tindak pidana ( Daderstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari daadstrafrecht. Dengan demikian hokum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai Daad-daderstrafrecht, yaitu hukum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun orangnya (Tri Andrisman, 2009:91)

Konsep KUHP 2008 merumuskan Asas Kesalahan ini secara tertulis dalam Pasal 37, yaitu: (1) Tidak seorangpun dapat dipidana tanpa kesalahan. (2) Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan dan tidak ada alas an pemaaf. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (1), maka asas kesalahan yang semula merupakan asas tidak tertulis yang berlaku sebagai salah satu asas yang paling dasar dalam hukum pidana oleh Konsep KUHP 2008 diadopsi dan dipakai sebagai suatu asas yang tertulis. Salah satu tindak pidana yang sering dilakukan dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tindak pidana desersi. Adapun tindak pidana desersi ini diatur dalam pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang berbunyi : (1) Diancam karena desersi, militer : 1. Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. 2. Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidak hadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. 3. Yang dengan sengaja melakukan ketidak hadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan tugas sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2. (2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan. (3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan. Menurut kamus bahasa Indonesia desersi adalah (perbuatan) lari meninggalkan dinas ketentaraan; pembelotan kepada musuh; perbuatan lari dan memihak kapada musuh. Pengertian atau definisi dari desersi tersebut dapat disimpulkan dari pasal 87 KUHPM, bahwa desersi adalah tidak hadir dan tidak sah lebih dari 30 hari pada waktu damai dan lebih dari 4 hari pada waktu perang. Ciri utama dari tindak pidana desersi ini adalah ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan

oleh seorang militer pada suatu tempat dan waktu yang ditentukan baginya dimana dia seharusnya berada untuk melaksanakan kewajiban dinas. Dalam perumusan pasal 87 KUHPM dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam jenis tindak pidana desersi yaitu : 1. Tindak pidana desersi murni diatur dalam pasal 87 ayat (1) ke-1 KUHPM. 2. Tindak pidana desersi sebagai peningkatan dari kejahatan ketidakhadiran tanpa izin, diatur dalam pasal 87 ayat 1 ke-2 dan ke-3 KUHPM. Putusan bebas (vrijspraak) diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelask an bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Dari ketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, artinya dari pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. (M.Yahya Harahap, 2005: 348) Bentuk-bentuk putusan bebas tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) namun dalam praktek peradilan, dikenal ada beberapa bent uk putusan bebas (vrijspraak) antara lain sebagai berikut :

a. Putusan Bebas Murni (de zuivere vrijspraak ) Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981:89). b. Putusan Bebas Tidak Murni (de onzuivere vrijspraak ) Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan secara terselubung atau pembebasan yang menurut kenyataannya tidak didasarkan kepada ketidak terbuktiannya apa yang dimuat dalam surat tuduhan (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981: 89) Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti (Oemar Seno Adjie, 1989: 167) Dalam hukum acara perdata atau pidana ada upaya hukum yang bernama lembaga Peninjauan Kembali, yang bermaksud hendak merubah putusan yang tidak dapat dirubah lagi. Disinilah letak keistimewaaannya dimana upaya peninjauan kembali bermaksud merubah isi suatu putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Karena melalui lembaga PK terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali melalui Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu bentuk upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Adapun landasan filosofis yang terkandung dalam upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali ini ialah untuk memberikan rasa keadilan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan, dengan jalan membuka kembali perkara yang telah diputus oleh pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Alasan-alasan yang dapat dipakai dalam mengajukan Peninjauan Kembali, diatur di dalam Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (UU MA) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009. 1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. 2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan. 3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut. 4. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain. 5. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebabsebabnya. 6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 2. Konseptual Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986: 132). Ada beberapa konsep yang betujuan untuk menjelaskan pengertian dasar dari istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Tindak pidana menurut Moeljatno dapat disamakan dengan perbuatan pidana yang artinya adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut (Sudarto, 1990: 43) b. Tindak pidana militer adalah tindak pidana khusus yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja yaitu seorang militer ( Moch Faisal Salam, 2006 ; 27)

c. Desersi dimasa damai diatur dalam pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan merupakan tindak pidana khusus yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja yaitu seorang militer ( Moch Faisal Salam, 2006 ; 27) d. Putusan Bebas merupakan keputusan yang mengandung pembebasan bagi terdakwa (vrijsprak), sebagaimana diatur dengan pengertian yang tercantum dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. e. Peninjauan Kembali adalah salah satu bentuk upaya hukum yang bertujuan memberikan kesempatan kepada para pihak dalam suatu perkara untuk mengajukan permohonan agar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat diperbaiki. E. Sistematika Penulisan Agar segala pembahasan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dapat penulis jabarkan secara jelas dan mudah dipahami, maka dalam penyusunan penulisan hukum ini penulis menjabarkan ke dalam bentuk sistematika penulisan. Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari Bab I yang berisi uraian tentang pendahuluan; dan Bab II yang berisi uraian tentang tinjauan pustaka; kemudian Bab III yang berisi uraian tentang metode penelitian; serta Bab IV hasil penelitian dan pembahasan, yang terakhir yaitu Bab V berisi kesimpulan dan saran yang sekaligus merupakan penutup dari skripsi ini. I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang mengemukakan tentang latar belakang, perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Merupakan bab yang mengemukakan tentang tindak pidana, tindak pidana militer, pengertian militer, pengertian hukum pidana dan hukum pidana militer, mekanisme terhadap militer yang melakukan tindak pidana menurut Undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, putusan bebas dan upaya hukum peninjauan kembali. III. METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu mengenai pendekatan masalah, sumber data, cara pengumpulan data, dan analisis data. Bab ini merupakan langkah untuk memudahkan penulisan serta penelitian. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisikan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini dengan menggunakan data yang diperoleh dilapangan baik berupa data primer maupun data sekunder mengenai dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bebas pada tingkat peninjauan kembali berdasarkan Putusan Nomor 03 PK/Mil/2005 serta mengenai tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Serda Nasir di kesatuan Korem 023/KS Sibolga berdasarkan keputusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali. V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang merupakan kesimpulan tentang hal-hal yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, guna menjawab permasalahan yang telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan pemikiran serta saran-saran terhadap permasalahan dalam penulisan ini.