LAPORAN KEGIATAN MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK HEWAN DI WILAYAH BALAI VETERINER BUKITTINGGI TAHUN 2014

dokumen-dokumen yang mirip
Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba Pada Produk Hewan di Wilayah Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2015

KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia

PROFIL LABORATORIUM KESMAVET KOTA METRO

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

LABORATORIUM KESMAVET DALAM MENUNJANG KEAMANAN PANGAN ASAL HEWAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

Analisa Mikroorganisme

BAB I PENDAHULUAN. Bakso merupakan makanan jajanan yang paling populer di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2011), dalam survey yang

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMANAN PANGAN ASAL HEWAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

BAB I PENDAHULUAN.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

I. PENDAHULUAN. pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino

Susu segar-bagian 1: Sapi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Nomor : /SM.110/J.3.9/10/ Oktober 2013 Sifat : Penting Lampiran : 4 (empat) lembar Perihal : Pemanggilan Calon Peserta Diklat

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

BAB I PENDAHULUAN. bisa melaksanakan rutinitasnya setiap hari(depkesri,2004).

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN KINERJA BALAI PENGUJIAN MUTU DAN SERTIFIKASI PRODUK HEWAN

Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu

PENGARUH SUHU PEMANASAN TERHADAP KANDUNGAN RESIDU ANTIBIOTIK DALAM AIR SUSU SAPI

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

SAFETY FOOD (Keamanan Pangan) A. Prinsip Safety Food

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Luas potensi lahan sumber pakan ternak (Ha) Luas Potensi Hijauan (Ha) No Kabupaten/Kota Tanaman Padang. Pangan Rumput

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/241/2016 TENTANG DATA PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT PER AKHIR DESEMBER TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 15/Permentan/OT.140/2/2008 TENTANG PEDOMAN MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK HEWAN

PENDAHULUAN. semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan dilakukan pengembangan

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

Lampiran 1 Nomor : 7570 /D.3.2/07/2017 Tanggal : 26 Juli Daftar Undangan

LAPORAN KINERJA BALAI PENGUJIAN MUTU DAN SERTIFIKASI PRODUK HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

Mutu karkas dan daging ayam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia biasanya dibuat melalui bertani, berkebun, ataupun

B. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Indonesia Barat

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

LAPORAN KINERJA BALAI PENGUJIAN MUTU DAN SERTIFIKASI PRODUK HEWAN

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. adanya mikroorganisme patogen pada makanan dan minuman sehingga bisa

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Letusan penyakit akibat pangan (food borne diseases) dan kejadiankejadian

Nomor : /SM.110/J.3.9/10/ Oktober 2013 Sifat : Penting Lampiran : 3 (tiga) lembar Perihal : Permintaan Calon Peserta Diklat

ALOKASI PUPUK UREA UNTUK KOMODITI HORTIKULTURA TAHUN 2015 Satuan: Ton

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dengan harga yang murah, menarik dan bervariasi. Menurut FAO (Food

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG

Catatan : 26 Mei 2017

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Makanan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 1992 TENTANG OBAT HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS COLIFORM PADA MINUMAN ES DAWET YANG DIJUAL DI MALIOBORO YOGYAKARTA

AMANKAH PANGAN ANDA???

BAB 1 PENDAHULUAN. akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Faktor-faktor yang menentukan kualitas makanan baik, dapat ditinjau dari

I. PENDAHULUAN. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) merupakan

EVALUASI KEGIATAN DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TAHUN 2017 & RENCANA KEGIATAN TAHUN 2018 RAKONTEKNAS II SURABAYA, 12 NOVEMBER 2017

Transkripsi:

LAPORAN KEGIATAN MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DAN CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK HEWAN DI WILAYAH BALAI VETERINER BUKITTINGGI TAHUN 2014 1. PENDAHULUAN Produk peternakan merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia. Namun, produk ternak akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan apabila tidak aman. Karena kandungan gizi yang tinggi tersebut, daging dan susu merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan kuman, baik kuman yang menyebabkan kerusakan pada daging dan susu maupun kuman yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengkonsumsi produk ternak tersebut. Kuman dapat terbawa sejak ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai pangan hingga ke piring konsumen. Selain kuman, cemaran bahan berbahaya juga mungkin ditemukan dalam pangan asal ternak, baik cemaran hayati seperti cacing, cemaran kimia seperti residu antibiotik, maupun cemaran fisik seperti pecahan kaca dan tulang. Berbagai cemaran tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengkonsumsinya (Gorris, 2005). Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi (Siagian, 2002). Makanan yang dikonsumsi dapat menjadi sumber penularan penyakit apabila telah tercemar mikroba dan tidak dikelola secara higienes, makanan yang berpotensi tercemar adalah makanan mentah terutama daging yang tidak aman dapat membahayakan kesehatan konsumen. (Syam, 2004). Bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak dapat terjadi pada setiap mata rantai, mulai dari praproduksi di produsen, pascaproduksi sampai produk tersebut didistribusikan dan disajikan kepada konsumen. Bahaya tersebut meliputi: (1) penyakit ternak; (2) penyakit yang ditularkan melalui pangan atau yang disebut food borne diseases; serta (3) cemaran atau kontaminan bahan kimia dan bahan toksik lainnya. Kelompok pertama berupa penyakit ternak menular dan biasanya terjadi pada proses praproduksi, yaitu penyakit yang menyerang ternak pada proses pemeliharaan. Penyakit ini selain mempengaruhi kesehatan ternak juga menentukan mutu dan keamanan produknya.

Beberapa penyakit ternak utama yang perlu mendapat perhatian adalah antraks, BSE, virus nipah (Encephalitis), tuberkulosis, radang paha, dan cysticercosis pada sapi. Kelompok kedua adalah penyakit bakterial yang ditularkan melalui pangan. Kejadian penyakit ini dapat timbul melalui infeksi bakteri atau intoksikasi dari toksin yang dihasilkan bakteri tersebut. Beberapa penyakit bakterial yang dapat ditularkan melalui pangan adalah salmonellosis, enteritis Clostridium perfringens, intoksikasi Staphylococcus, campylobacteriosis, dan hemorrhagic colitis. Kelompok ketiga adalah cemaran (kontaminan) bahan kimia dan bahan toksik lainnya. Dalam hal ini, daging, susu, dan telur dapat tercemar obat-obatan, senyawa kimia, dan toksin baik pada waktu proses praproduksi maupun produksi. Residu obat seperti antibiotik dapat dijumpai pada daging bila pemakaian obat-obatan hewan tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, misalnya waktu henti obat tidak dipatuhi menjelang hewan akan dipotong. Pemakaian antibiotika di peternakan memberikan manfaat bagi hewan, namun jika pemakaiannya tidak sesuai aturan dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat. Risiko tersebut berupa adanya residu antibiotika pada daging, susu dan telur akibat pemakaian antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis dan/atau tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawl time) menjelang hewan akan dipotong. Residu antibiotika merupakan zat antibiotika termasuk metabolitnya yang terkandung dalam daging, telur, dan susu, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan antibiotika (SNI 7424: 2008). Residu dalam bahan pangan meliputi senyawa asal yang tidak berubah, metabolit dan/atau konyugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik. Menurut Bahri (2008), pengontrolan penyakit secara biologis dengan menghindari penggunaan bahan-bahan kimia atau obat-obatan berbahaya secara berlebihan juga dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya cemaran antibiotika. Selain itu, pengawasan mutu pakan yang beredar perlu ditingkatkan, termasuk terhadap obat hewan yang dicampur dalam ransum ternak. Demikian pula pemakaian obat hewan yang diberikan langsung kepada ternak perlu diawasi, baik untuk pengobatan maupun pencegahan. Pengawasan sekaligus diikuti dengan penertiban pemakaian obat hewan di lapangan. Ancaman potensial residu antibiotika dalam makanan terhadap kesehatan dibagi tiga kategori, yaitu (1) aspek toksikologis, (2) aspek mikrobiologis dan (3) aspek imunopatologis. Menurut Haagsma (1988), residu antibiotika dalam makanan dan penggunaannya dalam bidang kedokteran hewan berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat veteriner, aspek teknologi dan aspek lingkungan. Dari aspek toksikologis, residu antibiotika bersifat racun

terhadap hati, ginjal dan pusat hemopoitika (pembentukan darah). Dari aspek mikrobiologis, residu antibiotika dapat mengganggu mikroflora dalam saluran pencernaan dan menyebabkan terjadinya resistensi mikroorganisme, yang dapat menimbulkan masalah besar dalam bidang kesehatan manusia dan hewan. Dari aspek imunopatologis, residu antibiotika dapat menimbulkan reaksi alergi yang ringan dan lokal, bahkan dapat menyebabkan shock yang berakibat fatal. Selanjutnya dipandang dari aspek teknologi, keberadaan residu antibiotika dalam bahan pangan dapat menghambat atau menggagalkan proses fermentasi. Zoonosis adalah penyakit yang dapat ditransmisikan atau ditularkan dari hewan ke manusia, atau sebaliknya. Berbeda dengan penyakit infeksius lainnya, karena menyangkut kesehatan manusia dan hewan, maka zoonosis menjadi ranah studi dan kewenangan dua profesi, yaitu dokter dan dokter hewan. Peran dokter hewan dalam bidang zoonosis adalah pengendalian dan pencegahan penyakit zoonosis pada hewan, sehingga tidak menimbulkan potensi penyakit pada manusia, terutama peternak, pemelihara satwa, dan konsumen bahan pangan asal hewan (daging, susu, telur). Zoonosis dapat disebabkan oleh beberapa agen patogen, yaitu bakteri, virus, parasit, dan prion. Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit zoonosis adalah Salmonella sp., E. coli, Staphylococcus aureus. Pengobatan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri yaitu dengan menggunakan pengobatan antibiotika. Antibiotika adalah bahan alami atau semi sintetis yang memiliki daya kerja untuk membunuh (bakterisidal) atau menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Beberapa jenis antibiotika yang populer antara lain penisilin, ampisilin, amoksilin, dan tetrasiklin. Ternyata, penggunaan antibiotika untuk mengatasi infeksi bakteri menimbulkan masalah baru, yaitu resistensi bakteri terhadap antibiotika. Untuk menjamin penyediaan daging yang ASUH, maka dilakukan pengawasan (surveillance, monitoring, inspeksi) terhadap daging dalam mata rantai penyediaan daging. Dalam upaya Pemerintah menjamin keamanan pangan dan ketentraman batin masyarakat, khususnya terhadap bahaya yang ditimbulkan dalam mengkonsumsi produk hewan yang mengandung hormon anabolik sintetik, maka diperlukan pengambilan contoh dan pengujian terhadap daging dan hati sapi impor maupun lokal, terutama di daerah yang merupakan sentra konsumsi dan produksi penyediaan ternak sapi, termasuk di supply chain. Pengujian contoh di laboratorium perlu mengikuti prosedur baku agar hasil pengujian dapat dipertanggungjawabkan. Laboratorium yang digunakan sebaiknya yang telah menerapkan Good Laboratory Practice (GLP) atau telah disertifikasi terhadap penerapan sistem manajemen mutu laboratorium ISO 17025, sehingga laboratorium tersebut memiliki kemampuan teknis dalam menghasilkan data atau hasil uji yang tepat, akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara

ilmiah dan hukum. Sertifikat tersebut diberikan oleh suatu lembaga yang telah diakreditasi, dan bahkan telah mendapat pengakuan/harmonisasi dengan negara-negara lain. 2. MAKSUD DAN TUJUAN Dalam usaha memenuhi kebutuhan bahan pangan yang bebas residu, cemaran dan resistensi mikroba harus dilakukan pemantauan (monitoring) melalui peneguhan pengujian untuk mengetahui derajat kejadian cemaran mikroba, residu dan resistensi antimikroba. Apabila ditemukan terjadinya penyimpangan, maka pengawas kesmavet perlu melakukan pembinaan pelaksanaan sanitasi-higiene agar dapat terjadi perubahan ke arah perbaikan dengan pengamatan (surveilans) melalui pengujian yang terprogram secara efisien dan komprehensif. 3. MATERI Pengambilan sampel dilakukan di Empat propinsi wilayah kerja Balai Veteriner Bukittinggi yaitu Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Riau, Propinsi Jambi dan Propinsi Kepulauan Riau. tersebut merupakan sampel aktif (yang diambil oleh BVET) dan sampel pasif (kiriman dinas peternakan, stasiun karantina hewan, dan lain-lain). Jenis sampel pada tahun 2014 berupa Daging Sapi, Daging Kerbau, Daging kuda, Daging Ayam, Daging Babi, Telur Ayam, Telur Itik, Telur Puyuh, Susu Sapi, Susu Kambing, Hati Sapi, HAM Sapi, Burger, Filled, Ekstrak Daging Sapi, Sosis, Nugget sapi, Nugget ayam, Bakso Sapi dan Bakso Ikan. Sumber sampel berasal dari Rumah Pemotongan Hewan, Pasar tradisional, Pasar swalayan, Peternakan rakyat, Stasiun Karantina Hewan (Importir/Distributor) dan Warung/kios. Cara pengemasan dan pengiriman sampel disesuaikan dengan ketentuan. 4. METODA Di laboratorium, sebagian sampel diarahkan pada pemeriksaan cemaran mikroba (Total Plate Count, Total coliform, Total E.coli. Total S. aureus dan Kualitatif Salmonella sp), sedangkan sebagian lagi diuji terhadap adanya residu antibiotika dan sulphonamida dengan metode uji screening menggunakan kuman standar terhadap antibiotika golongan Penicilline, Tetracycline, Aminoglikosida, golongan Sulphonamida dan Tilosine secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk sampel yang bersifat kasus dilakukan uji terhadap Hormon Trenbolon Asetat dengan metode ELISA, serta Kualitatif Residu Formalin dan Residu Borax. Untuk uji Identifikasi Spesies dengan metode Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dilaksanakan di laboratorium Bioteknologi

5. HASIL sampel yang diperiksa pada tahun anggaran 2014 adalah sebanyak 2134 sampel yang terdiri dari 1036 sampel aktif dan 1098 sampel pasif. Hasil pemeriksaan sampel secara terperinci dapat dilihat pada tabel-tabel berikut : Hasil uji cemaran mikroba Pengujian terhadap cemaran mikroba yang diperiksa, yaitu TPC, Coliform, E.coli, staphylococcus aureus dan Salmonella. Tabel 1. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Aktif di Propinsi Sumatera Barat HASIL UJI CEMARAN MIKROBA COLIFORM E. COLI S. AUREUS TPC Salmonella Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh (-) (+) 1 Kota Padang 51 21 34 8 42 42 0 42 39 3 42 10 32 42 42 0 2 Kab Solok 20 20 20 0 16 16 0 16 16 0 16 0 16 16 16 0 3 Kab. Padang Pariaman 11 9 9 0 9 9 0 9 9 0 9 0 9 9 9 0 4 Kab. Pasaman 11 9 9 0 9 9 0 9 9 0 9 1 8 9 9 0 5 Kab. Solok Selatan 15 11 9 2 11 11 0 11 11 0 11 1 10 1 1 0 6 Kota Pariaman 10 8 8 0 8 8 0 8 8 0 8 1 7 8 8 0 7 Kab. Dharmasraya 22 15 15 0 15 15 0 15 13 2 15 9 6 15 15 0 8 Kab. Pesisir Selatan 17 12 10 2 11 11 0 11 11 0 11 6 5 11 11 0 9 Kota Sawah Lunto 43 28 21 7 28 28 0 28 28 0 28 6 22 28 28 0 10 Kota Solok 66 55 48 7 55 55 0 55 43 12 55 6 49 55 55 0 11 Kota Padang Panjang 61 32 27 5 32 32 0 32 17 15 32 0 32 40 40 0 12 Kota Payakumbuh 54 41 36 5 41 41 0 41 35 6 41 1 40 43 43 0 13 Kota Bukittinggi 46 36 30 6 36 36 0 36 36 0 36 0 36 36 36 0 14 Kab. Tanah Datar 20 17 16 1 17 17 0 17 14 3 16 0 16 17 17 0 15 Kab. Agam 27 19 19 0 19 19 0 19 14 5 19 0 19 19 19 0 16 Kab. 50 Kota 24 19 9 10 19 19 0 19 19 0 19 0 19 19 19 0 17 Kab. Pasaman Barat 10 8 8 0 8 8 0 8 8 0 8 0 8 8 8 0 JUMLAH 508 360 328 53 376 376 0 376 330 46 375 41 334 376 376 0 Tabel 2. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Aktif di Propinsi Riau HASIL UJI CEMARAN MIKROBA COLIFORM E. COLI S. AUREUS TPC Salmonella Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh (-) (+) 1 Kota Pekan Baru 16 14 12 2 14 14 0 14 14 0 11 2 9 14 14 0 2 Kota Dumai 22 16 8 8 16 16 0 16 14 2 16 0 16 16 16 0 3 Kab Rokan Hulu 24 18 18 0 18 18 0 18 18 0 18 0 18 18 18 0 4 Kab. Indragiri Hulu 19 15 15 0 15 15 0 15 15 0 15 0 15 15 15 0 5 Kab. Siak 70 46 40 6 46 46 0 46 44 2 46 6 40 46 46 0 6 Kab. Indragiri Hilir 15 11 10 1 11 11 0 11 11 0 11 0 11 11 11 0 7 Kab. Kuantan Singingi 19 14 13 1 14 14 0 14 14 0 14 0 14 14 14 0 8 Kab. Kampar 36 29 23 6 29 29 0 29 29 0 29 0 29 29 29 0 9 Kab. Bengkalis 5 5 4 1 5 5 0 5 3 2 5 0 5 5 5 0 10 Kab. Rokan Hilir 19 16 12 4 16 16 0 16 16 0 16 0 16 16 16 0 11 Kab. Palelawan 17 14 9 5 14 14 0 14 13 1 14 0 14 14 14 0 JUMLAH 262 198 164 34 198 198 0 198 191 7 195 8 187 198 198 0

Tabel 3. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Aktif di Propinsi Jambi HASIL UJI CEMARAN MIKROBA COLIFORM E. COLI S. AUREUS TPC Salmonella Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh (-) (+) 1 Kota Jambi 21 18 18 0 18 18 0 18 16 2 18 0 18 18 18 0 2 Kab. Kerinci 13 9 9 0 9 9 0 9 9 0 9 0 9 9 9 0 3 Kab. Tanjung Jabung Ti 6 4 4 0 4 4 0 4 4 0 4 1 3 4 4 0 4 Kab. Merangin 20 14 14 0 14 14 0 14 14 0 14 0 14 14 14 0 5 Kab. Tanjab Barat 6 6 6 0 6 6 0 6 6 0 6 1 5 6 6 0 6 Kab. Muaro Jambi 16 13 9 4 13 13 0 13 10 3 13 0 13 13 13 0 7 Kab. Muaro Bungo 33 27 25 2 27 27 0 27 25 2 27 0 27 27 27 0 8 Kab. Batang Hari 16 13 10 3 13 13 0 13 13 0 13 0 13 13 13 0 9 Kab. Sungai Penuh 33 27 26 1 27 27 0 27 24 3 27 6 21 27 27 0 10 Kab. Sarolangun 16 13 13 0 13 13 0 13 12 1 13 0 13 13 13 0 JUMLAH 180 144 134 10 144 144 0 144 133 11 144 8 136 144 144 0 Tabel 4. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Aktif di Propinsi Kepulauan Riau HASIL UJI CEMARAN MIKROBA COLIFORM E. COLI S. AUREUS TPC Salmonella Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh (-) (+) 1 Kota Tanjung Pinang 16 16 14 2 16 16 0 16 16 0 16 0 16 16 16 0 2 Kab. Karimun 15 15 15 0 15 15 0 15 15 0 15 0 15 15 15 0 3 Kota Batam 31 31 29 2 31 31 0 31 31 0 31 9 22 31 31 0 4 Kabupaten Bintan 11 11 11 0 11 11 0 11 11 0 11 0 11 11 11 0 JUMLAH 73 73 69 4 73 73 0 73 73 0 73 9 64 73 73 0 Tabel 5. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Pasif di Propinsi Sumatera Barat HASIL UJI CEMARAN MIKROBA COLIFORM E. COLI S. AUREUS TPC Salmonella Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh (-) (+) I SUMATERA BARAT 1 Kab. Sijunjung 80 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 80 80 0 2 Kab. 50 Kota 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25 25 0 3 Kabupaten Agam 10 8 6 2 7 7 0 6 6 0 4 0 4 7 7 0 4 Kab. Padang Pariaman 23 0 0 0 8 8 0 0 0 0 15 0 15 8 8 0 5 Kab. Pasaman 20 10 4 6 20 20 0 10 8 2 20 0 20 0 0 0 6 Kab. Tanah Datar 73 0 0 0 48 48 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 Kota Bukittinggi 27 4 2 2 7 7 0 4 3 1 6 0 6 11 11 0 8 Kota Padang 194 33 23 10 38 38 0 33 33 0 137 62 75 38 36 2 9 Kota Padang Panjang 47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 47 9 38 0 0 0 10 Kota Sawahlunto 23 4 2 2 4 4 0 4 4 0 11 0 11 4 4 0 11 Pesisir Selatan 35 20 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 10 0 12 Kota Payakumbuh 9 9 4 5 9 9 0 9 9 0 9 0 9 0 0 0 566 88 61 27 141 141 0 66 63 3 249 71 178 183 181 2

Tabel 6. Hasil Pengujian Cemaran Mikroba Kegiatan Pasif di Propinsi Riau, Jambi dan Kepulauan Riau II RIAU HASIL UJI CEMARAN MIKROBA COLIFORM E. COLI S. AUREUS TPC Salmonella Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh < > Jlh (-) (+) 1 Kota Dumai 80 4 3 1 5 5 0 3 3 0 0 0 0 2 4 0 2 Kab. Siak 26 5 5 0 5 5 0 10 5 5 5 0 5 5 5 0 106 9 8 1 10 10 0 13 8 5 5 0 5 7 9 0 III JAMBI 1 Kab Tanjung Jabung Timur 58 0 0 0 43 43 0 20 20 0 32 0 32 10 10 0 2 Kab. Sarolangun 2 2 2 0 2 2 0 2 2 0 2 0 2 2 2 0 3 Propinsi Jambi 170 0 0 0 23 23 0 0 0 0 61 0 61 56 56 0 4 Sungai Penuh 5 5 2 3 5 5 0 5 5 0 5 0 5 5 5 0 235 7 4 3 73 73 0 27 27 0 100 0 100 73 73 0 IV KEPULAUAN RIAU 1 Kota Batam 28 8 8 12 0 12 0 0 0 0 12 0 12 24 24 0 2 Kota Tanjung Pinang 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2 0 0 0 30 8 8 12 0 12 0 0 0 0 14 0 14 24 24 0 V LAIN-LAIN 1 BVET Medan 3 0 0 0 1 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 3 0 0 0 1 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 TOTAL 940 112 81 43 225 237 0 107 99 8 368 71 297 288 288 2 Hasil uji residu antibiotika Pengujian residu dilakukan terhadap kandungan residu obat hewan yang diuji meliputi golongan antibiotika Penisilin, Makrolida, Aminoglikosida, Tetrasiklin dan Tilosin. Tabel 7. Hasil Pengujian Residu Antibiotika Kegiatan Aktif di Propinsi Sumatera Barat Hasil Uji Residu Antibiotika Penicillin Tetrasiklin Aminoglikosida Sulfadiazine Tilosin (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) 1 Kota Padang 51 21 0 42 0 42 0 42 0 42 0 2 Kab Solok 20 16 0 16 0 16 0 16 0 16 0 3 Kab. Padang Pariaman 11 8 1 9 0 9 0 9 0 9 0 4 Kab. Pasaman 11 9 0 9 0 9 0 9 0 9 0 5 Kab. Solok Selatan 15 11 0 11 0 11 0 11 0 11 0 6 Kota Pariaman 10 8 0 8 0 8 0 7 1 9 0 7 Kab. Dharmasraya 22 0 0 15 0 15 0 15 0 15 0 8 Kab. Pesisir Selatan 17 0 0 11 0 11 0 11 0 11 0 9 Kota Sawah Lunto 43 13 0 28 0 28 0 28 0 28 0 10 Kota Solok 66 18 0 36 0 36 0 36 0 36 0 11 Kota Padang Panjang 61 22 2 49 4 51 2 24 0 44 9 12 Kota Payakumbuh 54 20 1 43 0 43 0 21 0 43 0 13 Kota Bukittinggi 46 18 0 36 0 36 0 18 0 36 0 14 Kab. Tanah Datar 20 17 0 17 0 17 0 17 0 17 0 15 Kab. Agam 27 19 0 19 0 19 0 19 0 19 0 16 Kab. 50 Kota 24 17 2 19 0 19 0 18 1 19 0 17 Kab. Pasaman Barat 10 7 1 8 0 8 0 8 0 8 0 JUMLAH 457 203 7 334 4 336 2 267 2 330 9

Tabel 8. Hasil Pengujian Residu antibiotika Kegiatan Aktif di Propinsi Riau Hasil Uji Residu Antibiotika Penicillin Tetrasiklin Aminoglikosida Sulfadiazine Tilosin (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) 1 Kota Pekan Baru 16 14 0 14 0 14 0 14 0 14 0 2 Kota Dumai 22 16 0 16 0 16 0 16 0 16 0 3 Kab Rohul 24 18 0 18 0 18 0 18 0 18 0 4 Kab. Indragiri Hulu 19 15 0 15 0 15 0 15 0 15 0 5 Kab. Siak 70 35 0 47 0 47 0 47 0 47 0 6 Kab. Indragiri Hilir 15 11 0 11 0 11 0 11 0 11 0 7 Kab. Kuansing 19 10 4 12 2 13 1 14 0 13 1 8 Kab. Kampar 36 28 3 31 0 31 0 29 2 31 0 9 Kab. Bengkalis 5 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 10 Kab. Rokan Hilir 19 16 0 16 0 16 0 0 0 16 0 11 Kabupaten Palelawan 17 15 0 15 0 15 0 15 0 15 0 JUMLAH 278 196 7 213 2 214 1 197 2 213 2 Tabel 9. Hasil Pengujian Residu antibiotika Kegiatan Aktif di Propinsi Jambi Hasil Uji Residu Antibiotika Penicillin Tetrasiklin Aminoglikosida Sulfadiazine Tilosin (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) 1 Kota Jambi 21 18 0 18 0 18 0 18 0 16 2 2 Kab. Kerinci 13 9 0 9 0 9 0 9 0 9 0 3 Kab. Tanjung Jabung Timur 6 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 Kab. Merangin 20 14 0 14 0 14 0 14 0 14 0 5 Kab. Tanjab Barat 6 5 1 6 0 6 0 6 0 6 0 6 Kab. Muaro Jambi 16 13 0 13 0 13 0 13 0 10 3 7 Kab. Muaro Bungo 33 13 0 27 0 27 0 13 0 27 0 8 Kab. Sungai Penuh 33 26 0 26 0 26 0 26 0 25 1 9 Kab. Batang Hari 16 13 0 13 0 13 0 13 0 12 1 10 Kab. Sarolangun 16 13 0 13 0 13 0 13 0 13 0 JUMLAH 159 110 1 125 0 125 0 111 0 120 5 Tabel 10. Hasil Pengujian Residu antibiotika Kegiatan Aktif di Propinsi Kepulauan Riau Hasil Uji Residu Antibiotika Penicillin Tetrasiklin Aminoglikosida Sulfadiazine Tilosin (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) 1 Kota Tanjung Pinang 16 16 0 16 0 16 0 16 0 16 0 2 Kab. Karimun 15 15 0 15 0 15 0 15 0 15 0 3 Kota Batam 31 0 0 31 0 31 0 0 0 31 0 4 Kabupaten Bintan 12 12 0 12 0 12 0 12 0 12 0 JUMLAH 74 43 0 74 0 74 0 43 0 74 0

Tabel 11. Hasil Pengujian Residu Antibiotika Kegiatan Pasif RESIDU ANTIBIOTIKA Penicillin Tetrasiklin Aminoglikosida Sulfa Tilosin (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) I SUMATERA BARAT 1 Kabupaten Agam 10 2 0 2 0 2 0 2 0 2 0 2 Kab. Padang Pariaman 23 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 3 Kab. Tanah Datar 73 10 0 10 0 10 0 10 0 10 0 4 Kota Bukittinggi 27 3 0 5 0 5 0 5 0 3 0 5 Kota Padang 194 5 0 63 0 63 0 5 0 63 0 6 Kota Pariaman 20 0 0 14 0 14 0 0 0 14 0 347 24 0 98 0 98 0 26 0 96 0 II RIAU 1 Kab. Siak 26 0 0 6 0 6 0 0 0 6 0 26 0 0 6 0 6 0 0 0 6 0 III JAMBI 1 Propinsi Jambi 170 19 1 20 0 20 0 20 0 16 0 2 Kab. Sarolangun 2 2 0 2 0 2 0 0 0 2 0 172 21 1 22 0 22 0 20 0 18 0 IV KEPULAUAN RIAU 1 Kota Batam 28 20 0 24 0 24 0 20 0 24 0 V LAIN-LAIN 28 20 0 24 0 24 0 20 0 24 0 1 BVET Medan 4 0 0 2 2 2 2 0 0 2 2 2 BVET Maros 4 0 0 1 3 1 3 0 0 1 3 3 BPMSPH 2 0 0 2 0 2 0 0 0 2 0 10 0 0 5 5 5 5 0 0 5 5 TOTAL 583 65 1 155 5 155 5 66 0 149 5 Hasil Uji Residu Formalin dan Residu Borax, Uji Kesempurnaan Pengeluaran Darah (Melachite Green) dan Uji Awal Pembusukan (Eber)

Tabel 12. Hasil Pengujian Formalin dan Borax Kegiatan Aktif FORMALIN BORAX Hasil Uji Hasil Uji Positif Negatif Positif Negatif I SUMATERA BARAT 1 Kota Padang 9 1 8 9 0 9 2 Kab Solok 4 0 4 4 0 4 3 Kab. Padang Pariaman 2 0 2 2 0 2 4 Kab. Pasaman 2 0 2 2 0 2 5 Kab. Solok Selatan 4 0 4 4 0 4 6 Kota Pariaman 2 0 2 2 0 2 7 Kab. Dharmasraya 5 3 2 5 1 4 8 Kab. Pesisir Selatan 5 1 4 5 0 5 9 Kota Sawah Lunto 8 1 7 8 0 8 10 Kota Solok 11 2 9 11 1 10 11 Kota Padang Panjang 8 0 8 8 0 8 12 Kota Payakumbuh 11 0 11 11 0 11 13 Kota Bukittinggi 10 0 10 10 0 10 14 Kab. Tanah Datar 3 0 3 3 0 3 15 Kab. Agam 7 0 7 7 0 7 16 Kab. 50 Kota 5 0 5 5 0 5 17 Kab. Pasaman Barat 2 0 2 2 0 2 JUMLAH 89 7 82 89 2 87 II RIAU 1 Kota Pekan Baru 2 0 2 2 0 2 2 Kota Dumai 6 0 6 6 0 6 3 Kab. Rohul 6 0 6 6 0 6 4 Kab. Indragiri Hulu 4 0 4 4 0 4 5 Kab. Siak 24 0 24 24 10 14 6 Kab. Indragiri Hilir 4 0 4 4 0 4 7 Kab. Kuansing 6 0 6 5 0 5 8 Kab. Kampar 6 0 6 4 0 4 9 Kab. Rokan Hilir 5 0 5 3 0 3 10 Kab. Palelawan 3 0 3 3 0 3 JUMLAH 66 0 66 61 10 52 III JAMBI 1 Kota Jambi 3 0 3 3 0 3 2 Kab. Kerinci 4 0 4 4 0 4 3 Kab. Tanjung Jabung Timur 2 0 2 2 0 2 4 Kab. Merangin 4 0 4 4 0 4 5 Kab. Tanjab Barat 0 0 0 0 0 0 6 Kab. Muaro Jambi 3 0 3 3 0 3 7 Kab. Muaro Bungo 6 0 6 6 1 5 8 Kab. Batang Hari 3 0 3 3 0 3 9 Kab. Sungai Penuh 6 0 6 6 0 6 10 Kota Jambi 3 0 3 3 0 3 11 Kab. Sarolangun 3 0 3 3 0 3 JUMLAH 34 0 34 34 1 33 IV KEPULAUAN RIAU 1 Kota Batam 3 0 3 3 0 3 2 Kab. Karimun 3 0 3 3 0 3 3 Kota Tanjung Pinang 3 0 3 3 0 3 JUMLAH 9 0 9 9 0 9 TOTAL 198 7 191 193 13 181

Tabel 13. Hasil Pengujian Formalin dan Borax Kegiatan Pasif FORMALIN BORAX Hasil Uji Hasil Uji Hasil Uji Hasil Uji Positif Negatif Positif Negatif I SUMATERA BARAT 1 Kab. Tanah Datar 0 0 0 13 0 13 2 Kabupaten Dharmasraya 62 2 60 16 0 16 3 Kota Bukittinggi 1 0 1 0 0 0 4 Kota Sawahlunto 10 0 10 10 0 10 5 Pesisir Selatan 5 0 5 5 0 5 78 2 76 44 0 44 II RIAU 1 Kota Dumai 70 7 63 16 0 16 2 Kab. Kuantan Singingi 0 0 0 2 0 2 3 Kab. Pelalawan 3 0 3 0 0 0 4 Kab. Siak 0 0 0 14 0 14 73 7 66 32 0 32 III JAMBI 1 Kab. Kerinci 0 0 0 25 6 19 0 0 0 25 6 19 IV KEPULAUAN RIAU 1 Kota Batam 12 0 12 0 0 0 12 0 12 0 0 0 V LAIN-LAIN 1 BVET Maros 2 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 TOTAL 165 10 155 103 7 96 Tabel 14. Hasil Pengujian Malachite Green dan Eber Kegiatan Aktif II SUMATERA BARAT MALACHITE GREEN EBER Hasil Uji Hasil Uji Hasil Uji Hasil Uji Positif Negatif Positif Negatif 1 Kab. Pesisir Selatan 0 0 0 1 1 0 JUMLAH 0 0 0 1 1 0 II RIAU 1 Kab. Indragiri Hilir 6 1 5 0 0 0 2 Kab. Kuansing 0 0 0 1 1 0 6 1 5 1 1 0 TOTAL 6 1 5 2 2 0

Tabel 15. Hasil Pengujian Malachite Green dan Eber Kegiatan Pasif MALACHITE GREEN EBER Hasil Uji Hasil Uji Hasil Uji Hasil Uji Positif Negatif Positif Negatif I SUMATERA BARAT 1 Kab. Padang Pariaman 0 0 0 8 8 0 2 Kab. Darmasraya 15 0 15 43 10 33 3 Kota Sawahlunto 8 4 4 8 2 6 23 4 19 59 20 39 Hasil Pengujian Elisa Hormon Trenbolon Asetat dan PCR Identifikasi Spesies Tabel 16. Hasil Pengujian Hormon Trenbolon Asetat I II Hasil Pengujian Jenis ELISA HPLC Kegiatan SUMATERA BARAT Kota Solok 610,07 Ppt Tidak terdeteksi Aktif Kota Solok 418,95 Ppt Tidak terdeteksi Aktif Kota Pariaman 405,81 Ppt Tidak terdeteksi Pasif RIAU Kab. Rokan Hilir 451,36 Ppt 2,3 ppb Aktif

Tabel 17. Hasil Pengujian Identifikasi Spesies Babi dan Tikus UJI SPESIES BABI UJI SPESIES TIKUS UJI SPESIES BABI Hasil Uji Hasil Uji Hasil Uji POSITIF POSITIF POSITIF Aktif Pasif I SUMATERA BARAT 1 Kota Padang 13 0 5 0 5 0 2 Kab. Padang Pariaman 4 0 - - - - 3 Kab. Pasaman 2 0 - - - - 4 Kota Pariaman 2 0 - - - - 5 Kab. Dharmasraya 4 3 - - - - 6 Kab. Pesisir Selatan 6 0 5 0 - - 7 Kota Sawah Lunto 3 0 - - - - 8 Kota Solok 3 0 - - - - 9 Kota Padang Panjang 0 0 - - - - 10 Kota Payakumbuh 9 0 - - - - 11 Kota Bukittinggi 5 0 - - - - 12 Kab. Tanah Datar 9 0 - - 2 0 13 Kab. Agam 7 0 - - - - 14 Kab. 50 Kota 8 0 - - - - 15 Kab. Pasaman Barat 2 0 - - - - JUMLAH 64 3 5 0 7 0 II RIAU 1 Kab. Siak 6 0 - - - - 2 Kab. Kuantan Singingi 5 0 - - - - 3 Kota Dumai - - - - 5 0 4 Kab. Batang Hari 3 0 - - - - 5 Kab. Rokan Hilir 3 0 - - - - 6 Kabupaten Palelawan 3 0 - - 3 0 JUMLAH 20 0 0 0 8 0 III JAMBI 1 Kota Jambi 3 0 - - - - 2 Kab. Muaro Jambi 3 0 - - - - 3 Kab. Muaro Bungo 3 0 - - 2 0 4 Kota Sungai Penuh 6 0 - - - - 5 Merangin 2 0 - - - - 6 Kab. Sarolangun 3 0 - - - - JUMLAH 3 0 0 0 2 0 IV KEPULAUAN RIAU 1 Kab. Karimun 4 0 - - - - 2 Kota Batam 0 0 - - - - 3 Kota Tanjung Pinang 3 0 - - - - JUMLAH 7 0 0 0 0 0 TOTAL 94 3 5 0 17 0

Hasil Pengujian Fisik dan Kimia Susu Tabel 18. Hasil Pengujian Fisik Susu Kegiatan Aktif Organoleptis Tabel 19. Hasil Pengujian Fisik Susu Kegiatan Kegiatan Pasif Tabel 20. Hasil Pengujian Kimiawi Susu Kegiatan Aktif Tabel 21. Hasil Pengujian Kimiawi Susu Kegiatan Pasif UJI FISIK SUSU Kebersihan Berat Jenis 1,0260-1,0281 rmal Tidak Bersih Tidak < N > SUMATERA BARAT 1 Kabupaten Agam 3 3 0 3 0 0 2 1 2 Kota Padang Panjang 8 8 0 8 0 1 6 1 3 Kota Payakumbuh 4 4 0 4 0 0 3 1 JUMLAH 15 15 0 15 0 1 11 3 Organoleptis UJI FISIK SUSU Kebersihan Berat Jenis 1,0260-1,0281 rmal Tidak Bersih Tidak < N > SUMATERA BARAT 1 Kab. Tanah Datar 20 20 0 20 0 0 19 1 2 Kota Bukittinggi 2 2 0 2 0 0 2 0 3 Kota Padang 5 5 0 5 0 0 0 5 4 Kota Payakumbuh 6 6 0 6 0 0 0 6 33 33 0 33 0 0 21 12 UJI KIMIAWI SUSU Uji didih Reduktase Angka Katalase Kadar Lemak (-) (+) NORMAL TIDAK maks. 4 min. 3,0 % BKTL min. 8,0 % N > < N < N SUMATERA BARAT 1 Kabupaten Agam 3 0 3 0 3 0 0 3 0 3 2 Kota Payakumbuh 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 JUMLAH 4 0 4 0 4 0 0 4 0 4 Alkohol Uji didih UJI KIMIAWI SUSU Angka Katalase Kadar Lemak BKTL Reduktase maks. 3 min. 3,0 % min. 8,0 % (-) (+) (-) (+) rmal Tidak Jlh N > Jlh < N Jlh < N SUMATERA BARAT 1 Kota Padang 2 3 5 0 0 5 5 5 0 5 0 5 5 0 5 2 Kota Bukittinggi 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 1 3 Kota Payakumbuh 6 0 6 0 0 6 6 6 0 6 0 6 6 0 6 9 3 12 0 0 12 12 12 0 12 0 12 12 0 12

6. PEMBAHASAN Hasil pengujian sampel terhadap cemaran mikroba yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba masih terjadi pada semua lokasi pengambilan sampel. Cemaran yang tertinggi terdapat pada parameter uji TPC mencapai 51,86 % kemudian diikuti Coliform 7,36 %, Staphylococcus aureus 3,67 % dan Salmonella 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa hygiene sanitasi di pasar tradisional/swalayan, RPH/RPU dan TPA/TPU serta tempat peternak/pengumpul susu perlu ditingkatkan dan mendapat perhatian, sehingga tingkat cemaran mikroba dapat dikurangi. Produk pangan asal ternak berisiko tinggi terhadap cemaran mikroba yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Oleh sebab itu, produk pangan asal hewan harus bebas mikroba patogen seperti Salmonella sp., Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Setelah ternak dipotong, mikroba yang terdapat pada hewan mulai merusak jaringan sehingga bahan pangan hewani cepat mengalami kerusakan bila tidak mendapat penanganan yang baik. Mikroba pada produk ternak terutama berasal dari saluran pencernaan. Apabila produk ternak tercemar mikroba saluran pencernaan maka produk tersebut dapat membawa bakteri patogen tersebut. Bakteri patogen dari produk ternak yang tercemar dapat mencemari bahan pangan lain seperti sayuran, buah-buahan, dan makanan siap santap bila bahan pangan tersebut diletakkan berdekatan dengan produk ternak yang tercemar. Hasil uji sampel terhadap residu antibiotika yang melebihi batas maksimum pada umumnya berasal dari pasar tradisional, RPH dan peternak, sedangkan hormon Trenbolone Acetat berasal dari sampel daging sapi bakalan yang didatangkan dari propinsi Lampung dan sapi lokal. Dari data hasil pengujian dapat dilihat bahwa produk peternakan di dalam negeri masih mengandung residu antibiotika yang bermacam-macam. Antibiotika yang paling sering dideteksi dalam daging yaitu penisilin (termasuk ampisilin), tetrasiklin (termasuk khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin), sulfonamid (termasuk sulfadimethoksin, sulfamethazin dan sulfamethoksazol), neomisin, gentamisin, dan streptomisin (Phillips et al., 2004). Pola peternakan masih tradisional belum dikelola secara intensif seperti pada industri peternakan sehingga akan berpengaruh terhadap mutu hasil ternak terutama terhadap residu dan cemaran mikroba. Dalam hal aturan dan tata cara penggunaan obat hewan belum dilaksanakan sepenuhnya meliputi jenis obat, dosis, cara pemberian, waktu henti obat (withdrawl time) dan recording mengenai hewan yang diobati. Penanganan pemerahan susu ditingkat peternak masih belum memenuhi standar hygiene dan sanitasi. Hasil uji sampel terhadap residu formalin dan boraks pada produk olahan daging (bakso) diperoleh hasil 4,68 % pangan diawetkan dengan formalin dan 6,76 % mengandung boraks. Akibat dari penggunaan formalin atau boraks pada produk pangan dapat menimbulkan berbagai gangguan pada saluran pencernaan, hati, saraf, otak serta pada organ-organ yang berselaput yang terkena secara langsung, bila terjadi terus menerus dapat menyebabkan kanker bahkan kematian.

Hasil uji sampel terhadap hormon Trenbolon Asetat juga didapatkan hasil yang melebihi batas maksimum residu hormon Trenbolon Asetat, dari 116 sampel yang dipemeriksa dengan metode Elisa di temukan 4 sampel di atas 400 ppt. Setelah di lakukan uji konfirmasi ke HPLC di BPMSPH didapatkan hasil 1 sampel positif mengadung hormon TBA yaitu 2,3 ppb β Trenbolon Asetat. Keputusan Menteri Pertanian mor 806 tahun 1994; Surat edaran Direktur Kesehatan Hewan mor 329/X-C tanggal 4 Oktober 1983; Hasil rapat komisi obat hewan Indonesia tanggal 12 Agustus 1998: 1. Hormon pemacu pertumbuhan tidak dijinkan penggunaannya pada hewan produksi untuk konsumsi; 2. Trenbolon asetat diklasifikasikan sebagai obat keras yang tidak diijinkan untuk didaftar dan diedarkan; 3.Untuk itu di SNI: 01-6366-2000, BMR trenbolon acetate dalam makanan asal hewan tidak ditetapkan. Hasil uji sampel terhadap Identisifikasi spesies juga diperoleh hasil 2,70 % positif daging sapi dipalsukan dengan daging babi. Hal ini menggambarkan bahwa pangan asal hewan yang beredar belum menjamin ketentraman bathin masyarakat. 7. KESIMPULAN 1. Masih ditemukan hasil uji sampel yang positif dan atau diatas ambang yang mengandung cemaran mikroba, hal ini menunjukkan adanya kontaminasi yang terjadi selama proses budidaya, pemotongan sampai dengan pengumpulan hasil, transportasi dan penanganan hasil. 2. Masih ditemukan hasil uji sampel yang positif dan atau diatas ambang yang mengandung residu antibiotika, formalin, borak dan hormon trenbolon asetat. 3. Masih beredarnya produk pangan asal hewan yang tidak layak dikonsumsi apalagi bagi agama tertentu (Islam) dengan ditemukan hasil positif identifikasi spesies. 8. SARAN Keberadaan cemaran mikroba dan residu yang melebihi batas ambang akan menimbulkan masalah pada kesehatan manusia dan perdagangan. Dari kajian hasil monitoring dan surveilans cemaran mikroba dan residu obat hewan pada produk pangan asal hewan selama ini dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut : a. Perlu ditingkatkan pengawasan, pembinaan dan sosialisasi tentang Hygiene dan Sanitasi, baik ditingkat peternak, RPH/RPU, pengolahan dan distribusi. b. Perlu dilakukan pengawasan dan tindakan perbaikan dalam aturan dan tatacara penggunaan obat hewan terutama masalah WDT (withdrawl time). Efek dari residu obat hewan pada PPAH akan menyebabkan penyakit akut (hypersensitifity, tachicardia, tremor, teratogenic) dan chronic (carcinogenic & mutagenic). Berdasarkan hasil monitoring dan surveilans dengan beberapa kasus, cepat atau lambat akan menimbulkan problem serius terhadap kesehatan manusia, lingkungan dan perdagangan. Disarankan agar segera dilakukan usaha-

usaha untuk penanganan, pencegahan dan mengurangi resiko terjadinya kontaminasi dan residu pada PPAH. c. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen akan mutu produk asal hewan khususnya mengenai bahaya residu dan cemaran mikroba. d. Kondisi fasilitas dan kinerja laboratorium dalam melaksanakan pengujian residu dan cemaran mikroba masih belum optimal sehingga hasil yang diperoleh dalam rangka pengawasan mutu PPAH belum maksimal, hal ini perlu ditingkatkan, baik SDM, sarana dan prasarananya. e. Titik kritis yang perlu mendapat pengawasan secara intensif yang menyebabkan terjadinya cemaran mikroba dan residu adalah sebagai berikut : 1. Peternak: pemberian obat hewan (withdrawl time), pakan, sanitasi lingkungan 2. Rumah Potong: disiplin pekerja, peralatan dan sanitasi lingkungan 3. Pasar Tradisional: los daging, tempat penjajaan daging 4. Tempat Pengumpulan Susu/Koperasi Susu 5. Transportasi Susu 6. Sanitasi pada waktu pemerahan. f. Perlunya tindak lanjut terhadap hasil pengujian laboratorium yang tidak memenuhi SNI secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA AOAC International. 1998. Bacteriological Analytical Manual 8 th Edition. Revisi 8. USFDA Bahri, S. 2008. Beberapa Aspek Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 (3), 2008: 225-242. Jakarta: Balai Besar Penelitian Veteriner Gorris, L.G.M., 2005. Food Safety Objective: An Integral Part of Food Chain Management. Food Control 16: 801 809. Haagsma N. 1988. Control of Veterinary Drug Residues in Meat a Contribution to the Development of Analytical Procedures. Tesis. The University of Utrecht, the Netherlands (OIE) Office International des Epuizooties.2004. Handbook on Import Risk Analysis for Animals and Animal Products. Vol. 1. Introduction and Qualitative Risk Analysis. Paris: OIE. Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat. USU. http://www.library.usu.ac.id. Standar Nasional Indonesia. 2008. Metode Uji Tapis (Screening Test) Residu Antibiotika pada Daging, Telur, dan Susu secara Bioassay. Jakarta: BSN Standar Nasional Indonesia. 2001. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta. (WHO) World Health Organization. 1995. Application of Risk Analysis to food standards issues. Report of the joint FAO/WHO Expert Consultation. Geneva: WHO.