Lahan Basah. Warta Konservasi. Ucapan Terima Kasih dan Undangan

dokumen-dokumen yang mirip
Lahan Basah. Warta Konservasi. Ucapan Terima Kasih dan Undangan

Lahan Basah. Warta Konservasi. Ucapan Terima Kasih dan Undangan

Lahan Basah. Warta Konservasi. Ucapan Terima Kasih dan Undangan

Fokus Lahan Basah. Kajian Baseline Ekosistem Mangrove di Desa-desa di Kabupaten Pohuwato dan Bolaang Mongondow Selatan 3.

Fokus Lahan Basah Eksploitasi Satwa Liar di Perairan Hulu Mahakam 3. Konservasi Lahan Basah Potensi Ekowisata Mangrove Pesisir Sawah Luhur 4

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ucapan Terima Kasih dan Undangan

Lahan Basah. Warta Konservasi. Ucapan Terima Kasih dan Undangan

Ucapan Terima Kasih dan Undangan

Inti dari kegiatan rehabilitasi adalah menanam bibit di lapangan. Apabila penanaman dilakukan dengan

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

Ucapan Terima Kasih dan Undangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai makluk hidup mulai dari bakteri, cendawan, lumut dan berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN KEHUTANAN

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOTA DINAS Nomor: ND. /II-PHM/2012

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora

BANGKA BOTANICAL GARDEN SEBUAH KEBERHASILAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG

Transkripsi:

Warta Konservasi Lahan Basah Lahan basah (termasuk danau, sungai, hutan bakau, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, laguna, estuarin dan lain-lain) mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya utama pendukung perekonomian dan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Penerbitan Warta Konservasi Lahan Basah ini dimaksudkan untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi lahan basah, guna kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang. Mudah-mudahan berbagai informasi yang disampaikan majalah ini dapat memperkuat dan mendukung terwujudnya lahan basah yang lestari melalui pola-pola pemanfaatan yang bijaksana dan berkelanjutan. Warta Konservasi Lahan Basah (WKLB) diterbitkan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen. PHKA), Dephut dengan Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP), dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sumberdaya lahan basah di Indonesia. WKLB diterbitkan secara berkala 3 (tiga) bulan sekali, dan disebarluaskan ke lembaga-lembaga pemerintah, non-pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat yang terlibat/tertarik akan lahan basah. Pendapat dan isi yang terdapat dalam WKLB adalah semata-mata pendapat para penulis yang bersangkutan. Ucapan Terima Kasih dan Undangan Secara khusus redaksi mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh penulis yang telah berperan aktif dalam terselenggaranya majalah ini. Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk mengirimkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada wadah pertukaran informasi tentang perlahanbasahan di Indonesia ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 dan hendaknya tidak lebih dari 2 halaman A4. Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International - Indonesia Programme Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161, PO Box 254/BOO Bogor 16002 tel: (0251) 312-189; fax./tel.: (0251) 325-755 e-mail: publication@wetlands.or.id Disain dan tata letak: Triana Foto sampul muka: I Nyoman N. Suryadiputra Yus Rusila Noor Alue Dohong DEWAN REDAKSI: Penasehat: Direktur Jenderal PHKA; Penanggung Jawab: Sekretaris Ditjen. PHKA dan Direktur Program WI-IP; Pemimpin Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra; Anggota Redaksi: Triana, Hutabarat, Juss Rustandi, Sofian Iskandar, dan Suwarno 2 Warta Konservasi Lahan Basah

Warta Konservasi Lahan Basah Vol 15 no. 2, Juli 2007 Dari Redaksi, Di saat kemajuan teknologi berkembang pesat dan perkembangan populasi manusia melaju cepat, seiring itu pula kerusakan alam semakin mencuat. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada seringkali tidak memperhatikan kaidahkaidah pelestarian dan keberlanjutannya. Manusia lebih suka berpikir dan bertindak sesaat bahkan hanya demi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kearifan tradisional yang masih diberlakukan di beberapa daerah, ternyata justru memberikan dampak perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam beserta manfaat-manfaatnya. Seperti di Desa Tamiang, Kec. Kota Nopan, Sumatera Utara, dengan Lubuk Larangan-nya mampu melestarikan sumberdaya perikanan sungai dan mendukung produksi pertanian. Contoh lain adalah kearifan tradisional TOGO di Muara Lanowulu, Kendari, yang mampu mempertahankan kelestarian hutan mangrove bahkan menjadi kunci sukses Kota Tinanggea sebagai penghasil terasi. Kearifan tradisional merupakan perwujudan kedekatan antara masyarakat dan alam. Alam telah menjadi guru bagi mereka untuk berbuat dan berperilaku. Pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. ~ Redaksi ~ Daftar Isi Fokus Lahan Basah Kearifan Tradisional Togo di Muara Lanowulu Rahasia di Balik Sukses Kota Tinanggea sebagai Penghasil Terasi... 4 Konservasi Lahan Basah Pemanfaatan Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk sebagai Bahan Penghasil Karbohidrat... 6 Berita Kegiatan Twinning Program: Program Studi Banding untuk Kelompok Masyarakat Binaan... 9 Gambut dan Kandungan Karbon... 10 Lokakarya: Program Rehabilitasi Pesisir Partisipatif dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat... 12 Menyambut Green Coast Phase 2... 16 Berita dari Lapang Lubuk Larangan: Melestarikan Sumberdaya Perikanan Sungai dan Mendukung Produksi Pertanian... 17 Invasi Acacia mangium ke Hutan Galam SM Pelaihari Tanah Laut... 18 Kearifan Tradisional: Selamatkan Tumbuhan Obat Kali Surabaya... 20 Penanaman Pohon Mahoni dan Suren sebagai Perlindungan Catchment Area... 22 Mengamati Para Penjelajah Dunia di P. Trisik: Perayaan Hari Burung Bermigrasi Sedunia... 23 Flora dan Fauna Lahan Basah Ekspor Daging Kodok Perlu Pengendalian... 26 Mengenal Capung... 28 Dokumentasi Perpustakaan... 31 Kotak Katik Lahan Basah... 31 Vol 15 no. 2, Juli 2007 3

Berita dari Lapang Invasi Acacia mangium ke Hutan Galam Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut Oleh: Suyanto 1 dan Mochamad Arief Soendjoto 2 Invasi jenis merupakan dampak dari pengembangan jenis (tumbuhan/hewan) eksotik. Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, invasi jenis dikategorikan merugikan. Hal ini disebabkan jenis (tumbuhan/ hewan) asli atau endemik kalah berkembang dan bisa jadi akan mengalami kepunahan. Invasi jenis terjadi di banyak negara. Pada tahun 1877, Akasia gila (Prosopis juliflora) diperkenalkan ke Gujarat dan Rajasthan (India) untuk mengurangi perluasan padang pasir. Namun, tumbuhan ini merajalela dan hampir seabad kemudian justru mengurangi padang rumput yang menjadi habitat beberapa satwa langka berkembang biak dan mencari makan (Tiwari, 1999). Pada tahun 1969, Acacia nilotica yang konon berasal dari India ditanam sebagai sekat bakar di Savana Bekol, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Tumbuhan ini kemudian berkembang tak terkendali dan menutupi ruang tumbuh rumput dan spesies tumbuhan asli lainnya yang menjadi pakan banteng, satwa langka yang dilestarikan di taman nasional ini (Arief, 1992). Sampai saat ini pengelola taman nasional belum mampu mengatasi invasi A. nilotica. Pada tahun 1957, ilmuwan mengintroduksi satu spesies lebah afrika ke Brazil. Lebah ini kemudian menyebar ke beberapa negara di Amerika Selatan dan berubah menjadi lebah pembunuh. Lebah ini memakan makanan utama spesies lebah asli dan sangat garang terhadap hewan lain. Invasi jenis terjadi juga di Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut (SMPTL), salah satu dari tujuh kawasan konservasi di Kalimantan Selatan. Di SMPTL yang sekitar tiga per empat luasnya merupakan lahan basah (Dishut Tala dan LPM Unlam, 2006), Akasia daun lebar (Acacia mangium) mampu tumbuh dan berkembang di sela-sela hutan rawa yang didominasi Galam (Melaleuca cajuputi) (Gambar 1). Akasia daun lebar merupakan tumbuhan asli daerah Indonesia timur (Seram, Kepulauan Aru, Irian Jaya Barat) atau Australia (Queensland). Tumbuhan ini memang dikenal cepat tumbuh. Pada dasawarsa 1980-an akasia direkomendasikan ditanam di hutan bekas tebangan atau hutan tidak produktif untuk memprakondisikan lingkungan, sehingga pada tahuntahun berikutnya dapat menjadi penaung bagi tumbuhan jenis lain. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah akasia tumbuh, tidak banyak jenis tumbuhan lain yang mampu tumbuh dengan baik di bawah tegakan akasia. Di areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT Inhutani III, akasia sengaja ditanam untuk bahan baku industri kertas. Akasia yang ditanam pada awal dasawarsa 1990-an tenyata kemudian berkembang dan tumbuh di kawasan SMPTL yang terletak di selatan areal HPHTI. Jenis ini tumbuh tidak hanya di sepanjang batas areal HPHTI dengan kawasan SMPTL, tetapi masuk sampai sejauh 2 km ke dalam kawasan. Karena lebar kawasan SMPTL 2-3 km, akasia ini dapat dikatakan tumbuh di lokasi yang dekat dengan pantai (pematang tambak atau di jalan tanah menuju tambak). Dengan menginvasi hutan rawa galam hingga ke dekat pantai di SMPTL, akasia daun lebar sebetulnya telah menunjukkan sifat aslinya. Menurut Sindusuwarno dan Utomo (1981), di habitat asalnya (Queensland) jenis tumbuhan ini ditemukan di hutan mangrove, Melaleuca, dan riparian. Tiga dari banyak mekanisme invasi akasia ke SMPTL adalah sebagai berikut. Pertama, biji akasia terbawa alat angkutan (dalam hal ini misalnya menempel di ban sepeda motor, truk) yang dipergunakan masyarakat untuk keluar masuk pertambakan. Lokasi yang dilewati oleh masyarakat 18 Warta Konservasi Lahan Basah

Berita dari Lapang Gambar 1. Acacia mangium tumbuh di sela-sela hutan rawa galam Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut Desa Kandangan Lama (Kabupaten Tanah Laut) sebelum memasuki pertambakan adalah areal HPHTI. Kedua, biji terbawa aliran air dari areal HPHTI ke arah laut. Ketiga, biji akasia bersemai dan tumbuh dengan cepat setelah kebakaran merambah hutan galam. Galam memang merupakan salah satu jenis tumbuhan tahan api. Sekitar dua bulan setelah lokasi tumbuhnya terbakar, apalagi bila digenangi air, biji galam dapat bersemai dengan cepat. Namun, apabila lokasi kebakaran ini tidak segera digenangi air, bukan hal yang tidak mungkin, biji galam lambat bersemai. Dengan kalimat lain, pada lokasi yang tidak digenangi ini, biji akasia justru lebih cepat bersemai daripada biji galam. Kebakaran galam di SMPTL dapat dikatakan terjadi setiap tahun. Kejadian ini muncul sebagai akibat langsung pembakaran di dalam SMPTL atau tidak langsung dari pembakaran di luar SMPTL. Pembakaran di dalam SMPTL dilakukan, ketika masyarakat memanfaatkan areal SMPTL (terutama di sekitar Sungai Sanipah yang termasuk dalam Desa Kandangan Lama) sebagai padang penggembalaan sapi. Tujuan pembakaran adalah untuk menghijaukan (meregenerasi) rerumputan yang kering selama musim kemarau. Pembakaran di luar SMPTL merupakan upaya masyarakat untuk membersihkan lahan dari potongan-potongan kayu, sehingga pada gilirannya lahan mudah ditanami tanaman pangan, seperti padi atau jagung. Areal di luar SMPTL ini dapat berupa areal HPHTI (yang dianggap oleh masyarakat sebagai lahan sengketa) atau areal yang sudah lama dikuasai oleh masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Arief, H. 1992. Pengaruh pembakaran terhadap kualitas dan kuantitas Savana Bekol di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Media Konservasi 4(1):23-30. Dishut Tala dan LPM Unlam. 2006. Laporan Hasil Penelitian Kawasan Suaka Margasatwa Kabupaten Tanah Laut Tahun Anggaran 2006 (Kajian Kondisi Aktual Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut). Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Sindusuwarno, R. dan D.I. Utomo. 1981. Acacia mangium, jenis pohon yang belum banyak dikenal. Duta Rimba 7(48):2-4. Tiwari, J.W.K. 1999. Exotic weed Prosopis juliflora in Gujarat and Rajasthan, India boon or bane? Tigerpaper 26(3):21-25. 1 Dosen Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat 2 Guru Besar Konservasi Flora Fauna, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat Vol 15 no. 2, Juli 2007 19