BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. secara tidak terencana. Pada observasi awal yang dilakukan secara singkat, Kampung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II RUANG BAGI KEHIDUPAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

TUGAS AKHIR RUMAH SUSUN SEWA DI KAWASAN INDUSTRI KABUPATEN KARANGANYAR

BAB V KESIMPULAN 5.1. Karakteristik Fisik Lingkungan Perumahan Pahandut Seberang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kurangnya keamanan atas kepemilikan tanah; Kurangnya fasilitas-fasilitas dasar;

RIVERWALK SEBAGAI RUANG TERBUKA ALTERNATIF DI KAWASAN FLAMBOYAN BAWAH KOTA PALANGKA RAYA

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA

BAB III DESKRIPSI PROYEK

Universitas Sumatera Utara

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan

`BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. judul penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri

Terdapat 3 (tiga) metode dalam memarkir kendaraan, diantaranya adalah:

BAB I PENDAHULUAN. 1981). Kondisi dualistik pada kawasan perkotaan di gambarkan dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengabaikan masalah lingkungan (Djamal, 1997).

- BAB III - TINJAUAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tantangan pembangunan di Indonesia saat ini adalah mengatasi

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI)

MATA KULIAH PERENCANAAN TAPAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen

MORFOLOGI KAMPUNG NELAYAN BELAWAN MEDAN TESIS OLEH INGGRID HOSIANNA SIMANJUNTAK

PROPOSAL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan negara Indonesia yang lebih identik dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik penghuni yang mempengaruhi penataan interior rumah susun

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH.

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang.

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

DAFTAR ISI. Abstrak... Prakata... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... Daftar Lampiran... Daftar Pustaka...

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. pesat, khususnya pada kota-kota yang mempunyai kegiatan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II STEP BY STEP, UNDERSTANDING THE WHOLE PICTURE

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset

KONDISI PELAYANAN FASILITAS SOSIAL KECAMATAN BANYUMANIK-SEMARANG BERDASARKAN PERSEPSI PENDUDUK TUGAS AKHIR

JUDUL TESIS : Nama : Daniel NRM : PEMBIMBING :

BAB VI DATA DAN ANALISIS

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Medan merupakan suatu permukiman yang berada di daerah pesisir. Sebagian besar

BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR

BAB III PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN

BAB III METODE PENELITIAN

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN 1. 2 LATAR BELAKANG

Penjelasan Substansi. Dokumen Lengkap, ada pada BAB IV

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota merupakan sarana untuk menuju perbaikan kualitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Judul

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan

Elemen permukiman dengan ketidak layak hunian sedang. Lokasi

lib.archiplan.ugm.ac.id

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORERIKAL PENDEKATAN ARSITEKTUR ORGANIK PADA TATA RUANG LUAR DAN DALAM HOMESTAY DAN EKOWISATA SAWAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

Morfologi Spasial Lingkungan di Kawasan Malabar-Merbabu Malang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro (Dwihatmojo)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PENDAHULUAN Latar belakang

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN TA Latar Belakang PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III DESAIN RISET III.1 Pendekatan Studi

Sirkulasi Bangunan Rumah Tinggal Kampung Kauman Kota Malang

Transkripsi:

7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Struktur Permukiman Tidak Terencana Suatu permukiman terbentuk dengan adanya kebijakan yang didukung oleh pemerintah. Kebijakan tersebut umumnya dirancang untuk menjadi acuan dalam membangun suatu kawasan perumahan. Namun, sering sekali kebijakan tersebut ditujukan untuk kelompok menengah keatas. Sedangkan pengaturan untuk tempat tinggal bagi kelompok menengah kebawah tidak diatur dengan tepat. Dari hal tersebut, dapat diamati aspek sosial dan tingkat ekonomi dari seseorang akan berpengaruh dalam menentukan tempat tinggal. Adapun struktur permukiman yang memberikan pengaruh dalam terbentuknya suatu ruang hunian terdiri dari beberapa aspek. Aspek tersebut dapat berupa fisik dan juga nonfisik (Eldefrawi, 2013). Beberapa aspek tersebut antara lain: 2.1.1. Sosial morfologi permukiman Dalam suatu perkembangan struktur fisik pada permukiman tidak terencana diamati dari pola-pola khusus, aksesibilitas, sirkulasi, dan ruang-ruang bersosial yang membentuk dimensi ruang. Selain itu, bentuk fisik juga dapat dilihat dari jalan, plot dan pola bangunan yang menghubungkan sosial dari penghuninya. a. Menetap : Mulai mencari tempat untuk memenuhi kebutuhan tinggal. 7

8 b. Proliferasi : Mengundang kerabat untuk ikut menetap, menciptakan suatu ruang hunian dan menciptakan sosialisasi antar penghuni. c. Pengenalan : Akibat terjadinya perpindahan kerabat menyebabkan pengembangan struktur fisik dari permukiman tersebut sesuai dengan hubungan sosial antar kelompok. Lebar jalan dan pola bangunan tercipta berdasarkan kebutuhan, interaksi dan korelasi. 2.1.2. Sosial ekonomi Membangun suatu permukiman yang tidak terencana, tentu juga berhubungan dengan aspek ekonomi. Walaupun dalam konteks permukiman tidak terencana sebagian besar dihuni oleh kelompok menengah kebawah. Mereka tetap memerlukan uang atau biaya dalam membangun tempat tinggalnya. Dengan memenuhi kebutuhan tersebut, tentu akan tercermin pada bentuk fisik rumah tinggal mereka. Adapun rumah tinggal yang terbentuk, tentunya tidak sesuai dengan standarisasi tempat tinggal yang tepat dan juga penggunaan material yang sesuai. Dimensi dari ruang hunian, umumnya akan berbeda apabila dibandingkan dengan rumah pada permukiman terencana. 2.1.3 Pola Jalan Pada permukiman tidak terencana, pola jalan yang ada umumnya menggunakan berbagai macam dimensi yang berbeda. Jalan tidak hanya digunakan 8

9 sebagai jalur penghubung antar ruang, tetapi juga sebagai ruang bersosialisasi. Selain itu, jalan juga digunakan untuk mendukung kegiatan yang akan diadakan di permukiman tersebut. Sehingga, dengan adanya pola yang terbentuk menjadikannya sebagai ruang yang dapat mendukung interaksi antar penghuni. Selain itu, fungsi lain dari jalan juga dapat sebagai : a. Jalan sebagai tambahan rumah Ruang yang tercipta pada jalan yang berada di depan rumah, dapat dijadikan halaman atau teras untuk melakukan interaksi antar tetangga. b. Jalan sebagai lahan kerja Aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan diluar rumah menjadikan penghuni dapat melakukannya tanpa berada jauh dari rumah. Hal tersebut dapat memudahkan penghuni dalam mengawasi tempat tinggalnya. c. Jalan sebagai ruang komersil Beberapa penghuni sering mencari mata pencaharian lain untuk memenuhi kebutuhannya sehingga, dengan ruang yag tersedia dapat dimanfaatkan untuk mencari pekerjaan lain. Sabagai contoh, beberapa penghuni membuka warung didaerahnnya. Umumnya, mereka mendirikan warung pada ruang-ruang yang dapat diakses. Sehingga, jalan atau sirkulasi sering dijadikan tempat dalam 9

10 membangun warung karena keterbatasan lahan dan juga selalu dilalui oleh penghuni setempat. 2.1.4 Bentuk dan Pola Bangunan Suatu permukiman informal pada umumnya, dibentuk dengan pola ruang hunian yang mendukung keseharian mereka. Sebagai contoh, ruang hunian terbentuk untuk mendukung mata pencaharian mereka yang mempunyai jarak tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Contoh lain yaitu, terdapat kawasan perdagangan yang menjadikan para pendatang ingin tinggal di kawasan tersebut agar mudah untuk mengakses lokasi yang dapat memberikan peluang pekerjaan. 2.1.5 Permukiman Tidak Terencana Dalam suatu kawasan atau perkotaan, kenyataan tumbuhnya permukiman tidak terencana tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, permukiman tidak terencana timbul dengan adanya dorongan kebutuhan akan tempat tinggal. Permukiman tidak terencana sering sekali membentuk suatu ruang hunian yang dibangun pada area yang tidak resmi direncanakan sebagai ruang hunian. Ciri khas yang paling menonjol pada permukiman tidak terencana yaitu terlihat pada bangunan-bangunan hunian berkualitas rendah yang tidak mempunyai infrastruktur dan fasilitas sosial yang memadai (Ali & Sulaiman, 2006. Hal 2). Pada prinsipnya, suatu permukiman tidak terencana dibangun atas dasar ingin memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal bagi masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi rendah. Dalam hal ini, terbentuknya 10

11 suatu permukiman yang tidak terencana selalu menjadi permasalahan yang terdapat di kota-kota besar. Permukiman tidak terencana ini kemudian akan berkembang menjadi lebih besar. Adapun ciri khas yang terlihat jelas pada suatu permukiman tidak terencana yaitu, sebagian besar ruang hunian dibangun tidak sesuai standar perumahan. Sehingga, sering sekali bangunan-bangunan tersebut hanya dibangun seadanya dan tidak mementingkan pengaturan ruang hunian yang layak. Selain itu, infrastruktur yang tidak memadai juga menjadi ciri khas pada permukiman tidak terencana. Fasilitas-fasilitas sosial seperti, pelayanan kesahatan, tempat ibadah maupun sarana pendidikan tidak dirancang dengan baik bahkan, beberapa daerah tidak mempunyai ruang sosial tersebut di sekitar kawasannya. Permukiman tidak terencena memang tidak selalu mempunyai karakteristik yang sama di setiap daerah. Permukiman tidak terencana selalu dipengaruhi aspek yang berbeda-beda pada suatu kawasan. Tetapi, secara garis besar ciri-ciri permukiman tidak terencana dapat terlihat dengan memahami karakteristik yang timbul di kawasan tersebut. Karakteristik pada suatu permukiman tidak terencana dapat ditinjau dengan mengamati beberapa faktor, antara lain: (1) Kepemilikan tanah, (2) Struktur dan fasilitas sosial, (3) Infrastruktur, (4) Ekonomi dan finansial, serta (5) Sosial-budaya (Onyekachi, 2014). Karakteristik pada permukiman tidak terencana dapat diamati dari beberapa faktor yang terdapat di daerah tersebut. Walaupun setiap permukiman tidak terencana mempunyai karakteristik yang berbeda dengan area lain, tetapi ciri khas umum tersebut dapat menjadi suatu acuan dalam menilai suatu 11

12 permukiman tersebut dibangun tidak terencana. Faktor kepemilikan tanah adalah salah satu hal paling umum yang dapat diamati dari permukiman tidak terencana. Pada dasarnya, pemerintah memiliki lahan yang sangat banyak. Beberapa digunakan untuk pembangunan suatu kawasan secara berkelanjutan dan ada juga yang bersifat pribadi. Adapun, kepemilikan lahan dari pemerintah tersebut tentunya sudah mempunyai perencanaan dan pengembangan kawasan yang lebih baik. Tetapi, pada perencanaan suatu kawasan tersebut tentu tidak langsung dapat diwujudkan oleh pemerintah karena adanya permasalahan mengenai pendanaan dan persetujuan. Sehingga, dengan tidak adanya kejelasan mengenai suatu lahan yang dimiliki pemerintah para penduduk semakin terdesak akan kebutuhan tempat tinggal mulai menempati ruang-ruang yang berpotensi untuk ditinggali. Dengan dibangunnya permukiman di daerah tersebut, tentu para penghuni tidak mempunyai surat atas kepemilikan tanah karena pada dasarnya lahan yang mereka gunakan tidak dan atau belum diperuntukkan sebagai permukiman yang resmi oleh pemerintah. Selain itu, faktor struktur juga terlihat pada bangunan-bangunan di permukiman tidak terencana. Bangunan pada permukiman tersebut, umumnya dibangun secara tidak permanen dan tidak sesuai standar perumahan. Adapun fasilitas sosial sering sekali tidak dibangun secara layak untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan. Sehingga, suatu ruang untuk beraktifitas atau interaksi sosial antar penghuni setempat hanya terbentuk secara sederhana. Infrastuktur yang kurang memadai juga terlihat pada permukiman yang tidak terencana. Hal tersebut didorong oleh faktor kepemilikan tanah yang tidak 12

13 resmi, sehingga menimbulkan rasa takut akan penghuni lokal untuk menuntut perbaikan infrastuktur yang lebih baik di daerahnya oleh pemerintah. Adapun hal tersebut terjadi, juga didorong oleh tingkat ekonomi dan finansial yang rendah pada penghuni setempat. Sehingga, mereka tidak dapat memperbaiki infrastruktur daerahnya maupun ruang huniannya. Sosial-budaya juga tidak dapat dipisahkan dari faktor terbentuknya suatu permukiman tidak terencana. Umumnya, suatu permukiman tidak terencana dihuni oleh penghuni yang mempunyai persamaan sosial maupun budaya. Sebagai contoh, adanya suatu perkampungan yang dihuni oleh mayoritas suku maupun suatu etnik atau permukiman yang sebagian besar ditempati oleh masyarakat yang bermata pencaharian tertentu. Suatu permukiman tidak terencana juga dapat berkembang semakin besar apabila tidak adanya kebijakan yang jelas dalam mengatasi permasalahn tersebut. Salah satu contohnya, terdapat permukiman yang tumbuh secara tidak terencana pada kota Kaludjerica, Serbia. Struktur perkotaan pada Kaludjerica terjadi secara spontan dan tidak beraturan. Tidak ada bentuk yang pasti dalam mengatur arah pembangunan permukiman di area tersebut. Bentuk dari blok-blok perumahan terjadi secara tidak teratur, ukuran lahan yang berbeda-beda, orientasi bangunan yang tidak tepat, dan posisi antar rumah yang tidak jelas. Sehingga, privasi terhadap antar ruang hunian sangat ada yang membatasi (Radulovic dkk, 2013. Hal 7/13). Pola permukiman dapat dilihat pada gambar 2.1. Pada permukiman tidak terencana tersebut, dapat terlihat jelas bahwa pola yang terbentuk terjadi secara abstrak. Permukiman tumbuh secara 13

14 spontan pada area-area yang masih kosong dengan tidak menggunakan perencanaan yang seusai terlebih dahulu. Pola sirkulasi jalan juga terbentuk secara tidak beraturan dan tidak adanya pengaturan yang jelas pada sistem sirkulasi. Gambar 2.1 Area Permukiman Tidak Terencana di Kaludjerica, Serbia (Sumber : Republic geodetic authority of Serbia) Selain itu, area hunian tidak dilengkapi dengan area terbuka atau halaman pada bangunannya. Pada sirkulasi juga terlihat tidak adanya jalur pedestrian yang dirancang. Bangunan rumah dan jalan juga tidak mempunyai batas maupun standar jarak yang harus dipenuhi. Adapun, susunan bangunan terbentuk secara tidak teratur dan tidak mempunyai orientasi yang jelas serta antar bangunan tidak mempunyai privasi yang terjaga. Sebagai contoh, dalam satu blok susunan bangunan rumah dapat saling berhadapan, sejajar maupun berbentuk secara diagonal. Sehingga, ruang-ruang 14

15 kosong akan terbentuk karena tidak adanya pengaturan akan posisi bangunan untuk mendapatkan area yang sesuai dan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. 2.2 Keadaan Sosial di Permukiman Tidak Terencana Dalam suatu permukiman tidak terencana, keadaan sosial dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya daerah tersebut. Keadaan sosial tersebut dapat didorong oleh persamaan perilaku, aktivitas ekonomi maupun interaksi antar penghuni yang kemudian membentuk suatu ruang hunian (Hurskainen, 2004). Perbedaan kriteria pada suatu permukiman tidak terencana terlihat pada aspek fisik, hubungan spasial, sosial dan perilaku penghuni. Kenyataannya, pertumbuhan penghuni ilegal terjadi sangat pesat dengan menempati area tertentu maupun membangun tempat tinggal permanen. Populasi yang berkembang umumnya didukung oleh keadaan sosial dan latar belakang ekonomi yang sama. Sehingga, setiap permukiman tentu mempunyai karakteristik yang berbeda dalam membentuk area huniannya. Dalam suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana sebagian besar didominasi oleh suatu persamaan keadaan sosial didalamnya. Adanya hubungan spasial membentuk suatu ruang yang dapat digunakan para penghuni untuk berinteraksi atau sebagai area hunian. Pertumbuhan permukiman tidak terencana juga akan mengalami peningkatan apabila terdapat persamaan sosial pada penghuninya. Semakin banyak pertumbuhan populasi pada suatu kawasan juga akan mempengaruhi 15

16 perkembangan permukiman tidak terencana. Keadaan sosial sering sekali membentuk suatu ruang yang kemudian berkembang menjadi permukiman yang tidak terencana. Pada permukiman tersebut, tentu akan ditemukan pola-pola yang berkaitan dengan ruang hunian, ruang berkumpul, pola jalan dan bentuk permukiman. Selain itu, setiap daerah juga akan akan mempunyai pola yang berbeda karena dapat dipengaruhi lingkungan, topografi lahan maupun fungsi yang berbeda. Adanya perkembangan suatu permukiman yang tidak terencana pasti terjadi secara spontan dan tidak mempunyai perencanaan maupun pengaturan terlebih dahulu. Walaupun, pada dasarnya suatu permukiman tidak terencana terjadi atas persamaan keadaan sosial, tetapi tidak akan pernah ditemukan karakteristik yang benar-benar identik pada kawasan-kawasan tersebut (Fernandez, 2002). Gambar 2.2 Pola Grid di permukiman kumuh, Lima, Peru (Sumber: Fernandez, 2002) Pada permukiman tersebut terlihat jelas adanya pola permukiman yang terjadi membentuk persegi panjang mengikuti garis-garis jalan (gambar 2.2). Susunan pada 16

17 area hunian juga teratur dan berorientasi ke jalan. Tetapi, secara keseluruhan pola grid tersebut tidak terjadi secara teratur dan lurus karena adanya kondisi lingkungan yang tidak mendukung pola tersebut. Sehingga, kawasan tersebut terlihat membentuk sebagian pola grid teratur dengan persegi dan terdapat juga grid yang tidak lurus. Gambar 2.3 Pola grid permukiman kumuh Tarna Rosa, Lima, Peru. (Sumber: Fernandez, 2002) Pada contoh permukiman lainnya yang terlihat pada gambar 2.3, sangat jelas terlihat pola grid yang teratur membentuk ruang-ruang hunian secara persegi panjang. Sirkulasi jalan terbentuk secara teratur dan saling berhubungan menjadikan akses pada daerah tersebut lebih mudah untuk dijangkau. Adapun, ruang-ruang hunian berorientasi pada sirkulasi jalan. Sehingga, setiap bangunan akan mendapatkan posisi bangunan yang menghadap ke jalan. Dengan adanya pola grid yang jelas akan membentuk sudut-sudut jalan yang akan banyak dilewati. Pada permukiman tersebuta 17

18 tersebut area hunian terbagi menjadi 2 blok permukiman. Salah satu blok terbentuk menjadi pola persegi panjang dan mempunyai akses sirkulasi yang sejajar dan jelas. Gambar 2.4 Pola grid pada permukiman kumuh Dos de Mayo et Primero de Mayo Slums, Lima Peru (Sumber: Fernandez, 2002) Kemudian, terdapat 2 pola grid yang terbentuk pada kawasan yang terlihat pada gambar 2.4. Pola grid yang sejajar telihat pada sisi permukiman di bagian kiri, sedangkan pada area kanan terbentuk garis pola yang tidak sejajar. Pola pada area bagian kanan terbentuk secara abstrak dan tidak berbentuk persegi. Adapun, ruang hunian yang terbentuk pada area kanan, terlihat mempunyai dmensi yang berbedabeda. Sirkulasi pada daerah tersebut juga terbentuk secara abstrak karena mengikuti bentuk lahan yang tidak lurus. Gambar 2.5 Pola permukiman kumuh Cerro El Agustino dan Santa Clara de Bella Luz Slums di Lima Peru. 18

19 (Sumber: Fernandez, 2002) Selanjutnya pada permukiman kumuh lainnya yang terdapat di Lima, Peru terbentuk pola yang berbeda yaitu terbentuk secara organik (gambar 2.5). Pola organik yaitu pertumbuhan permukiman yang terjadi secara alami. Pola dari ruangruang hunian dan sirkulasi terbentuk secara abstrak. Tidak ada pola grid yang teratur pada permukiman tersebut. Dimensi-dimensi dari ruang hunian yang terbentuk juga terjadi secara tidak teratur. Gambar 2.6 Pola linear pada permukiman kumuh di Mamede Salvador de Bahia Brazil (Sumber: Fernandez, 2002) Pada gambar 2.6, terlihat pola yang terbentuk merupakan permukiman yang terjadi dengan mengikuti tofografi lahan. Adapun ruang hunian dan sirkulasi jalan terbentuk dengan adanya bentuk kontur yang berbeda-beda pada kawasan tersebut. Ruang hunian dibangun mengelilingi garis kontur di kawasan tersebut. Ruang hunian yang terbentuk mengikuti garis kontur. Semakin rendah ketinggian kontur tanah akan 19

20 semakin banyak dibangun ruang hunian dan begitu juga sebaliknya. Sehingga terlihat pada gambar tersebut, di garis kontur yang lebih tinggi bangunan juga semakin sedikit ditemui. Adapun akses jalan yang lebih besar untuk dilalui terdapat pada ketinggian yang lebih rendah. Maka dari itu, terlihat bangunan-bangunan juga lebih banyak tumbuh didaerah dengan ketinggian rendah dan dekat dengan jalan. Gambar 2.7 Pola radial pada permukiman kumuh di Vila Natal (Sumber: Physical And Spatial Characteristic of Slum Territories Vulnerable to Natural Disaster) Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.7, sebagian besar bangunan berorientasi ke kontur yang lebih tinggi. Pola yang terbentuk yaitu radial, dengan adanya ruang-ruang yang terbentuk dengan pola bertingkat sesuai dengan ketinggian tanah yang berbeda. Pola radial membagi 5 blok permukiman secara tegak lurus walaupun tofografi pada lahan tidak rata. Pada permukiman tersebut, dapat terlihat pola seperti terasering yang disusun bertingkat dan sesuai dengan ketinggian konturnya. 20

21 Gambar 2.8 Pola paralel yang mengikuti garis kontur. (Sumber: Fernandez, 2002) Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.8, ruang hunian akan terbentuk secara diagonal dari garis kontur. Sehingga, ruang hunian yang tercipa akan mempunyai kemiringan yang sama dengan level kontur. Permukiman ini tidak mengikuti garis kontur secara horizontal, tetapi membentuknya dengan garis vertikal. Adapun, ruang yang terbentuk umumnya tidak dibangun secara berdekatan tetapi hanya berdiri beberapa rumah pada ketinggian tertentu. Dari beberapa contoh tersebut, dapat dilihat banyaknya pola-pola yang terbentuk pada permukiman kumuh yang terjadi secara tidak terencana. Namun, tidak semua permukiman kumuh mengakomodasi wujud kemiskinan pada perkotaan dan atau dengan kata lain semua penduduk setempat selalu miskin. Dalam menghadapi tantangan dari daerah kumuh, peraturan yang berhubungan dengan keberlanjutan kondisi permukiman harus memiliki sistem yang jelas. Hal tersebut dapat dilakukan 21

22 dengan cara mengamati aktifitas sosial yang berjalan di daerah tersebut, melakukan pendekatan dengan penghuni lokal dan merencanakan peningkatan dari ruang hunian, infrastruktur dan kondisi lingkungan (Onyekachi, 2014. Hal 424). Pada dasarnya, suatu permukiman yang terbentuk secara tidak terencana selalu dikaitkan dengan sosial-ekonomi dari penghuni setempat. Dalam hal ini, sebagian besar penghuni dari permukiman tersebut berasal dari tingkat ekonomi yang rendah. Tetapi, bukan berarti pada setiap permukiman tidak terencana selalu menggambarkan wujud kemiskinan pada kota yang ditempatinya. Permukiman tidak terencana dapat terbentuk dari berbagai alasan dan tidak hanya berasal dari masalah perekonomian. Keadaan sosial tentu memberi pengaruh pada terbentuknya permukiman tersebut, tetapi tetap tidak dapat dijadikan alasan utama. Pemerintah juga mempunyai andil atas terbentuknya permukiman tidak terencana. Hal tersebut dapat dimulai dengan tidak adanya perencanan yang tepat atas suatu lahan maupun penangaan dan solusi atas pertumbuhan populasi yang semakin banyak. Maka dari itu, sangat diperlukan adanya pendekataan pada penghuni dari permukiman tidak terencana. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, sehingga kemudian dapat mencari solusi untuk memperbaiki maupun melakukan perencanaan pada daerah tersebut. Tetapi, sebagian besar permasalahan atas suatu permukiman tidak terencana selalu dapat mengandalkan peran pemerintah dalam mencari solusi. Sering sekali suatu permukiman tidak terencana mulai terbentuk menjadi lebih besar tanpa terdapat peran pemerintah dalam pengembangannya. Para penduduk suatu permukiman tentu tidak 22

23 dapat terus menggantungkan setiap kebutuhan pada pemerintah maupun otoritas lokal. Penduduk juga diharuskan memiliki pengetahuan akan permasalahan, penyebab dan solusi yang memungkinkan untuk daerah huniannya. Penduduk tentu mempunyai kesempatan dalam memanfaatkan dan mengolah ruang hunian mereka. Penduduk juga tetap memerlukan pengawasan, pelatihan maupun bimbingan dari pihak berwenang. Hal tersebut dilakukan, agar penduduk suatu permukiman dapat mengambil langkah dan cara sendiri untuk memperbaiki daerahnya, tetapi masih tetap berada pada peraturan yang telah disepakati (Hurskainen, 2004). Pada permukiman tidak terencana, sering sekali ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan infrastuktur di kawasannya. Hal tersebut terjadi karena suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana tentu memerlukan fasilitas-fasilitas sosial yang sebelumnya tidak dirancang. Sehingga, ketika suatu permukiman itu mulai berkembang, sangat diperlukan adanya infrastruktur yang mendukung dan fasilitas sosial yang memadai. Tetapi, pada suatu permukiman tidak terencana hal tersebut tidak direncakanan terlebih dahulu. Para penghuni hanya berfikir untuk membangun huniannya dan tidak merencanakan untuk mengatur ruang-ruang publik maupun sarana yang diperlukan nantinya. Sehingga, ketika suatu permukiman tidak terencana kemudian mengalami suatu kebutuhan ataupun permasalahan, pemerintah tidak dapat selalu memberikan bantuan langsung pada daeah tersebut. Hal tersebut juga didasari atas kepemilikan lahan yang tidak resmi oleh para penghuni. Sehingga, sering sekali pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi 23

24 permasalahan. Maka dari itu, para penghuni setempat perlu memahami permasalahan yang terjadi di daerahnya sendiri agar solusi bagi ruang hunian tersebut dapat ditemukan. 2.3 Pengaruh Aspek Ekonomi Terhadap Terbentuknya Permukiman Tidak Terencana Pada permukiman tidak terencana tentu terbentuk melalui alasan-alasan yang mempengaruhinya. Aspek ekonomi turut memberikan suatu alasan dalam terbentuknya permukiman yang tumbuh secara tidak terencana. Adanya suatu perubahan yang terjadi pada suatu kawasan turut memberi peran dalam pertumbuhan permukiman tersebut. Salah satu faktor tersebut adalahnya peningkatan migrasi pada suatu kawasan. Perubahan yang menyebabkan peningkatan migrasi umunya terjadi akibat adanya peluang pekerjaan baru berdasarkan dua sudut pandang. Pertama, adanya lapangan pekerjaan baru memberikan kesempatan bagi para pendatang untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik dari segi ekonomi. Kedua, apabila diamati melalui perspektif berbeda dengan adanya para pendatang menjadikan populasi manusia di kawasan tersebut semakin meningkat. Peningkatan tersebut yang dapat memberikan pengaruh pada terciptanya ruang-ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal para pendatang. Sehingga, dalam memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal diwujudkan dengan cara mencari area hunian yang dirasa tepat sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka (Rani & Shylendra, 2002). Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman tidak terencana adalah adanya 24

25 peningkatan migrasi ke daerah perkotaan. Migrasi tersebut dapat memberikan dampak positif maupun negatif dalam mengembangkan suatu kawasan. Pada dampak positif, adanya migrasi akan memberikan lapangan pekerjaan baru bagi para pendatang. Hal tersebut tentu akan berpotensi bagi kehidupan para imigran untuk memperoleh penghidupan dari segi perekonomian yang lebih baik. Tetapi, dampak negatif dari peningkatan migrasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan permukiman yang tidak terencana. Para pendatang yang mengharapkan penghidupan yang lebih layak tentu akan memerlukan ruang-ruang untuk tempat tinggal mereka. Selain itu, semakin banyaknya para pendatang yang terjadi akibat perkembangan suatu kawasan akan semakin mendesak keberadaan masyarakat yang tidak memiliki tempat tinggal yang resmi untuk meninggalkan daerahnya. Hal itu dapat terjadi karena daerah yang mereka tempati akan diambil alih oleh para perancang untuk dijadikan lahan perumahan maupun pembangunan yang lain. Sehingga, tercipta dorongan untuk membangun ruang baru pada daerah-daerah yang berpotensi untuk ditempati. Pengaruh aspek ekonomi juga tidak hanya akan membentuk ruang hunian pada permukiman. Terdapat hubungan positif yang secara signifikan antara pola pergerakan pada pejalan kaki dan akses spasial yang dipengaruhi interaksi sosial yang berhubungan dengan aspek ekonomi pada penghuni di permukiman. Adanya pengaruh aspek ekonomi juga dapat terlihat pada pola jalan yang terbentuk. Sebagai contoh, terdapat perbandingan pada permukiman tidak terencana dan permukiman terencana di Cairo. Ezbet bezkhit adalah permukiman tumbuh pada area yang tidak 25

26 direncanakan pada area gurun. Pada permukiman tidak terencana tersebut, interaksi yang terjadi akibat adanya ruang komersil yang terdapat di sekitar area hunian cenderung lebih banyak. Sedangkan pada Abu Qatada, yang merupakan permukiman resmi di lahan pertanian, pergerakan pejalan kaki hanya terlihat lebih banyak pada saat ingin menuju ke kota daripada di sirlukasi sekitar tempat tinggal (Mohamed & Mohareb, 2012). Pada gambar 2.10, terlihat perbedaan pola jalan yang terbentuk pada kedua permukiman tersebut. Pada permukiman yang tidak terencana terlihat bahwa pola jalan yang terbentuk tidak terdapat pengaturan maupun perancangan sebelumnya. Sehingga, pola yang terbentuk terlihat abstrak dan tidak beraturan. Berbeda dengan permukiman terencana yang pada pola jalan terlihat lebih teratur dan berbentuk grid. Akses pada jalan utama juga diatur sejajar dan permukiman membentuk pola persegi panjang dengan mengikuti sirkulasi. Gambar 2.10 Pola jalan pada permukiman tidak terencana Ezbet Bezkhit (Kiri) dan Pola jalan pada permukiman terencana (Abu Qatada). (Sumber: Mohamed & Mohareb, 2012) 26

27 Tetapi, selain pola jalan yang terbentuk berbeda di kedua permukiman adanya pola jalan yang terbentuk juga berbeda di kedua permukiman. Terdapat perbedaan interaksi dan pergerakan pejalan kaki yang menggunakan ruang sirkulasi tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada perbandingan di kedua area yang terdapat di gambar 2.11. Gambar 2.11. Pergerakan dan interaksi penghuni pada area jalan yang terlihat pada Ezbet Bezkhir (kiri) dan Abu Qatada (kanan) (Sumber: Mohamed & Mohareb, 2012) Pada area sirkulasi di kedua permukiman tersebut, terlihat perbedaan jumlah dan tempat-tempat terjadinya interaksi dari penghuni setempat. Pada permukiman yang tidak terencana, pergerakan pengguna jalan tersebar hampir menyeluruh pada kawasan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pola sirkulasi yang tidak teratur, sehingga pergerakan pada daerah tersebut menyebar kearah yang berbeda-beda menuju akses jalan yang lebih besar. Interaksi juga terjadi di beberapa titik permukiman dan semakin banyak terdapat pada akses jalan menuju kota. Pada permukiman kumuh, 27

28 sebagian besar pengguna jalan berasal dari orang dewasa, tetapi ada titik yang didominasi remaja dan seimbang dengan anak-anak. Sedangkan pada permukiman yang terencana, interaksi lebih banyak terjadi pada sirkulasi jalan yang lebih besar. Sebagian besar pengguna jalan melakukan interaksi pada jalan akses menju ke kota. Pengguna jalan juga terlihat didominasi oleh orang dewasa. Para remaja dan anakanak tidak pernah lebih dominan dalam melakukan interaksi di ruang sirkulasi tersebut. Sehingga, dapat terlihat bahwa pada permukiman tidak terencana, penghuni setempat cenderung lebih banyak berinteraksi maupun melakukan pergerakan pada akses yang mereka miliki. Sedangkan pada permukiman terencana, interaksi hanya terjadi pada beberapa titik yang terdapat pada akses jalan besar menuju kota. Dari hal tersebut, dapat dilihat perbedaan gender juga mempengaruhi adanya ruang-ruang yang digunakan sebagai tempat berinteraksi. Interaksi yang terjadi juga terdapat pada ruang-ruang komersil yang terdapat pada permukiman tersebut. Sehingga, aktifitas ekonomi juga tidak dapat dipisahkan dalam terbentuknya suatu ruang interaksi. Suatu bentuk perkotaan ataupun permukiman disatukan dengan adanya interaksi simbiosis dari pembangunan infrastruktur dan aktifitas ekonomi dengan penghuni setempat. Interaksi ini secara sistematis terjadi karena adanya kepentingan dari penghuni setempat untuk terus mengembangkan daerahnya (Bessusi dkk, 2010). Suatu bentuk permukiman sering sekali terjadi karena adanya interaksi, seperti pada permukiman tidak terencana di Kairo, interaksi terjadi pada area sirkulasi dan juga ruang-ruang komersilnya. Aktifitas ekonomi juga selalu berkaitan dengan terbentuknya ruang dan 28

29 kemudian menjadi suatu permukiman. Dengan adanya aktifitas ekonomi, penghuni setempat juga akan membutuhkan fasilitas-fasilitas yang mendukung. Sehingga, seiring berjalannya waktu suatu permukiman tidak terencana akan semakin mengembangkan daerahnya agar terus mendukung aktifitas ekonomi mereka. Tentu dari hal tersebut, dapat terlihat dalam pengembangan permukiman terdapat pengaruh dalam membentuk suatu ruang. Adanya faktor yang mempengaruhi dapat terkait dengan sistem budaya, politik, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda di dunia. Dengan demikian, tentu setiap permukiman mempunyai pola yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain, tempat ke tempat lain maupun waktu ke waktu. Oleh karena itu, sangat penting penghuni suatu permukiman dalam mengatur hubungan spasial antar area hunian dengan area hunian lainnya berdasarkan aspek jarak, perbedaan fungsi, aspek sosial, ekonomi dan pengaturan lainnya (Sarkar, 2010. Hal 1). Adanya aspek yang mempengaruhi terbentuknya suatu ruang hunian tentu menjadikan suatu permukiman mempunyai pola-pola yang berbeda dengan yang lain. Pola yang terbentuk pada suatu permukiman pada dasarnya dipengaruhi oleh keadaan sosial pada kawasan tersebut. Dalam suatu permukiman, tentu memerlukan suatu hubungan spasial antar area hunian lainnya. hal tersebut dilakukan agar terjalin interaksi sosial pada penghuni area tersebut. Adapun suatu area hunian tentu terbentuk melalui aspek yang berbeda-beda. Perbedaan jarak yang dapat diakses atau sistem sirkulasi yang terdapat di suatu permukiman formal tentu akan berbeda apabila dibandingkan dengan permukiman yang terbentuk secara tidak terencana. Area 29

30 hunian yang terbentuk pada permukiman tidak terencana juga akan mempunyai perbedaan fungsi. Sebagai contoh, para permukiman formal area hunian hanya digunakan untuk tempat tinggal, tetapi pada permukiman tidak terencana dapat digunakan sebagai hunian dan juga ruang berkumpul. Selain itu, tentu pada permukiman tidak terencana aspek sosial-ekonomi akan terlihat jelas apabila dibandingkan dengan permukiman formal. Pada umumnya, kondisi ekonomi yang rendah menjadi faktor utama yang membentuk suatu permukiman tidak terencana. Sehingga, pada ruang hunian di kedua permukiman tersebut juga akan mudah terlihat perbedaannya. Sebagai contoh pada permukiman tidak terencana, bangunan yang terdapat cenderung dibangun tidak permanen dan juga berada pada lokasi yang tidak direncanakan sebagai area perumahan. 2.4 Aspek Lainnya Dalam Membentuk Permukiman Tidak Terencana Suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana tentu tidak hanya didorong oleh salah satu aspek tertentu saja. Permukiman tersebut akan terbentuk melalui aspek yang saling berkaitan dengan kondisi maupun situasi yang berbeda yang dapat timbul dari lingkungan maupun penghuni lokal. Sehingga, dalam terbentuknya suatu permukiman akan tercipta pengelompokkan ruang hunian, ruang berkumpul, pola jalan maupun bentuk permukiman yang berbeda-beda di setiap tempat. Pengelompokkan ruang hunian terjadi oleh pengaruh aspek-aspek kehidupan. Aspek tersebut adalah aktivitas ekonomi, sistem sirkulasi, komunikasi, sistem politik, administrasi, budaya dan aktifitas sosial (Sarkar, 2010. Hal 1). Aspek kehidupan 30

31 selalu mempengaruhi aktifitas maupun perilaku manusia. Sebagai contoh, aktifitas ekonomi akan mendorong seseorang untuk terus memenuhi kebutuhan dengan cara meningkatkan mata pencahariannya yang secara finansial dapat memenuhi setiap keperluannya sehari-hari. Selain itu, aspek ekonomi sering sekali menjadi tolak ukur seseorang dalam menciptakan hubungan spasial yang terjadi di lingkungannya. Pada suatu permukiman yang tidak terencana, sering sekali dilatarbelakangi oleh penghuni dengan tingkat ekonomi yang rendah. Sehingga, terbentuk suatu ruang yang dihuni oleh penghuni dengan persamaan keadaan sosial. Pengelompokkan ruang hunian, juga dapat terbentuk dari sistem sirkulasi di permukiman tersebut. Selain itu, suatu perumahan atau permukiman pada umumnya memerlukan sistem pengaturan secara luas seperti, pengaturan pada zona hunian, lingkungan atau ruang terbuka serta pengaturan jaringan jalan atau jangkauan atau akses ke daerah lain (Rapoport, 2006). Hubungan spasial tentu terjadi dengan adanya komunikasi antar penghuni setempat. Komunikasi yang terjalin tentu dapat terjadi dengan adanya interaksi yang terjadi secara spontan maupun saat direncanakan. Adanya komunikasi yang terjadi sering sekali menciptakan ruang sosial baru di suatu kawasan. Sebagai contoh, dengan adanya sirkulasi yang tidak terlalu besar di suatu permukiman tidak terencana, maka memungkinkan beberapa penghuni akan bertemu saat mengakses jalan tersebut. Dengan adanya pergerakan tersebut, tentu akan menciptakan komunikasi diantara mereka. Komunikasi yang terjadi pada area sirkulasi tersebut tentu sudah tercipta ruang sosial secara tidak langsung karena adanya interaksi antar penghuni. Maka dari 31

32 itu, komunikasi sangat berperan dalam membentuk hubungan spasial pada permukiman tidak terencana. Pengaturan-pengaturan yang baik pada suatu permukiman tidak terencana tentunya juga akan membentikan manfaat apabila daerah tersebut dikembangkan menjadi kawasan permukiman yang resmi. Adanya pengembangan perumahan maupun permukiman secara besar-besaran di area perkotaan, memerlukan konsep yang tepat untuk mencapai tujuan. Konsep tersebut dilakukan untuk mendukung pengembangan berkelanjutan, integrasi antar lingkungan sekitar dengan kota, kawasan maupun desa. Sehingga, apabila direncanakan dengan tepat maka akan tercipta suatu konsep yang dapat menghubungkan pengaturan pada modal sosial dan pemberdayaan penghuni ilegal di suatu kawasan (Babei, Ahmad & Gill, 2012.). Sehingga, sangat diperlukan bantuan dari pemerintah tidak hanya dari segi perencanaan suatu akwasan. Tetapi, juga dapat memberikan suatu bimbingan maupun pengaturan bagi para penghuni permukiman tidak terencana. Hal in penting, agar dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di daerahnya, mereka tetap berada pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga, ketika kawasan tersebut sudah mulai berkembang, tidak akan menimbulkan permasalahan baru dan juga dapat memberi kesempatan untuk mengembangkan daerahnya. 32