2. PENGEMBANGAN BATAS-BATAS DAN KONDISI-KONDISI OPERASIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
DEFINISI. Definisi-definisi berikut berlaku untuk maksud-maksud dari publikasi yang sekarang.

FORMAT DAN ISI BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA. I. Kerangka Format Batasan dan Kondisi Operasi Reaktor Nondaya

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FORMAT DAN ISI

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN 1 TATA CARA PENYUSUNAN SMK3 KONSTRUKSI BIDANG PEKERJAAN UMUM

LAMPIRAN FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN UNTUK MENETAPKAN KONDISI-KONDISI BATAS UNTUK OPERASI YANG AMAN

5. PROGRAM PERAWATAN DAN PENGUJIAN BERKALA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN MANAJEMEN PENUAAN REAKTOR NONDAYA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA

BERITA NEGARA. No.655, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Manajemen. Penuaan. Nuklir Nonreaktor. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

Lampiran 3 FORMAT DAFTAR SIMAK AUDIT INTERNAL PENYEDIA JASA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Ruang Lingkup Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir meliputi:

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 04-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN PELATIHAN OPERATOR DAN SUPERVISOR REAKTOR NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Code of Conduct Pada Keselamatan Reaktor Riset

FORMAT DAN ISI LAPORAN PENILAIAN KESELAMATAN BERKALA KONDISI TERKINI STRUKTUR, SISTEM, DAN KOMPONEN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENUAAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten

Bab 2 PENDEKATAN TERHADAP PERTAHANAN BERLAPIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI DAN PROSEDUR OPERASI REAKTOR DAYA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN PENJELASAN BENTUK-BENTUK YANG DIGUNAKAN DALAM DOKUMEN

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (I)

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DALAM UTILISASI DAN MODIFIKASI REAKTOR NONDAYA

Bab 3 IMPLEMENTASI PERTAHANAN BERLAPIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Sumber: ISO Environmental Management System Self-Assesment Checklist, GEMI (1996)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

LAMPIRAN I METODE DAN PENDEKATAN ANALISIS KESELAMATAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

A. KRITERIA AUDIT SMK3

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN (Berdasarkan PP 50 Tahun 2012) Nama : Alamat : Jabatan : Lama Bekerja : NO Isi pertanyaan Kel.

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN INSTALASI NUKLIR NON REAKTOR

Keselamatan Instalasi Nuklir

Persyaratan Keselamatan Untuk Keselamatan Reaktor Riset

Rekapitulasi Persyaratan (Standar) SMM ISO 9001:2008

KETENTUAN KESELAMATAN DEKOMISIONG REAKTOR NUKLIR 1

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Laporan. Analisis Keselamatan Reaktor Nondaya. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KLAUSUL-KLAUSUL DALAM DOKUMEN ISO 9001

ISO 9001:2000. Persyaratan-persyaratan Sistem Manajemen Mutu

CONTOH BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

MATERI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA

DASAR ANALISIS KESELAMATAN

BERITA NEGARA. BAPETEN. Reaktor Nondaya. Keselamatan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 07/Ka-BAPETEN/V-99 TENTANG JAMINAN KUALITAS INSTALASI NUKLIR

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK BAHAN BAKAR

2014, No MANAJEMEN TERAS. Langkah-langkah Manajemen Teras terdiri atas:

PT. SUCOFINDO CABANG MAKASSAR JLN. URIP SUMOHARJO NO 90A MAKASSAR

Konsep Dasar Audit Sistem Informasi

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG DESAIN PROTEKSI TERHADAP BAHAYA INTERNAL

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK

(SMKP) ELEMEN 6 DOKUMENTASI SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN PERTAMBANGAN (SMKP) MINERAL DAN BATUBARA

DOKUMENTASI

SPJ 4400: PERIKATAN UNTUK MELAKUKAN PROSEDUR YANG DISEPAKATI ATAS INFORMASI KEUANGAN SPJ 4410: PERIKATAN KOMPILASI

UNSUR TINDAKAN PELANGGARAN HUKUM OLEH KLIEN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

KEBIJAKAN ALKOHOL DAN OBAT TERLARANG PT BENING TUNGGAL MANDIRI

PRINSIP 1: KOMITMEN DAN KEBIJAKAN PRINSIP 2: PERENCANAAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM MANAJEMEN FASILITAS DAN KEGIATAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

MANAJEMEN OPERASI REAKTOR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (II)

OLEH : Dra. Suyati INSPEKSI FASILITAS RADIASI DAN INSPEKSI FASILITAS RADIASI DAN ZAT RADIOAKTIF ZAT RADIOAKTIF

Pertama : Peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi ini merupakan acuan bagi Lembaga Sertifikasi Profesi untuk pembentukan tempat uji kompetensi.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Standar Audit SA 250. Pertimbangan atas Peraturan Perundang-Undangan dalam Audit atas Laporan Keuangan

PEDOMAN PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN (SMK3)

Standar Audit SA 620. Penggunaan Pekerjaan Pakar Auditor

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

FORMAT DAN ISI PROGRAM MANAJEMEN PENUAAN

- 1 - BAB I PENDAHULUAN DAN URAIAN SINGKAT FASILITAS

Transkripsi:

2. PENGEMBANGAN BATAS-BATAS DAN KONDISI-KONDISI OPERASIONAL UMUM 1. OLC merupakan pembungkus atau batas nilai-nilai parameter reaktor dan kondisikondisi sistem dimana operasi suatu reaktor telah diperlihatkan aman di dalam LAK, dan pekerja reaktor, masyarakat dan lingkungan cukup terlindung dari bahayabahaya radiologis. Dengan demikian, OLC memberikan sumbangan bagi pencegahan kecelakaan-kecelakaan dan mitigasi konsekuensi dari kecelakaan apabila terjadi. 2. OLC juga merupakan dasar yang penting dimana organisasi pengoperasian berwenang untuk mengoperasikan fasilitas, dan dikirimkan untuk diperiksa dan ditetapkan oleh badan pengaturan sebagai bagian dari proses perizinan. 3. Peranan yang penting dari OLC dalam operasi reaktor riset mensyaratkan agar OLC dipilih secara memadai, ditetapkan secara jelas dan dinyatakan secara tepat dengan suatu pernyataan tertulis mengenai alasan-alasan untuk penerapannya. Apabila diperiksa dan disetujui oleh badan pengaturan, OLC merupakan suatu kerangka yang telah diterima yang merupakan dasar dari operasi fasilitas reaktor. 4. Pengembangan OLC didasarkan pada disain reaktor, pada analisis keselamatan dan pada informasi dari LAK dalam kaitannya dengan pelaksanaan operasi. Gaya dan format OLC hendaknya tepat untuk tujuan utamanya (paragraf 2.1) dan tujuan-tujuan berikut hendaknya juga dipertimbangkan: (a). Untuk memudahkan verifikasi bahwa operasi sesuai dengan OLC yang telah disetujui. (b). untuk memudahkan pemahaman dan kesadaran personil pengoperasian mengenai aplikasi dan perlunya mematuhi OLC. 1. Setiap batas atau kondisi operasional hendaknya didukung oleh pernyataan yang jelas mengenai tujuannya, dapat tidaknya diterapkan, spesifikasi dan justifikasi apabila mungkin. 2. Organisasi pengoperasian harus bertanggung jawab atas pembuatan dan penyerahan OLC kepada badan pengaturan, sebagai salah satu dari persyaratanpersyaratan bagi pemberian sebuah izin (lihat paragraf 302 (b) dan 601 dari Ref [2]. Organisasi pengoperasian hendaknya berkonsultasi dengan perancang bangun dalam

menyiapkan OLC dan, sesuai dengan Ref. [2], paragraf 601, harus menjamin bahwa personil pengoperasian memahaminya dan mematuhinya. Disamping itu, OLC yang diusulkan hendaknya diperiksa oleh panitia keselamatan 3 sebelum diserahkan kepada badan pengaturan. Apabila pembatasan khusus ditetapkan untuk pengoperasian oleh badan pengaturan, organisasi pengoperasian hendaknya menjamin bahwa OLC yang telah ditetapkan telah direvisi secara tepat. 3. Organisasi pengoperasian harus menyiapkan OLC untuk setiap tahapan dari operasi reaktor yang bisa jadi disyaratkan badan perizinan. Misalnya, tahapan komisioning dari 3 Lihat paragraf 338. reaktor biasanya mensyaratkan OLC khusus yang bisa saja direvisi apabila tahapan ini diselesaikan. Demikian pula, operasi reaktor pada kondisi-kondisi khusus, seperti pelaksanaan eksperimen khusus atau melakukan modifikasi reaktor, bisa jadi membutuhkan OLC khusus. Alasan-alasan lainnya dari perubahan di dalam OLC bisa jadi karena terlihat tidak memadainya nilai-nilai parameter atau persyaratan-persyaratan yang ada, pengalaman yang diperoleh selama operasi reaktor, atau kemajuan teknologi. Dengan demikian, OLC biasanya diperiksa dan diubah sesuai dengan kebutuhan selama umur reaktor. 1. Sesuai dengan tanggungjawab keseluruhannya, organisasi pengoperasian harus bertanggung jawab untuk melaksanakan suatu pemeriksaan berkala dari OLC untuk melakukan revisi yang timbul dari pengalaman pengoperasian. Dengan demikian, organisasi pengoperasian juga bertanggung jawab atas penyerahan secara tepat waktu kepada badan pengaturan untuk pemeriksaan dan persetujuan penambahan atau perubahan-perubahan pada OLC yang ada. 2. Sesuai dengan paragraf 206, organisasi pengoperasian bertanggung jawab untuk menjamin kesesuaian dengan OLC yang disetujui. Untuk membantu melaksanakan tanggungjawab ini, batas-batas keselamatan, setting keselamatan dan persyaratanpersyaratan survei harus ditetapkan di dalam OLC (lihat Ref. [2], paragraf 601). Dalam hal ini, organisasi pengoperasian harus cukup menyimpan rekaman yang memadai untuk memudahkan di dalam pelaksanaan audit dan inspeksi untuk memverifikasi bahwa operasi fasilitas memenuhi OLC. Disamping itu, organisasi

pengoperasian harus bertanggung jawab untuk menetapkan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi setelah pelanggaran terhadap batas keselamatan atau kondisi batas. 4 1. Badan pengaturan hendaknya memeriksa, mengkaji dan menyetujui OLC, yang diberikan oleh organisasi pengoperasian. Tujuannya adalah untuk memverifikasi bahwa setiap batas dan kondisi operasional mempunyai dasar, memberikan marjin keselamatan yang memadai dalam kaitannya dengan kecelakaan-kecelakaan yang dianalisis di dalam LAK dan sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku yang relevan. 2. Badan pengaturan hendaknya juga melaksanakan inspeksi pengaturan dari organisasi pengoperasian, manajemen reaktor dan operasi fasilitas reaktor untuk memverifikasi kesesuaian dengan OLC yang telah disetujui. Petunjuk lebih lanjut mengenai inspeksi pengaturan dapat ditemukan di dalam Ref. [5]. ATRIBUT BATAS-BATAS DAN KONDISI-KONDISI OPERASIONAL 2.12. Presentasi yang diterapkan untuk OLC bisa jadi bervariasi dari negara ke negara tergantung pada peraturan-peraturan dan praktek-praktek nasional dan pada reaktor tertentu. Ini dapat berkisar dari sebuah daftar ringkas batas-batas dan kondisi-kondisi batas hingga satu set spesifikasi rinci, masing-masing mencakup tujuan, pernyataan pemberlakuan (aplikabilitas) dan dasar (lihat paragraf 2.5). Dengan mempertimbangkan paragraf 2.3 dan 2.5, direkomendasikan sebuah presentasi yang terdiri atas tujuan, pemberlakuan, spesifikasi dan dasar sebagai praktek yang baik untuk batas-batas keselamatan, setting sistem keselamatan dan kondisi-kondisi batas untuk operasi yang 4 Lihat paragraf 607-608 dari Ref. [2] dan paragraf 347 dari Pedoman Keselamatan ini. aman. Presentasi dapat juga mencakup suatu pernyataan yang menjelaskan tindakantindakan yang akan diambil apabila terjadi pelanggaran suatu batas atau kondisi operasional (lihat paragraf 3.47). 2.13. Presentasi ini juga dapat digunakan untuk persyaratan-persyaratan survei (lihat paragraf 3.19) dan persyaratan-persyaratan administratif apabila mungkin. Persyaratanpersyaratan survei dapat dimasukkan di bagian Kondisi-kondisi Batas untuk Operasi yang aman atau dapat dispesifikasi di dalam bagian yang terpisah dari dokumen OLC. Persyaratan-persyaratan survei hendaknya mencakup persyaratan-persyaratan untuk inspeksi, pemeriksaan beroperasi atau tidaknya dan kalibrasi apabila mungkin dan hendaknya secara jelas menetapkan frekuensi dan lingkup pengujian untuk

memperlihatkan agar tingkat kinerja yang ditetapkan oleh OLC untuk operasi yang aman dipenuhi. TUJUAN DARI SPESIFIKASI 2.14. Tujuan dari spesifikasi hendaknya ditetapkan secara jelas. Ini penting karena tujuannya bisa jadi tidak jelas dari spesifikasi itu sendiri. Misalnya, apabila tujuan suatu batas atau kondisi operasional tertentu adalah 'untuk menjamin integritas dari kelongsong bahan bakar', maka suhu dapat ditetapkan. Apabila tidak ada instrumen pengukur suhu, bisa jadi perlu kiranya menetapkan tingkat daya, aliran pendingin melalui teras, suhu masuk pendingin dan tinggi permukaan air di atas bahan bakar di dalam sebuah reaktor jenis kolam. Ini tidak terlihat dari keempat spesifikasi bahwa tujuan terakhir adalah untuk menjamin integritas kelongsong. PEMBERLAKUAN SPESIFIKASI 2.15. Pemberlakuan spesifikasi dijelaskan di dalam sebuah pernyataan yang menunjukkan variabel-variabel, komponen-komponen, sistem-sistem dan persyaratanpersyaratan administratif dimana spesifikasi tersebut berlaku. Ini dimasukkan untuk menjamin pemahaman yang jelas dan cepat atas lingkup dari spesifikasi. Misalnya, berlaku tidaknya pada moda-moda pendinginan yang spesifik dapat ditetapkan. PERNYATAAN SPESIFIKASI 1. Spesifikasi tersebut memberikan suatu pernyataan mengenai nilai dari suatu parameter khusus atau kelompok parameter, baik sebagai sebuah nilai tunggal atau kisaran harga. Spesifikasi bisa jadi untuk suatu struktur, sistem, komponen, operasi, atau persyaratan survei atau administratif. Spesifikasi hendaknya dinyatakan dengan cara yang jelas dan ringkas dan hendaknya tidak bertentangan dengan spesifikasi lainnya. Spesifikasi dapat diturunkan dari disain, dari LAK dan dari pengalaman. 2. Alasan-alasan bagi pemilihan spesifikasi hendaknya diberikan. Ini hendaknya didasarkan pada LAK, pada disain reaktor atau pada aspek-aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan operasi. Alasan-alasan atau dasar-dasar ini bisa jadi berupa pernyataanpernyataan yang sederhana tetapi konservatif didasarkan pada pengalaman

operasional atau hasil-hasil eksperimen. Referensi untuk bagian-bagian yang relevan dari LAK dengan rangkuman ringkas hendaknya dimasukkan di dalam dasar. Dasar-dasar hendaknya memperlihatkan bahwa spesifikasi dipilih secara konservatif untuk operasi normal. Pertimbangan yang tepat hendaknya diberikan untuk hal-hal seperti kesalahan kalibrasi, ketelitian pengukuran dan response time operator atau sistem.