PERBANDINGAN PENGATURAN PIDANA DENDA DI DALAM KUHP DAN TINDAK PIDANA DI LUAR KUHP Oleh : Diana Tri Iriani ABSTRAK Pidana denda merupakan salah satu pidana pokok dalam stelsel pemidanaan di Indonesia yang diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, seharusnya pelaksanaan pidana denda harus sesuai dengan KUHP mengingat hal-hal yang berkaitan dengan pidana denda telah diatur secara terperinci di dalam KUHP. Dalam era global seperti sekarang ini, yang ditandai adanya kemajuan di bidang transportasi, dan komunikasi modern, berimbas pada perkembangan kualitas tindak pidana. Serta diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam kejahatan yang dilakukan oleh korporasi (corporate crimes), maka eksistensi sanksi pidana denda pun mutlak diperlukan. Hal demikian dapat dilihat secara signifikan penggunaan pidana denda sebagai salah satu jenis sanksi pidana yang dilibatkan dalam mengatasi masalah-masalah delik-delik baru sebagai akibat pesatnya perkembangan ekonomi maupun teknologi canggih yang diatur dalam beberapa undangundang pidana khusus atau perundang-undangan pidana di luar KUHP Dalam hal ini penulis melihat adanya perbedaan pengaturan pidana denda yang ada dalam KUHP dengan Undang-undang pidana khusus. Sehingga penulis mencoba untuk membandingkan perbedaan-perbedaan perumusan pidana antara kedua peraturan tersebut. Latar Belakang Pidana denda salah satu dari pidana pokok dalam stelsell pidana Indonesia, sebagaimana warisan kolonial Belanda dan masih berada di kedudukan sekunder jika dibandingkan dengan pidana pencabutan kemerdekaan. Hal ini tampak pada peraturan dan pengancamannya yang dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang untuk selanjutnya dalam penulisan ini ditulis sebagai KUHP. Khususnya pada Pasal 69 ayat 1 KUHP yang menetapkan Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urutan- 1
urutan dalam Pasal 10. Kenyataan itulah yang menggambarkan, perihal rendahnya nilai-nilai dan terbatasnya pidana denda sebagai pidana pokok. Pidana denda adalah merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketentuan Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku. Adapun pidana denda adalah merupakan salah satu jenis pidana yang termuat dalam KUHP yang bertujuan untuk membebani seseorang yang melanggar ketentuan KUHP tersebut dengan membayar sejumlah uang atau harta kekayaan tertentu agar dirasakan sebagai suatu kerugian oleh pembuatnya sendiri sehingga ketertiban di masyarakat itu pulih kembali. Namun sering kali ancaman pidana tersebut tidak sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku; bahkan juga tidak sesuai dengan tujuan pemindanaan, karena pada umumnya terpidana tidak merasa dirinya telah dijatuhi pidana. Sehingga dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa beberapa jenis sanksi pidana denda kurang mencapai sasarannya. Dalam era global seperti sekarang ini, yang ditandai adanya kemajuan di bidang transportasi, dan komunikasi modern, berimbas pada perkembangan kualitas tindak pidana. Serta diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam kejahatan yang dilakukan oleh korporasi (corporate crimes), maka eksistensi sanksi pidana denda pun mutlak diperlukan. Hal demikian dapat dilihat secara signifikan penggunaan pidana denda sebagai salah satu jenis sanksi pidana yang dilibatkan dalam mengatasi masalahmasalah delik-delik baru sebagai akibat pesatnya perkembangan ekonomi maupun teknologi canggih yang diatur dalam beberapa undang-undang pidana khusus atau perundang-undangan pidana di luar KUHP. Pengertian Denda Denda adalah salah satu bentuk hukuman berupa kewajiban pembayaran sejumlah uang. Ada dua jenis denda, denda sebagai sanksi pidana dan denda sebagai sanksi administratif. Prinsipnya sama, samasama penghukuman, yang berbeda adalah bagaimana denda tersebut dijatuhkan, kepada siapa denda tersebut dibayarkan, serta bagaimana konsekuensinya jika denda tidak dibayarkan oleh terhukum. Setidaknya tiga hal tersebut perbedaannya. 2
Sebagai hukuman, denda seperti halnya jenis-jenis hukuman lainnya hanyalah alat pendera, alat untuk membuat sakit pelanggar hukum. Jika rasa sakit yang ingin dicapai dari hukuman penjara atau kurungan adalah hilangnya kebebasan bergerak untuk sementara waktu (atau seumur hidup), untuk denda tentunya adalah hilangnya sebagian harta benda khususnya uang yang dimiliki oleh terhukum. Tentu rasa sakit bukanlah satu-satunya tujuan penghukuman, tapi dalam konteks ini cukup ini yang penulis ingin jelaskan. Sebagai alat pendera, denda tidak bertujuan untuk memperkaya negara atau mengembalikan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku terhadap negara atau korban. Denda juga tidak bertujuan untuk membuat pailit pelaku. Walaupun bisa saja dari penjatuhan denda terhadap seorang pelaku negara menjadi diperkaya dan atau pelaku menjadi pailit, namun ini hanya ekses bukan tujuan. Mengapa negara diperkaya? Karena denda tentunya dibayarkan kepada negara dan menjadi bagian dari penerimaan negara bukan pajak. Dalam hal jika terpidana tidak mau (baik karena memang tidak mau atau karena hal lainnya) maka denda tersebut diganti dengan kurungan, lamanya kurungan pengganti tersebut adalah maksimum 6 bulan, jika ada pemberatan (misalnya dihukum denda atas beberapa perbuatan) maka bisa diperberat menjadi paling lama 8 bulan. Kurungan pengganti ini merupakan cara untuk memaksa terpidana mau membayarkan denda, oleh karena umumnya memang orang lebih suka kehilangan uang dibanding kebebasan. Itu asumsinya. Dalam beberapa kasus tentu saja akan ada orangorang yang lebih memilih dikurung dibanding membayar denda, walaupun mampu. Selalu ada pengecualian untuk banyak hal pastinya. Jika Terpidana setelah menjalani kurungan tersebut kemudian ia berubah pikiran atau baru bisa membayarkan dendanya maka KUHP sudah mengantisipasinya. Di Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP diatur mengenai hal ini. Intinya besarnya jumlah denda yang harus dibayar dikurangi dengan masa kurungan yang telah dijalaninya, dimana per hari masa kurungan disetarakan dengan sejumlah uang. Namun sayangnya nominal jumlah uang per harinya untuk mengukur hal tersebut masih terlalu kecil, Rp. 7.5,- ( tujuh setengah rupiah ). Namun setelah terbitnya Perma Nomor 2 Tahun 2012 jumlah tersebut dikonversikan menjadi Rp 7.500,-. Jumlah tersebut 3
merupakan hasil penyesuaian dengan Perma Nomor 2 Tahun 2012 Pasal (3) yang menentukan bahwa: Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (1) dan (2) dilipatgandakan menjadi 1000 (seribu) kali. Problem perhitungan konversi denda menjadi kurungan pengganti ini mengalami beberapa kendala. Pertama, seperti terlihat di atas bahwa nilainya masih terlalu kecil. Perma Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP, yang baru saja terbit memang akan mampu mengatasi masalah tersebut, namun ini hanya mengatasi permasalahan khusus untuk denda yang diatur dalam KUHP, namun tidak akan mampu mengatasi problem perhitungan kurungan pengganti untuk denda-denda yang diatur di luar KUHP Pengertian Pidana Denda Pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Apabila obyek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan obyek pidana mati adalah jiwa orang maka obyek dari pidana denda adalah harta benda si terpidana. Pidana denda bukan dimaksudkan sekedar untuk tujuan-tujuan ekonomis misalnya untuk sekedar menambah pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuantujuan pemidanaan. Pidana denda salah satu dari pidana pokok dalam stelsell pidana Indonesia, sebagaimana warisan kolonial Belanda dan kedudukannya masih berada di bawah pidana pencabutan kemerdekaan. Hal ini tampak pada peraturan dan pengancamannya yang dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Khususnya pada Pasal 69 ayat 1 KUHP yang menetapkan Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urutanurutan dalam Pasal 10. Kenyataan itulah yang menggambarkan, perihal rendahnya nilai-nilai dan terbatasnya pidana denda sebagai pidana pokok. Pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang keempat di dalam KUHP sebagai hukum positif di Indonesia. Yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) yang menetapkan : Pidana denda paling sedikit dua puluh lima sen dan pada Pasal 31 menetapkan : 1. Orang yang dijatuhi denda, boleh segera menjalani kurungan penggantinya denda 4
tidak usah menunggu sampai waktu harus membayar denda itu. 2. Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika membayar dendanya. 3. Pembayaran sebagai dari denda, baik sebelum maupun sesudah mulai menjalani kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian kurungan bagian denda yang telah dibayar. Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana pokok yang diancamkan dan terutama dijatuhkan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketemtuan Undangundang Hukum Pidana yang berlaku. Namun sering kali ancaman pidana tersebut tidak sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku bahkan juga tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, karena pada umumnya terpidana tidak merasa dirinya telah dijatuhi pidana. Sehingga dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa beberapa jenis sanksi pidana denda kurang mencapai sasarannya. Pada dasarnya pidana denda hanya dapat dijatuhkan bagi orang-orang yang dewasa. Pidana denda dapat dijumpai dalam buku II dan buku III KUHP, yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda terkadang juga dijatuhkan dalam perkara administrasi dan fiskal. Misalnya denda terhadap penyelundupan atau penunggak pajak. Pidana denda objeknya adalah harta benda yang berbentuk uang, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan KUHP. Berdasarkan laporan pengkajian hukum tentang penerapan pidana denda Dep.Keh.RI, ternyata bahwa pidana denda sejauh ini dirasakan belum memenuhi tujuan pemidanaan, disebabkan oleh faktor-faktor berikut: a. Dapat digantikannya pelaksanaan pidana denda oleh bukan pelaku, menyebabkan rasa dipidananya pelaku menjadi hilang. b. Nilai ancaman pidana denda dirasakan terlampau rendah, sehingga tidak sesuai dengan keselarasan antara tujuan pemidanaan dengan rasa keadilan dalam masyarakat. c. Meskipun terdapat ancaman pidana yang tinggi dalam aturan pidana di luar KUHP, akan tetapi belum dapat mengikuti cepatnya perkembangan nilai mata uang dalam masyarakat. 5
Namun terlepas dari hal di atas, jenis pidana denda ini memberikan banyak segisegi keadilan, antara lain: a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat di revisi apabila ada kesalahan, di banding dengan jenis hukuman lainnya. b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah karena pemerintah tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai kurungan subsidier. c. Hukuman denda tidak membawa atau tidak mengakibatkan tercelanya nama baik atau kehormatan seperti yang dialami terpidana penjara. d. Pidana denda akan membuat lega dunia perikemanusiaan. e. Hukuman denda akan menjadi penghasilan bagi daerah atau kota. Sistem Pidana Denda Hakikat dari sistem pidana denda adalah mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana pidana denda itu ditegakkan, dioperasinalisasikan, difungsionalisasikan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana (denda). Sebagaimana telah disinggung, bahwa setiap jenis pidana apapun selalu memiliki cirri atau karakteristik tersendiri. Demikian pula halnya dengan pidana denda, selain memiliki ciri yang terwujud dalam kebaikan dan kelemahannya, juga memiliki ciri lain yang menonjol yakni bersifat ekonomis. Oleh sebab itu pidana denda mempunyai nilai relatif, artinya mudah berubah nilainya karena pengaruh perkembangan ekonomi suatu masyarakat, baik dilihat secara nasional maupun Internasional. 1 Sebagai konsekuensi dari karakteristik tersebut, maka sudah barang tentu strategi kebijakan operasionalisasi, fungsionalisasi, penegakan pidana denda berbeda dengan jenis pidana yang lain. Dalam kaitan ini Barda Nawawi Arief mengatakan 2 Dalam menetapkan kebijakan legislatif yang berhubungan dengan pelaksanaan (operasionalisasi/fungsionalisasi/penegakan) pidana denda perlu dipertimbangkan antara lain mengenai: 1. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda; 1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori- Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 182. 2 Ibid. hal 181. 6
2. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda; 3. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan 4. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap seorang anak yang belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua); 5. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda. Dari apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief di atas, nampaknya beliau ingin menegaskan bahwa kebijakan operasional pidana denda erat kaitannya dengan masalah pemberian kewenangan atau kebebasan hakim dalam mengoperasionalkan pidana denda secara konkrit. Kebaikan dan Kelemahan Pidana Denda Setiap jenis sanksi pidana apa pun pada prinsip mengandung kebaikan di satu sisi dan kelemahan di sisi lainnya. Disadari atau tidak, acapkali sorotan tajam lebih condong mengarah pada kelemahan atau keburukannya di banding menyoroti sisi kebaikannya. Terlebih apabila itu menyangkut apa yang disebut pidana, yang oleh sebagian kalangan selalu digambarkan sebagai perlakuan-perlakuan yang kejam. Sebagai jenis pidana yang tidak merampas kemerdekaan, maka tidak mengherankan kalau pidana denda menjadi pusat perhatian sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan, karena keburukan-keburukan terhadap penjatuhan pidana penjara (perampasan kemerdekaan) tidak berlaku terhadap pidana denda yang mempunyai kelebihan (kebaikan) di banding pidana perampasan kemerdekaan. Pidana denda sebagai alternatif dari pada pidana perampasan kemerdekaan yang merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para Hakim, khususnya dalam praktek peradilan di Indonesia. Faktor yang menyebabkan jarang dijatuhkannya pidana denda oleh para Hakim dalam dunia peradilan di Indonesia adalah karena jumlah ancaman pidana denda yang terdapat dalam KUHP sekarang pada umumnya sangat ringan. Mekipun dengan adanya Perma Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur jumlah ancaman pidana denda di dalam KUHP penggunaan pidana denda 7
oleh para hakim dalam memutus perkara masih sangatlah jarang. Disamping itu sikap Hakim terhadap peenilaian ancaman pidana denda cenderung hanya digunakan terhadap tindak pidana ringan, sehingga pidana penjara merupakan yang utama. Sementara itu dalam perkembangan di luar KUHP, terdapat kecenderungan untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda. Hal ini misalnya terlihat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang ancaman pidana dendanya mencapai maksimum Rp 750 juta,- (Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkannya rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup); Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang pidana dendanya mencapai maksimum Rp 1 milyar,- untuk perseorangan dan 7 milyar,- untuk korporasi dalam hal terjadi penanggulangan (residivis) Sistem Pidana Denda Dalam KUHP dan Tindak Pidana Diluar KUHP Sistem pidana denda adalah bagian dari sistem yang lebih besar, yakni Sistem Pidana dan Pemidanaan. L.H.C. Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (thesentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctionand punishment). 3 Maka menurut penulis sistem pidana denda merupakan keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana pidana denda itu ditegakkan atau dioperasionalkan. Dan dalam hal ini pidana denda diatur oleh KUHP. Pengaturan pidana denda diatur dalam Pasal 30 KUHP yang menyebutkan sebagai berikut: 1) Banyaknya denda sekurang kurangnya 25 sen; 2) Jika dijatuhkan hukuman denda, dan denda tidak dibayarkan, maka diganti dengan hukuman kurungan; 3) Lamanya hukuman kurungan pengganti itu sekurang-kurangnya 1 hari dan selama lamanya 6 (enam) bulan; 4) Dalam keputusan hakim ditentukan, bahwa bagi denda setengah rupiah atau kurang, lamanya hukuman kurungan pengganti denda itu 1 (satu) hari, bagi denda yang lebih besar daripada itu, 3 L.H.C. Hullsman dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 23. 8
maka tiap-tiap setengah rupiah diganti tidak lebih dari pada 1 (satu) hari, dan bagi sisanya yang tidak cukup setengah rupiah, lamanya pun satu hari; 5) Hukuman kurungan itu dapat dijatuhkan selama-lamanya 8 (delapan) bulan, dalam hal mana denda maksimum itu dinaikkan, karena beberapam kejahatan yang dilakukan, karena berulang melakukan kejahatan atau lantaran halhal yang ditentukan dalam pasal 52; 6) Hukuman itu sekali-kali tidak boleh lebih dari 8 (delapan) bulan. Selanjutnya mengenai pola pidana denda yang ditetapkan dalam KUHP, KUHP menetapkan pola minimum umum dan maksimum khusus. Sistem penetapan jumlah ancaman pidana seperti yang tertuang dalam KUHP ini disebut dengan istilah sistem maksimum atau menurut istilah Colin Howard 4 disebut dengan istilah sistem indefinite, atau yang lebih dikenal dengan sistim tradisional-absolut. Sistem maksimum (sistem indefinite) adalah penetapan maksimum pidana untuk tiap tindak pidana. Sistem ini dapat juga disebut dengan sistem atau pendekatan tradisional 4 Collin Howard, An Analisis of Sentencing Outhority dalam P.R Clazebrook (ed). Reshaping The Criminal Law, (steven &sons, Ltd, London, 1987), hal 407. atau dalam KUHP berbagai negara sistem ini disebut dengan sistem absolut. Secara umum sistem ini berarti bahwa setiap tindak pidana ditetapkan bobot atau kualitasnya sendiri-sendiri yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum. Keuntungan dari sistem ini adalah: 1) Dapat menunjukkan keseriusan; 2) Memberikan flesiblitas dan direksi kepada kekuasaan pemidanaan; 3) Melindungi kepentingan pelanggar itu sendiri dengan menetapkan batasbatas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan. Menurut Collin Howard 5 dengan dianutnya sistem maksimum, akan membawa konsekuensi yang cukup sulit dalam menetapkan maksimum khusus untuk tiap-tiap tindak pidana, bahwa disamping adanya keuntungan dalam menetapkan nilai maksimum yang diterapkan pada pelaku tindak pidana yang diatur dalam KUHP namun sistem maksimum juga memiliki kelemahan, yaitu: 1) Dengan dianutnya sistem maksimum, akan membawa konsekuensi yang cukup sulit dalam menetapkan maksimum khusus untuk tiap-tiap tindak pidana; 2) Dalam setiap kriminalitas setiap pembentuk undang-undang selalu 5 Op.Cit., hal 409. 9
dihadapkan pada masalah pemberian bobot dengan menetapkan kualifikasi ancaman pidana maksimumnya; 3) Dalam menetapkan maksimum pidana untuk menunjukkan tingkat keseriusan atau kualitas dari tindak pidana, bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana; 4) Untuk mengatasi semua itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai urutan tingkat atau gradasi nilai dari norma-norma sentral masyarakat dan kepentingan hukum yang akan dilindungi. 6 Selanjutnya mengenai sistem pidana denda didalam undang-undang khusus dapat dilihat adanya penyimpangan atau dapat dikatakan sebagai perkembangan. Penjatuhan dua pidana pokok secara kumulatif yang tidak dimungkinkan menurut KUHP menjadi mungkin menurut Undangundang Pidana Khusus melalui penerapan Sistem Kumulasi atau Sistem Alternatifkumulatif.Kebijakan menganut Sistem Kumulasi, Sistem Alternatif. Menurut penulis penjatuhan dua pidana pokok secara kumulatif dirasakan bukan merupakan suatu penyimpangan karena penjatuhan pidana denda secara 6 Ibid., hal 155-156. kumulatif dengan jenis pidana mati atau pidana perampasan kemerdekaan diharapkan memberi efek jera yang lebih kuat dibandingkan dengan penjatuhan pidana denda sebagai sanksi yang berdiri sendiri. Yang mana penjatuhan pidana denda saja (tunggal) seringkali dianggap terlalu enteng sebagai hukuman oleh pelaku tindak pidana terutamanya jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari hasil kejahatannya. Selain itu juga, penjatuhan pidana denda secara kumulatif dengan pidana mati atau perampasan kemerdekaan selain berfungsi sebagai pemberatan pidana sekaligus berfungsi untuk merampas kembali keuntungan-keuntungan yang didapat atau hasil dari tindak pidana. Penetapan jumlah Ancaman Pidana Denda dalam KUHP dan Tindak Pidana Diluar KUHP Penetapan ancaman jumlah (besarnya) pidana denda dalam KUHP menerapkan perumusan minimum umum (algemene minima) dan maksimum khusus (speciale maxima). Minimum Umum pidana denda, berdasarkan Pasal 30 ayat (1) ditetapkan sebesar Rp 25 sen. Sedangkan Maksimum Khususnya ditetapkan sendiri- 10
sendiri dalam rumusan delik yang terdapat dalam Buku II dan III dengan jumlah yang bervariasi. Sejalan dengan perkembangan nilai uang dalam masyarakat, yang mana jumlah ancaman pidana denda dianggap sudah tidak sesuai lagi karena terlalu enteng atau ringan. Hasil wawancara penulis dengan Hakim Pengadilan Negeri Cibinong, Ronald S Lumbuun juga mengatakan bahwa besarnya ancaman pidana denda dalam KUHP sudah tidak relevan dan sudah tidak bisa digunakan sama sekali. 7 maka dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berdampak pada perubahan terhadap ancaman pidana (denda), yaitu: 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP; Pasal 1 intinya menyatakan merubah ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 359, 360 dan 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehingga menjadi: a. Pasal 359 : Pidana penjara maksimum 5 tahun atau pidana kurungan maksimum 1 tahun. b. Pasal 360 : (1) Pidana penjara maksimum lima tahun atau pidana kurungan maksimum 1 tahun. (2) Pidana penjara maksimum 9 bulan atau pidana kurungan maksimum 6 bulan atau pidana denda maksimum Rp 300,- (tiga ratus rupiah). c. Pasal 188 : Pidana penjara maksimum 5 tahun atau pidana kurungan maksimum 1 tahun atau pidana denda maksimum Rp 300,- (tiga ratus rupiah). 2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945; Pasal 1 intinya merubah ancaman jumlah pidana denda yang terdapat dalam KUHP dan ketentuan pidana lain yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 menjadi 15 kali dan dibaca dalam mata uang rupiah. 3. Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian; UU ini pada prinsipnya menyatakan: 7 Hasil wawancara di Pengadilan Negeri Cibinong Tanggal 8 Oktober 2012 11
a. Merubah semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan (Pasal 1) b. Merubah ancaman pidana Pasal 303 ayat (1) dari pidana penjara maksimum 2 tahun 8 bulan atau dpidana denda maksimum Rp 90.000,00 (sembilan puluh ribu rupiah) menjadi pidana penjara maksimum 10 tahun atau denda maksimum Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) (Pasal 2 ayat 1) c. Merubah ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (1) dari pidana kurungan maksimum satu bulan atau denda maksimum Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) menjadi pidana penjara maksimum 4 tahun atau pidana denda maksimum Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) (Pasal 2 ayat 2). d. Merubah ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (2) dari pidana kurungan maksimum 3 bulan atau denda maksimum Rp 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus) menjadi pidana penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum Rp 15.000.000,00 (Lima belas juta rupiah) (Pasal 2 ayat 3). e. Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis. 4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Ancaman Dalam KUHP pada intinya menyatakan: a. Perubahan kata-kata dua ratus lima puluh rupiah dalam pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 382 diganti menjadi Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). b. Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 303 bis ayat (1) dan (2) dilipatgandakan menjadi 1000 (seribu) kali. Penutup 1. Pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Apabila obyek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan obyek pidana mati adalah jiwa orang maka obyek dari pidana denda adalah harta benda si terpidana. Pidana denda bukan 12
dimaksudkan sekedar untuk tujuantujuan ekonomis misalnya untuk sekedar menambah pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan pemidanaan. 2. Sistem pidana denda yang ditetapkan dalam KUHP tidak mengenal minimum khusus dan maksimum umum, KUHP menetapkan pola minimum umum dan maksimum khusus, sedangkan untuk sistem yang digunakan oleh tindak pidana diluar KUHP mengenal adanya. Sedangkan sistem pidana denda di dalam tindak pidana di luar KUHP menggunakan sistem minimum khusus dan maksimum umum. Selanjutnya mengenai sistem pidana denda didalam undang-undang khusus dapat dilihat adanya penyimpangan atau dapat dikatakan sebagai perkembangan. Penjatuhan dua pidana pokok secara kumulatif yang tidak dimungkinkan menurut KUHP menjadi mungkin menurut Undang-undang Pidana Khusus yang menerapkan sistem kebijakan kumulasi dan alternative-kumulatif 3. Pengaturan pidana denda di dalam KUHP diatur dalam Pasal 30 KUHP yang menyebutkan sebagai berikut: 1) Banyaknya denda sekurang kurangnya 25 sen, yang setelah dikonversi ke dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012 menjadi Rp 3.750,-; 2) Jika dijatuhkan hukuman denda, dan denda tidak dibayarkan, maka diganti dengan hukuman kurungan; 3) Lamanya hukuman kurungan pengganti itu sekurang-kurangnya 1 hari dan selama lamanya 6 (enam) bulan; 4) Dalam keputusan hakim ditentukan, bahwa bagi denda setengah rupiah atau kurang, lamanya hukuman kurungan pengganti denda itu 1 (satu) hari, bagi denda yang lebih besar daripada itu, maka tiap-tiap setengah rupiah diganti tidak lebih dari pada 1 (satu) hari, dan bagi sisanya yang tidak cukup setengah rupiah, lamanya pun satu hari; 5) Hukuman kurungan itu dapat dijatuhkan selama-lamanya 8 (delapan) bulan, dalam hal mana denda maksimum itu dinaikkan, karena beberapam kejahatan yang dilakukan, karena berulang melakukan kejahatan atau lantaran hal-hal yang ditentukan dalam pasal 52; 13
6) Hukuman itu sekali-kali tidak boleh lebih dari 8 (delapan) bulan. Mengenai pengaturan pidana di luar KUHP ada banyak undang-undang yang mengaturnya, namun untuk aturan pelaksanaannya masih mengacu pada aturan umum Buku I KUHP, jadi tidak ada satu aturan khusus yang mengatur pidana denda di luar KUHP. 14