BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari 57 negara yang menghadapi krisis tenaga kesehatan. Hal ini ditunjukkan dengan cakupan tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat) yang kurang dari ambang batas yang harus dipenuhi sebesar 23 per 10.000 penduduk (World Health Organization, 2006). Di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada kondisi belum terpenuhinya berbagai target yang menjadi indikator status kesehatan, di antaranya masih tingginya angka kematian balita. Selain sebagai indikator status kesehatan, menurunkan angka kematian balita menjadi komitmen internasional dalam pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010). Berdasarkan catatan World Health Organization (WHO), pada tahun 2012 terdapat 6,6 juta balita meninggal dunia. Hampir 75% dari kematian tersebut disebabkan oleh 6 penyebab, yaitu: penyebab neonatal sendiri, pneumonia, malaria, campak, dan HIV/AIDS (www.who.int). Angka kematian balita (AKABA) di Indonesia sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup, masih jauh dari target MDGs, yaitu 32 per 1.000 kelahiran hidup, sementara angka kematian bayi (AKB) 32 per 1.000 kelahiran hidup (BPS, 2012). Penyebab kematian balita nomor 1 menurut catatan WHO tahun 2011 adalah pneumonia sebesar 17,5% (World Health Organization, 2011). Di Indonesia, proporsi penyakit penyebab kematian pada bayi postneonatal (29 hari-11 bulan) dan anak balita (1-4 tahun) untuk 2 terbesar mempunyai pola yang sama, yaitu diare dan pneumonia. Untuk balita, penyebab kematian yang perlu mendapat perhatian adalah campak 6% dan tuberkulosis 4% (Kementerian Kesehatan, 2007). Upaya pencegahan menjadi komponen penting dalam strategi mengurangi angka kematian anak dan balita. Pencegahan yang dinilai efektif adalah dengan pemberian vaksin pada bayi. Cakupan vaksinasi campak dinilai dapat mencegah pneumonia dan campak sehingga dapat mengurangi angka kematian anak. Selain itu, cakupan vaksinasi campak merupakan penanda akses ke layanan kesehatan anak, kondisi ini menjadikan cakupan vaksinasi campak rutin dipilih sebagai 1
2 indikator kemajuan dalam pencapaian MDG 4 (World Health Organization, 2011). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, cakupan imunisasi campak di Indonesia 74,5%, lebih kecil dari hasil Riskesdas sebelumnya, tahun 2007 yang mencapai 81,6% (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Angka ini juga lebih kecil dari perkiraan WHO dan The United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2009 untuk Indonesia sebesar 82% (UNICEF and WHO, 2009). Indonesia sendiri mentargetkan 90% untuk cakupan imunisasi dasar lengkap dengan imunisasi campak termasuk di dalamnya. Pemberian imunisasi campak dilakukan dengan cara penyuntikan vaksin campak secara subkutan, sehingga harus dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan wewenang. Untuk itu, pencapaian cakupan imunisasi campak di Indonesia selama ini tidak pernah menyinggung ketersediaan atau sebaran tenaga kesehatan, sedangkan dalam sistem kesehatan tenaga kesehatan merupakan salah satu komponen, selain pelayanan kesehatan, sistem informasi, teknologi medis (termasuk produk medis, vaksin, dan teknologi), pembiayaan, dan kepemimpinan yang keberadaannya dapat meningkatkan akses, cakupan serta kualitas layanan kesehatan (World Health Organization, 2007). Tenaga kesehatan merupakan jantung yang menjadi penggerak pelayanan kesehatan. Tanpa tenaga kesehatan, semua komponen yang ada dalam sistem kesehatan menjadi tidak berjalan (Kurniati and Efendi, 2010). Tenaga kesehatan yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan merupakan garda terdepan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Salah satu sarana pelayanan kesehatan tersebut adalah puskesmas. Berbagai program pelayanan kesehatan dilaksanakan puskesmas, di antaranya pelayanan imunisasi. Salah satu unsur penyelenggaraan pelayanan imunisasi di puskesmas adalah ketersediaan tenaga kesehatan (Menteri Kesehatan RI, 2005). Hingga saat ini jumlah, jenis, dan distribusi tenaga kesehatan di puskesmas sangat beragam antar wilayah, misalnya di Papua, terdapat 52% puskesmas tanpa dokter (Kurniati and Efendi, 2010). Kondisi ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap pencapaian target pelayanan imunisasi. 2
3 Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), terdapat keeratan hubungan antara jumlah dan kualitas tenaga kesehatan dengan cakupan imunisasi (World Health Organization, 2006). Terdapat hubungan bermakna antara densitas tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, dan bidan dengan cakupan imunisasi campak. Jika tenaga kesehatan ini dibagi dalam 2 kelompok, yaitu dokter dan tenaga keperawatan (perawat dan bidan), maka terdapat hasil yang berbeda. Densitas dokter memiliki hubungan bermakna dengan cakupan imunisasi campak, tetapi tidak dengan tenaga keperawatan (Speybroeck et al., 2006); (Kruk et al., 2009). Di Indonesia, kajian yang menghubungkan antara tenaga kesehatan dengan cakupan imunisasi campak masih belum banyak dilakukan. Rasio tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) di puskesmas 19,6 orang per puskesmas. Pada tahun 2010, cakupan imunisasi campak pada bayi mencapai 74,4% tertinggi ada di Provinsi DI Yogyakarta (96,4%) dan terendah di Papua, sebesar 47,1%, sementara rasio tenaga kesehatan di Provinsi DI Yogyakarta sebesar 15,5 orang per puskesmas dan Papua 14,1 orang per puskesmas (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Angka ini menunjukkan adanya faktor selain ketersediaan tenaga kesehatan yang dapat mempengaruhi cakupan imunisasi campak di suatu wilayah. Karakteristik geografis Indonesia yang beragam dengan banyaknya pulau dan luas wilayah yang sangat besar serta sebaran tenaga kesehatan di puskesmas yang berbeda antar wilayah memungkinkan sebagai penyebab rendahnya cakupan imunisasi campak (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Selain faktor geografis, kondisi sosioekonomi juga dapat mempengaruhi kondisi tersebut. Terdapat bukti yang menunjukkan adanya hubungan erat antara angka melek huruf perempuan dengan cakupan imunisasi campak, namun tidak dengan tingkat pendapatan dan luas wilayah (Anand and Bärnighausen, 2007a). Evaluasi yang menghubungkan antara ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas dengan cakupan imunisasi campak di Indonesia belum pernah dilakukan. Hal ini, membuat penulis tertarik melakukan evaluasi dengan menggunakan data hasil riset fasilitas kesehatan (Rifaskes) yang meliputi semua puskesmas yang ada di wilayah Indonesia. Melalui evaluasi ini diharapkan dapat 3
4 digali informasi berkaitan dengan tenaga kesehatan dan hubungannya dengan cakupan imunisasi campak pada bayi di Indonesia. B. Rumusan Masalah Angka kematian bayi di Indonesia mencapai 32 per 1.000 kelahiran hidup (BPS, 2012). Kondisi ini membuat pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menanggulanginya, di antaranya dengan meningkatkan cakupan imunisasi campak yang juga merupakan indikator MDGs untuk target menurunkan angka kematian bayi dan balita. Pelayanan imunisasi campak harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan, berkaitan dengan penyuntikan vaksin campak melalui subkutan, yaitu dokter, perawat, dan bidan. Tenaga kesehatan ini tersebar di berbagai sarana pelayanan kesehatan, di antaranya puskesmas. Keberadaan tenaga kesehatan di puskesmas adalah kunci keberhasilan pencapaian cakupan imunisasi campak. Hal ini dikarenakan puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan dasar di Indonesia yang paling dekat dengan masyarakat dan tersebar sampai tingkat kecamatan. Namun, jumlah, kualitas, dan sebaran tenaga kesehatan di puskesmas yang berbeda antar wilayah dimungkinkan menjadi penyebab masih rendahnya cakupan imunisasi campak di Indonesia. Oleh karena itu dilakukan penelitian tentang keeratan hubungan antara tenaga kesehatan dengan cakupan imunisasi campak pada bayi di Indonesia. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Melakukan evaluasi ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas dan hubungannya dengan cakupan imunisasi campak pada bayi di Indonesia. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui jumlah dan distribusi tenaga kesehatan di Indonesia; b. Untuk mengetahui variasi cakupan pencapaian imunisasi campak di Indonesia; dan 4
5 c. Untuk mengetahui hubungan antara keberadaan tenaga kesehatan dengan pencapaian cakupan imunisasi campak pada bayi di Indonesia. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pertimbangan berbagai kebijakan terkait dengan penyediaan serta distribusi tenaga kesehatan dan perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan imunisasi campak di Indonesia. E. Keaslian Penelitian 1. Speybroeck et al. (2006) melakukan penelitian berjudul Reassessing the relationship between human resources for health, intervention coverage and health outcome dengan tujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara tenaga kesehatan dengan dampak kesehatan dalam lingkup kesehatan ibu dan anak. Dalam penelitian tersebut disertakan faktor lainnya sebagai kontrol yaitu gross domestic product (GDP), angka melek huruf perempuan, tingkat kemiskinan, dan luas wilayah. Hasil penelitian tersebut memberi kesimpulan adanya hubungan yang signifikan antara tenaga kesehatan dengan cakupan imunisasi campak. Namun, saat tenaga kesehatan dianalisis secara terpisah, dokter berkorelasi dengan cakupan imunisasi campak, sedangkan tenaga keperawatan yang terdiri dari perawat dan bidan menunjukkan kondisi yang berlawanan. Angka melek huruf perempuan dan luas wilayah pun memiliki hubungan yang signifikan dengan cakupan imunisasi campak, sedangkan GDP tidak memiliki hubungan. Interpretasi penelitian tersebut adalah penggunaan sumber data yang berbeda memungkinkan hasil yang berbeda. Dalam penelitian dilakukan perbandingan dengan hasil penelitian lainnya yang memiliki perbedaan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan terdapat pada pemilihan variabel bebas (densitas dokter, bidan, dan perawat), variabel konfonding (GDP, angka melek huruf perempuan) dan variabel terikat (cakupan imunisasi campak). Perbedaannya terdapat pada sumber data serta area penelitian. 5
6 2. Anand and Bärnighausen, (2007) melakukan studi berjudul Health workers and vaccination coverage in developing countries: an econometric analysis untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara densitas tenaga kesehatan dengan cakupan vaksinasi pada anak di negara berkembang. Hasil studi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tenaga kesehatan dengan 3 jenis cakupan vaksinasi, yaitu MCV, DTP3, dan polio 3. Namun, ketika dokter dan perawat dianalisis terpisah ditemukan bahwa perawat memiliki hubungan yang signifikan dengan 3 vaksinasi tersebut, tetapi tidak dengan dokter. Sementara itu, angka melek huruf perempuan memiliki hubungan yang signifikan, tetapi tidak dengan luas lahan dan pendapatan nasional per kapita. Studi tersebut memberikan interpretasi kemungkinan jumlah perawat yang lebih banyak menyebabkan tersedianya layanan vaksinasi yang lebih luas. Persamaan dengan studi yang dilakukan terdapat pada faktor kontrol yaitu pendapatan nasional per kapita. Perbedaannya terdapat pada jenis imunisasi, dalam penelitian yang akan dilakukan hanya meliputi 1 jenis imunisasi, yaitu campak. 3. Mitchell et al. (2008) melalui studinya yang berjudul Achieving child survival goals: potential contribution of community health workers menyajikan hubungan antara densitas tenaga kesehatan dengan cakupan imunisasi yang dinamakan dengan Expanded Programme on Immunization (EPI) di Turki dalam periode tahun 2000 sampai dengan 2006. Data tenaga kesehatan disajikan pada level provinsi, demikian pula dengan data cakupan vaksinasi dan karakteristik sosial ekonomi serta demografi yang turut diperhitungkan dalam studi tersebut. Metode yang digunakan untuk analisis data adalah regresi. Hasil studi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara tenaga kesehatan dengan cakupan vaksinasi, demikian pula dengan angka melek huruf perempuan, pendapatan per kapita dan luas lahan. Pada analisis yang terpisah, densitas dokter memiliki hubungan yang signifikan dengan cakupan vaksinasi, tetapi tidak dengan tenaga keperawatan (perawat dan bidan). Densitas tenaga kesehatan di wilayah pedesaan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan cakupan vaksinasi dibandingkan dengan 6
7 wilayah perkotaan. Studi tersebut memberikan bukti bahwa densitas tenaga kesehatan memiliki hubungan dengan cakupan vaksinasi. Adanya perubahan pada level nasional di Turki pada masa studi dilakukan, seperti krisis keuangan, diperkirakan memberikan dampak terhadap cakupan vaksinasi. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan pada cakupan studi yang hanya meliputi 1 wilayah negara, serta variabel bebas (densitas tenaga kesehatan yang meliputi dokter, perawat, dan bidan) dan variabel konfonding (GDP). Sementara, perbedaannya ada pada variabel terikat (penelitian hanya meliputi cakupan imunisasi campak). 4. Kruk et al. (2009) melakukan penelitian berjudul Are doctors and nurses associated with coverage of essential health services in developing countries? A cross-sectional study. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk melihat adanya hubungan antara densitas dokter dan perawat dengan pemanfaatan 5 jenis pelayanan essensial kesehatan di negara berkembang. Dalam analisis terpisah dokter memiliki hubungan dengan cakupan imunisasi campak. Secara agregat, dokter dan perawat memiliki keeratan hubungan dengan cakupan imunisasi campak tetapi tidak dengan 4 jenis pelayanan lainnya. Penelitian tersebut memberi kesimpulan, tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter dan tenaga keperawatan, memberikan proporsi yang besar terhadap pelayanan kesehatan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah variabel bebas tenaga kesehatan terdiri dari dokter dan tenaga keperawatan. Perbedaan terletak pada ruang lingkup studi. Penelitian yang dilakukan hanya melihat 1 jenis pelayanan, yaitu imunisasi campak, sedangkan Kurk melakukan studi terhadap 5 jenis pelayanan kesehatan. 7