BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan kapasitas terganggu pada semua arah.

TINJAUAN PUSTAKA. Simpang jalan merupakan simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa

di kota. Persimpangan ini memiliki ketinggian atau elevasi yang sama.

PEDOMAN. Perencanaan Bundaran untuk Persimpangan Sebidang DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd.

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

Gambar 2.1 Rambu yield

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional fasilitas simpang dan secara

DAFTAR ISI JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan yang sebenarnya, atau merupakan suatu penjabaran yang sudah dikaji.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buah ruas jalan atau lebih yang saling bertemu, saling berpotongan atau bersilangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. lebih sub-pendekat. Hal ini terjadi jika gerakan belok-kanan dan/atau belok-kiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. yang mempegaruhi simpang tak bersinyal adalah sebagai berikut.

SIMPANG TANPA APILL. Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM

BAB III LANDASAN TEORI. lintas (traffic light) pada persimpangan antara lain: antara kendaraan dari arah yang bertentangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai pertemuan dari jalan-jalan yang terlibat pada sistem jaringan jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kendaraan dengan pejalan kaki (Abubakar I, 1995).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, jalan perkotaan

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bundaran Boulevard Kelapa Gading mempunyai empat lengan masing-masing lengan adalah

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 6 (Enam)

KAJIAN KEBUTUHAN LAMPU LALU LINTAS PADA SIMPANG 6 KUTABLANG LHOKSEUMAWE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Transportasi

DAFTAR ISI. Judul. Lembar Pengesahan. Lembar Persetujuan ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA

Kata kunci : Tingkat Kinerja, Manajemen Simpang Tak Bersinyal.

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. simpang terutama di perkotaan membutuhkan pengaturan. Ada banyak tujuan dilakukannya pengaturan simpang sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Persimpangan adalah simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau

BAB IV ANALISIS DATA. Data simpang yang dimaksud adalah hasil survey volume simpang tiga

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) karakteristik geometrik

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi. DAFTAR ISI... vii

Kajian Kinerja Persimpangan Jalan Harapan Jalan Sam Ratulangi Menurut MKJI 1997

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manfaatnya (

BAB III LANDASAN TEORI. A. Simpang Jalan Tak Bersinyal

PENGENDALIAN LALU LINTAS 4 LENGAN PADA PERSIMPANGAN JL. RE. MARTADINATA JL. JERANDING DAN PERSIMPANGAN JL. RE. MARTADINATA JL. HARUNA KOTA PONTIANAK

Novia Hilda Silviani*, Rohani**, Hasyim**

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS BUNDARAN PADA SIMPANG EMPAT JALAN A. YANI KM 36 DI BANJARBARU. Rosehan Anwar 1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SIMPANG BER-APILL. Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI GEOMETRIK DAN PENGATURAN LAMPU LALU LINTAS PADA SIMPANG EMPAT POLDA PONTIANAK

2.6 JALAN Jalan Arteri Primer Jalan Kolektor Primer Jalan Perkotaan Ruas Jalan dan Segmen Jalan...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. transportasi darat memiliki fungsi sangat mendasar yaitu : 1. membantu pertumbuhan ekonomi nasional,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebelumnya, maka dengan ini penulis mengambil referensi dari beberapa buku dan

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

ANALISIS SIMPANG TAK BERSINYAL DENGAN BUNDARAN (Studi Kasus Simpang Gladak Surakarta)

ANALISA KINERJA SIMPANG TIDAK BERSINYAL DI RUAS JALAN S.PARMAN DAN JALAN DI.PANJAITAN

ANALISIS KINERJA JALINAN JALAN IMAM BONJOL-YOS SOEDARSO PADA BUNDARAN BESAR DI KOTA PALANGKA RAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bertujuan untuk bepergian menuju arah kebalikan (Rohani, 2010).

EVALUASI DAN PERENCANAAN LAMPU LALU LINTAS KATAMSO PAHLAWAN

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Motto dan Persembahan ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persimpangan Sistem jaringan jalan terdiri dari 2 (dua) komponen utama yaitu ruas (link) dan persimpangan (node).

BAB III LANDASAN TEORI

DAFTAR ISTILAH KARAKTERISTIK LALU LINTAS. Arus Lalu Lintas. UNSUR LALU LINTAS Benda atau pejalan kaki sebagai bagian dari lalu lintas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebutuhan pengguna jalan dalam berlalu lintas. Menurut peranan pelayanan jasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MANAJEMEN LALU LINTAS AKIBAT BEROPERASINYA TERMINAL PESAPEN SURABAYA

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan dalam perancangan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebutuhan pengguna jalan dalam berlalu lintas. Menurut peranan pelayanan jasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. saling berpotongan, masalah yang ada pada tiap persimpangan adalah kapasitas jalan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundang undangan dibidang LLAJ. pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI KORIDOR JALAN KARANGMENJANGAN JALAN RAYA NGINDEN SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER. Jalan Karangmenjangan Jalan Raya BAB I

BAB III LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Jalan. Jalan secara umum adalah suatu lintasan yang menghubungkan lalu lintas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Kapasitas Ruas Jalan Raja Eyato Berdasarkan MKJI 1997 Indri Darise 1, Fakih Husnan 2, Indriati M Patuti 3.

Pengaruh Pemberlakuan Rekayasa Lalulintas Terhadap Derajat Kejenuhan Pada Simpang Jalan Pajajaran dan Jalan Pasirkaliki

BAB II LANDASAN TEORI. bertemu dan lintasan arus kendaraan berpotongan. Lalu lintas pada masingmasing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan penting

EVALUASI KORIDOR JALAN SULAWESI JALAN KERTAJAYA INDAH SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Wikipedia (2011), ruas jalan adalah bagian jalan di antara dua

Rekayasa Lalu Lintas

JURNAL EVALUASI KINERJA SIMPANG TAK BERSINYAL PADA SIMPANG TIGA JALAN CIPTOMANGUNKUSUMO JALAN PELITA KOTA SAMARINDA.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergerakan lalu lintas regional dan intra regional dalam keadaan aman,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Persimpangan. Persimpangan adalah simpul jaringan jalan dimana jalan-jalan bertemu dan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang digunakan dalam Tugas Akhir ini yang pernah dilakukan dan masih berkaitan dengan tema penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Analisis Kinerja Bundaran Tak Bersinyal Studi Kasus Bundaran Manahan Solo, oleh Akhmad Dani S (2009) Dari hasil penelitian yang dilakukan arus terbesar terjadi pada hari Rabu siang jam 12.00-13.00 WIB dengan nilai Derajat Kejenuhan (DS) yaitu pada lengan 0,686-0,772. Tundaan lalu lintas bundaran rata-rata = 7,451 det/smp, Tundaan bundaran = 11,451 det/smp. Peluang Antrian bundaran minimal 16% dan maksimal 37%. Dari hasil kondisi tersebut Bundaran Gelora Manahan hanya mampu melayani arus lalu-lintas sampai tahun 2008 dengan DS rata-rata 0,772. Alternatif pemecahan masalah dengan menggunakan Alternatif perbaikan 2 yaitu melakukan perubahan geometrik dan mengalihkan kendaraan bermotor roda dua maupun tidak bermotor. Tundaan lalulintas bundaran rata-rata = 3,667 det/smp, Tundaan bundaran = 7,667 det/smp. Peluang Antrian bundaran minimal 5% dan maksimal 10%. Dengan penerapan Alternatif 2 ini kinerja bundaran dapat melayani arus lalulintas 15 tahun lebih lama yaitu tahun 2008-2023. 2. Kajian Teknis Terhadap Kelayakan Bundaran Tugu Raden Intan, oleh M.Adrian Romadhonni 2011 Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kinerja bundaran eksisting tahun 2010 masih memenuhi ketetapan MKJI 1997 (DS 0,75) yaitu Derajat Kejenuhan (DS) pada lengan 0,71-0,74. Berdasarkan tahap analisis per 5 tahun, pada tahun 2015 perlu dilakukan rekondisi geometrik karena DS > 0,75. Pada tahun 2020 setelah rekondisi geometrik, tidak memenuhi persyaratan MKJI 1997 karena itu diperlukan solusi yang lain yaitu dengan persimpangan tidak sebidang. 7

Judul Penelitian Manfaat Penelitian Teddi Apriyadi (2012) Akhmad Dani S (2009) M.Adrian Rhomadonni (2011) Metode Analisis MKJI 1997 MKJI 1997 MKJI 1997 Jenis Bundaran Tidak Bersinyal Tidak bersinyal Tidak bersinyal Lokasi Bundaran Cibiru Bandung Bundaran Pojok Teknik UGM Bundaran Tugu Raden Intan Perbedaan Evaluasi Kinerja dan Perancangan Ulang Bundaran Cibiru Kota Bandung Mengetahui Kinerja Bundaran, Derajat Kejenuhan, Tundaan serta DED, RAB dan juga Metode Pelaksanaan Perancangan Analisis prediksi forecasting sampai 2017 Penelitian sekarang oleh : Tabel 2.1 Perbedaan Penelitian Terdahulu dan Sekarang Analisis Kinerja Bundaran Tak Bersinyal Studi Kasus Bundaran Manahan Solo Mengetahui Kinerja Bundaran, Derajat Kejenuhan Analisis prediksi forecasting sampai 2023 Kajian Teknis Terhadap kelayakan Bundaran Tugu Raden Intan Mengetahui Kinerja Simpang, Derajat Kejenuhandan Peluang Antrian Analisis prediksi forecasting sampai 2020 D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 8

2.2 Perbandingan Penelitian Terdahulu Dengan Penelitian Sekarang Penelitian yang dilakukan berjudul Perancangan Bundaran Cibiru Dengan Proyeksi Arus Tahun 2017 Kota Bandung, acuan yang digunakan dalam analisis bundaran ini adalah menggunakan metode MKJI 1997 dan Pd T-20-2004. Perbedaan pada penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian sebelumnya adalah hasil yang didapatkan pada penelitian sekarang lebih kepada DED, RAB dan penjadwalan. Penyusun perlu melakukan survey guna mendapatkan data primer yang akurat mengingat setiap tahun selalu bertambahnya kendaraan dan populasi penduduk di Kota Bandung. Diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Bundaran Cibiru. 2.3 Tata Guna Lahan 2.3.1 Garis Sempadan Jalan Menurut Perda No. 14 tahun 1999, Garis Sempadan Jalan (GSJ) adalah garis rencana jalan yang ditetapkan dalam rencana kota. Ruang terbuka diantara GSJ dan GSB harus digunakan sebagai ruang terbuka hijau dan/atau lahan peresapan air hujan. Dalam hal jarak antara GSB dan GSJ kurang dari jarak bebas yang ditetapkan, maka jarak bidang tampak terluar dengan GSJ pada lantai kelima atau lebih, minimal sama dengan jarak bebas yang ditetapkan. 2.3.2 Garis Sempadan Bangunan Menurut Perda No. 14 tahun 1999, Garis Sempadan Bangunan (GSB) adalah garis yang tidak boleh dilampaui oleh denah bangunan kearah GSJ yang ditetapkan dalam rencana kota atau garis diatas permukaan tanah yang pada pendirian bangunan kearah yang berbatasan tidak boleh dilampaui. Dalam mendirikan atau memperbaharui bangunan seluruhnya atau sebagian bangunan, tidak boleh melanggar Garis Sempadan Bangunan (GSB) yang telah ditetapkan dalam rencana kota. 9

2.3.3 Penggunaan Lahan Menurut MKJI, lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata guna tanah dan aksesibilitas jalan tersebut dari aktivitas sekitarnya. Hal ini ditetapkan secara kualitatif dari pertimbangan teknik lalu-lintas, yaitu : 1. Komersial Komersial Tata guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah makan, perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan. 2. Permukiman Tata guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan. 3. Akses terbatas Tanpa jalan masuk atau jalan masuk langsung terbatas (misalnya karena adanya penghalang fisik, jalan samping dsb). 2.4 Jalan Di dalam UU RI No.38 tahun 2004 tentang jalan disebutkan bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. 2.4.1 Definisi Jalan UU RI No.38 tahun 2004 menyebutkan definisi jalan yaitu adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. 10

2.4.2 Fungsi dan Peranan Jalan UU RI No.38 tahun 2004 tentang Jalan mengelompokan jalan umum menurut fungsinya yaitu dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Berdasarkan klasifikasi tersebut, klasifikasi jalan menurut fungsinya dapat dilihat pada Tabel 2.2 UU RI No.38 Tahun 2004 tentang Jalan Fungsi Ciri Pelayanan Perjalanan Arteri Kolektor Lokal Lingkungan Jalan Umum Jalan Umum Jalan Umum Jalan Umum *) : Secara berdaya guna Sumber : UU RI No.38 tahun 2004 tentang Jalan Tabel 2.2 Fungsi dan Karakteristik Jalan Kecepatan Rata-rata Jumlah Jalan Masuk Angkutan Utama Jarak Jauh Tinggi Dibatasi* Angkutan Pengumpul/Pembagi Jarak Sedang Sedang Angkutan Setempat Jarak Dekat Rendah Angkutan Lingkungan Dibatasi Tidak Dibatasi Jarak Dekat Rendah - Sedangkan menurut perannya, jalan memiliki peran diantara lain : 1. Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2. Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. 3. Jalan yang merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. 2.4.3 Sistem Jaringan Jalan Menurut Studyana (2009) dengan melihat perkembangan pertumbuhan sosial-ekonomi maka kebutuhan perjalanan waktu yang akan datang dapat diramalkan dengan menggunakan kebutuhan perjalanan yang tersedia. Pada umumnya jaringan transportasi direncanakan untuk waktu pelayanan tertentu, 11

sepanjang interval waktu pelayanan tersebut, jaringan transportasi diharapkan mampu melayani kebutuhan pergerakan yang terjadi. Perencanaan yang komprehensif meliputi rumusan tujuan dan kebijaksanaan untuk pengelolaan sumber daya angkutan dan fasilitas jaringan jalan perlu peningkatan tindakan operasional dan mempertahankan keluwesan antar moda angkutan, dikaitkan secara lebih seksama agar tercapai sasaran secara integral dari perencanaan yang telah disusun secara matang, sehingga dapat diambil suatu kebijaksanaan yang meliputi beberapa hal seperti berikut : a. Mengutamakan prioritas penyediaan angkutan umum. b. Penyediaan dan pembangunan infrastruktur angkutan yang dapat memberi kesempatan kerja di daerah perkotaan atau keseluruh daerah rencana. c. Pengembangan jaringan jalan yang strategis bagi pergerakan angkutan dan dapat mengurangi tingkat kecelakaan yang tinggi sekaligus meningkatkan standar perawatan jalan kendaraan. d. Memastikan bahwa jalan-jalan tersebut tetap berfungsi pada suatu standar pelayanan tertentu. Sasaran yang diinginkan dengan maksud untuk mengurutkan peringkat rencana-rencana dari segi tingkat pencapaian tujuan. Kebijaksanaan dapat meliputi peningkatan jalan agar warga kota dengan lancar dapat mencapai ke tempat kerja, tempat berbelanja dan fasilitas-fasilitas sosial lainnya. Hasilnya dapat diukur dengan melihat indikasi jumlah fasilitas berbagai macam yang dapat ditempatkan secara lebih menguntungkan untuk melayani distribusi kelompok penduduk yang berbeda. Untuk meningkatkan kebutuhan pergerakan angkutan barang dapat diuji dengan membandingkan peningkatan pada jaringan jalan dalam beberapa hal seperti : 1. Meniadakan kemacetan, minimal dapat mengurangi kemacetan. 2. Perubahan rencana jalan. 3. Pembatasan pada suatu jalan baru. 4. Peningkatan tanda-tanda atau rambu-rambu lalu lintas. Menurut UU RI No.38 tahun 2004 tentang jalan, sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. 12

2.4.3.1 Sistem Jaringan Jalan Primer Sistem jaringan jalan yang disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur ruang wilayah nasional, yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi (Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985). Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud pada UU RI No.38 tahun 2004, merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. Jaringan jalan primer adalah jaringan jalan yang menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal, dan pusat kegiatan di bawahnya sampai ke persil dalam satu satuan wilayah pengembangan (Pedoman Penentuan Klasifikasi Jalan di Kawasan Perkotaan, Pd.T-18-2004-B). Jaringan jalan ini terdiri dari: a. Jalan Arteri Primer Adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antar pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. b. Jalan Kolektor Primer Adalah jalan yang secara efisien menghubungkan antar pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. c. Jalan Lokal Primer Adalah jalan yang secara efisien menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan persil atau pusat kegiatan wilayah dengan persil atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lokal, pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan di bawahnya, pusat kegiatan lokal dengan persil, atau pusat kegiatan dibawahnya sampai persil. Hubungan antara hirarki perkotaan dengan peranan ruas jalan penghubungnya dalam sistem jaringan jalan primer diberikan pada Tabel 2.3 dan Gambar 2.1 13

Tabel 2.3 Hubungan Antara Hirarki Kota dengan Peranan Ruas Jalan dalam Sistem Jaringan Jalan Primer Sumber : Pd T-18-2004-B Gambar 2.1 Sistem Jaringan Jalan Primer Sumber : Pd T-18-2004-B 14

2.4.3.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder Sistem jaringan jalan yang disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan (Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985). Sistem jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud pada UU RI No.38 tahun 2004, sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Jaringan jalan ini terdiri dari: a. Jalan Arteri Sekunder Jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua (Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985). b. Jalan Kolektor Sekunder Jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga (Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985). c. Jalan Lokal Sekunder Jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. (Peraturan Pemerintah RI No. 26/1985). Hubungan antara kawasan perkotaan dengan peranan ruas jalan dalam system jaringan jalan sekunder data dilihat pada Tabel 2.4 dan Gambar 2.2 15

Tabel 2.4 Hubungan Antara Hirarki Kota dengan Peranan Ruas Jalan dalam Sistem Jaringan Jalan Sekunder Sumber : Pd T-18-2004-B Gambar 2.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder Sumber : Pd T-18-2004-B 16

2.4.3.3 Kriteria Penetapan Klasifikasi Fungsi Jalan Kriteria disini dimaksudkan sebagai ciri-ciri umum, yang diharapkan pada masing-masing fungsi jalan, dan merupakan arahan untuk fungsi jalan yang perlu dipenuhi/didekati. a. Jalan Arteri Primer Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan arteri primer harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Kriteria-kriteria jalan arteri primer terdiri atas : - Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam (km/h); - Lebar badan jalan arteri primer paling rendah 11 (sebelas) meter (Gambar 2.3); - Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien; jarak antar jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 meter; - Persimpangan pada jalan arteri primer diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya; - Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata; - Besarnya volume lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi jalan yang lain; - Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu penerangan jalan dan lain-lain; - Jalur khusus seharusnya disediakan, yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya; - Jalan arteri primer seharusnya dilengkapi dengan median jalan. Ciri-ciri jalan arteri primer terdiri atas : - Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan jalan arteri primer luar kota; - Jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer; 17

- Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional; untuk itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu-lintas ulang alik, dan lalu-lintas lokal, dari kegiatan lokal ; - Kendaraan angkutan barang berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan melalui jalan ini; - Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan tidak diijinkan; - Jalan arteri primer dilengkapi dengan tempat istirahat pada setiap jarak 25 km. Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Gambar 2.3 Tipikal Penampang Melintang Jalan Arteri Primer Sumber : Pd T-18-2004-B 18

b. Jalan Kolektor Primer Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan kolektor primer harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Kriteria-kriteria jalan kolektor primer terdiri atas : - Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 (empat puluh) km/h; - Lebar badan jalan kolektor primer paling rendah 9 (sembilan) meter (Gambar 2.4); - Jumlah jalan masuk ke jalan kolektor primer dibatasi secara efisien; jarak antar jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 400 meter; - Persimpangan pada jalan kolektor primer diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya; - Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata; - Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas dan lampu penerangan jalan; - Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari jalan arteri primer; - Dianjurkan tersedianya jalur khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya. Ciri-ciri jalan kolektor primer terdiri atas : - Jalan kolektor primer dalam kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota; - Jalan kolektor primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer; - Kendaraan angkutan barang berat dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini; - Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diijinkan pada jam sibuk. 19

Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Gambar 2.4 Tipikal Penampang Melintang Jalan Kolektor Primer Sumber : Pd T-18-2004-B 20

c. Jalan Lokal Primer Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan lokal primer harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Kriteria-kriteria jalan lokal primer terdiri atas : - Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km/h; - Lebar badan jalan lokal primer paling rendah 6,5 (enam setengah) meter (Gambar 2.5); - Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah pada sistem primer. Ciri-ciri jalan lokal primer terdiri atas : - Jalan lokal primer dalam kota merupakan terusan jalan lokal primer luar kota; - Jalan lokal primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer lainnya; - Kendaraan angkutan barang dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini. - Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Gambar 2.5 Tipikal Penampang Melintang Jalan Lokal Primer Sumber : Pd T-18-2004-B 21

d. Jalan Arteri Sekunder Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan arteri sekunder harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Kriteria-kriteria jalan arteri sekunder terdiri atas : - Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 (tiga puluh) km/h; - Lebar badan jalan paling rendah 11 (sebelas) meter (Gambar 2.6); - Akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 meter; - Persimpangan pada jalan arteri sekunder diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya; - Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata; - Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain; - Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling besar dari sistem sekunder yang lain; - Dianjurkan tersedianya jalur khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya; - Jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang dengan kelas jalan yang lebih rendah. Ciri-ciri jalan arteri sekunder terdiri atas : - Jalan arteri sekunder menghubungkan : i. Kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu; ii. Antar kawasan sekunder kesatu; iii. Kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua; iv. Jalan arteri/kolektor primer dengan kawasan sekunder kesatu; - lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat; - kendaraan angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota dapat diijinkan melalui jalan ini; 22

- lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diijinkan pada jam sibuk. Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Gambar 2.6 Tipikal Penampang Melintang Jalan Arteri Sekunder Sumber : Pd T-18-2004-B 23

e. Jalan Kolektor Sekunder Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan kolektor sekunder harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Kriteria-kriteria jalan kolektor sekunder terdiri atas : - Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km/h; - Lebar badan jalan kolektor sekunder paling rendah 9 (sembilan) meter (Gambar 2.7); - Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup; - Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari sistem primer dan arteri sekunder. Ciri-ciri jalan kolektor sekunder terdiri atas : - Jalan kolektor sekunder menghubungkan : i. Antar kawasan sekunder kedua; ii. Kawasan sekunder kedua dengan sekunder ketiga; - Kendaraan angkutan barang berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di daerah pemukiman ; - Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi. 24

Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Gambar 2.7 Tipikal Penampang Melintang Jalan Kolektor Sekunder Sumber : Pd T-18-2004-B 25

f. Jalan Lokal Sekunder Untuk penentuan klasifikasi fungsi jalan lokal sekunder harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Kriteria-kriteria jalan lokal sekunder terdiri atas : - Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh) km/h; - Lebar badan jalan lokal sekunder paling rendah 6,5 (enam setengah) meter (Gambar 2.8); - Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah dibandingkan dengan fungsi jalan lain. Ciri-ciri jalan lokal sekunder terdiri atas : - Jalan lokal sekunder menghubungkan : i. Antar kawasan sekunder ketiga atau di bawahnya; ii. Kawasan sekunder dengan perumahan; - Kendaraan angkutan barang berat dan bus tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di daerah pemukiman ; 26

Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Ruwasja Ruwasja Rumija Rumaja Gambar 2.8 Tipikal Penampang Melintang Jalan Lokal Sekunder Sumber : Pd T-18-2004-B 2.4.4 Perencanaan Jalan 1. Ruas Ruas Jalan adalah bagian atau penggal jalan diantara dua simpul/persimpangan sebidang atau tidak sebidang baik yang dilengkapi dengan alat pemberi isyarat lalu lintas ataupun tidak (Wikipedia). Berikut merupakan sketsa gambar ruas, dapat dilihat pada Gambar 2.9 27

Gambar 2.9 Sketsa Gambar Ruas Sumber : Wikipedia 2. Simpang Simpang adalah simpul dalam jaringan transportasi dimana dua atau lebih ruas jalan bertemu, di sini arus lalu lintas mengalami konflik (Wikipedia). Secara umum, simpang terdiri atas simpang bersinyal, yakni simpang yang dilengkapi dengan lampu lalu lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lampu Lalulintas (disingkat APILL), dan simpang tak bersinyal, yakni simpang tanpa APILL, dan biasanya diatur dengan rambu (asrian.wordpress.com, Samarinda city). Simpang dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu simpang 3, simpang 4 dan simpang 5 (MKJI). 2.5 Bundaran Bundaran adalah suatu sistem arus satu arah yang melingkari suatu potongan jalan, dimana arus masuk diatur dengan prioritas tanda untuk mengalah dan prioritas diberikan pada arus yang datang dari kanan. Faktor keamanan sangat bergantung sekali dari kemampuan pengendara yang memasuki arus berputar. Bundaran akan beroperasi dengan baik pada persimpangan dengan arus lalu lintas yang merata di setiap lengan. Akan tetapi bundaran membutuhkan lahan yang luas, dibandingkan dengan persimpangan lainnya. Kemampuan untuk mengatasi arus U-turn adalah salah satu keuntungan bundaran. Akan tetapi dengan meningkatnya arus pada masing-masing lengan akan mengakibatkan kondisi locking yang mengakibatkan kemacetan total pada bundaran. 28

Bundaran merupakan salah satu jenis pengendalian persimpangan yang umumnya dipergunakan pada daerah perkotaan dan luar kota sebagai titik pertemuan antara beberapa ruas jalan dengan tingkat arus lalu lintas sedang karena mempunyai tingkat kecelakan lalu lintas relative lebih rendah dibandingkan jenis persimpangan bersinyal maupun tak bersinyal (MKJI 1997). Perhitungan kinerja bundaran termasuk dalam bagian perhitungan kinerja weaving section sebagaimanan tercantum dalam MKJI. Rotary dan Roundabout adalah jenis persimpangan kanalisasi yang terdiri dari sebuah lingkaran pusat yang dikelilingi oleh jalan satu arah atau yang umumnya lebih dikenal dengan istilah bundaran, seperti terlihat pada Gambar 2.10 Gambar 2.10 Rotary dan Roundabout Sumber : Ouotes Bundaran umumnya mempunyai tingkat keselamatan yang lebih baik dibandingkan jenis pengendalian persimpangan yang lain, tingkat kecelakaan lalu lintas bundaran sekitar 0,3 kejadian per juta kendaraan (tingkat kecelakaan lalu lintas pada persimpangan bersinyal 0,43 dan simpang tak bersinyal 0,6) karena rendahnya kecelakan lalu lintas (maksimum 50 km/jam) dan kecilnya sudut pertemuan titik konflik, dan pada saat melewati bundaran kendaraan tidak harus berhenti saat volume lalu lintas rendah.( Khisty 2002) 29

Desutama (2008), menyebutkan bahwa bundaran memiliki keunggulan sebagai berikut : a. Mampu mengarahkan kendaraan dari lajur dengan arah pergerakan lurus sehingga sedemikian akan memperlambat kecepatannya. b. Dapat membatasi manuver (alih gerak) kendaraan menjadi bentuk pergerakan lainnya (diverging, weaving, merging) sehingga kecepatan kendaraan relatif menurun ketike melewatinya. Dampak positif yang didapat dari penggunaannya adalah : a. Dapat meningkatkan pemilihan kontrol b. Menghasilkan antrian yang relatif kecil pada periode jam tidak sibuk jika dibandingkan dengan traffic signals c. Dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperlambat kecepatan kendaraan d. Didak menghambat pergerakan kendaraan secara maksimal seperti pada saat traffic light menyala merah. Bundaran lalu lintas digunakan untuk memperlambat kecepatan kendaraan, namun tidak akan menghambat kendaraan tersebut secara besar seperti halnya ketika arus berhenti disaat lampu merah menyala. Teknik ini khususnya sangat bermanfaat jika digunakan pada jalan yang dimanfaatkan untuk kendaraan dengan kecepatan tinggi. Martinovich (2010), mengatakan bahwa bundaran biasanya digunakan di daerah pusat perkotaan yang secara tradisional digunakan untuk memutuskan konflik antara pejalan kaki dengan arus lalu lintas di daerah yang terbuka luas. Di sisi lain, gerakan kendaraan yang masuk ke bundaran hampir menghilangkan potensi kecepatan tinggi, sudut dan kanan kiri tabrakan. Tabrakan dari belakang juga sering berkurang pada bundaran. 2.6 Arus Lalu Lintas Arus lalu-lintas menurut IHCM (Indonesian Highway Capacity Manual) (1997), arus lalu-lintas adalah jumlah unsur lalu-lintas yang melalui titik tak 30

terganggu dihulu, pendekat per satuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan/jam atau smp/jam. Nilai arus lalu-lintas (Q) mencerminkan komposisi arus lalu-lintas dalam satuan mobil penumpang (smp). Ekivalensi mobil penumpang (emp) dapat diturunkan secara empiris untuk setiap tipe kendaraan sebagai berikut : 1. Kendaraan ringan /Light Vehicle (LV) Meliputi mobil penumpang, minibus, truck pick up, dan jeep. 2. Kendaraan berat / Heavy Vehicle (HV) Meliputi truk 2 as, truk 3 as dan bus. 3. Sepeda motor (MC) Meliputi sepeda motor dan kendaraan roda 3 4. Kendaraan tak bermotor (UM) Meliputi sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong. Menurut Sukirman (1994), arus lalu-lintas disebut sebagai volume lalulintas, yaiitu jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satuan waktu (hari, jam, menit). Dimana perkerasan jalan yang lebih lebar dibutuhkan pada volume lalu-lintas yang tinggi, karena apabila jalan yang terlalu lebar dipergunakan untuk volume lalu-lintas rendah akan cenderung membahayakan, pengemudi dapat mempercepat laju kendaraannya, sedangkan situasi jalan tidak dapat dipastikan begitu saja. Volume lalu lintas dapat dinyatakan dalam : 1. Lalu-lintas harian rata-rata (Average Daily Traffic / ADT) Jumlah satuan volume lalu-lintas lebih dari satu hari dan kurang dari satu tahun dibagi dengan jumlah dari dalam periode tertentu. 2. Lalu-lintas harian rata-rata tahunan (Average Annual Daily Traffic/AADT) Jumlah volume lalu-lintas dalam satu-tahun dibagi jumlah hari dalam tahun tersebut. Dari uraian diatas, untuk perencanaan jalan raya termasuk informasiinformasi yang dibutuhkan haruslah relevan antara volume sekarang dan volume yang akan datang. 31

2.7 Rasio Jalinan Bundaran Pw = QW/QTOT. (1) Dengan : QW = Arus menjalin (smp/jam) QTOT = Arus total (smp/jam) PW = Rasio jalinan Rasio kendaraan tak bermotor (P UM ) P UM = Q UM / Q VEH...... (2) keterangan : Q UM Q VEH = Arus kendaraan non motor (kendaraan non motor/jam) = Arus kendaraan (smp/jam) Berbagai macam pola pergerakan tersebut akan saling berpotongan sehingga menimbulkan titik-titik konflik pada suatu persimpangan. Sebagai contoh, pada persimpangan dengan empat lengan pendekat mempunyai 32 titik konflik, yaitu crossing, 8 titik merging, 8 titik diverging. Gambar 2.11 Titik konflik persimpangan empat lengan pendekat dan bundaran lalu-lintas Sumber : Ouotes 32

2.8 Tipe Jalinan Tipe jalinan terbagi menjadi dua tipe utama yaitu : 1. Bagian jalinan tunggal Gambar 2.12 Bagian Jalinan Tunggal Sumber : MKJI 1997 Keterangan : W 1 W 2 L W W W W E = Lebar pendekat 1 yang akan masuk kebagian jalinan = Lebar pendekat 2 yang akan masuk kebagian jalinan = Panjang jalinan = Lebar jalinan = Lebar rata-rata pendekat untuk masing-masing bagian jalinan WE = W1+W2 2...... (3) jika W 1 > W W maka W 1 = W W dan bila W 2 > W W maka W 2 = W W 2. Bagian jalinan bundaran Gambar 2.13 Bagian Jalinan Bundaran Sumber : MKJI 1997 33

Keterangan : W 1 W 2 W3 L W W W W E = Lebar pendekat 1 yang akan masuk kebagian jalinan bundaran = Lebar pendekat 2 yang akan masuk kebagian jalinan bundaran = Lebar pendekat 3 yang akan masuk kebagian jalinan bundaran = Panjang jalinan = Lebar jalinan = Lebar rata-rata pendekat untuk masing-masing bagian jalinan 2.9 Ukuran Kinerja Ukuran kinerja dalam analisis operasional pada bundaran yang dapat diperkirakan berdasarkan aturan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 adalah : 1. Kapasitas 2. Derajat Kejenuhan 3. Tundaan 4. Peluang Antrian 2.9.1 Kapasitas Kapasitas (C) sesungguhnya (smp/jam) dihitung dengan menggunakan induksi faktor penyesuaian F. Besarnya kapasitas tersebut dihitung dengan menggunakan persamaan : C = 135 W W 1,3 (1 + W E W W ) 1,5 (1 P W 3 )0,5 (1 + W W L W ) 1,8 F CS F RSU (4) Keterangan : W E = (lebar masuk rata-rata) = ½ (W1 + W2) W W L W P W F CS = Lebar jalinan (m) = Panjang jalinan (m) = Rasio jalinan = Faktor penyesuaian ukuran kota F RSU = Faktor penyesuaian tipe lingkaran Faktor penyesuaian FCS untuk ukuran kota dimasukan sebagai jumlah penduduk di seluruh daerah perkotaan sebagaimana Tabel 2.5 di bawah ini. 34

Tabel 2.5 Kelas Ukuran Kota Sumber : MKJI 1997 Faktor penyesuaian F tipe lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut guna tanah dan aksesibilitas jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya. Hal ini ditetapkan secara kualitatif dari pertimbangan teknik lalu-lintas sebagaimana yang ditunjukan melalui Tabel 2.6 di bawah ini. Tabel 2.6 Tipe Lingkungan Jalan Sumber : MKJI 1997 35

Nilai faktor penyesuaian seperti ditampilkan pada Tabel 2.7 Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan Kendaraan Tidak Bermotor (F RSU) Sumber : MKJI 1997 Kapasitas dasar adalah kapasitas pada geometri dan prosentase jalinan tertentu tanpa induksi faktor penyesuaian dan dihitung dengan persamaan : Co = 135 W W 1,3 Keterangan : W E = (lebar masuk rata-rata) = ½ (W1 + W2) W W L W P W F CS = Lebar jalinan (m) = Panjang jalinan (m) = Rasio jalinan = Faktor penyesuaian ukuran kota F RSU = Faktor penyesuaian tipe lingkaran Faktor Ww = 135 x Ww 1,3 Faktor WE / WW = (1 + WE / WW) 1,5 Faktor PW = (1 - PW / 3) 0,5 Faktor WW / LW = (1 + WW / LW) -1,8 (1 + W E W W ) 1,5 (1 P W 3 )0,5 (1 + W W L W ) 1,8. (5) 36

Gambar 2.14 Faktor W w = 135 x W w 1,3 Sumber : MKJI 1997 Gambar 2.15 Faktor W E / W W = (1 + W E / W W) 1,5 Sumber : MKJI 1997 37

Gambar 2.16 Faktor P W = (1 - P W / 3) 0,5 Sumber : MKJI 1997 Gambar 2.17 Faktor W W / L W = (1 + W W / L W) -1,8 Sumber : MKJI 1997 38

2.9.2 Derajat Kejenuhan Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997, derajat kejenuhan (DS) bagian jalinan dihitung berdasarkan persamaan berikut: DS = Q SMP C..... (6) QSMP = Qkendaraan x Fsmp.... (7) Fsmp = (LV%+HV% x emp HV+MC% x emp MC ) 100 Derajat kejenuhan bundaran ditentukan sebagai berikut : DS = maks dari (DS) ; i = 1. n Dimana : DSi = Derajat kejenuhan bagian jalinan i n = Jumlah bagian jalinan pada bundaran tersebut QSMP = Arus total (smp/jam) Fsmp = Faktor mobil satuan penumpang C = Kapasitas (smp/jam).. (8) Gambar 2.18 Tundaan lalu-lintas bagian jalinan vs Derajat kejenuhan (DT vs DS) Sumber : MKJI 1997 39

2.9.3 Tundaan Tundaan pada bagian jalan dapat terjadi karena dua sebab berikut ini. 1. Tundaan lalu-lintas (DT) akibat interaksi lalu-lintas dengan gerakan yang lain dalam persimpangan. 2. Tundaan geometric (DG) akibat perlambatan dan percepatan lalu-lintas. Tundaan rata-rata bagian jalinan dihitung sebagai berikut ini : D = DT + DG Dengan : D = Tundaan rata-rata bagian jalinan (det/smp) DT = Tundaan lalu-lintas rata-rata bagian jalinan (det/smp) DG = Tundaan geometric rata-rata bagian jalinan(det/smp) Tundaan lalu-lintas pada bagian jalinan ditentukan berdasarkan kurva tundaan empiris dengan derajat kejenuhan sebagai variable masukan. Tundaan Geometrik pada bagian jalinan ditentukan sebagai berikut : DG = (1-DS) x 4 + DS x 4. (9) Tundaan rata-rata bundaran dihitung sebagai berikut : DTR = (Qi D x DTi) / Qmasuk + DG ; i = 1 s/d n (10) Dimana, DTR = Tundaan bundaran ra-rata (det/smp) i = Bagian jalinan I dalam bundaran n = Jumlah bagian jalinan dalam bundaran Qi = Arus total lapangan pada bagian jalinan i (smp/jam) DTi = Tundaan lalu-lintas rata-rata pada bagian jalinan i (det/smp) Qmasuk = Jumlah arus total yang masuk bundaran (smp/jam) DG = Tundaan rata-rata geometrik pada bagian jalinan (det/smp) Tundaan bundaran adalah tundaan lalu-lintas rata-rata per kendaraan masuk bundaran dan dihitung sebagai berikut : DR = DTR + 4 (det/smp)...(11) Nilai-nilai tundaan yang didapat dengan cara ini dapat digunakan bersama dengan nilai tundaan dan waktu tempuh yang didapat dengan cara lain untuk 40

menentukan waktu tempuh sepanjang rute didalam jaringan jalan. Selanjutnya tundaan geometrik pada persimpangan harus disesuaikan bagi kecepatan ruas jalan sesungguhnya. Nilai normal kecepatan digunakan adalah 40 km/jam, tundaan geometrik kendaraan yang tidak terhambat 4 detik, dan percepatan/perlambatan 1,5 m/s 2. 2.9.4 Peluang Antrian pada Bagian Jalinan Bundaran Peluang antrian QP% pada bagian jalinan ditentukan berdasarkan kurva antrian empiris, dengan derajat kejenuhan sebagai variable masukan. Peluang antrian bundaran ditentukan dengan enggunakan rumus : QP% = maks dari (QPi%) ; i = 1 n.. (12) Dimana : QP% = Peluang antrian bagian jalinan i n = Jumlah bagian jalinan dalam bundaran Gambar 2.19 Peluang antrian vs Derajat kejenuhan (QP vs DS) Sumber : MKJI 1997 41

2.10 Perancangan Bundaran Pedoman perancangan bundaran sesuai dengan Pd. T-20-2004-B. Pedoman perencanaan bundaran harus memperhatikan aspek sebagai berikut : 1. Kelancaran lalu lintas ; 2. Keselamatan lalu lintas ; 3. Ketersediaan lahan yang cukup ; 4. Efisiensi ; 5. Kemudahan akses bagi pejalan kaki dan penyandang cacat ; 6. Sosialisasi peraturan berlalu lintas di bundaran kepada pengguna jalan 2.10.1 Parameter Perencanaan Parameter perencanaan pada Pd. T-20-2004-B yang perlu diperhatikan adalah : 1. Volume lalu-lintas rencana yang digunakan dalam perencanaan bundaran adalah volume lalu-lintas seluruh lengan yang diperkirakan akan memasuki bundaran pada akhir umur rencana ; 2. Kendaraan rencana yang digunakan adalah kendaraan dengan radius putar yang paling besar ; 3. Kecepatan rencana yang digunakan dalam perancangan dibatasi maksimum 50 km/jam 2.10.2 Elemen Bundaran Secara fisik bundaran terdiri atas : 1. Pulau bundaran ; 2. Jalur lingkar ; 3. Lindasan truk/apron truk ; 4. Pulau pemisah. Gambaran fisik bundaran dengan 3 lengan dapat dilihat pada Gambar 2.20 42

Gambar 2.20 Bagian / Elemen Geometrik Bundaran 3 Lengan Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.10.3 Jumlah Lajur Lingkar Ketentuan jumlah lajur lingkar sesuai dengan yang ada pada Pd. T-20-2004-B yang menjelaskan bahwa : 1. Jumlah lajur lingkar maksimum bundaran yang diatur dalam pedoman ini adalah 2 lajur lingkar. Jumlah lajur lingkar ditentukan berdasarkan volume lalu-lintas harian rencana pada persimpangan (Tabel 2.8) dengan syarat volume lalu-lintas harian rencana yang lebih besar dari 40.000 kendaraan per hari tidak dapat mengikuti Pd. T-20-2004-B. Tabel 2.8 Jumlah Lajur Lingkar Sumber : Pd. T-20-2004-B 43

2. Jumlah lajur pada jalur masuk atau jalur keluar tidak boleh lebih besar dari jumlah lajur pada jalur lingkar. 2.10.4 Diameter Bundaran Diameter bundaran diukur dari sisi luar lingkaran yang bersinggungan dengan lengan pendekat. Diameter bundaran ditentukan berdasarkan kendaraan rencana dan kecepatan rencana. Tabel 2.9 menampilkan rentang diameter bundaran untuk kendaraan rencana dan kecepatan rencana yang dipilih. Tabel 2.9 Kecepatan Rencana Maksimum dan Dimensi Bundaran Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.10.5 Lebar Jalur Lingkar a) Bundaran Sederhana dan Bundaran Lajur Tunggal Bundaran sederhana dan bundaran lajur tunggal merupakan bundaran yang memiliki 1 lajur lingkar pada jalur lingkar, lajur masuk dan lajur keluar. Lebar jalur lingkar minimum merupakan lebar dari jalur masuk dan kebutuhan manuver membelok dari kendaraan, lebar antara 4.30 m - 4.90 m. b) Bundaran Lajur Ganda Bundaran lajur ganda merupakan bundaran yang memiliki 2 lajur lingkar pada jalur lingkar, lajur masuk dan lajur keluar. Lebar jalur lingkar pada bundaran dengan lajur ganda ditampilkan pada Tabel 2.10 2.10.6 Pulau Bundaran a) Bentuk geometri yang umum dipakai untuk pulau bundaran adalah lingkaran. Selain lingkaran, seperti bentuk oval, tidak disarankan. 44

b) Pulau bundaran harus memberikan pandangan yang cukup bagi pengendara untuk mengantisipasi kendaraan dari arah lengan pendekat lain. Penempatan obyek di dalam pulau bundaran harus memperhatikan jarak pandang jalur lingkar dan jarak pandang henti jalur lingkar. c) Pulau bundaran dapat dilengkapi dengan apron truk, untuk desain bundaran yang mengakomodasi kendaraan rencana truk dan trailer. Lebar apron truk berkisar antara 1-4 meter. Gambar 2.21 Tipikal Pulau Bundaran Sumber : Pd. T-20-2004-B d) Diameter pulau bundaran dihitung dengan mengurangkan total lebar jalur lingkar terhadap diameter bundaran : - Untuk bundaran lajur tunggal, diameter pulau bundaran adalah diameter bundaran dikurangi dua kali lebar jalur lingkar yang dipilih. - Untuk bundaran lajur ganda, lihat Tabel 2.10 45

Tabel 2.10 Lebar Minimum Jalur Lingkar Pada Bundaran Jalur Ganda Sumber : Pd. T-20-2004-B Gambar 2.22 Ilustrasi Lebar Jalur Lingkar Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.10.7 Superelevasi Jalur Lingkar Superelevasi jalur lingkar bundaran sebesar 2 %, superelevasi apron truk sebesar 3 % - 4 %. Gambar superelevasi jalur lingkat dapat dilihat pada Gambar 2.23 46

Gambar 2.23 Potongan Meintang Jalur Lingkar dan Lindasar Truk Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.10.8 Lebar Pendekat Lebar pendekat yang dirancang adalah : 1. Lajur masuk dan lajur keluar (entry and exit) 2. Radius masuk dan radius keluar 3. Kelandaian dan superelevasi lengan pendekat 4. Alinyemen horizontal pendekat 5. Pulau pemisah (splitter island) 2.10.8.1 Lajur Masuk dan Lajur Keluar (entry and exit) Lebar lajur masuk untuk bundaran dengan lajur tunggal maupun lajur ganda berkisar antara 4.30 m 4.90 m. Lajur masuk dapat dimodifikasi/diubah/dilebarkan untuk meningkatkan kapasitas dengan cara : 1. Memberikan lajur tambahan atau lajur parallel pada lengan pendekat 2. Melebarkan pendekat secara gradual (flare) masuk. Gambar 2.24 dan 2.25 menampilkan peningkatan kapasitas pada lajur 47

Gambar 2.24 Peningkatan Kapasitas Jalan dengan Menambah Lajur pada Lengan Pendekat Sumber : Pd. T-20-2004-B Gambar 2.25 Peningkatan Lebar Jalan dengan Memperlebar Flare Sumber : Pd. T-20-2004-B Kesinambungan radius masuk dengan jalur lingkar secara signifikan akan memberikan dampak kepada aspek keselamatan. Radius masuk/keluar, pulau bundaran dan jalur lingkar memberikan kontribusi kepada manuver kendaraan yang akan masuk atau keluar jalur lingkar. Gambar 2.26 menampilkan ilustrasi kesinambungan jalur masuk dan keluar dengan jalur lingkar. 48

Gambar 2.26 Ilustrasi Jalur Masuk dan Keluar Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.10.8.2 Radius Masuk dan Radius Keluar Radius masuk dan radius keluar bundaran ditentukan oleh persamaan (13) berikut ini :.(13) Dengan pengertian : V adalah kecepatan rencana pada lengan pendekat, km/h R adalah radius masuk/keluar, m e adalah superelevasi (0.02-0.03) f adalah koefisien gesek (friksi) permukaan jalan Gambar 2.27 Hubungan Koefisien Gesek dengan Kecepatan Rencana Sumber : Pd. T-20-2004-B 49

Koefisien gesek ditentukan berdasarkan fungsi dari kecepatan rencana, dengan mengacu kepada standar yang dikeluarkan oleh AASHTO. Hubungan koefisien gesek dengan kecepatan rencana ditentukan berdasarkan Gambar 2.27 Tabel 2.11 menampilkan variasi kecepatan rencana dan radius masuk serta radius keluar. Tabel 2.11 Variasi Kecepatan Rencana dan Radius Minimum Masuk Serta Keluar Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.10.8.3 Kelandaian dan Superelevasi Lengan Pendekat Kelandaian maksimum lengan pendekat dan daerah persimpangan bundaran pada persimpangan sebidang adalah 4 % 2.10.8.4 Alinyemen Horizontal Pendekat Titik pusat bundaran seharusnya ditempatkan pada perpotongan sumbu (centerline) dari masing-masing lengan pendekat. Namun dimungkinkan pula jika sumbu dari salah satu lengan bergeser ke arah kanan dari titik pusat bundaran. Namun tidak dibenarkan jika sumbu salah satu pendekat bergeser ke arah kiri dari titik pusat bundaran. 50

Gambar 2.28 Alinyemen Pendekat Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.10.8.5 Pulau Pemisah (splitter island) Kriteria dari perancangan pulau pemisah adalah : 1. Pulau pemisah harus tersedia di setiap lengan bundaran. Selain dipergunakan untuk membimbing kendaraan memasuki jalur lingkar, pulau pemisah juga berfungsi sebagai "tempat perberhentian (refuge)" bagi penyebrang jalan dan membantu mengendalikan kecepatan. 2. Total panjang minimum dari pulau pemisah lebih kurang 15 m. Gambar 2.29 menampilkan dimensi minimum dari pulau pemisah. 3. Meningkatkan lebar dari pulau pemisah secara signifikan akan memberikan konstribusi tingkat kecelakaan pada jalur lingkar. 4. Dimensi dari hidung pulau pemisah ditampilkan pada Gambar 2.30 51

Gambar 2.29 Tipikal Pulau Pemisah Sumber : Pd. T-20-2004-B Gambar 2.30 Dimensi Hidung Pulau Pemisah Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.10.9 Kebebasan Pandang di Bundaran Kebebasan pandang di bundaran yang dirancang adalah : 1. Kebebasan pandang pada bundaran dan wilayah pendekat bundaran 2. Jarak pandang henti 52

2.10.9.1 Kebebasan Pandang pada Bundaran dan Wilayah Pendekat Bundaran Hal yang perlu diperhatikan adalah : 1. Desain bundaran harus memberikan kebebasan pandang kepada pengemudi untuk dapat mengantisipasi pergerakan kendaraan di jalur lingkat maupun kendaraan yang memasuki daerah perseimpangan bundaran. Karena itu, seluruh wilayah yang termasuk dalam daerah kebebasan pandang pengemudi harus terbebas dari obyek yang dapat mengganggu kebebasan pandang. Arsiran pada Gambar 2.31 memperlihatkan wilayah kebebasan pandang yang harus disediakan pada wilayah bundaran. 2. Wilayah kebebasan pandang diukur dari titik A yang terletak 15 m sebelum garis prioritas. Dari jarak tersebut, pengemudi harus dapat mengantisipasi kendaraan yang bergerak pada jalur lingkar (d2) maupun kendaraan pada lengan pendekat yang akan memasuki jalur lingkar dari arah kanan (d1). 3. Kebebasan pandang samping ditentukan dengan menarik garis sepanjang b m ke arah tepi lengan pendekat di sebelah kanan. Panjang garis b dihitung dengan rumus (14). b = 0.278 (V konflik) (tc).. (14) Dengan pengertian : b adalah jarak pandang lengan bundaran, meter V konflik adalah 70 % kecepatan rencana lengan pendekat, km/h tc adalah selisih waktu kritis saan masuk pada jalan utama, detik (6,5 detik) 4. Jika kecepatan konflik yang telah ditentukan sebelumnya, panjang garis b dapat mengacu pada Tabel 2.12 5. Jarak pandang bundaran ditentukan dengan mengansumsikan mata pengendaran setinggi 1080 mm dan tinggi obyek (kendaraan lain) adalah 600 mm. 53

Gambar 2.31 Jarak Pandang Bundaran Sumber : Pd. T-20-2004-B Tabel 2.12 Jarak Pandang ke Lengan Bundaran (b) Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.10.9.2 Jarak Pandang Henti Langkah perancangan untuk jarak pandang henti adalah : 1. Jarak pandang henti dihitung dengan persamaan (15).(15) Dengan pengertian : d adalah jarak pandang berhenti, m t adalah waktu reaksi, diasumsikan 2.5 detik V adalah kecepatan, km/jam a adalah deselerasi pengemudi, diasumsikan 3.4 m/detik 2 54

2. Untuk kecepatan yang telah ditentukan, jarak pandang harus minimum pada bundaran dapat dilihat pada Tabel 2.13 \ Tabel 2.13 Jarak Pandang Henti Minimum Sumber : Pd. T-20-2004-B 3. Khusus untuk perencanaan persimpangan dengan bundaran terdapat 3 jarak pandang henti yang harus dihitung, yaitu : a) Jarak pandang henti pendekat Jarak pandang henti ini merupakan jarak aman yang dibutuhkan pengemudi untuk dapat memberhentikan kendaraannya dalam mengantisipasi obyek atau penyebrang jalan pada lengan pendekat, seperti terlihat pada Gambar 2.32 Gambar 2.32 Jarak Pandang Henti Pendekat Sumber : Pd. T-20-2004-B b) Jarak pandang henti jalur lingkar Jarak pandang henti ini merupakan jarak aman yang dibutuhkan pengemudi untuk dapat memberhentikan kendaraannya dalam mengantisipasi obyek di jalur lingkar. Dapat dilihat pada Gambar 2.33 55

Gambar 2.33 Jarak Pandang Henti Jalur Lingkar Sumber : Pd. T-20-2004-B c) Jarak pandang henti jalur penyebrang jalan pada jalur keluar Jarak pandang henti ini merupakan jarak aman yang dibutuhkan pengemudi untuk dapat memberhentikan kendaraannya dalam mengantisipasi obyek atau penyebrang jalan pada lajur keluar. Dapat dilihat pada Gambar 2.34 Gambar 2.34 Jarak Pandang Henti Jalur Penyeberang Jalan pada Jalur Keluar Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.11 Struktur Perkerasan Jalan Struktur perkerasan jalan yang digunakan pada pelebaran badan jalan dalam tugas akhir ini adalah struktur perkerasan lentur yang mengacu pada Pt.T-01-2002- B tentang Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur. 56

Struktur perkerasan lentur umumnya terdiri atas : 1. Tanah Dasar (Sub Grade Course) 2. Lapis Pondasi Bawah (Sub Bace Course) 3. Lapis Pondasi (Base Course) 4. Lapis Permukaan (Surface Course) Susunan lapis perkerasan dapat dilihat seperti pada Gambar 2.35 Gambar 2.35 Susunan Lapis Perkerasan Lentur Sumber : Pd. T-20-2004-B 2.11.1 Tanah Dasar Parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan adalah Modulus Resilien (MR). Modulus Resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar. MR (psi) = 1.500 x CBR... (16) 2.11.2 Lapis Pondasi Bawah Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara lain: 1. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar beban roda. 2. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisanlapisan diatasnya daat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya konstruksi). 3. Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi. 4. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar. 57

2.11.3 Lapis Pondasi Lapis pondasi adala bagian dari perkerasan lentur yang terletak langsung di bawah lapis permukaan. Fungsi lapis pondasi antara lain : 1. Sebagai bagian kontruksi perkerasan yang menahan beban roda. 2. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan. 2.11.4 Lapis Permukaan Lapis permukaan perkerasan lentur terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di atas lapis pondasi. Fungsi lapis permukaan antara lain : 1. Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda. 2. Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan akibat cuaca. 3. Sebagai lapisan aus (wearing course). 2.11.5 Kriteria Perencanaan Adapun kriteria perencanaan perkerasan lentur adalah sebagai berikut : 1. Lalu Lintas a. Angka ekivalen Beban Gardar Sumbu Kendaraan (E) Angka ekivalen beban gardar sumbu kendaraan (E) untuk roda tunggal dipergunakan Rumus (17)..(17) b. Reliabilitas Faktor perencanaan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu-lintas (w18) dan perkiraan kinerja (W18), dan karenanya memberikan tingkat reliabilitas dimana seksi perkerasan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan. Tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi jalan dapat dilihat pada Tabel 2.14 58

Tabel 2.14 Rekomendasi Tingkat Reliabilitas Untuk Bermacam-Macam Klasifikasi Jalan Sumber : Pt. T-01-2002-B Reliabilitas kinerja perencanaan dikontrol dengan Faktor Reliabilitas (FR) yang dikalikan dengan perkitaan lalu lintas (w18) selama umur rencana untuk memperoleh prediksi kinerja (W18). Faktor Reliabilitas merupakan fungsi dari Deviasi Standar Keseluruhan (Overall Standard Deviation, S0) yang memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu lintas dan perkiraan kinerja untuk W18 yang diberikan. Deviasi Standar (S0) harus dipilih yang mewakili kondisi setempat. Rentang S0 adalah 0,4 0,5. c. Lalu Lintas Pada Lajur Rencana Lalu lintas pada lajur rencana (w18) diberikan dalam kumulatif beban gandar standar. Untuk mendapatkan lalu lintas pada lajur rencana ini digunakan Rumus (18) w18 = DD x DL x ŵ18.(18) dimana : DD DL ŵ18 = faktor distribusi arah = faktor distribusi lajur = beban gardar standar kumulatif untuk dua arah Pada umumnya DD diambil 0,5. Nilai faktor distribusi lajur (DL) dapat dilihat pada Tabel 2.15 Tabel 2.15 Faktor Distribusi Lajur (D L) Sumber : Pt. T-01-2002-B 59

Lalu lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan lentur dalam pedoman ini adalah lalu lintas kumulatif selama umur rencana. Secara numerik rumusan lalu lintas kumulatif seperti pada Rumus (19). (19) Dimana : Wt w18 n = jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif = beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun = umur pelayanan (tahun) g = perkembangan lalu lintas (%). 2. Koefisien Drainase. Nilai koefisien drainase (m) dapat dilihat pada Tabel 2.16 Tabel 2.16 Koefisien Drainase (m) Untuk Memodifikasi Koefisien Kekuatan Relative Sumber : Pt.T-01-2002-B 3. Indeks Permukaan (IP) Indeks permukaan ini menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan perkerasan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Adapun beberapa IP beserta artinya adalah sebagai berikut : IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik IP = 2,0 : menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap. 60

IP = 1,5 IP = 1,0 : menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus). : menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan. Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan sebagaimana dilihat pada Tabel 2.17 Tabel 2.17 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IP t) Sumber : Pt.T-01-2002-B Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IP0) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan perkerasan pada awal umur rencana yang dapat dilihat pada Tabel 2.18 Tabel 2.18 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IP 0) Sumber : Pt.T-01-2002-B 4. Koefisien Kekuatan Relatif (a) Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi koefisien kekuatan relatif dikelompokkan ke dalam 5 kategori yaitu : a. Beton aspal (asphalt concrete). b. Lapis pondasi granular (granular base) 61

c. Lapis pondasi bawah granular (granular sub base) d. Cement-treated base (CTB) e. Asphalt-treated base (ATB) 2.11.6 Batas-Batas Minimum Tebal Lapis Perkerasan Tebal minimum untuk lapis permukaan berbeton aspal dan lapis pondasi agregat dapat dilihat pada Tabel 2.19 Tabel 2.19 Tebal Minimum Lapis Permukaan Berbeton Aspal dan Lapis Pondasi Agregat Sumber : Pd. T-20-2004-B 62