PELUANG KELEMBAGAAN KANDANG KOLEKTIF SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PEMBIBITAN SAPI BALI DI NUSA TENGGARA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

PROSPEK PENGEMBANGAN PUSAT-PUSAT PEMBIBITAN SAPI BALI DI LAHAN MARGINAL UNTUK MENDUKUNG PENYEDIAAN SAPI BAKALAN DI NUSA TENGGARA BARAT

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT

PANDUAN. Mendukung. Penyusun : Sasongko WR. Penyunting : Tanda Panjaitan Achmad Muzani

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING MENDUKUNG AGRIBISNIS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI PEDESAAN DI NUSA TENGGARA BARAT

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

KAJIAN TINGKAT INTEGRASI PADI-SAPI PERAH DI NGANTANG KABUPATEN MALANG

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT

ICASEPS WORKING PAPER No. 98

LAPORAN AKHIR PENYULUHAN DAN PENYEBARAN INFORMASI HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN TEMU INFORMASI TEKNOLOGI TERAPAN

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG, KACANG HIJAU DAN SAPI DALAM MODEL KELEMBAGAAN PETANI, PERMODALAN DAN PEMASARAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI

PENGANTAR. Latar Belakang. merupakan keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengembangan Kelembagaan Pembibitan Ternak Sapi Melalui Pola Integrasi Tanaman-Ternak

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat 2012

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

RESPON PETANI ATAS PROGRES PENGGEMUKAN TERNAK SAPI DI DESA TOBU, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

MENDORONG KEDAULATAN PANGAN MELALUI PEMANFAATAN SUMBERDAYA UNGGUL LOKAL. OLEH : GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Dr.

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

POTENSI PETERNAKAN SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN DAGING SAPI DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Kegiatan usaha ini harus diiringi oleh perhatian terhadap keseimbangan

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita

STRATEGI USAHA PENGEMBANGAN PETERNAKAN YANG BERKESINAMBUNGAN

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

KATA SAMBUTAN GUBERNUR PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

SURVEI PENDASARAN SOSIAL EKONOMI PROYEK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MISKIN MELAUI INOVASI (P4M2I)

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN

Johanis A. Jermias; Vinni D. Tome dan Tri A. Y. Foenay. ABSTRAK

Kajian Teknologi Spesifik Lokasi Budidaya Jagung Untuk Pakan dan Pangan Mendukung Program PIJAR di Kabupaten Lombok Barat NTB

Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit ANALISIS USAHA Seperti telah dikemukakan pada bab pendahuluan, usaha peternakan sa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penting pembangunan. Sehingga pada tanggal 11 Juni 2005 pemerintah pusat

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 6 TAHUN 2011 T E N T A N G POLA PENGEMBANGAN TERNAK PEMERINTAH DI KABUPATEN KAPUAS

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

ANALISIS NILAI TAMBAH LIMBAH JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN ABSTRAK

LAPORAN KEGIATAN KINERJA PENYALURAN DAN PEMANFAATAN KREDIT PROGRAM PERTANIAN KKPE DI PROVINSI BALI

Efektivitas Pupuk Organik Kotoran Sapi dan Ayam terhadap Hasil Jagung di Lahan Kering

ANALISIS EKONOMI PENGGEMUKAN KAMBING KACANG BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL. Oleh : M. Jakfar dan Irwan* ABSTRAK

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KATINGAN

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya

TEKNIK BUDIDAYA LADA INTEGRASI BERTERNAK KAMBING

KAJIAN RAGAM SUMBER PENDAPATAN RUMAH TANGGA PEDESAAN (STUDI KASUS DESA PRIMA TANI KABUPATEN PROBOLINGGO, JAWA TIMUR)

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

LAPORAN AKHIR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN MODEL OPERASIONAL PERCEPATAN PEMASYARAKATAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN MELALUI PROGRAM PRIMATANI.

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

PEMANFAATAN LIMBAH PETERNAKAN DALAM PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI SAYUR-SAYURAN ORGANIK DI TIMOR TENGAH UTARA

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

MEMILIH BAKALAN SAPI BALI

Dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram

TEMU INFORMASI TEKNOLOGI LAHAN KERING MENDUKUNG INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN DAN DISEMINASI

PROFIL BPTP NTB. Sejarah. Profil BPTP NTB. Satu Dasawarsa BPTP NTB 1

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan

Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak komoditas ekspor. Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut seca

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

Transkripsi:

PELUANG KELEMBAGAAN KANDANG KOLEKTIF SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PEMBIBITAN SAPI BALI DI NUSA TENGGARA BARAT K. Puspadi, Yohanes G. Bulu A. Muzani, dan Mashur Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB ABSTRAK Pengembangan peternakan di NTB terutama dalam upaya peningkatan produksi sapi Bali belum dilakukan secara maksimal. Penurunan populasi sapi Bali yang drastis terjadi pada tahun 2000, selanjutnya dari tahun 2001 2003 mengalami peningkatan populasi sapi Bali yang relatif kecil. Namun selama jangka waktu yang sama cenderung terjadi peningkatan pengeluaran sapi bibit ke luar NTB, sehingga dikuatirkan akan terjadi penurunan kualitas sapi Bali. Kelembagaan kandang kolektif yang berkembang di NTB belum dimanfaatkan secara optimal untuk memproduksi sapi bibit yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi, peluang, dinamika dan peranan kelembagaan kandang kolektif dalam pengembangan usaha agribisnis pembibitan sapi Bali. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2004 dengan menggunakan pendekatan survei. Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian adalah kelompok kandang kolektif yang tersebar di 4 (empat) kabupaten di NTB. Hasil penelitian menunjukkan 37,5% pembentukan kandang kolektif atas inisiati masayarakat dan untuk meningkatkan posisi tawar menawar 12,5%. Dari sejumlah kelompok kandang kolektif tercatat 68,4% memiliki pengurus/organisasi dengan tingkat keaktifan kelompok 64,4%. Peranan kandang kolektif sebagai basis pengembangan usaha pembibitan sapi Bali relatif rendah, sementara potensi populasi sapi induk, jantan, dan bakalan serta pedet yang dipelihara dalam 320 kandang kolektif cukup besar yaitu mencapai 19.409 ekor. Dari jumlah populasi tersebut dapat menghasilkan bahan kompos 8.124.000 ton/bulan sehingga dapat menyediakan pupuk organik untuk lahan seluas 1.624.800 ha. Keragaan populasi sapi Bali dalam kandang kolektif, keberadaan organisasi dan keaktifan kelompok serta aturan-aturan kelompok merupakan potensi dan sumberdaya sosial kapital yang dapat dimanfaatkan dalam pemberdayaan kelembagaan kandang kolektif untuk pengembangan usaha agribisnis pembibitan sapi Bali di NTB. Kata kunci: Peluang, Kelembagaan Kandang Kolektif, Usaha Agribisnis, Pembibitan Sapi Bali. 1

PENDAHULUAN Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu sentra produksi ternak di kawasan Indonesia Timur. Pembangunan sub sektor peternakan di NTB menjadi sangat penting karena NTB merupakan salah satu wilayah kering beriklim kering di kepulauan Nusa Tenggara. Pengembangan peternakan terutama pada peningkatan produksi sapi Bali di NTB belum dilakukan secara maksimal. Sapi Bali yang merupakan salah satu komoditas unggulan mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) justru cenderung mengalami penurunan. Populasi sapi di NTB selama 20 tahun terakhir yaitu dari tahun 1984 2003 mengalami penurunan. AkaN tetapi dari tahun 1984 1997 populasi sapi di NTB mengalami peningkatan setiap tahun. Peningkatan populasi sapi Bali tertinggi di capai pada tahun 1997 sebanyak 471.847 ekor selanjutnya menurun sampai tahun 2003 kendati terjadi peningkatan dari tahun 2000 2003 (Gambar 1). 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Gambar 1. Perkembangan populasi sapi Bali selama 20 tahun terakhir. 2

Tabel 1. Perkembangan populasi, pengeluaran dan pemotongan ternak sapi di NTB Tahun Populasi (ekor) Pengeluaran ternak (ekor) Sapi potong Sapi Bibit Jumlah (ekor) Pemotongan ternak sapi (ekor) 1999 374.970 27.143 3.586 30.729 42.748 2000 376.526 20.608 616 21.224 40.723 2001 375.751 15.675 2.729 18.404 34.321 2002 406.938 18.839 3.089 21.928 32.271 2003 419.569 7.235 3.815 11.050 29.453 Sumber: Data sekunder diolah. Populasi sapi Bali di NTB selama lima tahun terakhir ini mengalami penurunan sebesar 11,9 %. Akan tetapi mulai tahun 2002 2003 populasi sapi cenderung meningkat. Apabila dilakukan penerapan teknologi kawin alam terkontrol maka diperkirakan pada tahun 2006 populasi sapi di NTB dapat memnuhi kebutuhan lokal, regional maupun ekspor. Penurunan produksi sapi Bali berdampak terhadap menurunnya jumlah pengeluaran dan pemotongan ternak sapi. Seiring dengan penurunan populasi atau produksi sapi Bali justru terjadi peningkatan pengeluaran sapi bibit produktif dari tahun 1999 2003 sebesar 6,4 %. Pengiriman sapi bibit ke luar NTB akan mengakibatkan menurunnya kualitas produksi sapi Bali, sementara rehabilitasi atau perbaikan mutu sapi Bali di NTB belum ditangani secara baik. Kondisi tersebut berdampak pada penurunan PDRB Sub Sektor peternakan propinsi NTB. Pada tahun 1992 PDRB sub sektor peternakan mencapai 6,93% menurun menjadi 3,36% pada tahun 2001 (BPS, 2003). Kualitas sapi Bali di NTB relatif rendah di mana bobot badan sapi hanya berkisar 250 kg 350 kg. Indikasi menunjukkan bahwa waktu kelahiran anak sapi tidak sesuai dengan waktu ketersediaan pakan hijauan menyebabkan rendahnya bobot lahir anak sapi dan rentan pada berbagai penyakit. Mutu bibit sapi atau kualitas produksi sapi Bali sangat memungkinkan untuk lebih ditingkatkan terutama peningkatan bobot hidup sapi potong melalui penerapan teknologi pemeliharaan sapi secara terpadu. Penurunan produksi sapi Bali di NTB disebabkan oleh faktor teknis dan sosial. Ditinjau dari faktor teknis bahwa pemeliharaan sapi yang dilakukan peternak relatif sederhana dengan tingkat penerapan teknologi tepat guna sangat rendah. Dari aspek ekonomi bahwa usaha sapi Bali yang dilakukan oleh sebagian besar peternak di NTB masih merupakan usaha sampingan (Yohanes, et al. 2003). Kondisi tersebut disebabkan oleh keterbatasan modal dan skala usaha yang relatif kecil. Sedangkan dari aspek sosial bahwa keberadaan kelembagaan kandang kolektif hanya merupakan 3

kelembagaan perkumpulan sapi dan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai basis pengembangan teknologi dan peningkatan produksi sapi Bali. Perkembangan harga bobot hidup sapi yang diantarpulaukan selama lima tahun terakhir (1999 2003) mengalami peningkatan sebesar 33,3% (BPS, 2003). Harga sapi potong yang semakin meningkat setiap tahun merupakan informasi peting bagi petani/peternak untuk meningkatkan produksi dan kualitas sapi. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni Oktober 2004 di kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur dan Sumbawa. Sesuai tujuan penelitian yang ingin dicapai maka dalam penelitian ini menggunakan metode survei. Penetapan kecamatan dan desa sebagai lokasi penelitian ditentukan secara purposif berdasarkan populasi sapi terbanyak. Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah kelompok kandang kolektif yang tersebar di pulau Lombok dan kabupaten Sumbawa. Responden yang dipilih sebanyak 351 ditentukan secara acak. HASIL DAN PEMBAHASAN SEJARAH KANDANG KOLEKTIF Kandang kumpul (kolektif) merupakan bentuk kelembagaan sosial dalam subsektor peternakan yang sudah ada sebelum tahun 10950-an. Kandang kumpul mulai muncul di Lombok bagian Selatan di mana ternak yang di tempatkan dalam kandang kumpul adalah kerbau (Puspadi, at al, 2003). Berkembangnya kandang kolektif ternak kerbau di Lombok bagian Selatan merupakan dampak dari menyempitnya lahan pengembalaan (lahan komunal) serta meningkatnya kerawanan pencurian atas ternak. Setelah tahun 1980-an jenis ternak yang ditempatkan dalam kandang kumpul adalah ternak sapi dengan jumlah berkisar 100 150 ekor per kandang kumpul. Tujuan pada awal pembentukan kandang kumpul adalah untuk menjaga keamanan ternak dari pecurian (95,2%) dan kesehatan lingkungan perkemapungan (57,3%). Rata-rata umur kandang kolektif di pulau Lombok maupun Sumbawa berkisar 9 12 tahun (Tabel 2) dengan umur maksimal mencapai 34 tahun. 4

Tabel 2. Rata-rata jarak kandang kolektif dari kota kabupaten, umur, luas kandang dan jumlah anggota kelompok kandang kolektif di NTB, 2004 Uraian Loteng N = 100 Lobar N = 104 Lotim N = 99 Sumbawa N = 48 1. Jarak kandang dari kota kabupaten (Km) 14,04 24,22 23,71 22,79 2. Umur kandang (tahun) 11,61 10,32 8,93 11,90 3. Luas kandang awal pembentukan (are) 12,42 15,06 11,15 31,07 4. Jumlah anggota kelompok awal pembentukan (org) 24,1 25,46 20,39 16,90 Sumber: Data primer diolah. N= Kandang kolektif Kelebuh sample= 10. kenyataan 30. Sebagian besar lahan lokasi kandang kolektif merupakan lahan sewa (60,1%), milik (38,2% dan lahan milik pemerintah (1,7%) (Tabel 3). Penyewaan lahan kandang kolektif dengan bentuk sewa yang bervariasi dimana sebagian menggunakan uang dan sebagian menggunakan gabah. Sewa lahan dengan menggunakan uang yaitu berkisar Rp 15.000 Rp 25.000/orang/tahun. Sedangkan sewa dengan menggunakan gabah yaitu 15 30 kg gabah per tahun. Tabel 3. Status penguasaan lahan kandang kolektif di NTB, 2004 (%) Status penguasaan lahan N Persen (%) 1. lahan milik pribadi 134 38,2 2. lahan sewa 211 60,1 3. lahan milik desa/pemerintah 6 1,7 Total 351 100 Sumber: Data primer diolah. Perkembangan kandang kolektif semakin bertambah, menyebar diseluruh pulau Lombok. Motivasi pembentukan kandang kumpul pada tahun 1980-an lebih dominan karena dorongan pemerintah guna menekan tingkat pencurian ternak dengan meningkatkan kegiatan kelompok ronda malam. Berbeda dengan pembentukan kandang kumpul di Lombok bagian selatan lebih dominan atas dorongan kebersamaan dari sekelompok masyarakat. Seperti kelompok kandang kumpul Tunas Muda desa Spakek kecamatan Janapria kabupaten Lombok Tengah dibentuk pada tahun 1982 atas inisiatif masyarakat yang memelihara ternak. Perhatian pemerintah dalam bentuk pembinaan mulai dilakukan setelah terbentuk kandang kumpul. Mulai tahun 1997 melalui proyek peternakan rakyat terpadu (P2RT) pemerintah memberikan sapi kepada 5

peternak dengan gaduhan pola Sumba Kontrak. Kedua motif pembentukan kandang kumpul tersebut memiliki kekuatan, ketahanan dan keberlanjutan yang berbeda. Mulai tahun 1990-an peran kelembagaan kandang kolektif semakin meluas terutama pada kelompok kadang kolektif yang memiliki kepengurusan. Kelembagaan kandang kolektif terutama yang mendapat bantuan kredit sapi dari pemerintah selalu mendapat pembinaan kelompok. Hal ini untuk memudahkan pengembalian kredit, penyewaan dan pembelian tanah lokasi kandang kumpul, biaya listrik dan iuran anggota. DINAMIKA KELEMBAGAAN KANDANG KOLEKTIF Secara umum pembentukan kandang kolektif di pulau Lombok mulai dilakukan sejak tahun 1980-an. Keragaan dinamika kelompok tani/ternak di pulau Lombok sebagian besar atas inisiatif masyarakat (37,5%), alasan keamanan (35%), anjuran petugas (15%), dan untuk meningkatkan posisi tawar menawar (12,5%) (Tabel 4). Sebagian besar kelompok tani/ternak melakukan pertemuan rutin (50%) untuk membahas strategi penanangan keamanan ternak dari pencurian. Pertemuan rutin tersebut selalu dikaikan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Sebelum pelaksaan program bahwa keberadaan kandan kolektif/kumpul relatif sedikit (7,5%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pembentukan kandang kolektif pada tahun 1980- an atas dasar dorongan pemerintah. Pembentukan kelompok atas dasar inisiatif masyarakat merupakan suatu peluang sosial dalam pengembangan sumberdaya kelembagaan kandang kolektif. Faktor kemanan merupakan salah satu faktor yang memperkuat ketahanan keberadaan kandang kolektif di pulau Lombok saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa setelah selesai program peternak tidak kembali memelihara ternak sapi secara indivu (92,5%) (Tabel 4). Tabel 4. Keragaan dinamika kelompok tani/ternak di propinsi NTB, 2003 (%) Kabupaten/Agregat Uraian Lombok Barat Lombok Tengah Agregat N Rataan N Rataan N Rataan 1. Alasan pembentukan kelompok a. Anjuran petugas 1 5 5 25,0 6 15,0 b. Inisiatif masyarakat 8 40,0 7 35,0 15 37,5 c. Keamanan 7 35,0 7 35,0 14 35,0 d. Meningkatkan posisi tawar 4 20,0 1 5,0 5 12,5 2. Adanya pertemuan rutin a. Ya 4 20,0 16 80,0 20 50 b. Tidak 16 80,0 4 20,0 20 50 3. Kandang kelompok saat program 6

a. Ya 1 5,0 2 10,0 3 7,5 b. Tidak 19 95,0 18 90,0 37 92,5 4. Selesai program kembali kandang individu a. Ya 1 5,0 2 10,0 3 7,5 b. Tidak 19 95,0 18 90,0 37 92,5 Sumber: Data primer diolah, 2003. Tujuan pembentukan kandang kolektif adalah untuk menjaga keamanan ternak dari pencurian (78,9 %) dan untuk kebersihan dan kesehatan lingkungan (67,8%) (Tabel 5). Menurut Puspadi, et al. (2003), bahwa pembentukan kandang kolektif selain bermotif keamanan dan kebersihan lingkungan juga disebabkan oleh tekanan penduduk. Tekanan penduduk yang relatif meningkat sehingga lahan-lahan pengembalaan difungsikan menjadi lahan pertanian. Kondisi tersebut mendorong peternak untuk mengkandangkan ternak disekitar rumah. Namun dihadapkan pada permasalahan baru yaitu mengenai kebersihan dan kesehatan lingkungan. Pembentukan kandang kolektif yang bertujuan untuk meningkatkan produksi sapi melalui penerapan teknologi pemeliharaan yang lebih baik relatif rendah yaitu 0,6%. Penerapan sebagian komponen teknologi pemeliharaan yang lebih baik dan pengolahan kotoran ternak menjadi kompos baru dilakukan oleh bebrapa kelompok kandang kolektif di kabupaten Lombok Tengah dan kabupaten Lombok Barat yang merupakan kelompok binaan BPTP NTB. Tabel 5. Tujuan pembentukan kandang kolektif di NTB saat ini, 2004 (%) Respon peternak (%) Uraian Ya Tidak Total N Rataan N Rataan N 1. Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar 238 67,8 113 32,2 351 2. Untuk pemeliharaan ternak yang lebih baik 2 0,6 349 99,4 351 3. Untuk memperoleh bantuan dari 351 6 1,7 345 98,3 pemerintah 4. Memudahkan pemeliharaan 2 0,6 349 99,4 351 5. Supaya tidak merusak tanaman 2 0,6 349 99,4 351 6. Menjaga keamanan ternak dari 351 277 78,9 74 21,1 pencurian 7. Menjalankan aturan adat/desa 8 2,3 343 97,7 351 8. Anjuran atau bantuan pemerintah 18 5,1 333 94,9 351 9. Memudahkan pengawasan ternak 61 17,4 290 82,6 351 10. Memudahkan koordinasi kelompok 16 4,6 335 95,4 351 11. Membina kebersamaan dan silaturahmi 12 3,4 339 96,6 351 12. Membuat kompos dari kotoran ternak 9 2,6 342 97,4 351 Sumber: Data primer diolah. 7

Kelembagaan kandang kolektif menerapkan aturan-aturan yang telah disepakati oleh semua anggota terutama mengenai keamanan ternak dan penumbuhan modal kelompok melalui iuran bulanan. Aturan yang diterapkan dalam kelompok kandang kolektif adalah mengenai kemanan ternak, kebersihan kandang, iuran anggota dan kelompok ronda malam. Aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Jika ada anggota yang tidak melakukan ronda malam maka harus membayar denda berkisar Rp1.000 - Rp 5.000 per malam. Bahkan pada kelompok kandang kolektif Tunas Muda di desa Spakek menerapkan aturan yang lebih ketat yaitu jika ada anggota yang tidak melakukan roda malam sampai tiga kali maka dikenakan denda sebesar Rp 50.000. 2) Jika ternak hilang dalam kandang kumpul pada malam hari maka kelompok ronda malam pada saat terjadi kehilangan diharuskan mengganti ternak yang hilang. 3) Wajib membayar iuran anggota yang telah disepakati. Besarnya iuran anggota pada setiap kelompok kandang kolektif bervariasi yaitu berkisar Rp 500 Rp 1.000/anggota/bulan. 4) Menjaga kebersihan kandang. Keberadaan pengurus atau organisasi kandang kolektif bahwa 68,4% memiliki pengurs/organisasi sedangkan sisanya 31,6% tidak memiliki pengurus. Sebagian besar kelompok kandang kolektif memiliki ketua kelompok (68,1%), skretaris (20%) dan bendahara (16,5%). Pengurus/organisasi kandang kolektif mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk menjalankan fungsi-fungsi kelompok. Kelembagaan kandang kolektif yang memiliki organisasi mempunyai inisiatif berkelompok 31,6% (Tabel 6). Kegiatan kelompok yang dominan dilakukan adalah kegiatan ronda malam (29,3%) terutama di wilayah Lombok bagian Selatan yang relatif kurang aman. Selain itu juga sebagian kecil organisasi kandang kolektif melakukan gotong royong kebersihan kandang, pertemuan rutin, perbaikan pagar keliling kandang kolektif, pengambilan pakan ternak, simpan pinjam, pemasaran ternak serta pembuatan kompos. Jumlah kelompok kandang kolektif yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut relatif sangat sedikit. Tabel 6. Keberadaan pengurus/organisasi kandang kolektif di NTB, 2004 (%) Respon peternak Uraian Ya Tidak N Rataan N Rataan 1. Keberadaan pengurus kandang kolektif 240 68,4 111 31,6 2. Inisiatif berkelompok 111 31,6 240 68,4 8

a. Ketua kelompok 239 68,1 112 31,9 b. Wakil ketua 31 8,8 320 91,2 c. Sekretaris kelompok 70 19,9 281 80,1 d. Bendahara 58 16,5 293 83,5 e. Seksi keamanan 4 1,1 347 98,9 f. Seksi kebersihan 1 0,3 350 99,7 g. Seksi perlengkapan 2 0,6 349 99,4 h. Seksi penyuluhan 1 0,3 350 99,7 i. Seksi pakan 1 0,3 350 99,7 j. Sekai pemasaran 2 0,6 349 99,4 3. Kegiatan kelompok: a) Ronda malam 103 29,3 239 68,1 b) Pertemuan rutin kelompok 3 0,9 327 93,2 c) Pembeuatan kompos 3 0,9 328 93,4 d) Gotong royong 4 1,1 328 93,4 Sumber: Data primer diolah. Sebagian besar (64,4%) kelompok kandang kolektif relatif aktif untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelompok. Sedangkan 29,6% adalah kelompok kandang kolektif yang kurang aktif menjalankan kegiatan-kegiatan kelompok (Tabel 7). Kegiatan-kegiatan kelompok yang lebih produktif seperti penerapan teknologi pemeliharaan sapi secara terpadu relatif sangat kurang. Tabel 7. Keaktifan kelompok kandang kolektif di NTB, 2004 (%) Keaktifan kelompok N Persen (%) 1. Aktif 226 64,4 2. Kurang aktif 104 29,6 3. Tidak aktif 21 6,0 Total 351 100 Sumber: Data primer diolah. Aturan-aturan yang diterapkan kelompok, keberadaan kelompok yang relatif aktif dan kegiatan-kegiatan kelompok yang bersifat positif merupakan suatu potensi sosial atau sumberdaya sosial kapital yang dapat dimanfaatkan dalam pemberdayaan kelembagaan kandang kolektif untuk pengembangan usaha agribisnis pembibitan sapi Bali di Nusa Tenggara Barat. KELEMBAGAAN KANDANG KOLEKTIF DAN PEMBIBITAN SAPI BALI Permasalahan utama dalam produksi sapi Bali yang berkualitas di NTB adalah bahwa tingkat penerapan teknologi yang relatif remdah. Hal tersebut menyebabkan mutu sapi Bali yang dihasilkan sangat rendah sehingga berdampak terhadap peningkatan produksi sapi Bali yang memenuhi standar. Berdasarkan peraturan daerah mengenai standar bobot hidup sapi potong yang boleh diantar pulaukan minimal dengan 9

berat hidup 250 kg ke atas. Saat ini para pedagang di NTB mulai merasakan kesulitan untuk mendapatkan sapi Bali dengan standar bobot hidup tersebut. Kerja sama proyek ACIAR kerjasama dengan BPTP NTB telah menghasilkan teknologi manajemen pemeliharaan sapi Bali secara terpadu. Komponen-komponen teknologi tersebut meliputi: 1) teknologi perkandangan dengan sub komponen teknologi adalah kandang pemeliharaan atau kandang individu, penempatan kandang pejantan di dalam kandang kumpul, kandang kawin, dan kandang penyapihan; 2) teknologi rotasi pejantan; 3) teknologi reproduksi yaitu pemilihan atau seleksi pejantan dan induk yang unggul; 4) teknologi kawin alam terkontrol (penerapan kelender perkawinan); 5) teknologi penyapihan; 6) teknologi pakan; dan 7) teknolgi penyakit. Kinerja komponen teknologi tersebut relatif baik karena direspon secara positif oleh petani kooperator di desa Kelebuh. Dampak dari demonstrasi pemeliharaan sapi Bali secara terpadu bagi para peternak disekitar lokasi demonstrasi maupun secara umum di pulau Lombok relatif kecil. Komponen teknologi kawin alam terkontrol melalui penerapan kalender kawin, teknologi pakan dan teknologi penyapihan merupakan komponen teknologi yang mampu dapat meningkatkan mutu sapi Bali, akan tetapi kinerja penerapan teknologi tersebut relatif rendah yaitu masing-masing 14%, 21% dan 7% (Puspadi, et al. 2003). Berbagai kendala yang dihadapi peternak dalam penerapan komponen teknologi tersebut adalah keterbatasan pengetahuan tentang komponen teknologi tersebut, keterbatasan pejantan unggul, tidak ada kandang penjantan dan kandang kawin serta keterbatasan pakan hijauan pada musim kemarau. Kendala-kendala tersebut dapat berdampak terhadap menurunnya produksi dan kualitas sapi Bali. Penerapan komponen teknologi sistem produksi sapi Bali terpadu dapat dilakukan dan berhasil baik apabila ada kelembagaan kandang kolektif yang terorganisasi dengan baik. Kelembagaan, teknologi produksi, ketersediaan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam merupakan faktor utama yang saling terkait dan saling mendukung dalam proses produksi dalami suatu sistem. Sistem tersebut dapat berjalan jika ke empat faktor pokok dapat dilakukan secara terpadu dengan dukungan kebijakan. POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PEMBIBITAN SAPI BALI Peranan kelembagaan kandang kolektif yang berjalan selama ini merupakan kelembagaan perkumpulan sapi yang mempunyai tujuan untuk menjaga keamanan 10

ternak dari pencurian dan kesehatan lingkungan perkampungan. Sejarah terbentuknya kandang kolektif tidak didasarkan atas peningkatan kinerja dalam penerapan teknologi yang berorientasi agribisnis. Hal ini terkait dengan jumlah dan status pemilikan ternak sapi serta tipologi usaha yang selama ini masih merupakan usaha sampingan. Status penguasaan sapi dalam kandang kolektif sangat bervariasi. Ternak sapi dngan status milik dalam kandang kolektif relatif sedikit atau hanya mencapai 7,4%, status ngadas 4,6%, kredit dari pemerintah dengan sistem gaduhan 3,1%. Sedangkan status penguasaan sapi pada sebagian besar kandang kolektif yang bervariasi (85%) di mana ternak sapi dalam kandang kumpul terdapat sapi milik, sapi ngadas dan sapi gaduhan dari pemerintah (Tabel 8). 11

Tabel 8. Status penguasaan ternak sapi dalam kandang kolektif di NTB, 2004 (%) Status penguasaan sapi N Persen (%) Milik 26 7,4 Ngadas 16 4,6 Kredit pemerintah 11 3,1 Campuran 298 84,9 Total 351 100 Sumber: Data primer diolah. Faktor utama yang menggiring usaha pemeliharaan sapi Bali sebagai usaha sampingan adalah sangat terkait dengan keterbatasan persediaan pakan hijauan pada musim kemarau. Selain itu pengetahuan petani mengenai teknologi pengolahan pakan relatif sangat kurang. Teknologi pengolahan pakan ternak yang telah banyak dihasilkan melalui penelitian dan pengkajian belum diterapkan oleh pengguna (peternak). Keragaan populasi sapi Bali dalam kandang kolektif, keberadaan organisasi kelembagaan kandang kolektif dan keaktifan kelompok merupakan potensi dalam pengembangan usaha agribisnis perbibitan sapi Bali. Hasil penelitian Panjaitan (2003) menunjukkan dengan penerapan teknologi sistem produksi sapi Bali terpadu bahwa tingkat keberhasilan induk bunting mencapai 80% dan tingkat kematian anak pra sapih 5,3%. Jika dilakukan penerapan teknologi kawin alam terkontrol pada 320 kandang kolektif dengan jumlah induk dan sapi dara dalam kandang sebanyak 10.318 ekor maka dalam jangka 5 (lima) tahun atau lima kali siklus produksi dengan tingkat keberhasilan induk bunting 70% dan tingkat kematian anak pra sapih 20% maka dapat menghasilkan bibit sapi Bali sebanyak 28.890 ekor. Tabel 9. Jumlah ternak sapi Bali dalam kandang kolektif di NTB, 2004 (ekor) 1.016 Jumlah sapi dalam kandang kolektif (ekor) Uraian Lombok Lombok Lombok Sumbawa Tengah Barat Timur (N=100) (N=104) (N=96) (N=20) Sapi jantan 162 561 131 (2) *) (10) (6) (7) Sapi induk 2.914 2.623 1.962 1.017 (29) (25) (20) (51) Sapi dara 579 594 432 197 (6) (6) (5) (10) Sapi jantan muda 466 513 215 158 (5) (5) (2) (8) Sapi pedet betina 768 611 440 220 (8) (6) (5) (11) Sapi pedet jantan 617 621 409 214 (6) Total 5.369 (56) (6) 5.978 (58) (4) 4.051 (42) (11) 4.011 (98) Agregat (ekor) (N=320) 1.870 (6) 8.516 (27) 1.802 (6) 1.352 (4) 2.039 (6) 1.861 (6) 19.409 (61) 12

Sumber: Data sekunder di olah. Keterangan: * Angka dalam kurung merupakan rata-rata jumlah sapi dalam kandang. Peluang lain yang merupakan hasil sampingan dari usaha agribisnis sapi dalam kandang kolektif yaitu dapat menghasilkan kotoran ternak sebagai bahan pembuatan kompos. Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan kotoran 10 15 kg/hari sedangkan sapi muda dapat menghasilkan kotoran 7 10 kg/hari. Jika di rata-rata jumlah kotoran yang dihasilkan 10 kg/ekor/hari maka dari jumlah sapi dewasa dan sapi muda 27080 ekor per maka dapat menghasilkan kotoran sebanyak 270.800 kg/hari, belum termasuk sisa pakan. Produksi bahan kotoran sapi sebagai bahan pembuatan kompos selama sebulan dapat mencapai 8.124.000 ton/bulan. Jika dikaitkan dengan kebutuhan pupuk kandang pada lahan sawah maksimal 5 ton/ha maka dapat menjamin ketersediaan pupuk organik per bulan terhadap lahan sawah seluas 1.624.800 ha. Pengelolaan kotoran sapi oleh petani di NTB sebagai pupuk utuk tanaman bahwa (35%) digunakan sendiri dengan rata-rata lama penggunaan 4 tahun. Sebagian besar petani yang telah menggunakan pupuk kandang/kompos dari kotoran sapi juga telah membuktikan bahwa terjadi penghematan penggunaan pupuk an organik sebesar 82,5% (Tabel 10). Dengan demikian peluang penggunaan pupuk kandang/kompos yang bahan bakunya diperoleh dari kandang kolektif akan menjamin ketersediaan pupuk organik di NTB. Pengembangan usahatani tanaman ternak dengan pendekatan kandang kolektif akan mewujudkan pembangunan pertanian organik di NTB yang ramah lingkungan. Tabel 9. Pengelolaan kotoran sapi di Propinsi NTB, 2003 (%) Kabupaten/Agregat Uraian Lombok Barat Lombok Tengah Agregat N Rataan N Rataan N Rataan 1. Tujuan pengelolaan a. Digunakan sendiri 6 30,0 8 40,0 14 35,0 b. Semuanya dijual 1 5,0 1 5,0 2 5,0 c. Sebagian dijual 2 10,0 0 0,0 2 5,0 d. Tidak digunakan 12 60,0 11 55,0 23 57,5 2. Petani memproses sebelum dijual 1 5,0 2 10,0 3 7,5 3. Pola penjualan a. Individu 4 20,0 0 0,0 4 10,0 b. Berkelompok 1 5,0 0 0,0 1 2,5 c. Campuran 16 80,0 20 100 36 90,0 4. Lama penggunaan (th) 6 3,2 17 4,0 23 3,6 13

5. Petani mengatakan terjadi 15 75,0 18 90,0 33 82,5 penghematan pupuk an organik Sumber: Data primer diolah, 2003. Peranan kelembagaan kandang kolektif sebagai basis pengembangan teknologi dan kegiatan usaha agribisnis di pedesaan dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan imbingan intensif dari pemerintah maupun pihak swasta melalui kegiatan kerja sama. Akan tetapi diperlukan dukungan kelembagaan kandang kolektif yang tangguh sehingga teknologi perbibitan sapi Bali dapat berjalan maksimal (Gambar 1) (Panjaitan, et al. 2003). Dengan demikian usaha agribisnis pembibitan sapi Bali dapat berjalan dan berkelanjutan. Denah Kandang Kolektif Kandang Iepit Kandang pemeliharaa n (sebagi tempat betina dan anak sapi Tempat Pembuatan kompos Kandang pejantan Kandang kawin Kandang sapih Gambar 2. Denah kandang kolektif untuk penerapan kawin alam terkontrol. Keragaan populasi sapi Bali dalam kandang kolektif dan organisasi kelembagaan kandang kolektif berpeluang sebagai basis pengembangan teknologi produksi terutama teknologi kawin alam terkontrol. Oleh karena itu arah pengembangan kandang kolektif ke depan dapat menjadi basis pengembangan teknologi kawin alam terkontrol dan teknologi kompos. Teknologi kawin alam terkontrol dengan ketersediaan kandang pejantan, kandang kawin dan kandang penyapihan serta kandang pemeliharaan di dalam kandang kolektif dapat mempermudah menajemen perkawinan dan pengumpulan kotoran ternak sebagai bahan pembuatan kompos. REKAYASA KELEMBAGAAN KANDANG KOLEKTIF 14

Peningkatan produksi dan mutu sapi Bali di NTB masih berpeluang cukup besar. Strategi peningkatan produksi dan mutu sapi Bali dapat dilakukan dengan mendesiminasikan teknologi-teknologi hasil penelitian dan pengkajian secara terpadu. Peranan ahli sosial dan ahli teknis dalam perencananan kegiatan penelitian dan pengkajian, koordinasi serta pelaksanaan kegiatan menjadi sangat penting. Kegiatan diseminasi teknologi dan pembinaan kelembagaan merupakan kegiatan terdepan untuk membangun hubungan sinergis dalam suatu sistem produksi. Usaha agribinis peternakan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi pendesaan. Menurut Kasryno (2003) bahwa Usaha peternakan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi pedesaan yang belum dikembangkan dengan teknologi maju akan cenderung tergusur. Pengembangan komoditi peternakan ke depan dengan dukungan industry cluster dan penguasaan aset produktifnya yang relatif merata berpeluang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi pedesaan. Gambar 3. Alternatif modifikasi kelembagaan kandang kolektif berorientasi agribisnis berkelanjutan 15

Gambar 3 merupakan salah satu alternatif modifikasi model kelembagaan kandang kolektif yang bersifat lentur dan berkelanjutan. Model kelembagaan tersebut dapat berjalan dengan baik jika semua lembaga terkait atau yang mempunyai kepentingan dalam kegiatan agribisnis pertanian mempunyai visi dan misi yang sama dalam membangun kerjasama dan melakukan pemberdayaan kelembagaan kandang kolektif sebagai basis pengembagan usaha pembibitan sapi Bali maupun penggemukan. Antara sumber teknologi seperti BPTP, BALIT, PUSLIT dan Perguruan Tinggi harus mampu menciptakan kerjasama dengan stakeholder baik dengan pemerintah daerah, perusahaan swasta, lembaga keuangan formal, lembaga keuangan non formal dan lembaga keuangan pedesaan (koperasi) dalam mempromosikan teknologi serta membangun kelembagaan kandang kolektif sebagai basis usaha agribisnis pembibitan sapi Bali. Agar model ini dapat berjalan dengan baik maka semua lembaga terkait yang melakukan kerja sama tersebut harus didukung komitmen yang sama serta dukungunan kebijakan pemerintah. Teknologi-teknologi yang merupakan hasil penelitian atau hasil rekayasa seperti teknologi manajemen perkawinan alam terkotrol dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan pemerintah daerah untuk merancang program pembangunan peternakan di daerah. Salah satunya adalah pemberdayaan kelembagaan kandang kolektif yang bersifat lentur terhadap berbagai dinamika perkembangan seperti penurunan produksi dan mutu serta perkembangan pasar. Informasi pasar yang dibutuhkan petani adalah menyangkut spesifikasi mutu, jumlah (volume) dan mutu sapi bibit yang butuhkan. Secara operasional pelaksanaan model kelembagaan kandang kolektif tersebut di atas telah dimulai oleh KUD bekerjasama dengan kelompok tani atau kelompok kandang kolektif dalam pembibitan sapi Bali. Akan tetapi dukungan pembinaan/pemberdayaan kelembagaan oleh pemda (Dinas peternakan) dan dukungan teknologi dari sumber teknologi relatif lemah. Kasus NTB menunjukkan bahwa KUD Wajar sebagai salah satu lembaga ekonomi pedesaan telah menjalin kerja sama dengan BPTP NTB untuk menyediakan teknologi 16

sekaligus melakukan diseminasi teknologi kepada kelompok tani/kandang kolektif binaan KUD Wajar. Kerjasama ini tidak terbatas pada teknologi pemeliharaan sapi induk melainkan juga pengolahan kotoran ternak menjadi kompos dan pengolahan pakan ternak. Jaringan pemasaran dan sistem pasar sangat mendukung usaha pembibitan sapi Bali yang dirancang dan telah dimuali oleh KUD Wajar. Jika kerjasama ini diperluas dan dapat dilaksanakan dengan baik maka produksi dan kualitas sapi Bali dapat ditingkatkan. Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan model kelembagaan kandang kolektif yang bersifat lentur itu dapat dinilai dari tingkat produktiviatas sistem, ketahanan sistem dan keberlanjutan sistem. Dengan demikian model usaha agribisnis pembibitan sapi Bali tersebut dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. 17

KESIMPULAN Populasi ternak sapi di NTB mempunyai kecenderungan menurun yang disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya faktor teknis (tingkat penerapan teknologi yang relatif rendah) yang berdampak pada tingkat kelahiran rendah dan tingkat kematian anak sapi yang cukup tinggi. Kecenderungan petani pada usahatani tanaman pangan (padi) dan usaha peternakan yang masih diposisikan oleh sebagian besar petani/peternak sebagai usaha sampingan merupakan salah satu faktor kurang berkembangnya pembangunan subsektor peternakan di NTB. Orientasi petani untuk menjadikan usaha peternakan sebagai sumber pendapatan rumah tangga juga sangat terkait dengan masalah ketersediaan pakan hijauan pada musim kemarau dan kemanan ternak dari pencurian. Produksi dan perbaikan mutu ternak sapi masih mempunyai peluang untuk ditingkatkan melalui pendekatan teknologi, pemberdayaan sumberdaya manusia dan sosial kelembagaan. Kelembagaan kandang kolektif merupakan salah satu kelembagaan sosial yang mempunyai peluang cukup besar untuk pengembangan teknologi produksi dan sebagai basis usaha agribisnis pembibitan sapi Bali. Teknologi kawin alan terkontrol dapat berjalan baik jika tersedia kelembagaan kandang kolektif dengan struktur organisasi yang relatif lebih baik serta bersedia dan mampu menerapkan komponen teknologi tersebut. Kendala utama yang dihadapi peternak untuk menerapkan teknologi kawin alam terkontrol adalah terbatasnya lahan dan permodalan. Aturan-aturan yang diterapkan dalam kelompok kandang kolektif dan kegiatankegiatan kelompok yang bersifat sosial merupakan sumberdaya sosial potensial yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan teknologi dan usaha agribisnis pembibitan sapi Bali. 18

DAFTAR PUSTAKA BPS, 2003. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. K. Puspadi, Achmad Muzani, dan Yohanes Geli Bulu, 2003. Dinamika dan Pemberdayaan Kelembagaan Tani Sistem Usahatani Tanaman Ternak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Prosiding Lokarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Peneliatian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. K., Puspadi, Y. G. Bulu, T. S. Panjaitan dan L. Hadiawati, 2003. Impacts Demonstration at Kelebuh Vilage Central Lombok. Kerja sama Proyek ACIAR dengan BPTP NTB. Mataram. Kasryno, Faisal, 2003. Tantangan dan Peluang Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Kawasan Indonesia Timur. Makalah disampaikan pada Regional consultation Workshop III. Agticulture and Rural Development Strategy (ARDS) Study. Mataram 11 Desember 2003. Panjaitan, T. S., Gropfry Fordice and Dennis Poppi. 2003. Bali Cttle Performance in the Dry Tropics of Sumbawa. Jurnal Ilmu Ternak dan Vbeteriner. Vol. 8. No. 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Panjaitan,T.S., Sasongko WR, A. Muzani, Mashur, dan Wildan Arief. 2003. Manajemen Terpadu Pemeliharaan Sapi Bali. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB. Mataram. Yohanes G. Bulu, A. Muzani dan Ketut Puspadi, 2003. Laporan Survei Kelembagaan Usahatani Tanaman Ternak Dalam Sistem dan Usaha Agribisnis di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB. Mataram. 19