4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

FAKULTAS HEWAN BOGOR 20100

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai parasit sperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh nenek

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

Rickettsia prowazekii

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

2 POLA TRANSMISI PENYAKIT PADA BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memenuhi kebutuhan akan protein, juga diharapkan akan meningkatkan pendapatan

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

DEFINISI KASUS MALARIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

THEII..ERIOSIS PADA SAPI AKIBAT INFEKSI THEILERIA MUTANS

Studi Kasus Infestasi Caplak Boophilus microplus pada Sapi Potong di Kota Banjarbaru

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

Proses Penyakit Menular

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. garis keturunannya tercatat secara resmi sebagai kucing trah atau galur murni

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

Jenis-Jenis dan Prevalensi Ektoparasit Pada Anjing Peliharaan

PARASTOLOGI. Tugas 1. Disusun untuk memenuhi tugas praktik komputer 1. Editor : Vivi Pratika NIM : G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN

Proses Penularan Penyakit

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT )

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB I PENDAHULUAN. berperan sebagai perantara (vektor) beberapa jenis penyakit terutama Malaria

HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

BAB I PENDAHULUAN. kepadatan penduduk. Menurut WHO (2009), Sekitar 2,5 miliar penduduk dunia

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 Tentang : Perlindungan Tanaman

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat dilakukan dengan banyak metoda. Salah satu metoda yang paling diyakini

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

TINJAUAN PUSTAKA. Anjing (Canis familiaris)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 51/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat rnenciptakan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

Transkripsi:

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Protozoa Parasitik Menurut Subronto (2006) protozoa dalam darah yang sering ditemukan pada anjing, antara lain dari genus Babesia, Hepatozoon dan Trypanosoma. Seringkali gejala yang ditimbulkan oleh infeksi protozoa sulit diketahui secara kasat mata hingga tidak teramati dan tidak diperhitungkan di dalam penentuan diagnosis. Kemungkinan dikarenakan oleh jumlah parasit yang tidak begitu banyak atau patogenitas parasit yang rendah. Untuk menentukan protozoa sebagai penyebab penyakit sangat ditentukan oleh tersedianya spesimen untuk diperiksa antara lain darah dan atau tinja. Akan tetapi tersedianya bahan pemeriksaan tersebut juga tidak selalu dapat membantu dalam menegakkan diagnosa penyakit yang disebabkan protozoa. Kesulitan lainnya adalah tidak segera dapat ditentukannya penyebab penyakit protozoa karena hampir-hampir penyakit-penyakit tersebut tidak memiliki gejala yang bersifat patognomonik. Ada berbagai macam pemeriksaan untuk mengetahui keberadaan protozoa terutama protozoa parasit darah. Salah satunya adalah pemeriksaan mikroskopis menggunakan sediaan ulas darah tipis yang telah diwarnai dengan pewarnaan giemsa dan menggunakan perbesaran 10 x 100. Dari pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap 30 preparat ulas darah anjing, pada 11 preparat ulas darah dapat ditemukan protozoa parasit darah dan dari satu preparat ulas darah anjing dapat ditemukan lebih dari satu jenis parasit darah. Parasit darah yang paling banyak ditemukan pada saat pengamatan adalah Babesia sp. (81,8%). Protozoa parasit darah yang terlihat pada pengamatan preparat ulas darah anjing merupakan protozoa intraeritrositik berbentuk titik atau bulat dengan warna yang lebih gelap dibandingkan dengan area sitoplasma dari sel darah merah. Karakteristik ini cocok dengan morfologi Babesia sp. yang merupakan parasit intraeritrositik.

Babesia sp. Protozoa hasil pengamatan (Sumber: http://www.wikipedia.org) (Perbesaran Objektif 100 kali) Gambar 1 Hasil pengamatan dibandingkan dengan literatur dari genus Babesia. Protozoa yang termasuk dalam genus Babesia sp. merupakan organisme yang dalam eritrosit dengan perkembangan secara aseksual menjadi dua, empat atau lebih parasit yang tidak berpigmen berbentuk amoeboid. Babesia merupakan protozoa dari ordo Piroplasmida famili Babesiidae. Delapan belas jenis Babesia telah diketahui, dan secara umum terbagi menjadi dua kelompok, bentuk besar dengan diameter rata-rata 3 mikron dan bentuk kecil dengan diameter rata-rata kurang dari 2,5 mikron. Dua spesies dari genus Babesia yang dominan menginfeksi anjing, yaitu Babesia canis dan Babesia gibsoni. Dari dua spesies Babesia ini terbagi lagi menjadi tiga subspesies, yaitu Babesia canis canis, Babesia canis vogeli dan Babesia canis rossi. Masingmasing subspesies ini dapat dibedakan berdasarkan analisis rangkaian gen rrna dan perbedaan sifat alami dan virulensinya pada anjing. Babesia canis rossi ditularkan melalui gigitan serangga Haemaphysalis spp. dan merupakan yang paling patogen dari ketiga subspesies tersebut. Babesia canis canis ditularkan melalui gigitan serangga Dermacentor spp. dan dapat menunjukkan gejala klinis yang bervariasi, sedangkan Babesia canis vogeli ditularkan oleh Riphicephalus sanguineus dan menyebabkan timbulnya gejala klinis yang ringan bahkan seringkali tidak menunjukkan gejala klinis. Babesia canis adalah piroplasma yang besar, berbentuk seperti buah pir, memiliki diameter 4-5 mikron meruncing pada satu ujung dan tumpul pada ujung yang lain. Sering terdapat satu vakuol dalam sitoplasma. Bentuk buah pir dapat membentuk sudut satu dengan yang lain, tetapi pada bentuk pleomorfis dapat terlihat organisme dengan berbagai bentuk, dari bentuk amoeboid sampai bentuk

cincin tergantung pada stadium perkembangan dalam hidupnya. Terkadang dapat lebih dari 16 organisme dalam satu sel darah merah. Dapat juga ditemukan dalam sel-sel makrofag, mungkin karena berhubungan dengan fagositosis eritrosit. Babesia gibsoni berukuran lebih kecil, pleomorfik dan bentuk pyriform, tropozoit dengan bentuk annular atau oval, bentuk cincin dapat terjadi tetapi jarang, bentuk ovoid sampai bentuk bulat, kira-kira setengah garis tengah sel induk semang atau bentuk memanjang terbentang sepanjang sel induk semang. Siklus perkembangan kedua protozoa ini sama, vektor utamanya adalah Rhipicephalus sanguineus yang terdapat di seluruh dunia. Ditemukan juga organisme dalam darah lainnya, yaitu Anaplasma sp.. Anaplasma pada awalnya dianggap sebagai parasit protozoa, namun dari hasil penelitian-penelitian tidak menunjukkan bahwa Anaplasma dapat dimasukkan ke dalam protozoa, sehingga Anaplasma dimasukkan ke golongan Rickettsia (Ristic & Kreier 1984 dalam Rajput et al. 2005 & Sparagano 2003). Anaplasma sp. merupakan parasit intraeritrositik. Pada pengamatan mikroskopis terlihat bentuk dan ukuran mirip seperti Babesia sp. namun letaknya berada di tepi dari sel darah merah dan memiliki ukuran yang lebih kecil. Dalam satu sel darah merah dapat ditemukan lebih dari satu organisme genus Anaplasma. Anaplasma sp. (Sumber: www.insecta.ufv.br) Protozoa hasil pengamatan (Perbesaran Objektif 100 kali) Gambar 2 Hasil pengamatan dibandingkan dengan literatur dari genus Anaplasma Menurut Ashadi dan Handayani (1992), Anaplasma memiliki bentuk seperti bola dengan diameter 0,2 sampai 0,5 mikron, tidak memiliki sitoplasma namun terdapat lingkaran terang tidak nyata yang berada di sekitarnya. Kadangkadang dua organisme dapat terletak berdekatan satu sama lain, memberikan

gambaran seolah-olah sedang mengalami pembelahan, kadang-kadang perbanyakan dapat terjadi pada satu sel yang diinvasi. Hasil pengamatan mengarahkan pada spesies Anaplasma marginale karena letaknya yang berada di tepi eritrosit. Anaplasma memiliki dua tipe bentuk, bentuk globe atau bulat dan bentuk spiral atau filamen, namun biasanya pada pemeriksaan morfologi hanya organisme yang berbentuk bulat yang sering terlihat. Anaplama dapat ditularkan paling sedikit melalui 20 jenis caplak, antara lain Argas persicus, Ornithodoros lahorensis, Boophilus annulatus, B. decoloratus, B. microplus, Dermacentor albipictus, D. andersoni, D. occidentalis, D. variabilis, Hyalomma excavatum, Ixodes ricinus, Rhipicephalus bursa, R. sanguineus dan R. simus (Yabsley et al. 2008) tetapi yang paling banyak menyebabkan kejadian Anaplasmosis adalah Boophilus microplus. Penularan yang disebabkan oleh vektor mekanis pada inangnya adalah melalui gigitan. Haemobartonella sp. (Sumber:http://w3.ufsm.br/parasitologia/ imagesendo/haemobartonella1.jpg Protozoa hasil pengamatan (Perbesaran Objektif 100 kali) Gambar 3 Hasil pengamatan dibandingkan dengan literatur dari genus Haemobartonella. Pada pengamatan juga ditemukan bentuk seperti batang dan bulat di dalam sel darah merah. Bentuk ini memiliki kesamaan dengan ciri-ciri dari genus Haemobartonella. Menurut Ashadi dan Handayani (1992) bentuk genus Haemobartonella ini seperti batang, bulat, cincin atau bentuk pleomorfis pada dan diantara sel-sel darah merah hewan terinfeksi. Genus ini termasuk dalam bentukbentuk yang berhubungan dengan golongan Rickettsia. Pengamatan menggunakan mikroskop elektron menunjukan bentuk bulat, badan oval, biasanya dalam bentuk berpasangan dan mengandung massa struktur internal yang tidak dapat dibedakan.

Hal terakhir inilah yang menunjukkan bahwa genus ini tidak termasuk ke dalam Protozoa. Tidak ditemukan keterangan yang jelas mengenai cara pemindahan Haemobartonella pada anjing. Kemungkinan bahwa arthropoda penghisap darah berperan untuk pemindahan organisme tersebut diantara sel-sel darah merah hewan terinfeksi. Tabel 1. Hasil pengamatan preparat ulas darah No Nama Asal Negara Ras Rambut Parasit Darah Babesia Anaplasma Haemobartonella 1 Cookie USA Shih Tzu Rambut panjang + - - 2 Baram Korsel Mini Pincher Rambut pendek + - - 3 Alex Perancis Brangue Rambut pendek + - - 4 Snoopy UEA Crossbreed Rambut panjang - + - 5 Simba Thailand Golden Retreiver Rambut panjang + + - 6 Brandy Singapura Shih Tzu Rambut panjang + - + 7 Amelia USA Cooker Spaniel Rambut panjang + - - 8 Collete USA Poodle Rambut panjang + - + 9 Smoocie USA Yorkshire Terrier Rambut panjang + - - 10 Peggy Jerman Rottweiler Rambut pendek + + - 11 Tag Indonesia Teckel Rambut pendek - + - Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa parasit darah lebih banyak ditemukan pada anjing-anjing yang berasal dari USA (36%) dibandingkan dengan yang berasal dari negara lainnya. Sedangkan dilihat dari rasnya Shih Tzu terlihat lebih sering terinfeksi parasit darah (18%) dibandingkan dengan ras lain yang masuk ke instalasi karantina selama penelitian. 4.2 Hubungan tipe rambut dengan vektor Pengaruh dari tipe rambut terhadap infeksi protozoa parasit darah berhubungan dengan keberadaan vektor (ektoparasit). Rambut pada mamalia menjadi bagian yang penting dalam kehidupannya. Demikian juga pada anjing yang memiliki berbagai macam tipe rambut. Ada tiga tipe rambut pada anjing. Tipe rambut normal coat. Rambut tipe normal seperti tampak pada anjing Herder

(German shepherd), corgi atau anjing liar seperti serigala atau coyote. Tipe rambut normal ini ditandai oleh adanya rambut primer (kasar, panjang) dan rambut sekunder (rambut halus, undercoat). Berdasarkan jumlah (bukan berat), proporsi rambut sekunder lebih banyak dibanding rambut primer. Dua tipe rambut yang lain juga didasarkan atas ada dan tidaknya atau proporsi rambut primer dan sekunder. Tipe rambut short coat. Rambut pendek dapat dibagi dalam rambut pendek halus dan rambut pendek kasar. Rambut pendek yang kasar dapat ditemui pada anjing Rottweiler dan berbagai terrier. Tipe rambut ini mempunyai pertumbuhan rambut primer yang bagus sedang rambut sekunder tidak begitu berkembang. Berat total rambut lebih ringan dibanding tipe rambut normal dan rambut sekunder lebih sedikit dibanding tipe rambut normal. Rambut pendek halus dapat ditemui pada anjing Boxer, Dachshunds dan miniature Pinschers. Anjing dengan tipe rambut ini mempunyai jumlah rambut lebih banyak per unit area. Jumlah rambut sekunder banyak dan berkembang baik, sedang ukuran rambut primer lebih kecil dibanding tipe rambut normal. Ketiga adalah tipe rambut long coat yang terbagi menjadi dua, yaitu rambut panjang dan halus (the fine long coat) serta rambut panjang bergelombang dan kasar (the wooly atau the coarse long coat). Rambut panjang dan halus terdapat pada anjing Cocker spaniel, Pomeranian atau Chow chow. Rambut tipe ini mempunyai berat rambut lebih berat per area dibanding dengan tipe rambut normal kecuali breed kecil (toy) dimana berat rambut lebih ringan karena memiliki rambut yang lebih halus. Tipe rambut wooly atau kasar dapat ditemui pada anjing Poodle, Bedlington terrier dan the Kerry blue terrier. Berat rambut sekunder lebih dari 70% dari berat rambut total atau kira-kira 80% jumlah rambut sekunder. Rambut sekunder relatif kasar dan tidak mempunyai medulla (tipe lanugo) dan ketiga jenis anjing tersebut cenderung tidak mengalami kerontokan rambut dibanding dengan sebagian besar anjing yang lain. Dari hasil yang diperoleh, diketahui sebanyak 11 ekor anjing terinfeksi parasit darah dan 7 diantaranya atau sebesar 63% dari total anjing yang terinfeksi merupakan anjing dengan tipe rambut panjang. Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat kejadian infeksi oleh parasit protozoa banyak terjadi pada anjing-anjing yang memiliki tipe

rambut yang panjang. Hal ini berhubungan dengan infestasi ektoparasit terutama caplak yang berkembang biak pada permukaan kulit anjing. Tipe rambut panjang merupakan predisposisi pada penularan caplak. Caplak yang menginfestasi anjing dengan tipe rambut yang panjang lebih sulit untuk dikendalikan karena tertutupi oleh lebatnya rambut. Caplak juga amat menyukai tempat yang lembab dan hangat guna menyelesaikan siklus hidupnya. Hal ini sesuai dengan kondisi rambut anjing yang panjang dan lebat. Pada negara yang memiliki empat musim, caplak biasanya akan muncul pada musim panas, sedangkan masalah infestasi caplak di Indonesia yang memiliki iklim tropis, dapat terjadi sepanjang tahun. Infeksi parasit darah pada anjing yang memiliki tipe rambut pendek salah satunya dapat dipengaruhi oleh banyaknya infestasi caplak. Namun caplak pada anjing yang memiliki rambut pendek cenderung lebih mudah dimusnahkan karena keberadaan caplak mudah untuk ditemukan sehingga penanganan dapat dilakukan dengan lebih cepat. Infeksi oleh protozoa pada anjing yang memiliki rambut yang pendek melalui perantara caplak juga dapat terjadi. Infeksi ini dapat terjadi karena keterlambatan pengobatan terhadap caplak atau kekebalan pada tubuh anjing yang sedang menurun sehingga infeksi protozoa dapat terjadi dengan mudah. 4.3 Hubungan infeksi parasit dengan vektor Dari beberapa spesies caplak yang paling sering menyerang anjing adalah caplak yang termasuk dalam famili Ixodidae. Di Indonesia spesies caplak dari famili tersebut yang paling banyak ditemukan di lapangan adalah Rhipicephalus sanguineus. Akan tetapi keberadaan caplak spesies lain tidak mustahil ditemukan juga di Indonesia, apalagi dalam beberapa dasawarsa terakhir dilakukan importasi berbagai jenis anjing dari luar negeri. Daerah tropik seperti Indonesia merupakan tempat yang ideal untuk perkembangbiakan caplak (ticks) anjing. Caplak telah lama dikenal sebagai pengganggu baik pada hewan domestik maupun pada manusia. Caplak (Rhipicephalus sanguines) merupakan parasit yang dapat menjadi penyebab utama dari penyakit sistemik selain nekrosa pada tempat gigitan dan reaksi peradangan pada inang yang diserangnya. Rhipicephalus sanguines merupakan caplak berumah tiga (three host tick), dimana setiap

stadium parasitik (larva, nimfa dan dewasa) dapat hidup pada inang yang berbeda (domba, sapi, anjing), akan tetapi ketiga stadium dari parasit ini dapat pula berlangsung pada inang yang sama (Aikawa & Sterling 1974). Secara umum siklus hidupnya menjadi sempurna dalam waktu 12 bulan, tetapi jika tidak dapat menemukan inang yang sesuai siklus hidupnya dapat berlangsung selama 2-3 tahun untuk menjadi sempurna karena larva dapat bertahan untuk periode waktu yang lama di luar inang dan mengalami hibernasi. Caplak betina bertelur 2.000-4.000 butir yang menetas 17-30 hari dan kemudian larva menempel pada hospes 1 (rambut panjang belakang leher anjing). Larva menghisap darah 2-6 hari, jatuh, dan menyilih menjadi nimfa 5-23 hari. Lalu nimfa menempel pada hospes 2, terutama di belakang leher, menghisap darah selama 4-9 hari lalu jatuh dan berkembang menjadi dewasa pada 11-73 hari. Caplak dewasa kemudian menempel pada hospes ketiga terutama pada bagian telinga dan sela-sela jari anjing, menghisap darah pada 6-21 hari dan lalu jatuh untuk bertelur. Telur-telur caplak yang tidak menempel pada inang dapat mengotori lingkungan. Larva dapat hidup tanpa makanan sampai dengan 8,5 bulan, nimfa dewasa sampai dengan 19 bulan (Ahantarig et al. 2008 & Torres 2008). Caplak akan bertaut secara kuat pada inang untuk periode waktu yang lama. Pada saat makan, caplak sering mengalami regurgitasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan patogen melalui air liur ke dalam tubuh inang. Banyak penyakit sistemik yang diperantarai oleh caplak pada berbagai hewan domestik merupakan penyakit yang bersifat zoonosis. Rhipicephalus sanguineus merupakan transmiter dari infeksi protozoa parasit darah Babesia sp. dan Rickettsia Erhlichia sp. serta Anaplasma sp. pada anjing dan juga sejumlah penyakit lainnya. 4.4 Fasilitas Instalasi Karantina Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap fasilitas yang terdapat pada instalasi karantina hewan, instalasi karantina hewan anjing terletak dalam satu area instalasi karantina hewan secara keseluruhan. Setiap kandang instalasi memiliki spesifikasi tersendiri sesuai dengan hewan yang dikarantina. Pada instalasi karantina hewan anjing, kandang yang digunakan dapat dibedakan

atas kandang untuk anjing ras besar seperti great dane, dan kandang anjing untuk ras kecil seperti terrier. Keduanya terdiri dari masing-masing kandang luar dan kandang dalam yang terhubung melalui celah atau pintu kecil untuk memberikan keleluasaan pergerakan anjing di dalam kandang instalasi karantina ini. Fasilitas yang dimiliki antara lain Air Conditioner (AC), kain kasa anti nyamuk dan ruang pemeriksaan fisik. Setiap lantai pada kandang beralaskan keramik sehingga memudahkan untuk melakukan pembersihan dan sanitasi. Kapasitas instalasi karantina untuk hewan anjing ini dapat menampung sebanyak 50 ekor. (a) (b) Gambar 4 Kondisi kandang Instalasi Karantina (a) kandang dalam dan (a) kandang luar. Kondisi lokasi studi baik pada kandang ras besar maupun kandang ras kecil terjaga dengan baik dan bersih karena setiap hari rutin dibersihkan. Setiap kandang memiliki sistem sanitasi dan drainase yang baik. Pemeriksaan hewan pun dilaksanakan secara rutin setiap hari untuk memantau kondisi kesehatan hewan. Kemungkinan untuk menyebarnya suatu penyakit dalam kandang instalasi ini sangat kecil. Keluar masuknya orang dalam instalasi karantina ini juga dibatasi untuk mencegah masuknya atau menyebarnya suatu penyakit. Kemungkinan penyebaran penyakit terutama yang disebabkan oleh protozoa parasit darah sangat tergantung pada sifat alamiah dari vektornya, dalam hal ini adalah caplak. Caplak dapat bertahan hidup di lingkungan dalam jangka waktu yang lama tanpa ketersediaan makanan dan mengalami hibernasi, namun setelah mendapatkan inang yang cocok maka caplak akan segera menghisap darah inang. Penularan dapat terjadi walaupun dalam jeda waktu yang cukup lama. Akan tetapi dilihat

juga dari siklus hidup caplak, kecil kemungkinan anjing-anjing tersebut terinfeksi parasit darah di instalasi karantina. 4.5 Prosedur Tindakan Karantina Ada beberapa prosedur yang wajib dilaksanakan pada saat membawa hewan melintas masuk atau keluar suatu daerah atau negara. Proses tindakan karantina untuk anjing yang merupakan hewan pembawa rabies (HPR) merupakan salah satu aturan umum melalulintaskan HPR, sedangkan aturan-aturan lain yang umum dilakukan antara lain setiap pengiriman atau pemasukan anjing ke luar pulau atau negara harus dilengkapi sertifikat kesehatan dari dokter hewan karantina dan dilaporkan kepada petugas karantina di pintu pemasukan atau pengeluaran (exit atau entry point) pelabuhan laut atau udara, pengiriman atau pemasukan anjing dari wilayah atau pulau atau negara bebas rabies ke wilayah atau pulau bebas lainnya di Indonesia dengan izin pemasukan Pemda penerima hewan dan anjing-anjing yang berasal dari wilayah atau pulau atau negara yang belum bebas rabies dilarang dikirimkan atau dimasukkan ke dalam wilayah atau pulau bebas rabies di Indonesia. Anjing yang dimasukkan ke wilayah atau pulau bebas rabies di Indonesia diperbolehkan apabila untuk kepentingan umum, ketertiban umum dan pertahanan keamanan dengan seizin menteri pertanian atau izin khusus. Karantina hewan merupakan salah satu tindakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. Karantina hewan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia (UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan). Persyaratan karantina yang harus dimiliki untuk melakukan pengiriman domestik antar area atau pulau (interinsuler) antara lain dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh Dokter Hewan Karantina dari tempat pengeluaran atau exit point (pelabuhan laut atau udara), surat keterangan sehat dan atau vaksinasi dari dokter hewan praktek, surat rekomendasi pemasukan atau pengeluaran yang diterbitkan oleh dinas peternakan atau dinas yang menangani

kesehatan hewan dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina. Persyaratan untuk karantina impor antara lain dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan pemerintah di negara asal, surat persetujuan pemasukan (SPP) dari Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina. Sedangkan untuk persyaratan karantina ekspor yaitu dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh Dokter Hewan Karantina di tempat pengeluaran (bandara atau pelabuhan laut), surat keterangan sehat dan vaksinasi dari Dokter Hewan Praktek,surat persetujuan pengeluaran dari Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, memenuhi persyaratan lainnya yang ditetapkan atau diminta oleh negara pengimpor atau tujuan dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di pelabuhan atau tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina (Anonim [a] 2009). Setiap pemasukan atau pengeluaran anjing harus dilaporkan ke karantina hewan di pelabuhan udara atau laut untuk keperluan tindakan karantina sesuai peraturan perundangan, baik pada tatanan nasional maupun internasional. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit yang membahayakan kesehatan hewan itu sendiri maupun kesehatan manusia (zoonosis) (PP No. 82 tahun 2000 mengenai Karantina Hewan). Selama masa karantina, anjing akan menjalani pemeriksaan fisik atau klinis dan lebih lanjut dapat diambil sampel atau spesimennya untuk pemeriksaan laboratorium dan jika perlu diberikan perlakuan seperti vaksinasi, pengobatan dan sebagainya. Lamanya proses pengasingan atau pengamatan per masa karantina adalah 14 hari tergantung masa inkubasi penyakitnya. Titik berat pemeriksaan pada anjing-anjing yang masuk ke instalasi karantina adalah pemeriksaan penyakit rabies karena Indonesia merupakan negara yang bebas penyakit rabies. Dengan demikian pemeriksaan terhadap parasit darah tidak dilakukan di instalasi karantina hewan. Padahal tidak tertutup kemungkinan terdapat parasitparasit darah lainnya yang dapat menular dan mengganggu kesehatan hewan lain, bahkan yang bersifat zoonosis. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan dengan ditemukannya Babesia sp., Anaplasma sp. dan Haemobartonella sp..