BAB V KAJIAN KONSERVASI LAHAN UNTUK MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN PERESAPAN AIR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

BAB III GAMBARAN UMUM DAN PROFIL KOMODITAS TANAMAN PANGAN KABUPATEN SUBANG

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

BAB II TINJAUAN UMUM

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH JAWA BARAT SELATAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan cara menggalakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS TREND IRIGASI TEKNIS, IRIGASI SETENGAH TEKNIS, IRIGASI SEDERHANA DAN SAWAH IRIGASI DI KABUPATEN SITUBONDO

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

7.1. PERDAGANGAN NASIONAL

BAB V LAHAN DAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Kabupaten Tulang Bawang Barat. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak di bagian utara Provinsi Lampung.

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

Evaluasi Lahan. Evaluasi Kemampuan Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

10. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ( PDRB )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

Transkripsi:

58 BAB V KAJIAN KONSERVASI LAHAN UNTUK MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN KEMAMPUAN PERESAPAN AIR 5.1 FUNGSI DAN PERAN WILAYAH STUDI TERHADAP KABUPATEN SUBANG Wilayah studi memiliki 2 nilai penting bagi Kabpaten Subang, yaitu nilai yang berkaitan dengan letak strategis dalam pengembangan wilayah serta nilai yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan. 5.1.1 Fungsi dan Peran Dalam Pembangunan Dalam penjelasan mengenai kondisi topografi dan kemiringan lahan, Kabupaten Subang memiliki karakteristik topografi yang curam di bagian selatan dan berangsur melandai ke arah utara. Sebagian besar wilayah Kabupaten Subang merupakan lahan dengan hamparan landai dengan kemiringan 0-2% mencapai 60% dari total luas wilayah Kabupaten Subang. Lahan yang relatif landai tersebut tersebar di sebagian wilayah tengah dan seluruh wilayah utara. Menurut Kodoatie (2003), tingkat kemiringan lahan 0-2% sangat mendukung kegiatan pengembangan kota terutama pembangunan infrastruktur, seperti permukiman, kawasan perdagangan dan kegiatan industri. Melihat kondisi tersebut, praktis kegiatan pembangunan infrastruktur dalam skala besar akan dialokasikan di wilayah tengah dan utara Kabupaten Subang. Meskipun Kabupaten Subang memiliki hamparan lahan landai yang cukup luas, yaitu 60% dari total luas wilayah, namun masih ditemukan sebuah dilema. Wilayah utara Kabupaten Subang dengan pusat pertumbuhan di Kecamatan Pamanukan merupakan kawasan yang bertumbuh secara relatif cepat. Pengaruh terbesar adalah letak strategis wilayah utara Kabupaten Subang yang berada pada jalur transportasi dan perdagangan nasional. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Kabupaten Subang terletak diantara Kegiatan Nasional (PKN) maupun Pusat Kegiatan Wilayah (PKW). Kawasan PKN meliputi Jabodebek, Bandung dan Cirebon, sedangkan konsentrasi PKW meliputi Pelabuhanratu, Cikampek, Cianjur, Tasikmalaya, Kadipaten, dan Pangandaran (Revisi RTRW Kabupaten Subang, 2003-2012).

59 Letak strategis tersebut telah membangkitkan wilayah utara Kabupaten Subang menjadi pusat kegiatan ekonomi yang besar. Kondisi dilematis muncul jika ditinjau dari segi penggunaan lahan. Wilayah utara Kabupaten Subang juga memiliki potensi sebagai pusat pengembangan kegiatan pertanian seiring peran Kabupaten Subang sebagai salah satu lumbung pad nasional. Luas areal sawah beririgasi teknis cukup besar, dimana 60,84% dari total luas sawah beririgasi teknis terdapat di wilayah utara. Kondisi tersebut menimbulkan hambatan dalam upaya pengembangan infrastruktur wilayah karena konversi lahan sawah irigasi teknis menjadi kawasan terbangun tidak diarahkan. Melihat kondisi tersebut, praktis pengembangan infrastruktur akan lebih dipusatkan di wilayah tengah (wilayah studi). Selain keterbatasan lahan di wilayah utara, hal lain yang mendorong pengembangan infrastruktur difokuskan di wilayah tengah adalah masih tersedianya lahan pertanian non-produktif yang dapat dikonversi menjadi kawasan terbangun serta dalam hal upaya untuk menangkap pengaruh pengembangan jaringan infrastruktur yaitu pembangunan jalan tol Cikampek Palimanan yang melintasi wilayah studi. Oleh karena itu, dari sudut pandang pengembangan wilayah (kawasan budidaya), wilayah studi memiliki peran sebagai fasilitator pembangunan, khususnya jaringan transportasi (perlintasan jalan tol Cikampek Palimanan) dan zona kegiatan industri. Kedua infrastruktur tersebut merupakan komponen yang dapat merangsang pertumbuhan wilayah sekitar secara cepat. Analisis fungsi dan peran wilayah studi dalam hal kepentingan pengembangan wilayah dapat di lihat pada Gambar 5.1.

60 Kendala Wilayah Utara: - Merupakan kawasan pertumbuhan cepat - Banyak terdapat sawah irigasi teknis, sehingga konversi lahan harus diperkecil Potensi Wiilayah Studi: - Tersedia lahan landai (kemiringan 0-2%) yang cukup luas - Luas sawah irigasi teknis lebih kecil dibanding wilayah utara (sebagian besar sawah tadah hujan), sehingga masih memungkinkan konversi lahan - Rencana jalan tol Cikampek-Palimanan merupakan peluang bagi pengembangan sektor ekonomi Kendala Wilayah Selatan: - Wilayah berbukit dengan kemiringan lebih dari 40%, sehingga sulit untuk dikembangkan - Sebagian besar ditetapkan sebagai kawasan lindung Skala. 1 : 170.000 U Wilayah Studi Batas Cekungan Subang Sumber : Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.1 Analisis Fungsi dan Peran Wilayah Studi Terhadap Pengembangan Kabupaten Subang

61 5.1.2 Fungsi dan Peran Dalam Konteks Kelestarian Lingkungan Kajian peran wilayah studi dalam konteks kelestarian lingukngan difokuskan pada fungsi strategis wilayah studi dalam pengendalian tata air. Sebagaimana telah dijelaskan, Kabupaten Subang memiliki topografi yang semakin rendah atau landai ke arah utara. Kondisi ini praktis mengancam wilayah utara Kabupaten Subang sebagai wilayah yang berpotensi banjir sekaligus kritis air tanah apabila peresapan air hujan di daerah perbukitan tidak optimal. Hal tersebut ditunjukkan oleh penelitian Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Subang dimana wilayah utara Kabupaten Subang telah mengalami penyusutan muka air tanah dan menyebabkan beberapa kawasan seperti Kecamatan Pamanukan kritis akan ketersediaan air tanah. Selain itu, dampak yang cukup signifikan adalah bencana banjir yang terjadi pada awal tahun 2007 di hampir seluruh Kecamatan di wilayah utara Kabupaten Subang. Kecamatan tersebut adalah Pamanukan, Legonkulon, Pusakanegara, Compreng, Ciasem, Binong dan Blanakan. Menurut Kodoatie (2003), air tanah mengalir dari daerah yang lebih tinggi menuju daerah yang lebih rendah. Daerah yang lebih tinggi berfungsi sebagai daerah tangkapan air (recharge area) dan daerah yang lebih rendah merupakan daerah buangan (discharge area). Kedalaman muka air tanah pada daerah tangkapan biasanya sangat dalam hingga cenderung mendangkal di daerah buangan. 15-40% 2-15% 0-2% Recharge Area Aliran air tanah Discharge Area Cekungan Subang Pengembangan Zona industri & jalan tol Batas Cekungan U Wilayah Studi Laut Jawa Run Off Sumber : Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.2 Ilustrasi Peran Ekologis Wilayah Studi

62 Berdasarkan ilustrasi pada gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa wilayah studi merupakan daerah tangkapan air hujan (recharge area), terutama wilayah perbukitan pada kemiringan lahan 15-40%. Topografi yang semakin landai ke arah utara berpotensi membawa limpasan permukaan (run off) ke arah utara. Apabila peresapan air hujan tidak terjadi secara optimal di daerah tangkapan air, akan berdampak pada langkanya air tanah dangkal di wilayah utara Kabupaten Subang. Oleh karena itu, penerapan konservasi lahan dalam konteks memperbaiki kemampuan lahan dalam meresapkan air hujan di wilayah studi penting untuk dilakukan. Optimalnya peresapan air hujan di wilayah studi akan berdampak positif baik bagi wilayah studi sendiri, maupun bagi wilayah Kabupaten Subang, khususnya daerah utara. Penerapan konservasi lahan dapat mencegah terjadinya bencana banjir serta kekeringan di wilayah Kabupaten Subang, seperti yang telah terjadi di beberapa kecamatan di wilayah utara. 5.2 PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 5.2.1 Perkembangan Penggunaan Lahan Berdasarkan informasi yang terdapat pada bahasan sebelumnya, penggunaan lahan wilayah studi telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan penggunaan lahan dari tahun 1997 ke 2003 disajikan pada tabel dan grafik berikut. Tabel 5.1 Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Studi Tahun 1997-2003 Luas (Ha) Perubahan % No. Jenis Penggunaan Lahan 1997 2003 (Ha) 1 Perkebunan 23696.94 28178.68 4481.75 18,91 2 Tegalan 2841.49 3827.01 985.52 34,68 3 Sawah 36399.69 30176.30-6223.39-17,1 4 Hutan 2808.13 0.00-2808.13-100 5 Kawasan Terbangun 7264.13 10828.39 3564.26 49,07 Total 73010.38 73010.38 0.00 Sumber : Hasil Perhitungan, 2007 Secara umum, pola perubahan penggunaan lahan wilayah studi ditunjukkan oleh peningkatan kawasan terbangun melalui pengalih fungsian ruang terbuka hijau. Kawasan terbangun mengalami peningkatan sebesar 49,07% dari luas tahun 1997 diikuti oleh peningkatan kawasan perkebunan dan tegalan masing-masing sebesar 18,91% dan 34,68%. Guna lahan yang mengalami penyusutan adalah kawasan hutan dengan tingkat penyusutan sebsar 100% dan sawah sebesar 17,1%. Lebih jelas mengenai perubahan guna lahan digambarkan sebagai berikut.

63 Tahun 1997 Tahun 2003 Kawasan Terbangun Sawah Perkebunan Tegalan Hutan Skala. 1 : 45.000 Sumber : TARKIM Jawa Barat, 2003 & Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.3 Perubahan Guna Lahan Hutan 1997 dan 2003

64 Tahun 1997 Tahun 2003 Kawasan Terbangun Sawah Perkebunan Tegalan Hutan Skala. 1 : 45.000 Sumber : TARKIM Jawa Barat, 2003 & Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.4 Perubahan Guna Lahan Perkebunan dan Tegalan 1997 dan 2003

65 Tahun 1997 Tahun 2003 Kawasan Terbangun Sawah Perkebunan Tegalan Hutan Skala. 1 : 45.000 Sumber : TARKIM Jawa Barat, 2003 & Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.5 Penambahan Luas Kawasan Terbangun 1997 dan 2003

66 Tabel 5.2 Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Studi Tahun 1997-2003 Perubahan Luas Penggunaan Lahan (Ha) Kawasan No. Kecamatan Perkebunan Tegalan Sawah Hutan Terbangun 1 Pabuaran -459.78-745.54 1110.26 0.00 95.05 2 Purwadadi -56.79 238.79-424.26-46.61 288.87 3 Cikaum 866.20 0.00-949.71 0.00 83.51 4 Pagaden 843.66 0.00-1248.26 0.00 404.59 5 Cipunagara 1095.38-279.96-1397.05 0.00 581.63 6 Cipeundeuy -314.29 840.86-454.57-584.38 512.38 7 Kalijati 1785.42 2.62-2430.07 0.00 642.03 8 Subang -924.87 373.33 52.43-410.05 909.16 9 Cibogo 1646.80 555.42-482.17-1767.09 47.04 Jumlah 4481.75 985.52-6223.39-2808.13 3564.26 % 18.91 34.68-17.10-100.00 49.07 Sumber : Hasil Perhitungan, 2007 (Ha) 40000.00 35000.00 30000.00 25000.00 20000.00 15000.00 10000.00 5000.00 0.00 Perkebunan Tegalan Sawah Hutan Kawasan Terbangun 1997 23696.94 2841.49 36399.69 2808.13 7264.13 2003 28178.68 3827.01 30176.30 0.00 10828.39 Gambar 5.6 Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Studi Tahun 1997 dan 2003 Perubahan paling signifikan terjadi pada guna lahan hutan. Luas kawasan hutan pada tahun 1997 adalah 2.808,13 Ha atau sebesar 3,85% dari total luas wilayah studi. Pada tahun 2003, seluruh kawasan hutan telah dialih fungsikan. Sebagian besar kawasan hutan pada tahun 1997 tersebar di wilayah selatan sepanjang batas Cekungan Subang. Kawasan tersebut merupakan kawasan resapan air, yaitu kawasan dimana peresapan air hujan diarahkan secara optimal untuk melindungi kawasan bawahnya dari limpasan permukaan (run off) yang berlebihan dan bahaya erosi. Hilangnya kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi sawah, perkebunan dan tegalan berpotensi membahayakan kawasan bawahnya, mengingat kemiringan lahan di wilayah selatan mencapai 15-40% ke arah utara. Menurut Saifuddin (1985), kerapatan tanaman sebagaimana kawasan hutan dapat mengurangi limpasan permukaan. Air hujan yang jatuh tertahan oleh daun dan dapat meminimailsir limpasan permukaan, serta kondisi akar yang kokoh dan dalam pada kawasan hutan dapat mempercepat dan memperbesar peresapan air hujan. Sehingga, hilangnya kawasan hutan merupakan ancaman terhadap stabilitas lingkungan

67 dan tata air. Namun, berdasarkan kesesuaian lahan beberapa titik perubahan penggunaan lahan hutan menjadi perkebunan masih dinilai sesuai seperti di Kecamatan Cipeundeuy, Kalijati, Subang dan Cibogo. Peningkatan kawasan terbangun tertinggi terdapat di Kecamatan Subang dimana jumlah luas penggunaan pada tahun 2003 adalah dua kali lipat luasan pada tahun 1997. Hal yang mendorong perubahan ini adalah terkait peran Kecamatan Subang sebagai ibu kota Kabupaten Subang dengan fungsi sebagai pusat kegiatan perdagangan dan permukiman. Peningkatan luas perkebunan tertinggi terdapat di Kecamatan Pagaden dimana peningkatan luas mencapai 3 kali lipat jumlah luas pada tahun 1997. Beberapa kecamatan yang mengalami peningkatan luas kawasan perkebunan adalah Kecamatan Cikaum, Pagaden, Cipunegara, Kalijati dan Cibogo. Diantara kecamatan tersebut, peningkatan luas perkebunan kurang sesuai dengan kesesuaian lahan, seperti konversi menjadi perkebunan pada Kecamatan Cikaum, Pagaden dan Cipunegara yang sebenarnya lebih sesuai untuk kegiatan pertanian lahan basah (sawah tadah hujan) Jenis penggunaan lahan yang mengalami penyusutan luas cukup tinggi adalah sawah. Penyusutan terjadi hampir di setiap kecamatan kecuali Kecamatan Subang dan Pabuaran. Penyusutan luas sawah terbesar terjadi di Kecamatan Cikaum dimana sebanyak 82,73% total luas sawah pada tahun 1997 telah dialih fungsikan, sebagian besar menjadi perkebunan. 5.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan A. Gambaran Perkembangan Perekonomian Perekonomian merupakan salah satu unsur non spasial yang mempengaruhi secara langsung perubahan penggunaan lahan suatu wilayah (Cahyono, 1993). Berkembang atau tidaknya suatu sektor kegiatan ekonomi akan mempengaruhi perkembangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan tersebut. Dalam kajian ini, indikator dari perkembangan perekonomian Kabupaten Subang adalah pertumbuhan kontribusi sektoral PDRB.

68 Tabel 5.3 Kontribusi Sektoral (%) PDRB ADHK Kabupaten Subang Tahun 1998-2002 Rata-rata No Lapangan Usaha 1998 1999 2000 2001 2002 Pertumbuhan 1 Pertanian 42.06 42.04 41.42 39.91 38.70-2.05 1.1. Tanaman Bahan Makanan 36.34 36.26 35.56 33.91 32.48-2.75 1.2. Tanaman Perkebunan 2.98 2.81 2.79 2.86 3.05 0.76 1.3. Peternakan dan Hasil-hasilnya 0.86 1.06 1.20 1.20 1.28 10.88 1.4. Kehutanan 0.04 0.03 0.03 0.03 0.02-12.06 1.5. Perikanan 1.84 1.88 1.84 1.90 1.86 0.26 2 Pertambangan dan Penggalian 0.77 0.65 0.61 0.54 0.53-8.79 2.1. Minyak dan Gas Bumi 0.67 0.56 0.53 0.46 0.48-7.63 2.2. Penggalian 0.10 0.09 0.09 0.08 0.05-14.76 3 Industri Pengolahan 5.35 5.30 5.34 5.38 5.39 0.21 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.77 0.84 0.96 0.99 1.01 7.21 4.1. Listrik 0.68 0.75 0.86 0.89 0.90 7.48 4.2. Air Bersih 0.09 0.09 0.10 0.10 0.11 5.16 5 Bangunan / Konstruksi 3.75 3.68 3.61 3.49 3.64-0.75 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 29.10 29.30 29.52 29.62 30.74 1.39 6.1. Perdagangan Besar dan Eceran 22.68 22.90 23.31 23.29 24.56 2.03 6.2. Hotel 0.16 0.20 0.23 0.26 0.29 15.57 6.3. Restoran 6.26 6.20 5.97 6.07 5.90-1.44 7 Pengangkutan dan Komunikasi 3.02 2.99 3.16 3.46 3.56 4.34 7.1. Pengangkutan 2.41 2.36 2.47 2.69 2.75 3.41 7.1.1. Angkutan Rel 0.02 0.03 0.03 0.02 0.03 1.44 7.1.2. Angkutan Jalan Raya 2.30 2.24 2.36 2.58 2.64 3.58 7.1.3. Jasa Penunjang Angkutan 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09-0.74 7.2. Komunikasi 0.60 0.64 0.69 0.77 0.82 7.85 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.52 1.49 1.55 1.60 1.59 1.19 8.1. Bank 0.15 0.16 0.19 0.24 0.24 13.99 8.2. Lembaga Keuangan Lainnya 0.11 0.11 0.11 0.11 0.12 0.71 8.3. Sewa Bangunan 1.11 1.08 1.11 1.11 1.10-0.19 8.4. Jasa Perusahaan 0.15 0.14 0.13 0.13 0.13-3.36 9 Jasa-jasa 13.66 13.71 13.83 15.02 14.83 2.14 9.1. Pemerintahan Umum 10.21 10.32 10.39 11.54 11.27 2.62 9.2. Swasta 3.46 3.39 3.45 3.47 3.56 0.78 9.2.1 Sosial Kemasyarakatan 0.70 0.66 0.65 0.65 0.69-0.20 9.2.2. Hiburan dan Rekreasi 0.04 0.04 0.05 0.06 0.07 15.48 9.2.3. Perorangan dan Rumahtangga 2.72 2.69 2.74 2.76 2.81 0.78 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 Sumber : Hasil Analisis, 2007

69 Berdasarkan perkembangan kontribusi sektoral, secara umum sektor primer menunjukkan trend negatif dari tahun 1998 sampai tahun 2002. Hal tersebut dapat ditinjau dari tingkat pertumbuhan rata-rata sektor pertanian, yaitu sebesar -2,05% per tahun. Sub sektor pertanian yang mengalami pertumbuhan negatif adalah tanaman bahan makanan dan kehutanan yang masing-masing memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar -2,75% dan -12,05%. Trend negatif tersebut sesuai dengan perubahan penggunaan lahan dari tahun 1997 ke 2003, dimana kawasan hutan telah dikonversi secara total, serta areal sawah berkurang sebesar 17,1% dari luas tahun 1997. Sementara, kawasan perkebunan mengalami peningkatan luas yang cukup signifikan, yaitu sebesar 18,91%. Jika di tinjau kembali, meskipun sektor pertanian secara umum mengalami penurunan kontribusi, namun kontribusi sub sektor perkebunan tetap stabil dan mengalami pertumbuhan positif sebesar 0,76% per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa perkebunan merupakan sektor perekonomian yang cukup berkembang. Perubahan penggunaan lahan yang cukup ekstrim adalah peningkatan luas kawasan terbangun, dimana telah terjadi peningkatan sebesar 49,07% pada tahun 2003 dari luas tahun 1997. Hal tersebut didorong oleh berkembangnya sektor sekunder dalam perekonomian Kabupaten Subang. Sektor sekunder yang mendorong perkembangan wilayah menunjukkan trend kontribusi yang positif seperti industri pengolahan dengan rata-rata pertumbuhan 0,21%, Perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,39%, listrik gas dan air bersih sebesar 7,21% serta pengangkutan dan komunikasi sebesar 4,34%. Industri pengolahan meskipun belum memiliki kontribusi yang signifikan, namun menunjukkan trend yang positif. Sektor industri, sebagaimana pendapat Kivell (1993) merupakan sektor yang mampu mendorong perkembangan penggunaan lahan di kawasan sekitarnya akibat pertumbuhan kegiatan pada sektor servis (non basis), sebagaimana pertumbuhan kontirbusi sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor sekunder lainnya. B. Faktor Pengaruh : Kebijakan Pengembangan Kabupaten Subang Berdasarkan Revisi RTRW Kabupaten Subang Tahun 2002, wilayah studi termasuk dalam kelompok wilayah pengembangan I (Kecamatan Subang dan sekitarnya) dan IV (Kecamatan Pabuaran dan sekitarnya).

70 Tabel 5.4 Arah Pengembangan Wilayah Studi Berdasarkan Kecamatan No. Kecamatan Orde Fungsi Wilayah 1 Subang I Pusat pertumbuhan utama, pusat pemerintahan, pusat pelayanan skala kabupaten dan perdagangan interregional 2 Pagaden II Pusat perhubungan darat (kereta api), pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian, industri dan kebutuhan pokok 3 Cibogo III Pusat produksi pertanian dan perkebunan, pusat kegiatan industri 4 Cipunagara III Pusat produksi pertanian dan perkebunan, pusat kegiatan industri 5 Kalijati II Pusat perhubungan antar kota, pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian, pusat kegiatan industri, dan pelayanan kebutuhan pokok 6 Cikaum III Pusat produksi pertanian 7 Pabuaran II Pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan WP IV, pusat produksi hasil pertanian, dan pusat kegiatan industri 8 Purwadadi III Pusat produksi hasil pertanian, dan pusat kegiatan industri 9 Cipeundeuy III Pusat kegiatan industri Sumber : Revisi RTRW Kabupaten Subang Tahun 2002 Kecamatan Subang merupakan ibu kota Kabupaten Subang dimana peran dan fungsinya adalah sebagai Pusat pertumbuhan utama, pusat pemerintahan, pusat pelayanan skala kabupaten dan perdagangan interregional. Penetapan fungsi ini dapat menimbulkan pengaruh yang kuat bagi perkembangan wilayah sekitarnya, terutama pertumbuhan kegiatan pada sektor yang menunjang kegiatan perdagangan dan perindustrian. Hal tersebut tercermin dalam arah pengembangan wilayah yang berbatasan dengan Kecamatan Subang, yaitu Kecamatan Kalijati, Cibogo, Pagaden dan Cipunegara sebagai pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian serta pengembangan kegiatan industri. Gambaran sama diperoleh pada wilayah pengembangan Kecamatan Pabuaran. Sebagai pusat pelayanan wilayah IV, Kecamatan Pabuaran memiliki fungsi sebagai stimulator perkembangan wilayah sekitarnya, yaitu Kecamatan Cipeundeuy dan Purwadadi. Kegiatan yang dikembangkan adalah produksi pertanian serta pusat kegiatan industri. Sebagaimana temuan dalam analisis perkembangan penggunaan lahan, yaitu meningkatnya luas kawasan perkebunan, terdapat adanya kesesuaian dengan arah kebijakan dalam RTRW. Kecamatan Cibogo dan Cipunegara merupakan wilayah yang diarahkan sebagai pusat pertumbuhan kegiatan perkebunan dan sekaligus merupakan kecamatan yang mengalami peningkatan luas perkebunan secara signifikan. Selain arahan pengembangan wilayah pada setiap orde kota, terdapat beberapa kebijakan makro pengembangan wilayah berdasarkan RTRW Kabupaten Subang yang

71 mempengaruhi perubahan penggunaan wilayah studi, terutama berkurangnya sawah dan meningkatnya perkebunan, antara lain: Perubahan lahan pertanian ke non pertanian diperbolehkan dengan mengkonversi sawah tadah hujan yang dinilai kurang produktif. Kondisi ini sesuai dengan produktifitas padi di wilayah studi yang berada di bawah 58,89 Kwintal/Ha (rata-rata Kabupaten Subang). Pengembangan sawah irigasi teknis difokuskan di wilayah utara Kabupaten Subang guna mendukung ketahanan pangan nasional. Sementara fokus pengembangan pertanian Kabupaten Subang lebih kepada perkebunan, peternakan dan perikanan. Pengembangan kegiatan perkebunan di wilayah tengah, karena faktor kesesuaian lahan dan terdapatnya lahan pertanian tidak produktif yang akan lebih bernilai ekonomi tinggi apabila dikonversi menjadi perkebunan. 5.3 KEMAMPUAN PERESAPAN AIR Analsis kemampuan resap merupakan tahap untuk mengkaji persebaran spasial mengenai kemampuan resap air hujan di wilayah studi. Menurut Maryatin (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan peresapan air adalah curah hujan, topografi / kemiringan tanah, jenis tanah, jenis dan sifat batuan serta tutupan lahan (penggunaan lahan). Dalam kajian kemampuan peresapan air, faktor curah hujan dianggap konstan pada 1821 mm/tahun. 5.3.1 Faktor Fisik Alamiah A. Faktor Topografi / Kemiringan Lahan Menurut Tjwan, 1968 (dalam: Suripin, 2001), semakin curam kemiringan lahan maka semakin tinggi potensi dan kecepatan aliran permukaan. Lahan dengan tingkat kemiringan yang landai memungkinkan terjadinya peresapan air yang lebih baik karena kecepatan aliran permukaan relatif lambat. Kemiringan lahan wilayah studi berkisar antara 0 40% dengan tingkat kemiringan paling curam di wilayah selatan dan berangsur-angsur melandai ke arah utara. Klasifikasi kemiringan lahan wilayah studi berdasarkan klasifikasi Suripin (2001) adalah:

72 Tabel 5.5 Klasifikasi Kemiringan Lahan Wilayah Studi Kemiringan Klasifikasi Kemiringan Kelas Kemampuan Peresapan Air Luas (Ha) Luas (%) 0 2% Landai Tinggi 40661.96 55.69 2 15% Landai hingga miring bergelombang Sedang 28047.09 38.42 15 40% Miring hingga curam Rendah 4301.33 5,89 Jumlah 73010.38 100.00 Sumber : Suripin, 2001 dan Hasil Analisis, 2007 Berdasarkan penjelasan di atas, kemiringan 0-2% memiliki luasan terbesar yaitu mencapai 55,69%. Sebaran lahan landai terdapat di wilayah utara dan sebagian wilayah tengah, sedangkan wilayah selatan memiliki kemiringan yang relatif curam. Melihat kondisi kemiringan lahan wilayah studi yang curam di selatan dan semakin melandai ke utara, meskipun sebagian besar wilayah memungkinkan terjadinya peresapan yang tinggi namun kecepatan aliran permukaan yang tinggi dari wilayah selatan berpotensi menggenangi wilayah utara apabila tidak didukung oleh sifat fisik tanah dan tutupan lahan yang baik. B. Faktor Jenis Tanah dan Sifat Batuan Sifat tanah dan batuan berpengaruh terhadap kemampuan peresapan air. Menurut Suripin (2001), tanah yang mengandung fraksi pasir memiliki kemampuan peresapan yang tinggi, sedangkan tanah bertekstur halus dengan fraksi liat yang lebih banyak akan menyerap air dengan lambat. Jenis tanah pada wilayah studi adalah asosiasi latosol, asosiasi regosol dan alluvial / asosiasi alluvial. Karakteristik kemampuan tanah dalam meresapkan air digambarkan sebagai berikut. Tabel 5.6 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Menurut Jenis Tanah No. Jenis Tanah Keterangan Kemampuan Peresapan Air Luas (Ha) % 1 Aosiasi Latosol Kadar Liat lebih dari 60% Rendah 35143.69 48.14 Bertekstur kasar, kadar Tinggi 2 Aosiasi Regosol pasir lebih dari 60% 9619.47 13.18 Endapan baru dengan Aluvial/Asosiasi kandungan pasir kurang Sedang 3 Aluvial dari 60% 28247.21 38.69 Jumlah 73010.38 100.00 Sumber : Suripin, 2001 dan Hasil Analisis, 2007 Selain jenis tanah, batuan yang terdapat di bawah lapisan tanah juga menentukan tinggi atau rendahnya kemampuan peresapan air. Infiltrasi air ke dalam tanah disebabkan oleh gaya gravitasi dan tarikan hisapan (hidraulik). Sifat batuan di bawah lapisan tanah

73 menentukan kecepatan infiltrasi air. Menurut Suripin (2001), semakin tinggi tingkat permeabelitas maka semakin baik dalam mendukung peresapan air. Klasifikasi kemampuan peresapan air berdasarkan jenis dan sifat batuan di wilayah studi dijelaskan sebagai berikut. Tabel 5.7 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Menurut Sifat Batuan No. Batuan Penyusun Kemampuan Peresapan Air Luas (Ha) % 1 Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil Tinggi 16111.53 22.07 2 Batu pasir tufaan, konglomerat Sedang 54320.79 74.40 3 Napal: napal tufaan, diselingi batu pasir tufaan, konglomerat Rendah 1013.98 1.39 4 Batu lempung, diselingi batu pasir, lapisan napalan keras Sangat Rendah 1564.08 2.14 Jumlah 73010.38 100.00 Sumber : Distamben Subang, 2006, Suripin, 2001 dan Hasil Analisis, 2007 Berdasarkan gambaran di atas, diketahui bahwa jenis batuan pasir tufaan dan konglomerat mendominasi luas wilayah studi, dengan proporsi mencapai 74,4%. Jenis batuan ini memiliki kemampuan peresapan air yang sedang. Batuan alluvial yang memiliki kemampuan peresapan tinggi tersebar di wilayah utara dengan luas mencapai 22,07% dari total luas wilayah studi. Sedangkan jenis batuan lemung dan napal yang memiliki kemampuan peresapan relatif rendah terdapat di sebagian wilayah selatan. C. Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Fisik Tahap kajian ini adalah menentukan batas wilayah berdasarkan karakteristik fisik tanah / lahan yang mempengaruhi kemampuan peresapan air. Berdasarkan hasil klasifikasi, wilayah studi dikelompokkan menjadi 13 wilayah (A-M) yang merupakan hasil overlay peta kemiringan lahan, jenis tanah dan batuan penyusun. Klasifikasi wilayah studi digambarkan pada Gambar 5.7.

74 Peta Kemiringan Lahan Peta Jenis Tanah Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil Batu pasir tufaan, konglomerat Peta Batuan Penyusun Napal: napal tufaan, diselingi batu pasir tufaan, konglomerat Batu lempung, diselingi batu pasir, lapisan napalan keras Skala. 1 : 45.000 Sumber : Hasil Analisis, 2007 Gambar 5.7 Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Kondisi Fisik

75 Tabel 5.8 Tabulasi Karakteristik Fisik Wilayah Studi Wilayah Kemiringan Lahan Jenis Tanah Batuan Penyusun A 2-15% Alluvial / Asosiasi Alluvial Batu pasir tufaan, konglomerat B 0-2% Alluvial / Asosiasi Alluvial Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil C 0-2% Alluvial / Asosiasi Alluvial Batu pasir tufaan, konglomerat D 0-2% Asosasi Latosol Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil E 0-2% Asosasi Latosol Batu pasir tufaan, konglomerat F 0-2% Alluvial / Asosiasi Alluvial Batu pasir tufaan, konglomerat G 0-2% dan 2-15% Alluvial / Asosiasi Alluvial Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil H 0-2% dan 2-15% Alluvial / Asosiasi Alluvial Batu pasir tufaan, konglomerat I 2-15% Asosiasi Regosol Alluvial: Endapan sungai, pasir, lempung, kerikil J 2-15% Asosiasi Regosol Napal: napal tufaan, diselingi batu pasir tufaan, konglomerat K 2-15% dan 15-40% Asosiasi Regosol Batu lempung, diselingi batu pasir, lapisan napalan keras L 2-15% Asosiasi Regosol Napal: napal tufaan, diselingi batu pasir tufaan, konglomerat M 2-15% dan 15-40% Asosiasi Regosol Batu pasir tufaan, konglomerat Sumber : Hasil Analisis, 2007 Tabel 5.9 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Air Berdasarkan Fisik di Wilayah Studi Wilayah Kelas Kemampuan Peresapan Air Kemiringan Lahan Jenis Tanah Batuan Penyusun A Sedang Sedang Sedang B Tinggi Sedang Tinggi C Tinggi Sedang Sedang D Tinggi Rendah Tinggi E Tinggi Rendah Sedang F Tinggi Sedang Sedang G Tinggi & Sedang Sedang Tinggi H Tinggi & Sedang Sedang Sedang I Sedang Tinggi Tinggi J Sedang Tinggi Rendah K Sedang & Rendah Tinggi Sangat Rendah L Sedang Tinggi Rendah M Sedang & Rendah Tinggi Sedang Sumber : Hasil Analisis, 2007 5.3.2 Faktor Penggunaan Lahan Faktor terakhir yang mempengaruhi kemampuan peresapan air adalah tutupan lahan atau penggunaan lahan. Formula yang digunakan untuk mengetahui volume peresapan air adalah persamaan Sunarto (1985), dimana variabel-variabel yang menentukan

76 besarnya imbuhan (peresapan) meliputi curah hujan, luas guna lahan dan koefisien peresapan. Formula perhitungan peresapan adalah sebagai berikut: I a ch ( βa) = 1000 Dimana: I a c H = Imbuhan Alami (m 3 /tahun) = Angka koefisien resap = Curah hujan tahunan (mm/tahun) ßA = Luas Kawasan Guna Lahan (m 2 ) Hasil perhitungan kemampuan peresapan air berdasarkan fakor penggunaan lahan dilakukan pada unit analisis wilayah hasil klasifikasi kondisi fisik. Perhitungan dilakukan pada 2 periode yang berbeda, yaitu tahun 1997 dan 2003 untuk mengetahui tingkat penurunan kemampuan peresapan air akibat adanya perubahan penggunaan lahan. Volume peresapan air di wilayah studi adalah sebagai berikut. Tabel 5.10 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Air Berdasarkan Fisik di Wilayah Studi Kemampuan Volume Peresapan Air hujan (m3/tahun) Peresapan Kategori Wilayah 1997 2003 Selisih % 1997 2003 Selisih 1997 2003 A 32692686.51 30257484.34-2435202.18-7.45 1.20 1.11-0.09 Sedang Rendah B 64279273.15 64482331.59 203058.44 0.32 1.01 1.01 0.00 Rendah Rendah C 73285530.96 73482734.19 197203.23 0.27 1.04 1.04 0.00 Rendah Rendah D 27172054.56 26368417.14-803637.42-2.96 1.03 1.00-0.03 Rendah Rendah E 365003739.03 356201424.89-8802314.14-2.41 1.05 1.03-0.03 Rendah Rendah F 7355135.69 7717889.05 362753.36 4.93 1.06 1.11 0.05 Rendah Rendah G 73356455.41 69841730.46-3514724.96-4.79 1.08 1.03-0.05 Rendah Rendah H 19248421.50 19200760.72-47660.78-0.25 1.02 1.02 0.00 Rendah Rendah I 5758159.48 5610547.44-147612.04-2.56 1.27 1.24-0.03 Sedang Sedang J 6944703.30 5064715.29-1879988.02-27.07 1.66 1.21-0.45 Tinggi Sedang K 33497767.70 28363514.97-5134252.72-15.33 1.26 1.07-0.19 Sedang Rendah L 3288780.99 2333559.57-955221.43-29.04 0.90 0.64-0.26 Rendah Sangat Rendah M 81634211.46 75422776.27-6211435.19-7.61 1.30 1.20-0.10 Sedang Sedang Jumlah 793516919.75 764347885.90-29169033.85-3.68 14.89 13.71-1.18 Kemampuan Peresapan Rata-rata 1.15 1.05 Sedang Rendah Sumber : Hasil Analisis, 2007

77 Kemampuan Peresapan Air 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A B C D E F G H I J K L M 1997 1.20 1.01 1.04 1.03 1.05 1.06 1.08 1.02 1.27 1.66 1.26 0.90 1.30 2003 1.11 1.01 1.04 1.00 1.03 1.11 1.03 1.02 1.24 1.21 1.07 0.64 1.20 Wilayah 1997 2003 = Kemampuan Peresapan Air Rata-rata Tahun 1997 = Kemampuan Peresapan Air Rata-rata Tahun 2003 Gambar 5.8 Kemampuan Peresapan Air Wilayah Studi Tahun 1997 dan 2003 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah pada tahun 1997 adalah sebesar 793.516.919,75 m 3 /tahun. Jumlah tersebut mengalami penurunan akibat perubahan penggunaan lahan pada tahun 2003 sebesar 29.169.033,85 m 3 /tahun atau 3,68% dari volume peresapan tahun 1997. Kemampuan peresapan air dihitung dengan perbandingan antara volume peresapan air dengan luas wilayah penelitian. Pada tahun 1997, rata-rata kemampuan peresapan air adalah sebesar 1,15 dan mengalami penurunan menjadi 1,05 pada tahun 2003. Sebagian besar wilayah klasifikasi mengalami penurunan kemampuan peresapan akibat adanya perubahan penggunaan lahan ke arah negatif, yaitu tutupan lahan yang kurang mampu meresapkan air ke dalam tanah. Perubahan ke arah negatif tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kajian perubahan penggunaan lahan adalah: Konversi hutan menjadi perkebunan, sawah dan kawasan terbangun, dan Konversi perkebunan, sawah dan tegalan menjadi kawasan terbangun Di lain sisi, beberapa wilayah mengalami peningkatan kemampuan peresapan air. Wilayah tersebut adalah B, C dan F. Peningkatan kemampuan tersebut dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan ke arah positif, yaitu penggunaan lahan yang mampu mendukung peresapan yang lebih optimal. Perubahan positif tersebut antara lain:

78 Konversi sawah menjadi tegalan dan perkebunan, dan Konversi sawah, tegalan menjadi perkebunan Berdasarkan hasil perhitungan kemampuan peresapan air dengan faktor kondisi penggunaan lahan, wilayah studi dikategorikan menjadi 4 kemampuan peresapan air, yaitu: < 0,90 : Sangat Rendah 0,90 1,14 : Rendah 1,15 1,40 : Sedang > 1,40 : Tinggi Secara umum, wilayah studi mengalami penurunan kemampuan peresapan air. Pada tahun 1997, kemampuan peresapan air wilayah studi berada pada kategori sedang dengan rata-rata kemampuan peresapan sebesar 1,15. Pada tahun 2003, kemampuan peresapan air wilayah studi berada pada kategori rendah dengan kemampuan peresapan sebesar 1,05. 5.3.3 Kemampuan Peresapan Air Wilayah Studi Pada bahasan ini, seluruh faktor yang mempengaruhi kemampuan peresapan air dikaji untuk mengidentifikasi lebih jauh potensi dan permasalahan peresapan air di wilayah studi. Untuk memperoleh kelas kemampuan peresapan air, dilakukan penilaian pada setiap kategori untuk masing-masing faktor penentu. Seluruh faktor penentu dianggap memiliki nilai yang setara pentingnya. Sedangkan untuk tingkat kemampuan peresapan air diberi nilai 0,4 untuk kategori tinggi, 0,3 untuk kategori sedang, 0,2 untuk kategori rendah dan 0,1 untuk kategori sangat rendah. Nilai tersebut dijumlahkan untuk memperoleh perbandingan yang jelas mengenai kelas kemampuan peresapan air suatu wilayah dengan wilayah lain. Hasil penjumlahan nilai kemudian dikategorikan sebagai berikut: < 1,16 : Sangat Rendah 1,17 1,37 1,38 1,58 > 1,58 : Rendah : Sedang : Tinggi Klasifikasi kemampuan peresapan air secara total disajikan sebagai berikut.

79 Wil. Tabel 5.11 Klasifikasi Kemampuan Peresapan Air Wilayah Studi Tahun 2003 Luas (Ha) % Kemiringan Lahan Kelas Kemampuan Peresapan Air Faktor Fisik Alamiah Jenis Tanah Batuan Penyusun Faktor Penggunaan Lahan Jumlah Nilai Kelas Kemampuan Peresapan Air A 2728.20 3.74 Sedang Sedang Sedang Rendah 1,1 Sangat Rendah B 6363.16 8.72 Tinggi Sedang Tinggi Rendah 1,7 Tinggi C 7072.90 9.69 Tinggi Sedang Sedang Rendah 1,2 Rendah D 2634.05 3.61 Tinggi Rendah Tinggi Rendah 1,2 Rendah E 34699.04 47.53 Tinggi Rendah Sedang Rendah 1,1 Sangat Rendah F 696.68 0.95 Tinggi Sedang Sedang Rendah 1,2 Rendah G 6783.53 9.29 Tinggi & Sedang Sedang Tinggi Rendah 1,25 Rendah H 1881.76 2.58 Tinggi & Sedang Sedang Sedang Rendah 1,15 Sangat Rendah I 452.82 0.62 Sedang Tinggi Tinggi Sedang 1,8 Tinggi J 417.85 0.57 Sedang Tinggi Rendah Sedang 1,2 Rendah K 2651.00 3.63 Sedang & Rendah Tinggi Sangat Rendah Rendah 0,95 Sangat Rendah L 365.44 0.50 Sedang Tinggi Rendah Sangat Rendah 1,0 Sangat Rendah M 6263.96 8.58 Sedang & Rendah Tinggi Sedang Sedang 1,25 Rendah 73010.38 100 Sumber : Hasil Analisis, 2007 TINGGI RENDAH SANGAT RENDAH Sumber : Hasil Analisis, 2007 Skala. 1 : 45.000 Gambar 5.9 Kemampuan Peresapan Air Wilayah Studi Tahun 2003

80 A. WILAYAH A (Sebagian Kecamatan Cipeundeuy dan Pabuaran) Wilayah A memiliki kemampuan peresapan air yang sangat rendah. Permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya peresapan air adalah kondisi penggunaan lahan, yaitu peningkatan kawasan terbangun sebesar 61,55% yang disertai hilangnya kawasan hutan. Pada tahun 1997, kemampuan peresapan air berdasarkan faktor penggunaan lahan berada pada kategori sedang dan mengalami penurunan menjadi rendah pada tahun 2003. Volume air hujan yang meresap di wilayah A pada tahun 2003 mengalami penurunan sebesar 7,45% dari volume tahun 1997. Hal yang penting untuk dicermati adalah letak wilayah A yang berada pada kemiringan lahan sebesar 2-15% dan berada pada topografi yang relatif lebih rendah dari wilayah M. Kondisi ini berpotensi menimbulkan aliran permukaan baik dari limpasan air setempat maupun aliran dari wilayah M. B. WILAYAH B (Sebagian Kecamatan Pabuaran dan Purwadadi) Kemampuan peresapan air wilayah B berada dalam kategori tinggi. Hal yang menunjang tingginya peresapan air adalah kemiringan lahan yang relatif landai, sehingga memungkinkan terjadinya peresapan karena laju aliran permukaan relatif rendah. Aspek lain yang mendukung adalah jenis batuan Alluvial yang merupakan endapan sungai dan kaya kandungan pasir sehingga bersifat permeabel. Kondisi ini memudahkan air untuk bergerak memasuki pori pada lapisan tanah yang semakin dalam. Pada kondisi permukaan tanah, perubahan penggunaan lahan dari 1997 ke 2003 telah meningkatkan kemampuan peresapan air meskipun tidak signifikan. Volume peresapan pada tahun 2003 mengalami peningkatan sebesar 0,32%. Meskipun demikian berdasarkan kondisi penggunaan lahan, wilayah B berada pada kategori kemampuan peresapan yang rendah. C. WILAYAH C (Sebagian Kecamatan Pabuaran, Purwadadi, Cikaum, Pagaden) Wilayah C memiliki kelas kemampuan peresapan air yang rendah. Faktor yang mempengaruhi tingkat peresapan yang rendah adalah kondisi penggunaan lahan yang didominasi oleh sawah. Meskipun secara volume, peresapan air mengalami peningkatan sebesar 0,27% dari tahun 1997, namun masih berada pada kategori rendah dengan kemampuan peresapan sebesar 1,04. Peningkatan volume peresapan air disebabkan oleh konversi sawah yang relatif kurang baik dalam meresapkan air menjadi tegalan.

81 Keuntungan yang dimilki wilayah C adalah kemiringan lahan yang relatif landai sehingga laju aliran permukaan relatif lambat, namun mengingat wilayah C berada pada topografi yang rendah maka berpotensi menjadi daerah genangan akibat aliran permukaan dari wilayah lain yang lebih tinggi (Wilayah A, E dan M). D. WILAYAH D (Sebagian Kecamatan Pagaden dan Cipunegara) Wilayah D memiliki kelas kemampuan peresapan air yang rendah. Hal yang mempengaruhi adalah jenis tanah asosiasi latosol yang banyak mengandung liat, serta kondisi penggunaan lahan yang didominasi oleh sawah. Volume peresapan air dalam kurun waktu 1997 sampai 2003 telah mengalami penurunan sebesar 2,96% akibat adanya konversi lahan perkebunan dan sawah menjadi kawasan terbangun. Meskipun wilayah D memiliki sifat batuan yang permeabel dan berada pada kemiringan lahan yang landai, namun faktor jenis tanah dan penggunaan lahan yang kurang baik dalam meresapkan air menjadikan peresapan kurang optimal. E. WILAYAH E (Sebagian Kecamatan Pabuaran, Purwadadi, Cikaum, Pagaden, Cipunegara, Cipeundeuy, Kalijati dan Subang) Wilayah E merupakan wilayah paling luas di wilayah studi. Proporsi luasan mencapai 47,53% dari total luas wilayah studi. Kelas kemampuan peresapan air wilayah E adalah sangat rendah akibat jenis tanah dan penggunaan lahan yang kurang mampu meresapkan air secara optimal. Jenis tanah latosol dengan kandungan liat lebih dari 60% relatif kurang mampu meresapkan air. Faktor konversi lahan sawah, tegalan dan hutan menjadi kawasan terbangun telah menurunkan volume peresapan air pada tahun 2003 sebesar 2,41% dari volume tahun 1997. Karakteristik kemiringan lahan pada wilayah E adalah relatif curam di bagian selatan dan cenderung melandai ke utara. Kondisi ini berpotensi meningkatkan laju aliran permukaan, terlebih letak wilayah E yang berada pada topografi yang lebih rendah dari wilayah K, L dan M berpotensi menjadi daerah genangan akibat kiriman aliran permukaan. F. WILAYAH F (Sebagian Kecamatan Cipunegara) Wilayah F memiliki kemampuan peresapan air yang rendah. Meskipun perubahan penggunaan lahan dari sawah dan tegalan menjadi perkebunan telah meningkatkan volume peresapan air pada tahun 2003, namun kemampuan peresapan tersebut masih berada pada kategori rendah. Peningkatan volume peresapan air pada tahun 2003 adalah

82 sebesar 4,93% dari volume tahun 1997. Keuntungan yang dimiliki wilayah F adalah letaknya pada kemiringan lahan yang landai serta jenis tanah dan batuan yang cukup permeabel. G. WILAYAH G (Sebagian Kecamatan Cipunegara dan Cibogo) Wilayah G memiliki keuntungan pada jenis batuan yang terdapat pada wilayah tersebut. Batuan Alluvial yang mengandung fraksi pasir dan kerikil memungkinkan terjadinya proses peresapan air ke dalam pori tanah dengan baik. Selain itu, sebagian wilayah G berada pada topografi yang landai, sehingga dapat memberi kesempatan yang cukup untuk meloloskan air ke dalam tanah. Meskipun didukung oleh beberapa keuntungan fisik, kondisi penggunaan lahan wilayah G menghambat terjadinya peresapan yang optimal. Dominasi lahan sawah serta pertumbuhan kawasan terbangun yang cukup pesat telah menurunkan kemampuan peresapan air sebesar 4,79% dari tahun 1997. Disamping hal tersebut, wilayah G dilintasi oleh Sungai Cipunegara pada dataran yang lebih rendah dan landai sehingga potensial terjadinya genangan air. H. WILAYAH H (Sebagian Kecamatan Cibogo) Wilayah H termasuk dalam kelas kemampuan peresapan air yang sangat rendah. Dominasi lahan sawah merupakan faktor yang menghambat proses peresapan air ke dalam tanah. Meskipun jenis tanah yang dimiliki yaitu alluvial dengan batuan penyusunnya adalah batu pasir tufaan dan konglomerat yang bersifat cukup permeabel (tingkat kemampuan peresapan sedang), namun kemiringan lahan yang mencapai 15% berpotensi meningkatkan laju aliran permukaan. Terlebih, letak wilayah H berada pada daerah yang lebih rendah sehingga terancam oleh aliran permukaan yang berasal dari wilayah I, J, K dan M. I. WILAYAH I (Sebagian Kecamatan Cibogo) Wilayah I memiliki kelas kemampuan peresapan air yang tinggi. Faktor-faktor yang mendukung meliputi jenis tanah dan batuan penyusun yang permeabel dan berkemampuan resap tinggi, serta penggunaan lahan yang didominasi oleh perkebunan. Jenis tanah regosol dengan kandungan pasir lebih dari 60%, serta batuan alluvial yang juga banyak mengandung fraksi pasir memungkinkan terjadinya peresapan yang tinggi. Namun hal yang perlu dicermati adalah berkurangnya volume peresapan sebesar 2,56% akibat konversi hutan menjadi perkebunan dan kawasan terbangun perlu mendapat

83 perhatian serius, terlebih jenis tanah regosol meskipun bersifat permeabel namun peka terhadap erosi. J. WILAYAH J (Sebagian Kecamatan Cibogo) Wilayah J berada pada kelas kemampuan peresapan air yang rendah. Faktor utama penyebabnya adalah jenis batuan penyusunnya adalah napal yang bersifat kurang permeabel. Faktor lain adalah kemirngan lahan yang mencapai 15% berpotensi meningkatkan laju aliran permukaan, sehingga meskipun jenis tanah wilayah J adalah regosol yang bersifat permeabel namun kepekaannya terhadap erosi akan meningkat seiring kemiringan lahan yang cukup curam. Volume peresapan air wilayah J telah mengalami penurunan yang signifikan sebesar 27,07% dari volume tahun 1997. Kondisi tersebut telah menurunkan tingkat kemampuan peresapan berdasarkan penggunaan lahan dari kategori tinggi menjadi sedang. Faktor penyebabnya adalah konversi hutan menjadi perkebunan, sawah dan kawasan terbangun. K. WILAYAH K (Sebagian Kecamatan Subang dan Cibogo) Wilayah K memiliki kelas kemampuan peresapan air yang sangat rendah. Meskipun terdiri atas jenis tanah regosol yang bersifat permeabel, namun kemiringan lahan yang curam (mencapai 40%), jenis batuan yang kurang permeabel serta kondisi penggunaan lahan yang kurang mampu meresapkan air dengan baik merupakan faktor yang mengancam terjadinya kecepatan aliran permukaan yang tinggi dan erosi. Volume peresapan air telah mengalami penurunan sebesar 15,33% dari tahun 1997 seiring konversi lahan hutan menjadi perkebunan, tegalan dan kawasan terbangun. Wilayah K meliputi sebagian wilayah Kota Subang yang merupakan pusat kegiatan regional (Ibu Kota Kabupaten) menyebabkan perubahan penggunaan lahan hijau menjadi terbangun relatif tinggi. L. WILAYAH L (Sebagian Kecamatan Subang) Wilayah L memiliki kelas kemampuan peresapan air yang sangat rendah. Permasalahan utama terdapat pada kondisi penggunaan lahan, dimana wilayah ini didominasi kawasan terbangun. Pertumbuhan kawasan terbangun mencapai 53,86% dari luas tahun 1997 dan telah mengkonversi kawasan hutan. Kondisi ini telah menurunkan volume peresapan sebesar 29,04% dari tahun 1997. Selain hal tersebut, meskipun wilaya L berjenis tanah regososl namun kondisi ini kurang menguntungkan dengan tingkat kemiringan lahan

84 yang mencapai 40% serta jenis batuan penyusun yang kurang permeabel. Kondisi ini berpotensi menimbulkan erosi dengan kecepatan aliran permukaan yang tinggi. M. WILAYAH M (Sebagian Kecamatan Cipuendeuy, Kalijati, Subang dan Cibogo) Wilayah M berada pada kelas kemampuan peresapan air yang rendah. Meskipun kemampuan peresapan berdasarkan penggunaan lahan berada pada kategori sedang, serta jenis tanah regosol yang berkemampuan resap tinggi, namun faktor kemiringan lahan yang curam serta batuan penyusun yang semi permeabel dinilai kurang menguntungkan. Terlebih, sebagian besar kawasan hutan di wilayah studi terdapat di wilayah M dan telah dikonversi menjadi perkebunan, tegalan dan kawasan terbangun. Perubahan penggunaan lahan tersebut telah menurunkan volume peresapan sebesar 7,61% dari tahun 1997. 5.4 KAJIAN KONSERVASI LAHAN WILAYAH STUDI Menurut Puridimaja (2006), konservasi lahan dalam konteks melindungi sistem tata air merupakan upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan besaran infiltrasi (peresapan) air dengan prinsip meminimalisir aliran permukaan. Sebagaimana dijelaskan pada bahasan sebelumnya, wilayah studi memiliki beberapa alasan penting terkait perlunya penerapan konservasi lahan. Informasi penting dari temuan analisis yang mendorong pentingnya langkah konservasi di wilayah studi adalah: Wilayah studi memiliki fungsi sebagai fasilitator pembangunan, karena ketersediaan lahan bagi kegiatan pembangunan masih memadai dibandingkan wilayah utara dan selatan Kabupaten Subang. Oleh karena hal tersebut, kegiatan pengembangan wilayah ke depan di konsentrasikan di wilayah studi (tengah) meliputi pengembangan zona industri dan jalan tol Cikampek Palimanan. Secara ekologis, wilayah studi memiliki fungsi sebagai daerah tangkapan air, terutama di daerah perbukitan bagian selatan hingga tengah. Wilayah ini diharapkan dapat memperkecil limpasan permukaan yang dapat berdampak pada terjadinya genangan dan banjir di wilayah utara. Adanya trend perubahan penggunaan lahan yang negatif dari tahun 1997 ke tahun 2003, yaitu hilangnya kawasan hutan, serta meningkatnya kawasan

85 terbangun. Kondisi ini memerlukan pengendalian, terlebih jika pengembangan zona industri dan jalan tol Cikampek-Palimanan akan menstimulir pengembangan infrastruktur yang lebih luas. Secara umum, volume air hujan yang mampu diresapkan di wilayah studi pada tahun 2003 telah mengalami penurunan sebesar 29.169.033,85 m 3 /tahun atau 3,68% dari volume tahun 1997. Hal tersebut merupakan indikasi semakin berkurangnya kemampuan lahan dalam meresapkan air. Berdasarkan hasil penelaahan kemampuan peresapan air, wilayah studi di kelompokkan menjadi 13 kategori wilayah berdasarkan kelas kemampuan peresapan air. Tujuan konservasi lahan dalam kajian ini adalah melindungi (mempertahankan dan meningkatkan) kemampuan peresapan air lahan di wilayah studi. Prinsip konservasi menurut Puridimaja (2006), salah satunya adalah mengelola dan mengendalikan kondisi permukaan tanah agar dapat mempertahankan dan meningkatkan besaran infiltrasi atau peresapan air, Konservasi lahan di wilayah studi ditempuh melalui 2 (dua) skenario, yaitu: 1. Memperbaiki kondisi permukaan tanah untuk mendukung terjadinya peresapan air yang lebih baik, serta mengurangi limpasan permukaan. 2. Pengendalian pembangunan, yaitu mengendalikan kemungkinan pengembangan lahan ke arah negatif, yaitu guna lahan yang kurang mendukung terjadinya peresapan yang optimal dengan mempertimbangkan kebijakan mengenai rencana pengembangan penggunaan lahan. A. SKENARIO 1 Beberapa alternatif upaya konservasi dalam skenario 1 dapat ditempuh sebagai berikut: Konservasi secara vegetatif, yaitu perbaikan kondisi lahan dengan memanfaatkan vegetasi yang mendukung peresapan air secara lebih optimal, mengurangi limpasan permukaan dan mencegah terjadinya pengikisan tanah (erosi). Konservasi secara mekanis, yaitu mengelola lahan agar limpasan permukaan yang mungkin terjadi dapat dikendalikan Pembuatan sumur resapan, terutama pada kawasan terbangun.

86 Penerapan konservasi skenario 1 pada wilayah studi dijelaskan sebagai berikut: Wil. Kemiringan Lahan Tabel 5.12 Kajian Konservasi Lahan Skenario 1 Wilayah Studi Kemampuan Peresapan Air Faktor Fisik Alamiah Jenis Tanah Batuan Penyusun Faktor Penggunaan Lahan Kelas Kemampuan Peresapan Air Upaya Konservasi Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan dan mengelola aliran permukaan. A Sedang Sedang Sedang Rendah Sangat Rendah Tindakan : Pemulihan kawasan hutan lindung, terutama pada lahan dengan kemiringan mencapai 15% di selatan dengan mengkonversi sawah dan perkebunan menjadi hutan. (perkebunan dan hutan produksi) di sepanjang sempadan sungai, serta pembuatan teras untuk mengelola aliran permukaan.. Tujuan : Mempertahankan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan untuk memaksimalkan potensi fisik yang sudah baik. B Tinggi Sedang Tinggi Rendah Tinggi C Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan. Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah A, C dan E. Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan dan mengelola aliran permukaan. Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan terutama di sebagian wilayah Kecamatan Pagaden Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah E Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan dan mengelola aliran permukaan. D Tinggi Rendah Tinggi Rendah Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah E, F dan G.

87 Wil. Kemiringan Lahan Kemampuan Peresapan Air Faktor Fisik Alamiah Jenis Tanah Batuan Penyusun Faktor Penggunaan Lahan Kelas Kemampuan Peresapan Air Upaya Konservasi Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan sebaik mungkin, mengingat jenis tanah kurang permeabel. E Tinggi Rendah Sedang Rendah Sangat Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah K, L dan M, terutama di daerah selatan. Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan dan mengelola aliran permukaan. F Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah G. Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan untuk memaksimalkan kinerja tanah dan batuan yang yang berpotensi baik. G Tinggi & Sedang Sedang Tinggi Rendah Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan (perkebunan dan hutan produksi) di sepanjang sempadan sungai, serta pembuatan teras untuk mengelola aliran permukaan dari wilayah I Tujuan : Meningkatkan kemampuan resap melalui perbaikan penggunaan lahan sebaik mungkin, untuk meningkatkan kinerja fisik tanah dan batuan. H Tinggi & Sedang Sedang Sedang Rendah Sangat Rendah Tindakan: (perkebunan dan hutan produksi) dengan mengkonversi sawah tadah hujan Perbaikan drainase untuk mengurangi potensi genangan akibat aliran permukaan dari wilayah K dan I, terutama di daerah selatan.