PENENTUAN PRIORITAS RUMAH TANGGA MISKIN MENGGUNAKAN FUZZY TSUKAMOTO Vivi Nur Wijayaningrum 1, Wayan Firdaus Mahmudy 2 1,2 Program Studi Magister Ilmu Komputer, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya Jl. Veteran 8, Malang 65145 Telp. (0341) 577911 E-mail: vivinurw@gmail.com, wayanfm@ub.ac.id ABSTRACT Poverty level reduction is the most important part in the development policy in Indonesia. Various types of government policies have been conducted as an effort to reduce poverty, one of which is Bantuan Langsung Tunai (BLT) program. However, the distribution of the BLT program frequently not right on target. The process of determining priority of poor households is quite complicated because it involves many parameters that must be taken into account. This study uses Tsukamoto Fuzzy to assist in determining the priority of poor households. The goal is to form a ranking so the sequence of households who eligible to get assistance can be known. Criteria used in the calculation were based on BPS provisions concerning the poor household criteria. The test results using Spearman Correlation obtained correlation value is 0.7776, which indicates that there is a high association between the ranking, which generated by the system and the ranking results from BPS calculation. The final results obtained is the ranking of poor households of 30 data were used. Keywords: fuzzy, poverty, priority, household, Tsukamoto ABSTRAK Pengentasan kemiskinan merupakan bagian paling penting dalam kebijakan pembangunan di Indonesia. Berbagai jenis kebijakan pemerintah telah dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan angka kemiskinan, salah satunya adalah dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun pemberian program BLT tersebut sering kali tidak tepat sasaran. Proses penentuan prioritas rumah tangga miskin ini memang cukup rumit karena melibatkan banyak parameter yang harus diperhitungkan. Penelitian ini menggunakan Fuzzy Tsukamoto untuk membantu dalam menentukan prioritas rumah tangga miskin. Tujuannya adalah membentuk sebuah peringkat rumah tangga miskin sehingga dapat diketahui urutan rumah tangga yang berhak untuk mendapatkan bantuan. Pemilihan kriteria yang digunakan dalam perhitungan didasarkan pada ketentuan BPS mengenai kriteria rumah tangga miskin. Dari hasil pengujian menggunakan Spearman Correlation, didapatkan nilai korelasi sebesar 0.7776, yang menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang tinggi antara peringkat yang dihasilkan oleh sistem dengan peringkat hasil perhitungan BPS. Hasil akhir yang didapatkan berupa peringkat rumah tangga miskin dari 30 data rumah tangga yang digunakan. Kata Kunci: fuzzy, kemiskinan, prioritas, rumah tangga, Tsukamoto 1. PENDAHULUAN Permasalahan kemiskinan selalu menjadi topik pembahasan di berbagai negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, mengagendakan penurunan angka kemiskinan dalam perencanaan pembangunan. Segala bentuk kebijakan dan program pengentasan kemiskinan dibuat untuk menurunkan angka kemiskinan, salah satunya adalah program Bantuan Langsung Tunai (BPS, 2007). Kebanyakan penelitian tentang kemiskinan yang sudah dilakukan membahas kemiskinan dengan berfokus pada pendekatan pendapatan atau pengeluaran. Sudah tidak diragukan lagi bahwa pendapatan dan pengeluaran merupakan faktor penting yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan. Namun pendekatan tersebut tidak cukup untuk menjangkau berbagai aspek kemiskinan (Chatterjee, Mukherjee, & Kar, 2014). Hal ini sesuai dengan indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa kemiskinan diukur berdasarkan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, yang artinya kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (Cahyat, 2004). BPS melakukan perhitungan dengan cara menjumlahkan hasil penilaian kebutuhan makanan dan non-makanan. Nilai tersebut nantinya akan dibandingkan dengan garis kemiskinan yang sudah ditetapkan. Rumah tangga yang memiliki rata-rata pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai rumah tangga miskin (Cahyat, 2004). Kelemahannya adalah penilaian dilakukan dengan menggunakan range "harga mati", yang artinya sebuah rumah tangga dapat masuk ke kategori tidak miskin karena nilainya berada sedikit di atas garis kemiskinan walaupun pada kenyataannya tempat tinggal rumah tangga tersebut tidak layak. Hal ini tentunya akan merugikan karena perbedaan kondisi fisik rumah tangga tersebut dengan rumah tangga lain yang memang 392
kenyataannya tidak miskin sangat jauh. Permasalahannya adalah fakta bahwa pembagian yang jelas antara rumah tangga miskin dan tidak miskin tidak realistis (Othman, Hamzah, & Yahaya, 2010). Oleh karena itu, penilaian rumah tangga miskin ini perlu diperbaiki sehingga penentuan rumah tangga miskin ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Penelitian mengenai penentuan level atau pengategorian kemiskinan di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti. (Redjeki, Guntara, & Anggoro, 2015) menggunakan Naive Bayes Classifier untuk melakukan klasifikasi terhadap rumah tangga miskin. Indikator yang digunakan berjumlah 11 kriteria dengan jumlah klasifikasi sebanyak 3 yaitu sangat miskin, miskin, dan rentan miskin. Naive Bayes Classifier digunakan untuk menghitung nilai probabilitas dari setiap indikator kemiskinan. Penelitian lain dilakukan oleh (Fiarni, Gunawan, & Lestari, 2013), dengan menggunakan fuzzy Analytical Hierarchy Process (F-AHP) untuk menentukan penerima Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang digunakan untuk menerima bantuan perawatan medis di kota Sukabumi. Penggunaan F-AHP digunakan untuk menentukan bobot penilaian terhadap kriteria yang digunakan, yaitu sejumlah 14 kriteria yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan menentukan peringkat bobot fuzzy, kandidat penerima SKTM ditentukan berdasarkan kriteria kepentingan relatif yang dihasilkan. Konsep fuzzy menjadi menarik untuk penelitian mengenai kemiskinan karena aplikasi nilai crisp konvensional yang memisahkan kategori miskin dan tidak miskin semakin diyakini tidak cukup untuk mewakili fenomena sosial yang kompleks seperti kemiskinan (Neff, 2013). Salah satu metode inferensi yang sukses digunakan pada berbagai permasalahan klasifikasi adalah sistem inferensi fuzzy Tsukamoto. Misalnya metode ini telah diterapkan untuk penentuan kelayakan calon pegawai (Sari & Mahmudy, 2015), penentuan risiko penyakit jantung (Utomo & Mahmudy, 2015), dan kualifikasi pemasok bahan baku industri (Santika & Mahmudy, 2015). Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan Fuzzy Tsukamoto untuk menentukan prioritas rumah tangga miskin. 2. LOGIKA FUZZY Pada tahun 1965, Lothfi A. Zadeh memperkenalkan logika fuzzy yang merupakan logika yang mengacu pada prinsip penalaran manusia. Logika fuzzy adalah teori himpunan logika yang dikembangkan untuk mengatasi konsep nilai yang berada di antara nilai kebenaran 'benar' dan 'salah'. Logika pada umumnya hanya mengenal dua kondisi yaitu ya atau tidak, 0 atau 1, dan benar atau salah. Lain halnya dengan logika fuzzy, logika fuzzy mengadopsi cara berpikir manusia dengan menggunakan konsep sifat kesamaan sebuah nilai sehingga nilai tersebut tidak hanya 0 atau 1, tetapi juga seluruh kemungkinan di antara nilai 0 dan 1. Nilai kebenaran fuzzy apabila dinyatakan dalam istilah bahasa menjadi sangat benar, benar agak benar, kurang benar, dan tidak benar (Zadeh, 1965). Logika fuzzy secara umum memiliki tahapan pengerjaan sebagai berikut (Singhala, Shah, & Patel, 2014): 1. Menentukan variabel linguistik. 2. Membentuk fungsi keanggotaan. 3. Membentuk rule base. 4. Mengubah data crisp menjadi nilai fuzzy menggunakan fungsi keanggotaan. 5. Melakukan evaluasi rule pada rule base. 6. Menggabungkan hasil yang didapatkan pada setiap rule. 7. Mengubah output data menjadi nilai non-fuzzy. 3. METODOLOGI Permasalahan penentuan prioritas rumah tangga miskin dilakukan dengan cara melakukan perhitungan setiap data rumah tangga miskin berdasarkan pada kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Pada kasus ini, data yang digunakan adalah 30 data rumah tangga yang berada di Kelurahan Kebraon, Kecamatan Karang Pilang, Kota Surabaya, yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kriteria yang digunakan sebagai indikator kemiskinan pada penelitian ini terdiri dari 14 kriteria. Beberapa penelitian lain juga menggunakan kriteria yang telah ditetapkan BPS tersebut untuk menentukan prioritas rumah tangga miskin (Kumar & Pathinathan, 2015) (Redjeki et al., 2015). Menurut BPS, kriteria-kriteria yang menyatakan bahwa ciriciri rumah tangga yang tergolong miskin terdiri dari: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m 2 per orang. 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu. Tabel 1. Data rumah tangga miskin No Luas Lantai (m 2 ) Jenis Lantai... Pendidikan Aset (Rp) 1 8 Kayu... SMA 500.000 2 10 Ubin... S1 2.000.000 3 7 Bambu... SMA 400.000.................. 30 11 Keramik... SMA 1.100.000 393
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang /minyak tanah. 8. Hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu setel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 13. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non-kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. 3.1 Fuzzification Proses fuzzification adalah mengubah input berupa nilai crisp menjadi himpunan variabel linguistik. Ketidakpastian nilai terjadi akibat adanya ambiguitas dan variabel menjadi tidak jelas nilainya sehingga dapat nilai-nilai tersebut dapat direpresentasikan dengan fungsi keanggotaan. Output dari proses fuzzification adalah nilai fuzzy. Nilai fuzzy diambil sebagai input untuk mekanisme inferensi fuzzy (Kumar, 2015). Himpunan variabel linguistik yang digunakan pada kasus ini adalah sebagai berikut: Luas lantai : {Kecil, Besar} Kualitas lantai : {Rendah, Tinggi} Kualitas dinding : {Rendah, Tinggi} Kualitas kamar mandi : {Rendah, Tinggi} Kualitas penerangan : {Rendah, Tinggi} Kualitas air minum : {Rendah, Tinggi} Kualitas bahan bakar : {Rendah, Tinggi} Frekuensi konsumsi daging : {Rendah, Tinggi} Frekuensi membeli pakaian : {Rendah, Tinggi} Frekuensi makan : {Rendah, Tinggi} Akses pengobatan : {Rendah, Tinggi} Penghasilan : {Sedikit, Banyak} Level pendidikan : {Rendah, Tinggi} Aset : {Sedikit, Banyak} Fungsi derajat keanggotaan yang dapat dibentuk untuk setiap kriteria adalah sebagai berikut: Fungsi derajat keanggotaan dari variabel luas lantai ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1. Fungsi derajat keanggotaan variabel luas lantai Gambar 1 ditunjukkan pada Persamaan (1) dan Persamaan (2). 0, x 9 9 x (1) kecil x, 7 x 9 9 7 1, x 7 0, x 7 x 7 (2) besar x, 7 x 9 9 7 1, x 9 Nilai-nilai pada variabel kualitas lantai adalah nilai kualitatif sehingga perlu diubah terlebih dahulu menjadi nilai skala seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai skala variabel kualitas lantai Jenis Lantai Nilai Tanah 1 Bambu 2 Kayu 3 Semen 4 Ubin 5 Keramik 6 lantai ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2. Fungsi derajat keanggotaan variabel kualitas lantai Gambar 2 ditunjukkan pada Persamaan (3) dan Persamaan (4). 0, x 5 5 x (3) rendah x, 3 x 5 5 3 1, x 3 0, x 3 x 3 (4) tinggi x, 3 x 5 5 3 1, x 5 394
Nilai-nilai pada variabel kualitas dinding adalah nilai kualitatif sehingga perlu diubah terlebih dahulu menjadi nilai skala seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai skala variabel kualitas dinding Jenis Dinding Nilai Bambu 1 Kayu 2 Tembok 3 dinding ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 4 ditunjukkan pada Persamaan (7) dan Persamaan (8). 0, x 2 2 x (7) rendah x, 1 x 2 2 1 1, x 1 0, x 1 x 1 (8) tinggi x, 1 x 2 2 1 1, x 2 Nilai-nilai pada variabel kualitas penerangan adalah nilai kualitatif sehingga perlu diubah terlebih dahulu menjadi nilai skala seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai skala variabel kualitas penerangan Sumber Penerangan Nilai Bukan listrik 1 Listrik 2 Gambar 3. Fungsi derajat keanggotaan variabel kualitas dinding Gambar 3 ditunjukkan pada Persamaan (5) dan Persamaan (6). 0, x 3 3 x (5) rendah x, 2 x 3 3 2 1, x 2 0, x 2 x 2 (6) tinggi x, 2 x 3 3 2 1, x 3 Nilai-nilai pada variabel kualitas kamar mandi adalah nilai kualitatif sehingga perlu diubah terlebih dahulu menjadi nilai skala seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai skala variabel kualitas kamar mandi Kamar Mandi Nilai Tidak ada 1 Ada 2 kamar mandi ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4. Fungsi derajat keanggotaan variabel kualitas kamar mandi penerangan ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5. Fungsi derajat keanggotaan variabel kualitas penerangan Gambar 5 ditunjukkan pada Persamaan (9) dan Persamaan (10). 0, x 2 2 x (9) rendah x, 1 x 2 2 1 1, x 1 0, x 1 x 1 (10) tinggi x, 1 x 2 2 1 1, x 2 Nilai-nilai pada variabel kualitas air minum adalah nilai kualitatif sehingga perlu diubah terlebih dahulu menjadi nilai skala seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai skala variabel kualitas air minum Sumber Air Minum Nilai Sungai 1 Sumur 2 PDAM 3 Air mineral 4 395
air minum ditunjukkan pada Gambar 6. tinggi x 0, x 2, 3 2 1, x 2 2 x 3 x 3 (14) Fungsi derajat keanggotaan dari variabel frekuensi konsumsi daging dalam seminggu ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar 6. Fungsi derajat keanggotaan variabel kualitas air minum Gambar 6 ditunjukkan pada Persamaan (11) dan Persamaan (12). 0, x 3 3 x (11) rendah x, 2 x 3 3 2 1, x 2 0, x 2 x 2 (12) tinggi x, 2 x 3 3 2 1, x 3 Nilai-nilai pada variabel kualitas bahan bakar adalah nilai kualitatif sehingga perlu diubah terlebih dahulu menjadi nilai skala seperti ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai skala variabel kualitas bahan bakar Kamar Mandi Nilai Kayu bakar 1 Minyak tanah 2 LPG 3 Gambar 8. Fungsi derajat keanggotaan variabel frekuensi konsumsi daging Gambar 8 ditunjukkan pada Persamaan (15) dan Persamaan (16). 0, x 2 2 x (15) kecil x, 1 x 2 2 1 1, x 1 0, x 1 x 1 (16) besar x, 1 x 2 2 1 1, x 2 Fungsi derajat keanggotaan dari variabel frekuensi membeli pakaian dalam setahun ditunjukkan pada Gambar 9. bahan bakar ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 9. Fungsi derajat keanggotaan variabel frekuensi membeli pakaian Gambar 7. Fungsi derajat keanggotaan variabel kualitas bahan bakar Gambar 7 ditunjukkan pada Persamaan (13) dan Persamaan (14). 0, x 3 3 x (13) rendah x, 2 x 3 3 2 1, x 2 Gambar 9 ditunjukkan pada Persamaan (17) dan Persamaan (18). 0, x 2 2 x (17) kecil x, 1 x 2 2 1 1, x 1 0, x 1 x 1 (18) besar x, 1 x 2 2 1 1, x 2 396
Fungsi derajat keanggotaan dari variabel frekuensi makan dalam sehari ditunjukkan pada Gambar 10. besar x 0, x 1, 2 1 1, x 1 1 x 2 x 2 (22) Fungsi derajat keanggotaan dari variabel penghasilan ditunjukkan pada Gambar 12. Gambar 10. Fungsi derajat keanggotaan variabel frekuensi makan Gambar 10 ditunjukkan pada Persamaan (19) dan Persamaan (20). 0, x 3 3 x (19) kecil x, 1 x 3 3 1 1, x 1 0, x 1 x 1 (20) besar x, 1 x 3 3 1 1, x 3 Nilai-nilai pada variabel kesanggupan akses pengobatan adalah nilai kualitatif sehingga perlu diubah terlebih dahulu menjadi nilai skala seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai skala variabel akses pengobatan Akses Pengobatan Nilai Tidak sanggup 1 Sanggup 2 Fungsi derajat keanggotaan dari variabel akses pengobatan ditunjukkan pada Gambar 11. Gambar 12. Fungsi derajat keanggotaan variabel penghasilan Gambar 12 ditunjukkan pada Persamaan (23) dan Persamaan (24). 0, x 1000 1000 x (23) sedikit x, 500 x 1000 1000 500 1, x 500 0, x 500 x 500 (24) banyak x, 500 x 1000 1000 500 1, x 1000 Nilai-nilai pada variabel pendidikan adalah nilai kualitatif sehingga perlu diubah terlebih dahulu menjadi nilai skala seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai skala variabel pendidikan Level Pendidikan Nilai Tidak sekolah 1 SD 2 SMP 3 SMA / SMK / D1 4 D3 / D4 / S1 / S2 / S3 5 Fungsi derajat keanggotaan dari variabel pendidikan ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 11. Fungsi derajat keanggotaan variabel akses pengobatan Gambar 11 ditunjukkan pada Persamaan (21) dan Persamaan (22). 0, x 2 2 x (21) kecil x, 1 x 2 2 1 1, x 1 Gambar 13. Fungsi derajat keanggotaan variabel pendidikan 397
Gambar 13 ditunjukkan pada Persamaan (25) dan Persamaan (26). 0, x 5 5 x (25) rendah x, 2 x 5 5 2 1, x 2 0, x 2 x 2 (26) tinggi x, 2 x 5 5 2 1, x 5 Fungsi derajat keanggotaan dari variabel aset ditunjukkan pada Gambar 14. Gambar 14. Fungsi derajat keanggotaan variabel aset Gambar 14 ditunjukkan pada Persamaan (27) dan Persamaan (28). 0, x 1000 1000 x (27) sedikit x, 500 x 1000 1000 500 1, x 500 0, x 500 x 500 (28) banyak x, 500 x 1000 1000 500 1, x 1000 Fungsi derajat keanggotaan dari kategori kemiskinan ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar 15. Fungsi derajat keanggotaan variabel kategori kemiskinan Gambar 15 ditunjukkan pada Persamaan (28), Persamaan (29), dan Persamaan (30). 0, x 30 30 x (29) miskin x, 20 x 30 30 20 1, x 20 hampirmisk in tidakmiski n x x 0, x 20, x 50 x 20, 20 x 30 30 20 1, 30 x 50 0, x 50 x 50, 50 x 60 60 50 1, x 60 (30) (31) 3.2 Rule Rule merupakan serangkaian aturan yang digunakan sebagai dasar perhitungan yang akan digunakan pada Fuzzy Tsukamoto. Tabel 10 menunjukkan rule yang digunakan untuk perhitungan pada kasus ini. Baris pertama pada Tabel 10 menunjukkan bahwa apabila terdapat rumah tangga yang memiliki luas lantai berukuran besar dengan kualitas lantai rendah, pendidikan kepala rumah tangga tinggi, dan aset yang dimiliki sedikit, maka rumah tangga tersebut dikategorikan hampir miskin. 3.3 Mesin Inferensi Pada kasus ini, proses inferensi dilakukan dengan menggunakan metode Tsukamoto. Berikut ini diberikan contoh kasus penentuan kategori rumah tangga miskin berdasarkan nilai-nilai pada setiap kriteria kemiskinan. Misalkan terdapat sebuah rumah tangga yang memiliki nilai-nilai setiap kriteria sebagai berikut: Luas lantai : 8 m 2 Jenis lantai : Bambu Jenis dinding : Bambu Kamar mandi : Ada Penerangan : Listrik Air minum : PDAM Bahan bakar : Minyak tanah Konsumsi daging : 2 kali seminggu Membeli pakaian : 2 kali setahun Frekuensi makan : 3 kali sehari Akses pengobatan : Mampu Penghasilan : Rp 800.000 Pendidikan : D3 Aset : Rp 1.000.000 Himpunan bahasa yang dapat dibentuk berdasarkan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut: Luas lantai : {Kecil, Besar} Jenis lantai : {Rendah} Jenis dinding : {Rendah} Kamar mandi : {Tinggi} Penerangan : {Tinggi} Air minum : {Tinggi} Bahan bakar : {Rendah} Konsumsi daging : {Tinggi} Membeli pakaian : {Tinggi} Frekuensi makan : {Tinggi} Akses pengobatan : {Tinggi} 398
Tabel 10. Rule No If Luas Lantai Kualitas Lantai... Pendidikan Aset Then 1 Besar Rendah... Tinggi Sedikit Hampir Miskin 2 Besar Tinggi... Tinggi Banyak Tidak Miskin 3 Kecil Rendah... Rendah Sedikit Miskin..................... 33 Besar Tinggi... Rendah Banyak Tidak Miskin 34 Besar Tinggi... Rendah Banyak Tidak Miskin Penghasilan Pendidikan Aset : {Sedikit, Banyak} : {Tinggi} : {Banyak} Nilai derajat keanggotaan setiap kriteria dihitung berdasarkan nilai-nilai input tersebut sehingga didapatkan hasil seperti ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai himpunan derajat keanggotaan No Kriteria Nilai Himpunan 1 Luas lantai µ kecil (8) = 0.5 µ besar (8) = 0.5 2 Kualitas lantai µ rendah (2) = 1 µ tinggi (2) = 0 3 Kualitas dinding µ rendah (1) = 1 µ tinggi (1) = 0 4 Kualitas kamar mandi µ rendah (1) = 0 µ tinggi (1) = 1 5 Kualitas penerangan µ rendah (1) = 0 µ tinggi (1) = 1 6 Kualitas air minum µ rendah (3) = 0 µ tinggi (3) = 1 7 Kualitas bahan bakar µ rendah (2) = 1 µ tinggi (2) = 0 8 Frekuensi konsumsi µ rendah (2) = 0 9 daging Frekuensi membeli pakaian 10 Frekuensi makan 11 Akses pengobatan 12 Penghasilan 13 Pendidikan 14 Aset µ tinggi (2) = 1 µ rendah (2) = 0 µ tinggi (2) = 1 µ rendah (3) = 0 µ tinggi (3) = 1 µ rendah (2) = 0 µ tinggi (2) = 1 µ rendah (800) = 0.4 µ tinggi (800) = 0.6 µ rendah (5) = 0 µ rendah (5) = 1 µ sedikit (1000) = 0 µ banyak (1000) = 1 Baris pertama pada Tabel 11 menunjukkan hasil perhitungan nilai himpunan derajat keanggotaan untuk kriteria luas lantai. Persamaan (1) digunakan untuk mendapatkan nilai µ kecil dan Persamaan (2) digunakan untuk mendapatkan nilai µ besar. Langkah selanjutnya adalah menentukan rulerule yang sesuai dengan himpunan bahasa berdasarkan nilai derajat keanggotaan yang telah dihitung. Rule-rule yang digunakan adalah sebagai berikut: Rule 5: Luas lantai KECIL, kualitas lantai RENDAH, kualitas dinding RENDAH, kualitas kamar mandi TINGGI, kualitas penerangan TINGGI, kualitas air minum TINGGI, kualitas bahan bakar RENDAH, frekuensi konsumsi daging TINGGI, frekuensi membeli pakaian TINGGI, frekuensi makan TINGGI, akses pengobatan TINGGI, penghasilan SEDIKIT, pendidikan TINGGI, dan aset BANYAK, maka rumah tangga tersebut termasuk HAMPIR MISKIN. Rule 6: Luas lantai BESAR, kualitas lantai RENDAH, kualitas dinding RENDAH, kualitas kamar mandi TINGGI, kualitas penerangan TINGGI, kualitas air minum TINGGI, kualitas bahan bakar RENDAH, frekuensi konsumsi daging TINGGI, frekuensi membeli pakaian TINGGI, frekuensi makan TINGGI, akses pengobatan TINGGI, penghasilan BANYAK, pendidikan TINGGI, dan aset BANYAK, maka rumah tangga tersebut termasuk TIDAK MISKIN. Berdasarkan rule-rule yang digunakan tersebut, nilai minimal derajat keanggotaan dari masingmasing rule yang telah ditentukan dihitung sehingga didapatkan hasil seperti ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai minimal derajat keanggotaan Rule Variabel Nilai Luas lantai kecil 0.5 Kualitas lantai rendah 1 Kualitas dinding rendah 1 Kualitas kamar mandi tinggi 1 Kualitas penerangan tinggi 1 Kualitas air minum tinggi 1 Kualitas bahan bakar rendah 1 5 Frekuensi konsumsi daging tinggi 1 Frekuensi beli pakaian tinggi 1 Frekuensi makan tinggi 1 Akses pengobatan tinggi 1 Penghasilan sedikit 0.4 Pendidikan tinggi 1 Aset banyak 1 µ5 0.4 399
Tabel 12. Nilai minimal derajat keanggotaan (Lanjutan) Rule Variabel Nilai Luas lantai besar 0.5 Kualitas lantai rendah 1 Kualitas dinding rendah 1 Kualitas kamar mandi tinggi 1 Kualitas penerangan tinggi 1 Kualitas air minum tinggi 1 Kualitas bahan bakar rendah 1 6 Frekuensi konsumsi daging tinggi 1 Frekuensi beli pakaian tinggi 1 Frekuensi makan tinggi 1 Akses pengobatan tinggi 1 Penghasilan banyak 0.6 Pendidikan tinggi 1 Aset banyak 1 µ6 0.5 3.4 Defuzzification Pada proses defuzzification ini, dilakukan perhitungan nilai Z untuk masing-masing rule yang digunakan. Perhitungan nilai Z untuk keempat rule yang digunakan adalah sebagai berikut: Rule 5 menyatakan rumah tangga tersebut tergolong ke dalam kategori rumah tangga hampir miskin, sehingga perhitungan nilai Z dapat dihitung menggunakan Persamaan 12. Z 5 20 5 30 20 20 0.4(10) 24 Rule 6 menyatakan rumah tangga tersebut tergolong ke dalam kategori rumah tangga tidak miskin, sehingga perhitungan nilai Z dapat dihitung menggunakan Persamaan 13. Z 6 50 6 60 50 50 0.5(10) 55 Langkah selanjutnya adalah melakukan perkalian antara nilai µ dan Z untuk setiap rule sehingga didapatkan hasil seperti ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil perhitungan µ dan Z Rule Nilai µ Nilai Z Nilai µ*z 5 0.4 24 9.6 6 0.5 55 27.5 Total 0.9 79 37.1 Untuk mendapatkan perkiraan kategori kemiskinan, langkah selanjutnya adalah membagi nilai total µ*z dengan nilai total µ, sehingga didapatkan hasil sebagai berikut: * Z 37.1 Perkiraan 41.22 0.9 Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, nilai perkiraan yang diperoleh adalah 41.22. Nilai inilah yang akan digunakan untuk menentukan prioritas rumah tangga miskin dengan cara membandingkan nilai hasil perhitungan antar rumah tangga. 4. PENGUJIAN DAN ANALISIS Pengujian dilakukan dengan menggunakan Spearman Correlation, yaitu dengan cara melakukan perbandingan hasil peringkat yang dibuat oleh sistem dengan peringkat berdasarkan hasil perhitungan BPS, dengan menggunakan Persamaan (32). 2 6 d rs 1 (32) 2 nn 1 Keterangan: rs : Spearman Correlation d : selisih peringkat data n : jumlah data Tabel 14 menunjukkan hasil perhitungan koefisien Spearman Correlation. Tabel 14. Hasil perhitungan Spearman Correlation Rumah Peringkat Peringkat tangga BPS Sistem d d 2 K 1 8 4 4 16 K 2 14 14 0 0 K 3 1 6 5 25 K 4 15 16 1 1 K 5 12 28 16 256 K 6 16 17 1 1 K 7 10 13 3 9 K 8 17 27 10 100 K 9 2 3 1 1 K 10 18 9 9 81 K 11 3 7 4 16 K 12 19 10 9 81 K 13 9 12 3 9 K 14 4 8 4 16 K 15 11 11 0 0 K 16 20 26 6 36 K 17 21 25 4 16 K 18 22 24 2 4 K 19 23 23 0 0 K 20 5 2 3 9 K 21 24 22 2 4 K 22 6 1 5 25 K 23 25 30 5 25 K 24 26 20 6 36 K 25 27 19 8 64 K 26 28 18 10 100 K 27 13 15 2 4 K 28 7 5 2 4 K 29 29 21 8 64 K 30 30 29 1 1 TOTAL 1004 Hasil perhitungan pada Tabel 12 tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung Spearman Correlation dengan menggunakan Persamaan 32, sehingga didapatkan hasil sebagai berikut: 400
6 1004 rs 1 0.7766 2 3030 1 Berdasarkan tabel Spearman Correlation, nilai 0.7766 termasuk ke dalam tingkat korelasi tinggi. Oleh karena itu, fuzzy Tsukamoto dapat digunakan untuk menentukan prioritas rumah tangga miskin. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa fuzzy Tsukamoto dapat digunakan untuk menentukan prioritas rumah tangga miskin dengan menggunakan 14 kriteria yang ditetapkan oleh BPS sebagai parameter dalam perhitungan fuzzy. Spearman Correlation digunakan untuk menghitung tingkat keterkaitan hubungan antara peringkat yang dihasilkan oleh sistem dengan peringkat hasil perhitungan BPS. Pada penelitian ini, nilai korelasi yang didapatkan sebesar 0.7766. Nilai tersebut termasuk ke dalam tingkat korelasi yang tinggi, artinya ada keterkaitan yang tinggi antara peringkat yang dihasilkan oleh sistem dengan peringkat hasil perhitungan BPS. Pada penelitian selanjutnya, penggunaan algoritma genetika dapat digunakan untuk memilih kriteria yang digunakan dalam perhitungan penentuan prioritas rumah tangga miskin. Algoritma genetika digunakan untuk memilih kriteria-kriteria yang dapat mewakili kriteria penentu rumah tangga miskin. Hal ini akan sangat membantu mempermudah pekerjaan penyurvei apabila ternyata diketahui bahwa beberapa kriteria saja dapat digunakan dalam proses perhitungan tanpa harus menggunakan 14 kriteria yang ditetapkan BPS tersebut. Algoritma genetika juga dapat diterapkan untuk penyesuaian batasan fungsi keanggotaan secara otomatis (Restuputri, Mahmudy, & Cholissodin, 2015). PUSTAKA BPS. (2007). Analisis Tipologi Kemiskinan Perkotaan Studi Kasus di Jakarta Utara. Cahyat, A. (2004). Bagaimana Kemiskinan Diukur? Beberapa Model Penghitungan Kemiskinan di Indonesia. Center for International Forestry Research (CIFOR), CIFOR Gove(2), 1 8. Chatterjee, A., Mukherjee, S., & Kar, S. (2014). Poverty Level of Households: A Multidimensional Approach Based on Fuzzy Mathematics. Fuzzy Information and Engineering, 6(4), 463 487. Fiarni, C., Gunawan, A., & Lestari, A. (2013). Fuzzy AHP Based Decision Support System for SKTM Recipient Selection. Information Systems International Conference (ISICO), 288 293. Kumar, R., & Pathinathan, T. (2015). Sieving out the Poor using Fuzzy Decision Making Tools. Indian Journal of Science and Technology, 8(22), 1 16. Neff, D. (2013). Fuzzy Set Theoretic Applications in Poverty Research. Policy and Society, 32(4), 319 331. Othman, M., Hamzah, S. H. A., & Yahaya, M. F. (2010). Fuzzy Index Poverty (FIP): Measuring Poverty in Rural Area of Terengganu. International Conference on User Science and Engineering (i-user), 301 306. Redjeki, S., Guntara, M., & Anggoro, P. (2015). Naive Bayes Classifier Algorithm Approach for Mapping Poor Families Potential. International Journal of Advanced Research in Artificial Intelligence, 4(12), 29 33. Restuputri, B. A., Mahmudy, W. F., & Cholissodin, I. (2015). Optimasi Fungsi Keanggotaan Fuzzy Tsukamoto Dua Tahap Menggunakan Algoritma Genetika Pada Pemilihan Calon Penerima Beasiswa dan BBP-PPA (Studi Kasus: PTIIK Universitas Brawijaya Malang). DORO: Repository Jurnal Mahasiswa PTIIK Universitas Brawijaya, 5(15), 1 10. Santika, G. D., & Mahmudy, W. F. (2015). Penentuan Pemasok Bahan Baku Menggunakan Fuzzy Inference System Tsukamoto. In Seminar Nasional Sistem Informasi Indonesia (SESINDO) (pp. 267 274). Sari, N. R., & Mahmudy, W. F. (2015). Fuzzy Inference System Tsukamoto Untuk Menentukan Kelayakan Calon Pegawai. In Seminar Nasional Sistem Informasi Indonesia (SESINDO) (pp. 245 252). Singhala, P., Shah, D. N., & Patel, B. (2014). Temperature Control using Fuzzy Logic. International Journal of Instrumentation and Control Systems (IJICS), 4(1), 1 10. Utomo, M. C. C., & Mahmudy, W. F. (2015). Penerapan FIS-Tsukamoto untuk Menentukan Potensi Seseorang Mengalami Sudden Cardiac Death. In Seminar Nasional Sistem Informasi Indonesia (SESINDO) (pp. 239 244). Zadeh, L. (1965). Fuzzy Sets. Information and Control, 8, 338 353. 401